Monday, January 30, 2017

NOT A Book Review: Tigress – Ayu Meutia


Sekitar bulan November, saya mendapat kiriman buku dari Ayu Meutia (Instagram: (at)adjoemoetia). Why did it takes me too long to write about her book on my blog? Karena saking sukanya sama buku ini, saya bawa buku ini kemana-mana, menandai kalimat-kalimat yang menyentuh, sampai bukunya lecek! Maafkan saya, Ayu~ :(((

Nah, setahun yang lalu, saya juga menulis post tentang buku puisinya Kak Ochie. Berbeda dengan bukunya Kak Ochie yang berisi satu cerita, buku Tigress berisi 52 puisi – pendek dan panjang. Setiap kali membaca buku puisi, saya jadi teringat akan masa kecil. Dulu, saya mengawali kiprah saya di bidang menulis dengan mengikuti kompetisi menulis atau membaca puisi. Cuma saya jarang menang karena puisi saya seringnya panjaaang, ya udah saya ‘pindah’ kategori: bikin essay aja sekalian. Makanya sukanya yang panjang-panjang. Astaghfirullah, apa itu?

Anyway, Ayu Meutia adalah orang yang paling berjasa karena memperkenalkan posisi volunteer Ubud Writers & Readers Festival kepada saya. Kalau tahun 2013 dia engga pinjam mukenah saya, saya engga akan jadi MC di festival literasi terbesar se-Asia Tenggara ini. Hihihihihi.

Selain bekerja di sebuah creative agency, Ayu secara rutin mengadakan ‘acara baca puisi’ bertajuk Unmasked. Kalau dilihat dari pemberitaan di media, atau kesan orang-orang yang sudah pernah menghadiri Unmasked, acara ini keren banget banget. Seingat saya, tahun 2014 dan 2015, Ayu juga meramaikan poetry slam di UWRF. Meskipun saya engga sempat menontonnya (karena selalu full house), saya percaya Ayu pasti sudah sangat jago dalam masalah per-puisi-an. That’s why, ketika dia akhirnya mengisi sesi Book Launch di UWRF dan merilis buku puisinya, Tigress, saya senang sekali mendengarnya. (Plus nyesel karena engga bisa datang dan memberikan dukungan)

Buku Tigress ini terbagi dalam empat ‘bab’: “Wounds of Taming”, “Roar From Within”, “Tenderness That Cuts”, dan “From The Bones”.

Bagian yang paling saya suka jelas “Tenderness That Cuts” yang berisi puisi-puisi romantis tentang rindu atau bertepuk sebelah tangan. Coba baca kutipan-kutipan ini:


Although, it scares me enough
To know
That there are warmer graces you will meet along your journey
I still hope that I am not just another face you know
“Unsolicited”

Then,
I need no reason
To explain why am I jumping on the wagon
To the next town
To tell you
How much
I miss you.
“Uncountable Reasons”


Biarkan pasangan itu bercumbu mesra di bawah lampu temaram. Bodo amat, soal mantan yang naik pelaminan. Untuk sementara, aku mau berhenti mengemis romansa, aku mau berlari kemana mata angin membawa, meniupku hidup dalam rangkaian cerita.
“Love Letter #564”


Udah mau garuk-garuk aspal karena baper? :)))

Engga hanya puisi-puisi yang berpotensi bikin kamu nelepon mantan pacar dan ngemis minta balikan (seperti yang hampir saya pertimbangkan), banyak puisi Ayu yang membuat saya merenungkan tentang eksistensi diri di antara hiruk-pikuk aktivitas. Terlalu sibuk mengais rupiah kadang membuat kita lupa, untuk apa kita dihadirkan di dunia ini? Puisi-puisi Ayu sanggup memaksa saya berpikir tentang hal-hal ini.

Misalnya “Jakarta: A Love Story”, puisi sepanjang tiga halaman yang sedikit-banyak dirasakan oleh para perantau, ‘I do not wish to call this city a home, but I have to.’ Atau “Playboy City” yang menggambarkan Jakarta seperti gebetan – yang terlalu sayang kalau dilepaskan, tapi cinta pun sebenarnya engga. Read this: ‘Because both of us are gripping tight into each other/ so cowardly/ not expecting an exit.’ Yu, semoga interpretasiku benar ya. LOL.

Sementara “Settle Down” juga masih saya ambil dari bab 1: “Wounds of Taming”, adalah puisi sepanjang empat halaman yang menceritakan betapa kita saat ini hidup untuk memenuhi pengharapan orang lain. Bahkan lebih miris, hidup untuk menampilkan yang baik-baik saja di hadapan publik atau media sosial.

Maybe I should blame the city.
-for its fast entertainment
-a constructed self-imagery that tends to appear on our smartphone.
...
Like metaphor, they want me to conceal my weakness
And accentuate my strength
Or even fake some,
Construct a new identity that will fit
The right ideal
To be loved

Enam puisi memang belum bisa menggambarkan betapa bagusnya buku ini. I admire Ayu much more after reading the book, and I found this book brought us closer as we started to open more about ourselves to each other. So this book is not merely a book – or collection of poems. It’s your guide for life. To embrace every blessing that you have. To be more sympathetic towards the differences. To appreciate yourself as a human being, specifically to be proud of being a woman.

Jadi, kalau kamu sedang butuh buku bacaan yang akan membuatmu lebih menghargai hidup, why don’t you contact Ayu directly to ask more about the book?

Lots of love,
Prima

Sunday, January 29, 2017

Weekend Journal #5

Should post it tonight because tomorrow I have a lot of appointments. Halah.

Guess where am I now? I am in Surabaya, unexpectedly. Iya, tadinya saya sudah ‘pamitan’ ke orangtua saya untuk tidak pulang kampung sampai lulus. Soalnya gimana ya, mudik itu engga hanya berat di ongkos, tapi sebagai anak pertama saya pasti ‘dimiskinkan secara paksa’ oleh adik-adik saya. *nangis di pojokan*

Tapi namanya mama dan adik kalau sudah kangen ada aja rayuan mautnya. Ceritanya adik saya tipes dari minggu lalu. Saya kira dia bedrest di rumah sakit, ternyata di rumah. Mungkin mama saya kecapekan menjaganya, sehingga mama saya ambruk dan harus diinfus. Pelajaran berharga, buat sister yang sedang menjaga anggota keluarga di rumah/rumah sakit: makan teratur, minum suplemen, dan jangan sampai dehidrasi. Rasanya hal ini lazim terjadi ya. Yang sakit lumayan baikan, yang ngejaga gantian sakit.

Saya pun pulang pada hari Jumat. Sampai Surabaya, mama dan adik udah cengengesan tuh -___-
Karena sudah telanjur beli tiket balik Jogja hari Selasa, ya sudah mari kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Salah satunya, mematangkan business plan bareng Adis. Kebetulan, dua partner bisnis saya namanya sama-sama Adis, tapi mereka engga saling kenal, hihi. Malam minggu, tahun baru Imlek, saya dan Adis C (satunya Adis S) nongkrong di sebuah kafe di bilangan Klampis. Hujan turun dengan syahdunya, bikin suasana semakin romantis. Apalagi saya sempat lihat mantan pacar pas SMP. Langsung pura-pura lihat ke arah lain deh, padahal dia duduk tepat di samping saya. Kayaknya dia engga ingat sama saya. Zzz.

Namanya ciwi-ciwi ngumpul, meeting dari jam setengah lima sampai jam setengah delapan! :p Itupun kalau engga diberhentikan, mungkin bisa sampai subuh. Nice to talk with you, Adis! Hopefully bisnis kami segera launching dalam hitungan beberapa minggu kedepan.

Tadi pagi saya baru sadar kalau saya engga menulis blog post selama seminggu yang lalu, soalnya saya memang fokus menyelesaikan pekerjaan di ZettaMedia. Alhamdulillah sekarang status saya resmi jadi pengangguran – alias kembali ke status sesungguhnya: mahasiswa! Yang tadinya mau ngebut ngerjain tesis, seminggu kedepan masih akan mondar-mandir sama pekerjaan freelance. Kalau di atas kertas, per tanggal 4 Februari saya akan STOP terima pekerjaan apapun kecuali akhir pekan. Lah kok masih ada ‘kecuali’, kamu serius ngerjain tesis atau engga sih? Nah itu dia. Di sisi lain, saya seharusnya bersyukur, namanya networking yang sudah dibina sekian lama selalu mendatangkan tawaran pekerjaan. Kadang sudah saya alihkan ke kenalan saya, mereka tetap maunya saya yang kerja dengan mereka. Gimana dong? Atau saya sebaiknya menyerahkan tesis saya ke jasa pengerjaan tesis? Hmmm, ide bagus *dikeplak orangtua*

Anyway, hari ini saya sempat menulis tiga blog post, dan satu tulisan buat guestblogging di blognya Ika. Tulisan-tulisan ini sebenarnya sudah lama ada di pikiran saya. Lalu ada beberapa topik lagi yang masih jadi PR, seperti review film La La Land yang saya tonton sendiri (bareng orang satu bioskop) pada hari Kamis lalu. Atau tentang ‘dua anak cukup’ yang sempat jadi perdebatan hangat di status Facebook saya.

Oh ya, buat yang nanya kabar (hati) saya, alhamdulillah saya sudah baikan. Terutama diri saya pribadi, kalau hubungan saya dan si ganteng dari Asia Selatan belum tahu juga. Jalan masih panjang, dan masih banyak ikan di laut pula. Santai sajaaa. Kalau jodoh engga akan lari kemana, betul? Ini juga perlu saya tuliskan menjadi satu blog post tersendiri, supaya jadi pelajaran buat sister yang pingin nyobain online dating juga :)))

In conclusion, you can make your plans, but still Allah knows best. Semoga pekan ini menyenangkan, keep fighting for you who still work. Hore, saya bisa bangun siang lagi! :)))

Lots of love,
Prima

Monday, January 23, 2017

Weekend Journal #4

Wuah, baru weekend keempat dan saya sudah nge-drop. Hahaha. Buat sister yang mengenal saya dengan baik, saya biasanya melakukan dua hal saat sedang sedih: menangis sepuasnya, atau nyari teman yang bisa bikin saya ketawa. And I will laugh out loud like there is nothing happen. Suatu hari, saya lagi ketawa ngakak sama teman-teman sekelas, dan salah satu teman nyeletuk, ‘mbak prima lagi sedih? Kok ketawanya puas banget.’ YEEE ngapain pake diingetin segala *timpuk si teman

Minggu lalu adalah minggu yang berat. Soalnya setelah beberapa lama (sepertinya terakhir tahun 2015), saya mulai menyukai seseorang lagi. Saat saya sedang menulis ini, saya hanya bisa mengingat hal-hal jelek dari dia, mikirin kenapa dia bisa begitu jahat sama saya, dan segala perdebatan kami. Bahkan saya jadi kepikiran, ‘kayaknya dari awal aku udah engga sreg sama dia.’ Tapi saya paksakan karena dia ganteng (yaelah). Selain itu, saya rasa koneksi di antara kami sangat kuat sehingga saya berharap apapun permasalahan yang mungkin timbul, kami akan bisa melaluinya.

Naaah, that’s the thing! Minggu kemarin saya belajar suatu pola yang cukup menyeramkan dari diri saya. Saya sering terburu-buru dalam memutuskan sesuatu!!! Ditambah lagi saya orang yang plin-plan dan ceplas-ceplos, jadilah kadang efek yang terjadi itu buruk banget. Oya, satu lagi, saya orang yang emosional. I feel like a monster now saying this about myself. 

"And man supplicates for evil as he supplicates for good, and man is ever hasty."
["Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."]
Q.S. Al-Isra' (17): 11

Sebenarnya saya punya alasan saya sendiri. Karena saya orangnya perfeksionis, overthinker, dan kadang sering lambat dalam memberikan keputusan, saya berusaha mengubah hal ini. Sayangnya dalam beberapa situasi tertentu, hasilnya bisa ekstrem. Salah satunya, yang terjadi antara saya dengan si ganteng dari Asia Selatan ini (sebut saja begitu).

Fast forward ke akhir pekan, hari Sabtu pagi saya sudah kalang kabut. Saya mau kemana nih, lebih tepatnya ‘mau mengusir dia dari pikiran saya dengan cara apa?’ Jumat sore saya sudah sangat terhibur dengan zumba, senang banget deh. Tapi berhubung kami janjian untuk ngobrol hari Sabtu, duh saya harus mengalihkan perhatian supaya engga terus-terusan ngecek hp. Saya pun ke perpustakaan kampus dan berencana untuk bekerja. Engga tahunya, saya dapet dan langsung lemesssss. Saya menyempatkan manicure dan mewarnai kuku (sambil curhat habis-habisan ke terapisnya), lalu sampai rumah langsung tepar. Tapi karena sudah diniatkan, saya masih bisa bikin blog post untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke sahabat saya (walaupun terlambat sehari juga).

Hari berikutnya, saya pergi ke Pantai Drini bersama mbak Zeetha dan rombongan dari DM Fitness untuk...zumba on the beach! Sebenarnya zumbanya cuma enam atau tujuh lagu, itupun hanya goyang-goyang dikit secara di pantai, mau berdiri tegak aja susah kan. Saya jadi ngebayangin gimana rasanya main voli pantai. Voli bukan pantai aja saya gagal mulu, apalagi di pantai, bisa dipecat dari tim. Zzz.

Berhubung saya engga kenal banyak orang, saya pun jalan-jalan sama mbak Zeetha and the gang, terus berpisah. Oh ya, saya kan lagi dapet, jadi engga bisa nyemplung. Tapi saya menikmati berjalan ‘di bawah’ Pulau Drini, mendekati laut...sampai dicariin sama rombongan karena dikira hilang di laut :))

No I didn’t mean to commit suicide. Saya hanya mencoba menelusuri kapan semuanya tiba-tiba menjadi berantakan. Saya salah, satu kali. Saya pikir hanya satu kali itu saja. Saya minta maaf. Dia memaafkan. Namun esoknya, saya sudah tidak bisa memungut hatinya yang telah berserakan dan mengumpulkannya menjadi suatu hal yang utuh. Dia sudah memalingkan hatinya dari saya.

Cieh. Drama banget. #ahzeeek

Sebenarnya, saya tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Bahkan dengan cara saya menuliskannya di blog seperti ini, justru bisa memperkeruh suasana walaupun dia engga bisa bahasa Indonesia (kan bisa Google Translate – lah kenapa saya kasih ide?). Sekali lagi, saya berpikir dan mengambil kesimpulan terlalu cepat.

It’s another week and I will start another chapter of life, back as a freelancer (baca: pengangguran) once again. Yes, I took unpaid leave from my workplace for two months. Minggu depan insyaAllah saya akan kembali berkuliah – supaya saya engga ada alasan untuk engga ke kampus. Semoga minggu ini berjalan dengan baik, kalau ada masalah yaaaaa semoga saya diberi jalan untuk menyelesaikannya. Capek bok, nangis terus.

And you, yes you! I hope you are happy :)

Lots of love,
Prima

Saturday, January 21, 2017

Being a Mother is Amazing, Being a Woman is Much More


Kemarin pagi, saya mendadak harus pergi ke ATM, mengambil uang untuk bayar SPP (ya Allah, sedih kaleeeee). Saat keluar dari mini market, saya melihat seorang ibu dengan dua anak perempuannya – yang satu masih TK, dan adiknya masih balita. Lucu sekali melihat tingkah mereka yang begitu aktif. Hampir saja ibu mereka kewalahan.

Kadang, ketika hal-hal seperti ini terjadi, saya bisa merasakan seorang anak kecil memanggil saya ‘mommy’. Memeluk saya dengan erat, merajuk saat saya menolak membelikannya permen, namun tetiba mengatakan ‘mommy, I love you’ di akhir hari. Iya, si anak bakal saya ajak ngomong bahasa Inggris dari kecil soalnya bapaknya bule. Engga usah didebat, diaminin aja. Hehe.

Life isn’t easy for a 28-year old Indonesian woman. Dimana kebanyakan sahabat, rekan kerja, teman kuliah, sampai tetangga pun melepas masa lajang dan memiliki anak. Don’t get me wrong. I am so happy for them. I hope I will never ever judged them for how they treat their babies because after all, it’s not mine.

Namun sering juga saya berpikir, apa mungkin Allah melihat saya belum siap? Di sisi lain, positive thinking-nya adalah, Allah ingin saya mencapai sesuatu terlebih dahulu. Yang lebih besar, belum tentu. Lulus kuliah dalam empat semester aja saya gagal, mau mikirin perdamaian dunia. Heeehhh, nanti dulu.

Saat-saat seperti ini, I look up to one of my best friend. Saya pernah bertanya apakah dia iri dengan pencapaian saya, dia bilang iya. Sementara dia terus-menerus berbagi cerita tentang bagaimana suaminya sangat romantis. Lalu sekarang dia sedang menunggu kelahiran bayinya sambil membaca buku-buku parenting. Hampir tiga tahun pertemanan kami, dia sudah berubah begitu banyak. Sedangkan saya merasa ‘masih di sini-sini aja’.

Beberapa waktu yang lalu, saya mulai membayangkan seorang lelaki ini yang akan menjadi bapaknya anak-anak saya. Engga, saya belum cinta sama dia, ketemu aja belum pernah. Saya hanya berpikir demikian karena saya rasa orangnya asyik. Iya, pemikiran saya cetek banget. Tapi itu semua terjadi sebelum kami kemudian bertengkar hebat dan...entahlah.

To be honest, pertengkaran saya waktu itu didominasi perasaan saya yang engga karuan karena lagi PMS. Saya jadi marah-marah sama diri sendiri. Saya jadi benci menjadi perempuan. Kenapa saya harus merasakan penderitaan ini setiap bulan? Tahu sendiri kan, saat PMS, you can’t control what you say. Yang ada di pikiran apa, yang keluar dari mulut apa. Makanya saya sering lebih memilih mendekam sendiri di rumah biar engga kesenggol sama orang-orang. Although I know it’s not a solution karena biasanya justru bisa makin galau dan berpotensi untuk bunuh diri.

Lucunya, si lelaki ini sempat memberikan sebuah pernyataan yang hampir saja terdengar simpatik. Dia bilang gini, “makanya Allah selalu kasih perempuan waktu istirahat setiap bulan. Allah berikan ‘pekerjaan’ yang fokus kepada hal-hal yang sesuai dengan fitrah perempuan. Misal mengasuh anak, karena bagaimanapun karakter anak itu nurun dari ibunya.”

Sister kan engga tahu konteks pembicaraan kami, tapi pada akhirnya kami bertengkar karena cara dia mengatakan ini mengisyaratkan seolah-olah perempuan itu lemah banget. Padahal – saya merasa pekerjaan mengasuh anak itu sama sekali bukan pekerjaan ‘remeh’, tapi justru lebih besar daripada itu. Saya sadar bahwa ‘memiliki anak’ mungkin bukan tujuan semua perempuan di muka bumi ini. Namun saya kemudian sadar, bahwa apapun yang perempuan lakukan, it’s to raise a better generation.

Ya, menjadi (calon) ibu bukan hanya tentang belajar dari buku. Tapi juga tentang menjadi perempuan yang kuat, cerdas, mandiri, sabar – namun tetap menghargai dan menghormati pasangan.

And I learned it from you, dear Ocha. Terima kasih telah memberikan aku berbagai pelajaran hidup untuk menjadi perempuan yang seutuhnya – terlepas dari apapun statusku sekarang. Terima kasih telah membersamaiku dalam nasehat, doa, dan cerita-cerita konyol. Maaf, untuk sementara waktu aku belum bisa menuliskan pengalamanku dengan si mas bule di blogku seperti kamu minta :))) You will be a great mother, and always remember to keep being a good wife for your mas. He is lucky to have you and vice versa – so you have to show him ever single day that you are grateful to have him.

Lots of love,
Prima


***Tulisan-tulisan Ocha bisa dibaca disini.

Friday, January 20, 2017

Why We Argue?

Disclaimer: I write this solely to remind myself, to be more humble, to listen more to the people whom I care about, so that I don’t hurt them.

Ever since I had this blog, I have received a lot of comments, feedback, as well as critics. No matter how hard I try to be sincere and honest, somehow I still got ‘attacked’ for writing my OWN personal opinion, feeling, or experience. This is tough as my main purpose to write is to share some lessons to be learned, more often for myself.

As a communication graduate student, sometimes I feel like I failed everytime it happens. Why should I learn how to communicate until graduate school, if I keep making miscommunication with people surround me? Especially, people whom I love and care about.

The first principle of communication that I learned was to make recipient interpret the message as the communicator said. When I talk to you, do you get the same meaning as I do? If yes, that’s good. If no, we should work on it.

However, the more I learn communication,  the more I understand that this kind of situation is rarely achieved. It is happened in persuasive communication, when sellers sell something and the customers buy, or when you believe that Mario Teguh said the exact right thing despite what he has done. But after all, what if all communication is meant  to be persuasive?

Then, my mind wandering to the times when I was in high school and joined debate club. I really love that times! I really love arguing! I asked ‘why’ to every little things, and sometimes it becomes annoying to my mom or my friends. But my debate instructor and teammates thought it was great. We seeked the meaning of something and we tried to defend it. Only years after I left the debate stages, I found some deeper reasons why we – sometimes – have to argue.

It started with one thing: that we ARE different.
Me, my mom, my dad, my sisters, my brother, my ex-boyfriend(s), my boss(es). Everyone has different mind about many things. Even when you have twin, both of you can be just as different as you and your neighbors. We supposed to comprehend about this, so that we can think and feel what we want to say, right before we say it.

Second: argument is basically not bad, as it gives us the whole perspective about something.
We can’t be right about EVERYTHING. Sometimes we know a thing better than somebody else, sometimes we are just clueless like somebody else. We need to argue so that we know that there are some other things outside our narrow mind. Why I say ‘narrow’? As I said, our knowledge is limited, and like it or not, I think it is made on purpose by God so that we need other people to help us gaining our knowledge. All those years of debating, I learn to listen and accept that I might be wrong about something. I was taught to open my mouth only if I know the senses, or have prepared the logic behind my opinion. If my lines aren’t strong, I will be lose.

Third: most likely, we debate because we care about others’ opinion.
I personally think that if I care about somebody, I want to know his/her thought. I want him/her to open his feeling towards me. If I don’t care, I can just walk away and go. But I want to understand you, that’s why I debated you.
You may agree or disagree. There are some people who thinks like this “if you trust me, you won’t questioning me.” But after all, if you trust me, you will appreciate that I have mind and feeling. I am not a dead body. Although I do believe that there are some things that meant to be solved by one person and this person needs trust from everybody. Such as, when you are in a ship, you have to fully trust the helmsman, right. 

As I grow older and getting more subjects in communication, I learned a new thing: that communication meant to be the bridge for the differences. My favorite subject is intercultural communication and it’s a challenging subject, even for me who have friends from all over the world (cieh). And in this subject, the main principle is: never assume. As something that happened in your position, might be applied differently in other parts of the world. It’s not bad or good, it’s just some differences we have to embrace.

So, what’s the relation between all of this lecture and why do I have to write this in very early morning? Because now I have to apprehend that how hard I try to be right, there will be someone out there stands on different point of view. I know it is real, but for now, it is getting more real. Sometimes it is scary, but I have to defend my right to speak and to be heard. Or sometimes it is because the relationship is really meaningful, and I want to do my best to keep it on track.

Lots of love,
Prima

Thursday, January 19, 2017

Jangan Katakan Ini Kepada Sahabatmu yang Baru Patah Hati

Okay, here’s the thing. Saya tidak tahu apakah saya baru mengalami putus cinta atau tidak, karena pada dasarnya saya sedang menjalani hubungan tanpa status dengan seseorang yang nun jauh disana. Mengapa dan bagaimana prosesnya tidak bisa saya rinci disini, akan tetapi saya memasuki hubungan ini dengan penuh kesadaran bahwa bisa saja semuanya berubah dengan tiba-tiba. Toh, hubungan dengan status saja bisa putus, saya mengalaminya sendiri setelah hampir 3,5 tahun pacaran, ingat?

Nah, tapi memang saya merasa patah hati yang teramat dalam tadi malam. It doesn’t feel good, you know. Saya menangis sampai mata bengkak. Padahal – atau untungnya – saya harus menghadiri wisuda teman sekelas tadi pagi. Ternyata mata bengkak bisa ditutupi dengan bedak setebal satu meter (halah), dan luka hati bisa sedikit hilang karena nge-bully teman sampai ngakak.

Akan tetapi, ketika saya mengirim pesan ke beberapa sahabat, reaksinya cukup beragam. Ada yang menenangkan, ada juga yang bikin saya ngerasa kayak “are you really my friend?” Engga lah, mungkin ini karena saya sedang sangat emosional aja. Jadi pingin nonjok muka orang gitu, hahaha. Kalau bisa sih muka dia yang udah bikin mata saya bengkak. Tapi jauh. Ongkos pesawat bolak-balik bisa dipakai buat bayar SPP. Lol.

Anyway, dari respon teman-teman saya itu, saya berefleksi ke diri sendiri. Pernahkah saya nyeletuk kurang ajar kepada teman yang baru patah hati? Saya sadar bahwa APAPUN yang kita katakan saat itu, sangat sulit untuk dicerna dengan baik. Macem mama/papa sahabat baru saja meninggal, lalu kita juga engga bisa ngomong apa-apa kan? APAPUN yang kita katakan tidak akan mengubah keadaan, TAPI mungkin bisa membuat perasaan sahabat sedikiiit lebih lega. So, kalau kamu tahu ada sahabatmu yang baru patah hati, JANGAN pernah mengatakan hal-hal dibawah ini:

Monday, January 16, 2017

Weekend Journal #3

Tiga bulan terakhir di tahun 2016, akhir pekan saya tergolong sangat produktif. Terutama karena saya mengadakan ZettaMedia #LifeGoals setiap dua minggu sekali. Nanti akan saya ceritakan tentang workshop penulis profesional yang didanai oleh kantor saya ini. I was so grateful to collaborate with my friends, such as Erny Kurniawati, Aga Prastomo, Mbak Rani from SP*ACE FISIPOL UGM, Mas Dira from Orbit Semesta EO, and many more. Saya juga kebagian ‘rezeki’ bekerjasama dengan orang-orang hebat dan didukung oleh venue yang keren: Kolase Coffee, Lippo Plaza, dan Ling-lung Kopi & Eatery. 

Ternyata, memasuki tahun 2017, akhir pekan saya masih didominasi dengan berbagai kesibukan. Hari minggu pertama di bulan Januari – tanggal 1, saya meeting dengan tim saya, Henny, dan Erny yang membantu proyek besar saya tahun ini. Minggu lalu, saya menghabiskan hari sabtu dengan mereview sebuah restoran Korea baru di daerah Seturan. Itu juga masih nanti ya di-post di blog, sabar aja deh namanya juga masih fokus bikin proposal tesis :)))

Hari sabtu dan minggu kemarin, saya meeting lagi dengan alumni #LifeGoals dan Henny (lagi). Minggu pagi sempat mampir ke Mirota Batik beli kain untuk seragam (seragam apa yaaa, hihi) lalu ke Liman beli kain alas foto. 

Then why I decided to post Weekend Journal on blog? Saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri kalau akhir pekan itu BUKAN waktunya tidur seharian. Tidur (sedikit) lebih lama boleh deh, tapi masih banyaaaaak sekali target dan impian yang ingin dicapai. Tahun ini resolusinya hanya satu: kerja, kerja, dan kerja! (Eh tiga dong). Terutama kerja di luar (work out :p). Apalagi kalau kegiatan selama akhir pekan tidak ditulis, biasanya cenderung wuuush, udah senin aja. Masih belum puas, ya kan?

So, welcome to another chapter of A Blessed Life. Hopefully it can be our reminder that time is meant to be optimized. Have a great weekday ahead!

Lots of love,
Prima

Saturday, January 14, 2017

My 2017 Big Plan

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, sepertinya saya akan jarang mengisi blog ini. Pinginnya hanya enam bulan pertama karena sekarangpun saya sedang sangat bersemangat untuk menyelesaikan tesis, hihi. Target saya wisuda April atau Juli 2017, hanya kalaupun mau wisuda Juli, maksimal ujian dan selesai revisi itu bulan Juni. Mohon doanya ya. 

To be honest, ‘mengerjakan’ tesis itu proses yang kurang menyenangkan. You can’t count your productivity on this, unlike work when you have working hours and job description. Kalau sedang bekerja, mudah bagi saya untuk menghitung berapa tulisan yang sudah saya edit, atau seberapa viral artikel yang saya tulis. Sementara saat ini saya kembali ke tahap awal tesis yaitu banyak membaca, membuat mind map, dan menulis proposal. Nulis ini pun engga bisa sekali jadi kan. Dulu waktu semester 1 dan 2, kami diwajibkan membaca minimal 10 jurnal untuk bisa menulis satu essay sepanjang 5000 kata. Tentu tesis lebih besar daripada itu. Yang pasti ada beban yaitu tanggung jawab ke diri sendiri untuk menyelesaikan apa yang sudah saya mulai, serta tanggung jawab ke subjek/objek penelitian bahwa saya akan menuliskan apa yang benar-benar terjadi. Belum lagi kalau berpikir bahwa penelitian ini harus memberikan manfaat aplikatif, bukan hanya normatif (ini bukan lagi ngomongin Debat Paslon Pilkada DKI tadi malam ya, hehe).

Selain itu, saya juga sedang merencanakan sesuatu yang lumayan besar. Kebetulan saya akan mengambil unpaid leave dari kantor selama dua bulan kedepan, dan mempertimbangkan untuk berbisnis bersama adik saya. This is something really big, mengingat saya pernah gagal dengan bisnis terdahulu. Sebenarnya saya sangat takut untuk berbisnis lagi, tapi saya menyamakan hal ini dengan percintaan. Kalau saya terus trauma sama kisah cinta yang kemarin-kemarin, saya engga kawin dong. LOL. Kekhawatiran itu pasti ada, makanya saya harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik.  

Awalnya saya merasa prihatin (halo, Pak SBY?) dengan adik dan ibu saya. Sudah lama sekali saya ingin membantu mereka, namun diskusi saya dengan ibu selalu menemui jalan buntu. Jadi saya hanya bisa melakukan yang terbaik, dan membantu mereka sebisa saya. Adik saya pada dasarnya cukup gigih dalam berusaha, tapi namanya juga mahasiswa baru, belum bisa mengatur waktu dan hal-hal lain. Kasihan kalau dia harus jadi guru les, karena kuliahnya padat sekali. Tapi saya merasa dia punya potensi, dan teman Facebook-nya banyak (alay pula #lah). Makanya saya menawarkan apa dia mau belajar berbisnis. Jual makanan ringan, dompet koin, macam-macam gitu. 

Sampai ketika saya curhat ke teman-teman sekelas yang sudah punya bisnis pribadi, dan mereka menyarankan saya untuk menjadi reseller mereka. Kebetulan salah satu dari mereka, sering saya beri ide untuk diversifikasi produk. Dia bilang, “mbak prima punya bakat jadi konsultan bisnis lho.” Ah dia engga tahu kalau saya pintar teori doang, praktiknya nol. Antara malas dan takut gagal lagi. 

Namun setelah beberapa pertimbangan, saya mengiyakan dan menulis business plan. Saya sempat merenungkan mengapa saya mau berbisnis produk ini dibandingkan produk lainnya. Dulu saat saya membuat clothing line busana muslimah, saya berniat untuk mengedukasi muslimah untuk berpakaian lebih syar’i (zaman itu belum banyak baju syar’i seperti sekarang). I want to sell values, not stuffs. Untungnya, seseorang mengingatkan saya kegunaan dari produk ini, yang saya sendiri juga merasakannya. 

Dari sini, saya mulai belajar lagi, bahwa bisnis bukan hanya tentang profit, melainkan manfaat. Saya juga menjalin silaturrahim yang lebih erat dengan teman-teman saya (dan customer saya nantinya). Saya juga melatih diri untuk tidak terlalu banyak pertimbangan karena teman saya satu ini bahkan tidak punya business plan. Teman yang satunya malah menjalankan bisnis semata karena suka dengan apa yang dia kerjakan. It means, you do have to make a plan, but sometimes you just have to do it. Tentu sambil berhati-hati juga.

Sooo I am really excited yet anxious for this year. Semoga Allah berkenan menjaga saya tetap di jalan-Nya. Semoga niat baik saya dimudahkan. Semoga saya terus bisa berbagi cerita dengan sister. Semoga resolusi sister juga diijabahi oleh Allah. Have a nice weekend!

Lots of love,
Prima

Thursday, January 5, 2017

Moana: How Far Will You Go?


My first post in 2017! Oh ya, sebelum sister kangen sama saya (uhuk uhuk), saya kasih bocoran ya, kalau kemungkinan saya akan jarang blogging di The Primadita untuk beberapa bulan kedepan. Sejak tanggal 1 kemarin saya mencanangkan sesuatu yang berbeda, yaitu menulis buku harian. Yes, buku harian! Awalnya saya menulis sebuah surat untuk orang terkasih seseorang nun jauh disana, ternyata saya jadi ketagihan menulis dengan tangan (biasanya kan mengetik). Sebelumnya saya juga sempat menulis (rewrite) kisah hidup saya (#ceileh) dibimbing oleh Kak Ollie, and it felt really good. Akhirnya saya coba memanfaatkan notebook yang saya beli beberapa bulan lalu, dimana secara kebetulan ada tulisan ‘The Prima’ di sampulnya. Sayapun menunggu waktu untuk menulisi buku harian lagi dan lagi karena perasaan saya jauh lebih lega setelah menuliskannya. Kalau tidak salah, terakhir kali saya menulis dengan tangan itu saat World Muslimah Award 2014. Ada perasaan yang berbeda saat menulis, meskipun tentu saja mengetik jauh lebih cepat dan efisien – engga pegel-pegel pula. Akan tetapi, saya usahakan akan tetap blogging setidaknya seminggu sekali karena saya tetap punya hal-hal yang ingin saya bagikan untuk sister.

Misalnya tentang film yang saya tonton di penghujung tahun lalu. I counted on Diva channel as they aired Princess Diaries, Bridget Jones’s Dairy, Love Actually, Notting Hill, and many more. Old but definitely gold. Tapi saya tetap penasaran sama Moana, jadi saya terpaksa melipir ke bioskop terdekat. Sendirian. Duh ngenes. 

Saya pertama kali tahu Moana karena Maudy Ayunda mengisi soundtrack versi bahasa Indonesia. Lalu instruktur zumba saya menggunakan soundtrack aslinya sebagai lagu untuk cooling down. Dia bilang filmnya bagus banget – terus saya pikir, ‘yah anak mbak kan SMA, jadi masih ‘masuk’ ke film itu’. Tapi saya pikir-pikir lagi, sejauh ini kesan saya tentang film Disney itu bukanlah film anak-anak, tapi film remaja atau dewasa muda (gimana sih). Soalnya kan engga jarang filmnya tentang cinta-cintaan tuh. Mana pas saya baca, ada Dwayne Johnson yang mengisi suara salah satu karakter. Siapa yang sempat mengira Moana bakal pacaran sama Maui, hayo?

To be honest, tanggal 29 Desember itu bukan waktu yang tepat untuk nonton, apalagi Moana. Secara filmnya masuk kategori ‘Semua Umur’, terus waktunya liburan anak sekolah pula, jeng jeng, studionya didominasi anak-anak dan keluarga. And you know lah namanya anak-anak gimana sih, dari yang mulai lari-lari – padahal studio kan gelap yak – sampai nangis karena kaget sama beberapa adegan. Saya berusaha fokus ke film tapi terkadang gagal dan pingin marah-marah jadinya.. Tapi tetep lho ada yang nonton sama pacarnya, contohnya sebelah saya. Jadi seperti biasa, mbak-mbak bioskop + para penonton yang duduk satu baris sama saya pada kaget, “nonton sendirian?” YAELAH EMANG NAPA. Nonton sendiri is so #2017, you should try it once, trust me. 

Hari itu, saya sedang sangat-sangat emosional, ditambah pingin marah ke anak-anak yang mengganggu kenikmatan saya beribadah menonton, yang ada saya nangis bombay dari awal sampai akhir film. Berikut tiga hal yang bikin saya terharu sama cerita Moana.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...