Friday, September 30, 2016

A Blessed Life vs An Amazing Life

Sejak saya rutin mengunjungi dokter gigi (untuk berobat, bukan untuk cari pacar), saya jadi mulai malas berpuasa. Tadinya saya punya rencana untuk puasa Daud lagi sesudah puasa Syawal dan melunasi hutang puasa, tapi apa daya karena ada masalah rahang, saya harus merelakan gigi saya diikat. Saya pun merasa seperti puasa terus-menerus, secara engga bisa makan, hanya bisa minum (paling banter makan sup cream).

Ternyata, bukannya semakin kurus (lah), kemalasan beribadah ini jadi merembet kemana-mana. Saya jadi malas mengaji karena membuka mulut butuh perjuangan yang lumayan berat. Lama-lama, tahajjud pun bolong-bolong dan sholat subuh semakin ngaret. Astaghfirullah.

Masalahnya, semakin kita enggan ‘memaksakan’ diri untuk beribadah, perasaan sedih karena tidak dapat menyempurnakan ibadah juga beranjak menghilang. Saya perlahan tidak merasa bersalah walaupun tidak tahajjud – saya pikir ah, nanti juga bisa digantikan dengan salat dhuha atau sunnah rawatib. Padahal pahalanya berbeda. Pun perjuangan dan esensinya.

Lalu hubungannya apa dengan judul post ini?

Masih dalam rangkaian Sunshine Blogger Awards, ada sebuah pertanyaan dari Kak Nissa yang ingin saya jawab.
Jika kamu dituntut harus mengganti judul blogmu, kamu akan menggantinya dengan judul apa?

Monday, September 26, 2016

Agus Yudhoyono Maju Pilgub DKI Jakarta, Babak Baru Sinetron Politik Indonesia

Dulu, ketika saya hendak masuk kuliah (S1), saya hampir tidak memiliki pilihan kedua, karena satu-satunya jurusan kuliah yang saya masuki hanya Ilmu Komunikasi. Tapi engga mungkin kan, mendaftar tanpa ada pilihan kedua, pede banget. Di sebuah universitas swasta di Malang, yang sedianya menjadi pilihan nomer sekian bagi saya yang sedang menunggu pengumuman SPMB, saya membubuhkan jurusan Ilmu Pemerintahan sebagai pilihan kedua.

Lalu terjadilah dialog dibawah ini:
Ayah: “ngapain milih jurusan ini?”
Saya: “soalnya ayah engga ngebolehin aku milih jurusan Hukum.”
Ayah: “jangan ah, kerjaannya rawan dosa!”
Saya: “nah ya, kalau aku engga jadi wartawan, aku mau jadi orang yang ngerti tentang pemerintahan. Kalau mau mengubah (pemerintahan) Indonesia jadi lebih baik, kita harus berada didalamnya!”
Ayah: “gaya kamu!” *dijitak ayah*

Ternyata saya malah berkelana jauh dari pekerjaan yang saya inginkan pada awalnya. Maklum, waktu itu masih muda, masih makan idealisme. Sekarang, berhubung banyak tagihan yang harus dibayar, kerjaan apapun boleh deh (#lah). Waktu itu saya belum mengerti kalau ada yang namanya pembuat kebijakan. Tahu sedikit aja dari pelajaran IPS, tapi saya sudah gundah ngeliat Indonesia yang carut-marut. Saya merasa harus melakukan sesuatu, dan menurut saya, masuk ke dunia politik atau pemerintahan adalah solusinya.

Thursday, September 22, 2016

Antara Halal dan 'Halal' (Bagian 2)


Mau ngelanjutin post hari senin deh, kebetulan saya baru nonton The Food Files, sebuah program di National Geographic People dan bahasannya ‘ngena’ banget buat saya. Kalau sister sedang luang, boleh tuh dicari. Programnya diproduksi di Singapura dan Malaysia, jadi buat kita orang Indonesia, ‘kasus’ yang diangkat sangat sesuai dengan kondisi kita.

Pernahkah kamu merasa bersalah sesudah makan sesuatu? Bukan hanya karena halal atau engga, tapi kamu tahu bahwa makanan ini tidak memiliki dampak yang baik terhadap dirimu. Sederhananya begini, we eat to live. Not live to eat. Jadi apapun yang kita makan, idealnya mendukung kesehatan dan kehidupan kita. Sebagai manusia, kita membutuhkan nutrisi dari makanan agar kita bisa beraktivitas secara optimal. Ada perbedaan tipis antara ‘eat to live’ dan ‘live to eat’. Sebagian orang memang memikirkan apa yang akan dimakan dengan sangat teliti dan perhatian, misalnya vegan atau vegetarian. Ada juga yang sangat picky dan selektif sehingga tujuan mendapatkan kesenangan (pleasure) dari apa yang dimakan menjadi prioritas yang tinggi.

Supaya lebih mudah dipahami, kalau kamu sering punya pemikiran seperti ini: “engga bakal makan kalau engga di restoran X”, dan itu terjadi berulang kali, hampir setiap hari, bisa jadi kamu live to eat. Sementara sebagian besar orang cukup santai terhadap pilihan makanan. Perhaps a little bit picky, tapi tidak memaksakan diri.

Hidup kita bukan hanya tentang makanan. Meskipun pangan merupakan kebutuhan primer, tapi makanan adalah penyokong kehidupan kita. Bukan satu-satunya hal yang penting dalam hidup.

Wednesday, September 21, 2016

Serba-Serbi Dicomblangin

Berlawanan dengan reaksi kebanyakan perempuan single diluar sana, saya termasuk orang yang tidak begitu menolak dijodohkan. Lebih tepatnya, dikenalkan atau dicomblangin. Kesannya kalau dijodohkan kayak dipaksa harus jadi gitu, sementara kalau kedua istilah berikutnya, biarlah semuanya berjalan dengan alami. Kalau memang ditakdirkan oleh Allah untuk bersama, alhamdulillah. Kalau tidak, bolehlah jadi saudara.

Biasanya kalau ada yang tanya apa saya sudah ada calon pasangan, saya langsung balik bertanya, “mau dikenalin ke siapa nih?” Biar engga terlalu sakit hati aja sih, dibuat santai, ye kan. Sejauh ini saya sudah pernah dicomblangin sebanyak empat kali, dan empat-empatnya belum jadi (ya iyalah, buktinya saya masih single). Begini ceritanya.

Tuesday, September 20, 2016

Dian Pelangi dan Misteri Istri yang Lebih Sukses daripada Suami


Minggu lalu saya menulis artikel diatas untuk Trivia dan merinding sebadan. Let’s put aside how they have been so successful since very young age, sementara saya mah apa atuh, begini doang. Nanti saya akan tulis blog post tersendiri tentang makna kesuksesan untuk saya, kali ini saya mau berbagi suatu hal yang lain.

Harus diakui salah satu akun Instagram yang saya lihat setiap hari adalah akunnya Dian Pelangi. Oya, saya jarang sekali mengakses Instagram dari handphone karena ada masalah dengan koneksi Internet (error kalau login Instagram dan pas browsing, yang lain engga masalah). Saya lebih sering scrolling timeline Instagram via laptop. Makanya sering engga tahu waktu di-tag teman, harap dimaklumi ya.

Akun Instagram Dian Pelangi, selain ‘Dian banget’, juga hampir selalu menunjukkan optimisme. Paling saya terganggu dengan komen olshop. “Kalau ngeliat jualannya olshop, kayaknya orang Indonesia itu hitam, pendek, berdada rata...,” ini katanya seleb siapa gitu di Twitter. Lol. Nah, secara saya juga sudah pernah ketemu Dian Pelangi, trust me she is just like her name, a rainbow. Jabat tangannya terasa hangat dan menenangkan.

Tapi saya juga engga terlalu nge-fans makanya engga ngebet foto bareng dia padahal sudah beberapa kali ketemu. (Dian adalah salah satu juri World Muslimah Award 2014 meskipun saya engga yakin dia bikin keputusan-keputusan penting karena ----- pokoknya ada deh).

Saya pun pernah menuliskan tentang Dian di blog post ini. Seingat saya, post tersebut sudah saya tulis lama sekali, tapi baru saya post awal tahun ini dan ‘ternyata’ engga lama kemudian, keluarlah berita tentang gugatan perceraian Dian Pelangi kepada suami.

Mungkin sister tahu bagaimana gosip yang berkembang diluar sana tentang penyebab keretakan rumah tangga mereka. Pagi ini saya melihat video di Instagram Dian Pelangi and I think I know why they separated.

Seperti saya tuliskan di blog post sebelumnya, “Because it takes a real gentleman to be proud of his woman' achievement.”

Barangkali saya harus menambahkan, “...and it takes a real humble woman to be proud of her man’ achievement, no matter what.”

Monday, September 19, 2016

Antara Halal dan 'Halal' (Bagian 1)

Ketika saya ‘iseng’ nulis post untuk The Sunshine Blogger Awards 2016, saya engga nyangka bakal dapat banyak sekali inspirasi dari teman-teman blogger tersayang. Sejauh ini, yang sudah menjawab tantangan dari saya ada Kak Nissa, Nazura Gulfira, Erny, Ika, dan Mbak Ine. Atau ada lagi yang sudah menulis tapi belum saya baca?

Berhubung mereka harus bikin 11 pertanyaan baru, saya tertarik untuk menjawab beberapa (kalau bisa sih semua) pertanyaan dari mereka, sebagai bahan untuk mengisi blog ini. Nasib belum mampu jadi fashion blogger, saya tetap akan bertahan sebagai blogger bawel yang hobi mengomentari hal-hal yang saya lihat atau dengar.

Salah satu pertanyaan yang menggelitik, saya dapat dari Ika.
Menurut kamu (yang Muslim), penting nggak sih berhati-hati saat makan di luar? Kan nggak menutup kemungkinan meski makanan yang disajikan itu no pork, tapi bumbunya mengandung zat-zat yang diharamkan (misal: wine).

Friday, September 16, 2016

Hore, Saya (Sempat) Punya Pacar!

Ini adalah kejadian super konyol yang saya alami pada minggu lalu. Terpaksa saya menulis di blog karena beberapa teman saya di Facebook pada bingung, dan supaya jadi pelajaran buat sister.

Suatu petang di hari Kamis, saya sedang mengantri ‘kencan’ dengan dokter gigi. Datanglah seorang bule duduk di sebelah saya. Lucunya, saya yang memang dari sononya kikuk, terjebak pada sebuah adegan yang ‘heboh’. Saya yang hendak memindahkan kunci motor dari saku jaket ke tas, tak sengaja turut mengeluarkan uang koin – yang dengan bebasnya meloncat dari tangan saya dan berputar-putar di lantai. Bisa ngebayangin? Nah, saya pun mengejar uang koin itu dan meringis saat berhasil mendapatkannya. Si bule ketawa, dikira saya lagi stand up comedy apa ya. Setelah kembali duduk, kami pun berbincang. Katanya sih, dia dari Pakistan dan berencana untuk S2 di Jogja. Jeleknya saya yang pertama, saya kan paling sering kasihan sama turis asing, jadi saya memberikan nomer handphone karena berpikir dia akan membutuhkan informasi tentang perkuliahan.

Esok paginya, dia kirim whatsapp dan kita ngobrol ngalor ngidul deh. Tak sengaja lagi, malamnya saya harus mengambil barang di Malioboro, and there he was, lagi nemenin temannya dari Kazakhstan beli tongsis (serius). Karena saya masih harus beli kado untuk pernikahan teman, saya menawarinya untuk ikut. Kebetulan saya ditemani teman sekamar jadi saya engga takut. Dari situ, kami ngobrol lagi. Jeleknya saya yang kedua, saya ini kalau grogi, saya akan bicara lebih banyak. Mungkin, dia berpikir saya tertarik kepadanya. Pulangnya, dia bilang “I like you”. Hahahahahahahahahahahaha. *ngakak sampai Lebaran tahun depan*

Tidak berhenti disitu, sepanjang hari Sabtu dia ngirimin gambar lope-lope engga jelas. Dia tanya juga kapan kita bisa ketemu lagi. Saya bilang, besok Minggu kan puasa Arafah, jadi saya mau di rumah saja. And then he replied, “kamu pacar aku, kenapa tidak ada waktu untuk aku?” Jegerrrrr. Hahahahahahahaha. *ngakak lagi sampai Idul Adha tahun depan*

Saya pun jawab ngalor-ngidul untuk menegaskan bahwa kita hanya berteman. I was nice to him because I am an Indonesian and I don’t want he gets bad impression about Indonesia. Berhubung bahasa Indonesia-nya kurang lancar, dan dia engga bisa berbahasa Inggris, saya butuh beberapa waktu untuk menjelaskannya. Untung lewat teks, kalau telepon bisa lebih lama lagi tuh. Finally he said, “oke, teman. Bye.” Dan dia engga menghubungi saya lagi sampai sekarang. Hahahahahahahahahahahahahahahahaha.

Ini bukan pengalaman ‘aneh’ pertama sama lelaki dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Rasanya sih engga semua lelaki begini, tapi ceritanya macam-macam deh. Waktu saya di Ho Chi Minh, seorang lelaki dari Timur Tengah menuliskan nomer handphone-nya di notebook saya sesudah saya menggambarkan peta ke masjid terdekat. Apa maksudnya coba?

Saya juga pernah dikejar-kejar klien saya orang India. Padahal dia kerja di Dubai lho, ngakunya S2 pula. Saya menganggap dia cukup ‘moderen’ dan engga kampungan. *dikeplak orang India* Dia hobi nelpon saya hari Minggu, walaupun sudah tahu kalau kantor di Indonesia engga buka. Terus dia ngambekan, begitu jadi teman di Facebook, dia marah waktu saya post foto sama teman cowok. Katanya, ‘it is such an inappropriate act’. Lah kamu ninggalin komen ‘subhanallah’ di profile picture saya, appropriate?

Untungnya (orang Indonesia banget nih), saya belum pernah nemu yang anehnya kebangetan. Saya pernah dengar cerita seseorang yang nge-date sama orang Timur Tengah, terus si pacar minta dikirimi fotonya lagi telanjang (atau disuruh telanjang pas video call). Meskipun engga bisa dijustifikasi kalau semuamua lelaki ‘dari sana’ seperti ini, karena ada juga kok cowok-cowok dari Amerika atau Eropa yang modusnya begini juga. Cuma nih, pada dasarnya ada banyak batasan pada interaksi antara perempuan dan lelaki di negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan. Yang perempuan engga boleh post foto wajah, keluar berdua sama yang bukan mahramnya itu terlarang, restoran dan bioskop pun dipisah. Jadi ketika lelaki-lelaki ini ketemu perempuan Indonesia yang biasa haha-hihi sama semua orang, mereka ngira si perempuan ngasih lampu hijau.

Selain itu, sister juga lebih baik waspada sama lelaki yang baru dikenal. Saya ‘berani’ kasih nomer handphone karena saya engga memberikan nama lengkap, alamat, Facebook, atau bahkan jurusan kuliah saya pun. Sebenarnya ini memang berlaku untuk semua lelaki berkebangsaan manapun. Lelaki Indonesia juga ada yang bajingan, tapi kalau sama lelaki bule itu lebih ribet. Ketika saya bercerita ke teman saya tentang si bule Pakistan, mereka mengingatkan, gimana kalau si bule adalah pengungsi atau gigolo? Tapi kalau jadi gigolo, kurang ganteng sih #eaaa #abaikan

Terus adakah lelaki Timur Tengah yang baik? Ada dong, Pangeran Dubai contohnya. Bercanda. Saya pernah punya klien dari Arab Saudi yang simpel, engga neko-neko, dan sangat menghargai saya sebagai partner. Padahal dia pernah punya asisten rumah tangga dari Indonesia lho. Tapi dia justru memuji hasil kerja tim kami. So it’s a proof, not every man from those countries are a****le. Masalah saya ketemu lelaki Qatar, India, dan Pakistan itu.....kayaknya saya apes aja. Gimana menurut sister?

Salam indihe bul-bul,
Prima

Thursday, September 15, 2016

(Masih) Tentang Mario Teguh, Tentang Pengharapan, dan Tentang Kekecewaan


Don’t worry, bukannya saya engga punya kerjaan terus masih ngomongin kasus Bapak Salam Super. Saya hanya merasa punya tanggungjawab membawa suatu ‘kebenaran’, karena naluri wartawan saya terusik jika ada sesuatu yang jelas saya ketahui tapi jadinya malah menimbulkan asumsi macam-macam di luar sana. But I don’t regret writing this article. Terima kasih untuk yang sudah komentar, sama juga dengan teman-teman dekat yang bertanya langsung kepada saya melalui WhatsApp. Semoga saya bisa memberikan pencerahan dan meyakinkan sudut pandang teman-teman pada posisi ini. Bukan bermaksud mempengaruhi (iya sih, sedikit-banyak). Kalau bikin orang penasaran kan dosa yak, makanya saya hanya ingin meluruskan wawasan sebagaimana pengetahuan saya yang terbatas.

Buat sister yang masih bertanya-tanya tentang kasus ini, saya tambahkan beberapa pemikiran yang menurut saya masuk akal:
1. Keluarga besar bukannya menolak tes DNA, kami (halah, kami) terbuka dengan hal ini tetapi kami tidak merasa hal ini urgent. Disebabkan sejak dulu sampai sekarang insyaAllah kami yakin bahwa mas Ario adalah anak kandung Mario Teguh. Biasanya sih, yang meminta tes DNA itu yang engga yakin, ya kan.
2. Kalau sister sempat kepo dan nonton wawancara Bude Kum-kum dengan sebuah televisi lokal, penjelasannya hampir sama persis dengan yang mama ceritakan kepada saya. Padahal keduanya sudah tidak bertemu bertahun lamanya, dan engga ‘janjian’ untuk masalah ini. There is no scenario or script at all. Soalnya pengetahuan itu asli dan engga perlu dibuat-buat.
3. Semisal memang Bude Yani yang selingkuh endebre endebre, apa dia masih punya muka untuk datang ke keluarga kami? Nyatanya masih ada yang berkomunikasi dengan beliau. Dulu saya pun bertemu dengan Mas Ario dan Bude Yani di rumah pakde (adik Mario Teguh) di Surabaya.
4. Saya dapat banyak wawasan tentang sisi hukum kasus ini dari penjelasan Ibu Linda Latumahina. Silakan dibaca langsung di Facebook beliau ya. Semoga bisa menguatkan dan meyakinkan manteman semua, secara yang namanya hidup bermasyarakat semua ada aturannya kok. Pada akhirnya, aturan itu yang menyelamatkan kita semua. Kalau udah engga mau sama sebuah aturan, tinggal di gua aja :))

Wednesday, September 14, 2016

Ini Kisah Tiga Dara: Apa Alasan Perempuan Betah Melajang?



Hari Senin kemarin, setelah sholat Idul Adha dan tidur (haha), saya terbangun dan ngecek beberapa pekerjaan. Tiba-tiba ada dorongan kuat untuk bersepeda dan saya mencoba jalanan yang cukup menantang: jalan terus ke Kaliurang Atas. Cuma kuat DUA kilometer brooo, mau gimana memang nanjak abis dan saya sudah lama tidak bersepeda. Dalam keadaan sampai rumah menggos-menggos itu, ngecek Twitter @NontonYK dan sedang ada kuis nonton gratis Ini Kisah Tiga Dara. Berhubung belum nonton, yaudah mari coba peruntungan, ternyata rezeki anak sholehah... Habis mandi, ngibrit ke Ambarrukmo Plaza, ketemu pula sama Kak Lionychan~ Thank you @SAFilms_ :))

Ini bukan pertama kali nonton film sendiri (walaupun bareng orang satu bioskop, kan pada dasarnya sendirian juga). Terakhir saya nonton sendiri itu film Rudy Habibie, ketawa sendiri ngeliat akting Coach Timo. Eh filmnya bagus banget lho. 3 Srikandi juga bagus, review-nya udah ditulis tapi belum kelar. Hehe. Kali ini nonton sama @NontonYK dan ternyata seru juga nonton ‘rame-rame’. Sebelah saya cowok, menang kuis juga. Dia sih iya-iya aja sama komentar saya tentang film-nya, semoga engga terganggu ya mas.

Dari awal Kak Liony sudah memperingatkan kalau film ini artistik banget, dan akan sedikit ‘mengganggu’ untuk orang-orang metropolitan. Mungkin karena saya engga ngerasa ‘orang kota’, jadi engga begitu paham sama omongan Kak Liony. Justru yang saya perhatikan sejak awal, film ini ‘Jakarta’ banget, walaupun setting-nya sendiri di Maumere. Kalau di film gitu, Maumere indaaaaaaaaaaaaaah banget. Padahal waktu saya kesana berpuluh tahun yang lalu (ceileh), kayaknya biasa aja *ditempeleng orang Maumere*

Saturday, September 10, 2016

Jadi Pengusaha atau Pekerja? Ikutan #RKMentee Dulu Aja!

I just had a tired week as I keep tying myself to my comfort zone. I participated in an event on Monday ‘til Wednesday while still trying to manage my workload. Engga, saya engga mengeluh, bahkan ketika seorang teman sekelas sudah ujian tesis minggu ini. It means she finished her study in less than four years! Congrats, Vivi sayang! Saya jadi teringat waktu saya menghadiri seminar proposal skripsi salah satu teman baik saya semasa kuliah S1, pada masa itu kami masih semester 7. Saya baru saja menyelesaikan ujian laporan magang, dan engga lama kemudian, si teman baik sudah sarjana. I was like, “wow”, tapi Allah menakdirkan saya baru lulus setahun kemudian.

Semua orang punya waktunya masing-masing. Ini bukan menjustifikasi excuse saya untuk tidak segera melanjutkan tesis. I have priorities. Everybody has. Jadi kalau saat ini prioritas saya bukan tesis, saya sangat paham dan sadar akan segala konsekuensinya (termasuk bayar SPP lagi, LOL).

Sister juga tahu sebuah ‘badai’ baru saja menghantam keluarga besar kami. I was exhausted mentally. I want to do everything I could to defend mas Ario, tapi pada akhirnya saya tahu ada hal-hal yang cukup diketahui oleh keluarga kami (dan teman-teman dekat yang cukup peduli untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya menelan mentah-mentah kabar A B C dari televisi).

Kembali ke refleksi kegiatan saya hari senin-rabu, saya berkesempatan untuk mengikuti SOPREMA (Sociopreneur Muda Indonesia) 2016 yang diselenggarakan oleh FISIPOL UGM. Menarik banget deh, ikutan acara seperti ini bikin saya jadi lebih optimis dengan Indonesia. ‘Ternyata’ masih banyak banget generasi muda yang engga alay dan hanya mikirin eksistensi di media sosial. Mereka benar-benar berkomitmen untuk mengatasi permasalahan sosial (yaaa, seperti apa yang saya lakukan dengan GandengTangan dan ZettaMedia gitu #cieh). Kerennya lagi, Kemenpora mendukung penuh acara ini dengan cara mendatangkan semua peserta kompetisi (SEMUA peserta, bukan hanya finalis atau pemenang). Coba dihitung + 90 tim [x] 2-3 orang/tim [x] tiket pesawat Garuda Indonesia PP, mulai dari Aceh sampai Ambon...ditambah menginap 3 malam di hotel bintang tiga. Thumbs up, Kemenpora! Walaupun gede juga sih anggarannya, tapi masih ‘ikhlas’ deh duit rakyat ‘dibuang’ untuk mendukung kemajuan kewirausahaan sosial di Indonesia – daripada dipakai studi banding, ye kan?

Sudah beberapa minggu terakhir ini, saya, sepupu, dan tante terlibat dalam diskusi ‘panas’ tentang pekerja vs pengusaha. Ketika saya lulus S1, saya PINGIN BANGET jadi pengusaha, tapi saya sadar diri...Kalau saya engga kerja, keluarga saya makan apa? Hehehe. Engga segitunya juga. Intinya waktu itu begitu lulus, saya dapat modal (atau bisa dibilang uang bulanan terakhir) dari ayah saya sebesar dua juta rupiah untuk hidup sampai dapat pekerjaan. Gila? Nope! Saya jadi termotivasi untuk segera bekerja dan menghidupi diri saya. Kalau akhirnya bisa bayar listrik rumah, speedy, sekolahnya adik; ya anggap aja kayak saya ngekos dan ngeluarin uang buat makan sehari-hari. Secara tinggal di rumah kan makannya gratis~~~ 

Sembari bekerja, saya menyempatkan diri membuat muslimah clothing label, kalau sekarang sih istilahnya baju syar’i gitu. Saya bikin bisnis itu semata buat memenuhi kebutuhan diri akan baju gamis yang moderen, anggun, dan tetap longgar. Made by order pula. Akan tetapi, saat itu saya tidak memiliki ketekunan dan komitmen yang kuat untuk mensukseskan bisnis tersebut. Bisa ditebak, bisnis itu harus ditutup dalam waktu kurang dari setahun.

Saya pun kembali kerja, kerja, dan kerja (udah kayak slogannya Jokowi). Begitu masuk S2, saya sempat ‘tergoda’ untuk berbisnis lagi. Sudah ngobrol ngalor ngidul sama banyak orang, terus saya mundur deh. Saya tahu saya belum siap berkomitmen. And then, I ended up working for people (again).

Saya pribadi merasa ada banyak sekali manfaat dari bekerja – or what you call ‘ikut orang’. Saya terbiasa untuk disiplin. Saya terlatih untuk menunjukkan produktivitas dan usaha maksimal agar bisa naik pangkat/gaji. Saya mendapatkan banyak ilmu dari bos-bos (dan mantan bos) saya. Saya pun belajar untuk di evaluasi, dan memperhatikan sebuah ‘standar’ yang mana akan berguna bagi saya jika suatu hari nanti saya harus mempekerjakan orang. Right now I have recruited people to be in my team, and it is HARD! Menunjukkan sisi ketegasan sekaligus mengembangkan pribadi seseorang, sebagaimana yang bos-bos saya lakukan kepada saya itu susah banget.

Saat-saat inilah saya sadar bahwa kewirausahaan bukan hanya sebuah profesi yang digambarkan dengan menjadi pengusaha atau pebisnis. It’s a mindset. Hal inilah yang kamu tunjukkan saat kamu merepresentasikan perusahaan tempatmu bekerja, karena kamu merasa memiliki. Karena kamu tahu, ketika kamu melayani pelanggan dengan buruk, ada kemungkinan mereka engga akan pakai jasa kantormu lagi. Kamu tidak ingin itu terjadi, bukan semata karena takut dipecat, tapi karena kamu ingin menjadi bagian dari sebuah brand yang bertumbuh.

And that’s why it seems like my destiny to always join startup companies – not an established one. I want to participate in building something meaningful. Saya percaya diri atas apa yang sedang saya kerjakan, dan saya tidak memberi ruang pada pikiran saya untuk hal-hal yang negatif. Saya berusaha selalu berafirmasi positif (terutama terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat saya bekerja), karena bagaimanapun juga, Allah menuruti persangkaan hamba-Nya.

Nah, kalau kamu sekarang masih sering galau tentang apa yang ingin kamu lakukan di masa depanmu. Atau bahkan masih ragu tentang pekerjaan yang sedang kamu jalani saat ini. You should apply to this awesome program.

Open Recruitment Now!

Negeri ini tak butuh penonton, tapi butuh anak-anak muda yang berani melakukan inovasi dan menciptakan perubahan nyata.

Sudah siapkah kamu menjadi bagian dari perubahan dunia? Ayo jadi bagian dari program mentorship paling bergengsi bersama Prof. Rhenald Kasali di Rumah Perubahan.

Rumah Perubahan membuka Program #RKMentee 2017, dengan Living The Experiences di Rumah Perubahan, para calon RK Mentee akan merasakan atmosfer mentorship langsung bersama Prof. Rhenald Kasali dengan berbagai challenges yang diberikan.

Pendaftaran dibuka 29 Agustus 2016 - 19 September 2016 via bit.ly/RKMentee2017

Contact Person:
0896-5273-7892 (Enje)
0812-5038-8090 (Yudhi)


Sayang banget saya sudah lebih dari 25 tahun (yah, ketahuan deh). Kalau saja saya masih 22 (seperti Taylor Swift), saya pasti daftar. Buat kamu yang pingin tanya-tanya lebih lanjut, selain bisa dibaca disini, silakan menghubungi teman saya yang saat ini sedang menjalani proses sebagai RKmentee: Hestia Istivani (@hzboy).

Salam perubahan,
Prima

Friday, September 9, 2016

Something Not Really New About Mario Teguh

Baca Dulu: Curhatan Seorang Ponakan Mario Teguh tentang Rahasia yang Terkuak dan Nilai yang Bisa Kamu Pelajari dari Kisah Ini


Kadang saya heran kenapa saya dekat dengan hal-hal yang berpotensi menjadi ghibah. Mungkin memang dari sononya saya (agak) terkenal by default, atau memang lingkaran saya ini selebriti semua. Some parts of me jadi ragu, “aku engga mau jadi terkenal ah, rempong.” Some other parts of me, “mungkin one day saya bakal jadi orang terkenal, secara pergaulan saya ini pada sosialita.....” Pret banget ah.

Sekitar sebulan yang lalu, banyak pesan masuk yang menanyakan tentang perceraian seorang hijaber/blogger/desainer internesyenel. Saya jawab, “saya udah tahu dari dulu.” Kebetulan waktu itu ceritanya saya lagi kepikiran adik cantik ini. Yaaa boleh dibilang kangen deh #sokkenal #sokiyes And then, saya tanya ke salah seorang teman dekatnya. Oya, teman dekatnya ini juga engga ngebuka cerita semuanya kok. All I did was just connecting the dots, jadi saya engga bisa (dan kalaupun bisa, engga mau) nulis tentang duduk perkaranya di blog ini.

Bangga? Engga lah! Kecuali kalau prestasi, ya boleh banget bangga karena tahu duluan. Tapi kalau masalah pribadi, apalagi rumah tangga, duh rasanya nggremet banget di hati.

Sama juga dengan ceritanya Bapak Salam Super satu ini. Berulang kali saya harus mengonfirmasi kepada mama agar saya tahu permasalahannya. Namun tetap saja, yang benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hanyalah keluarga inti dan mereka yang mengalaminya.

Yang saya tahu, kakek saya ada hubungan kekeluargaan dengan kakeknya Mas Ario Kiswinar. Yang saya tahu, hubungan tersebut membuat Mario Teguh dan adik-adiknya adalah pakde dan bude jauh saya (jadi saudara saya adalah Mario Teguh-nya, bukan Bude Yani, istri pertama MT). Yang saya tahu, adiknya Mario Teguh ada yang berdomisili di Surabaya dan kami cukup sering bersilaturrahim. Yang saya tahu, insyaAllah mas Ario Kiswinar itu benar anak dari Mario Teguh.

Meskipun saya tahu cerita dibalik itu – versi keluarga kami tentu saja, bukan versinya Ibu Linna yang terhormat – tidak ada gunanya saya membuka kisah itu disini. Sampai sekarang saya belum menonton pengakuan Mas Ario di Hitam Putih, jadi saya engga tahu apa yang dia sampaikan. Akan tetapi, ada suatu kebenaran yang tidak mungkin ditutupi dengan cara apapun. Sekiranya ada bekas istri atau suami, tidak ada yang namanya bekas anak. And I know how hurts it is for Mas Ario, apalagi ketika orang-orang bilang dia cuma cari sensasi.

Ada juga yang mempertanyakan kalau memang itu benar, mengapa baru sekarang mengakuinya. Seandainya saya bisa menceritakan satu masalah keluarga saya disini. But the point is, ada yang merasa bahwa beberapa masalah sebaiknya disimpan saja. Ada juga yang menunggu waktu yang tepat untuk membukanya. Untuk ‘kasus’ Mario Teguh, kalau saya jadi anaknya, mungkin saya akan lebih ‘radikal’ lagi dalam ‘membalasnya’. Alhamdulillah ini Mas Ario, yang sabarnya masyaAllah...

Pada akhirnya, kejadian ini semakin menegaskan bahwa rezeki Allah itu seluas langit dan bumi. Jika memang benar bahwa MT tidak lagi membiayai kehidupan Mas Ario, toh Mas Ario masih bisa kuliah sampai lulus, terus sekarang jadi pengajar dan pelaku seni. Istilahnya, masih hidup dan baik-baik saja. Makanya, saya yakin semua ini bukan hanya masalah finansial. Ini adalah masalah kebenaran dan harga diri. Mas Ario Kiswinar ‘mempertaruhkan’ harga dirinya dengan mengakui semuanya. Sekarang, apakah MT berani melakukan hal yang sama, demi masa depan dunia-akhiratnya? We’ll see.

Salam (tidak) super,
Prima

Monday, September 5, 2016

The Comfort Zone


Buat kamu yang sedang menyelesaikan skripsi, pernahkah kamu merasa malaaas banget mengerjakan skripsi karena ‘status’ sebagai mahasiswa itu bikin kamu nyaman? Maksudnya gini, kalau kamu jadi mahasiswa, mungkin orang-orang di rumah atau di lingkungan sosial secara umum, akan melihatmu sedikit lebih baik daripada lulus dan jadi pengangguran. Ya kan? Ketika kamu ditanya oleh orang, jawaban “masih mengerjakan skripsi” itu terdengar lebih ‘keren’ daripada “lagi cari kerja”. Atau cuma saya aja yang ngerasa gini?

Ceritanya saya sedang terkena sindrom malas mengerjakan tesis. Hampir tiga bulan saya tidak bersentuhan dengan dunia akademis. Bahkan waktu saya ke kampus untuk pertama kali (setelah sekian bulan) minggu lalu, saya hampir lupa saya ini jurusan apa. Terus ke kampus cuma lontang-lantung engga jelas. Ke perpustakaan sih, tapi numpang WiFi-an buat kerja. Pinjam buku teori sih, tapi engga dibaca juga sampai telat dari tanggal harus mengembalikan dan harus bayar denda.

Motivasi saya benar-benar menipis sampai saya engga tahu lagi harus ngapain untuk memunculkan mood menulis proposal tesis. Memang saya terus mencoba memaksakan diri, misalnya membaca penelitian tentang komunikasi pemasaran (dan membuat tabel). Atau paling tidak, memfotokopi teori-teori yang harus saya rangkum (meskipun engga tahu kapan bacanya, yang penting fotokopi dulu aja deh).

Awalnya saya merasa ada beberapa permasalahan internal dan eksternal. Akan tetapi, setelah permasalahan tersebut berujung pada “ah, I know the solutions!” saya belum gerak juga dan justru semakin malas. Yang ada saya malah mikir, “nanti juga semangatnya keluar juga.” Nyebelin banget, kan? Padahal saya juga tahu hidayah engga datang begitu saja. I have to do something!

And then, saya berpikir, apa mungkin saya sedang berada dalam comfort zone? Walaupun saya tidak ingin tinggal di Jogja selamanya – saya masih ingin menjelajahi dunia diluar sana – tapi tidak dapat dipungkiri saya merasa sangat sangat nyaman. Semuanya serba murah dan mudah, coba dibandingkan sama Surabaya yang sudah lama jadi kota yang membuat saya bergidik ketika mendengar namanya. Atau Jakarta yang...you know lah.

Saya juga merasa nyaman dalam banyak hal. My jobs have make me feel so comfortable and I feel like I don’t want to do more. I love writing so much and these jobs suit me well. But deep down inside my heart, I know I should have chasing something bigger.

Kadang saya berpikir, kalau ada orang-orang yang melihat saya sebagai pribadi yang ambisius, mereka harus melihat keseharian saya. Bisa dibilang saya ini orangnya selow banget. I don’t live for the fortune or fame. I just living my life the way it should be. I am perfectionist, but I don’t always spend my whole day thinking about work and work. Most of the time, I watch Keeping Up with The Kardashians and wondering how they can have that superb lifestyle #yaelah

Tadi malam sebelum tidur saya tersadar bahwa saya sedang menjalani hidup yang sebenarnya saya impikan. Saya jadi penulis artikel feature dan pengajar lepas. Yang membuat saya semakin merasa nyaman, I don’t work for money (iya saya tetap kerja untuk dapat uang, but it’s not the only reason). Saya bisa menentukan jam kerja saya sendiri. I am basically free and rich.

It hits me so hard and I think that it’s time for me to set another level of dream. Beruntung, saya kecipratan proyek baru dari kantor yang insyaAllah akan segera launching. Proyek ini merupakan perpanjangan dari impian saya, yang kalau beneran terwujud (dan lancar sampai akhir), saya bakalan seneeeeeng banget. Dampak ‘buruk’-nya, tesis bisa semakin lama kelarnya nih. Jadi gimana dong????? Doanya aja ya, semoga semua proyek ini bisa bikinsaya pingin cepat lulus supaya lebih fokus kerja. Intinya sih, buat sister, jangan pernah merasa nyaman, selalu cari tantangan dan perbaiki diri agar kualitas juga semakin meningkat.

Lots of love,
Prima

P.S.: selesai saya menulis blog post ini, saya dapat tawaran kerjaan lain lagi! Bismillah!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...