Syawal is already finished, may our
prayers during Ramadhan and Syawal will be accepted and we can meet Ramadhan
again next year. Amin.
Seiring dengan berakhirnya Syawal, dan
kita kembali ke aktivitas seperti biasa, masjid pun kembali sepi. Semalam waktu
saya mendampingi ibu saya sholat isya’ di masjid dekat rumah (saya sedang
berhalangan), mama saya adalah satu-satunya jamaah wanita (!).
Saya jadi teringat obrolan saya dengan
office mates saya sebelum Ramadhan.
Semua orang tahu, kalau semangat
muslim-muslimah Indonesia
ini cepat panas, tapi cepat untuk mendingin lagi. Lihatlah tarawih di
minggu-minggu pertama, masjid bisa penuh, bahkan sampai keluar masjid. Tapi
mulai minggu ketiga, berangsur-angsur shaf-nya semakin maju…maju…maju…hingga
tersisa 2-3 shaf saja (masih untung, kadang ada yang tinggal 2-3 makmum aja)
Saya pun demikian, kalau saya mungkin
kebetulan ‘didukung’ dengan jarak rumah-kantor yang cukup jauh. Jadi ‘terpaksa’
saya harus sholat tarawih di masjid di dekat kantor supaya tidak ketinggalan
atau malah jadi melewatkan sholat tarawih karena sampai rumah sudah lelah dan
ngantuk. Tapi minggu keempat Ramadhan, kantor saya sudah libur, dan biasanya
kita sudah disibukkan dengan mudik atau keperluan Hari Raya – yang sebenarnya
tidak lebih penting daripada puasa itu sendiri, ya kan?
Kembali ke diskusi makan siang bersama
office mates, saya tiba-tiba teringat satu impian saya, yang menjadi titipan
dari kakek saya kepada ayah saya. Di depan rumah nenek saya di Gunung Kawi, Malang; berpuluh tahun
silam kakek saya mendirikan sebuah langgar*.
Padahal saat itu pengetahuan agama kakek-nenek saya masih sangat terbatas,
justru pendirian langgar itu
bertujuan agar memotivasi kakek-nenek saya untuk sholat 5 waktu.
Supaya tidak malas, sesaat setelah langgar didirikan, kakek menghimbau
warga sekitar rumah kami untuk ikut sholat disitu. Berangsur-angsur, warga yang
lebih muda bergantian menawarkan diri untuk menjadi muadzin, sementara warga
yang lebih tua berlatih menjadi imam. Dan langgar
sederhana kakek menjadi semakin semarak karena ada warga yang mengajar
mengaji untuk anak-anak setiap sore.
Tapi itu dulu. Semenjak kakek dan
kebanyakan warga yang ‘seangkatan’ beliau meninggal, langgar menjadi sepi. Masih ada guru ngaji untuk anak-anak tiap
sore, tapi ketika waktu sholat tiba, ada 5 orang makmum saja sudah bersyukur.
Awal tahun ini waktu saya berlibur disini, pernah saat shubuh, hanya ada saya,
nenek, dan ibu-ibu sebelah rumah.
Nah, ceritanya, ketika liburan itu, nenek
saya yang aktif pengajian di desa sebelah diberi amanah oleh ketua pengajian
untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang di pengajian bulanan. Nenek saya bahkan
mencarter sebuah angkot untuk tetangga-tetangga. Tapi, menjelang hari H
pengajian, belum ada satupun yang mendaftar untuk ikut. Nenek pun mengelilingi
desa untuk mengajak warga satu-persatu.
Saat saya sempat menemani, mulailah saya
menghadapi berbagai alasan untuk tidak ikut pengajian; dari mulai harus
berjualan, sampai tidak ada yang menjaga anaknya. Inikah generasi penerus
ummat? :(
Matahari sudah hampir di atas kami, tapi
tanpa lelah nenek saya tetap berjalan, mengetuk satu-persatu pintu rumah
tetangga. “Ayo menambah ilmu agama”, kata nenek saya awalnya. Ketika ilmu agama
sudah tak mempan, maka nenek mengeluarkan jurus “dapat makan siang dan jajan
kok..” Dan pada akhirnya ada dua orang yang ikut. Satu orang tergugah
mendapatkan “barokah dari Gusti Allah”, yang satu ingin makan siang gratis.
Perih hati saya mengingat ini. Ya, karena saya
sendiri merasa tertampar.
Ketika saya ceritakan tentang ini kepada
office mates saya, ada satu yang berkomentar, “Tapi kan tiap orang berbeda. Pemahaman
masing-masing orang akan kegiatan ibadah itu tergantung pada proses
sendiri-sendiri”
Iya, ini
benar. Sangat benar. Tapi apakah kewajiban kita sebagai muslim berhenti sampai
disitu? Yang penting saya,
sholat dan ikut pengajian. Orang lain terserah deh, dosa ditanggung
masing-masing ini.
Mungkin kita lupa, bahwa berdakwah itu
adalah kewajiban dan hak. Kewajiban kita sebagai muslim, dan hak saudara kita
sebagai sesama muslim.
“Sampaikanlah walau hanya satu ayat”
Kalau kata Ustadz saya, kalau kita tidak
mau berdakwah, justru kita yang sombong. Surga-Nya Allah begitu luas, dan
bukankah akan menyenangkan untuk masuk surga beramai-ramai?
Dan tentu saja, masjid yang penuh makmum
lebih menyenangkan untuk dilihat daripada yang sepi kan?
Salam,
Prima
Prima
No comments:
Post a Comment