Monday, January 30, 2017

NOT A Book Review: Tigress – Ayu Meutia


Sekitar bulan November, saya mendapat kiriman buku dari Ayu Meutia (Instagram: (at)adjoemoetia). Why did it takes me too long to write about her book on my blog? Karena saking sukanya sama buku ini, saya bawa buku ini kemana-mana, menandai kalimat-kalimat yang menyentuh, sampai bukunya lecek! Maafkan saya, Ayu~ :(((

Nah, setahun yang lalu, saya juga menulis post tentang buku puisinya Kak Ochie. Berbeda dengan bukunya Kak Ochie yang berisi satu cerita, buku Tigress berisi 52 puisi – pendek dan panjang. Setiap kali membaca buku puisi, saya jadi teringat akan masa kecil. Dulu, saya mengawali kiprah saya di bidang menulis dengan mengikuti kompetisi menulis atau membaca puisi. Cuma saya jarang menang karena puisi saya seringnya panjaaang, ya udah saya ‘pindah’ kategori: bikin essay aja sekalian. Makanya sukanya yang panjang-panjang. Astaghfirullah, apa itu?

Anyway, Ayu Meutia adalah orang yang paling berjasa karena memperkenalkan posisi volunteer Ubud Writers & Readers Festival kepada saya. Kalau tahun 2013 dia engga pinjam mukenah saya, saya engga akan jadi MC di festival literasi terbesar se-Asia Tenggara ini. Hihihihihi.

Selain bekerja di sebuah creative agency, Ayu secara rutin mengadakan ‘acara baca puisi’ bertajuk Unmasked. Kalau dilihat dari pemberitaan di media, atau kesan orang-orang yang sudah pernah menghadiri Unmasked, acara ini keren banget banget. Seingat saya, tahun 2014 dan 2015, Ayu juga meramaikan poetry slam di UWRF. Meskipun saya engga sempat menontonnya (karena selalu full house), saya percaya Ayu pasti sudah sangat jago dalam masalah per-puisi-an. That’s why, ketika dia akhirnya mengisi sesi Book Launch di UWRF dan merilis buku puisinya, Tigress, saya senang sekali mendengarnya. (Plus nyesel karena engga bisa datang dan memberikan dukungan)

Buku Tigress ini terbagi dalam empat ‘bab’: “Wounds of Taming”, “Roar From Within”, “Tenderness That Cuts”, dan “From The Bones”.

Bagian yang paling saya suka jelas “Tenderness That Cuts” yang berisi puisi-puisi romantis tentang rindu atau bertepuk sebelah tangan. Coba baca kutipan-kutipan ini:


Although, it scares me enough
To know
That there are warmer graces you will meet along your journey
I still hope that I am not just another face you know
“Unsolicited”

Then,
I need no reason
To explain why am I jumping on the wagon
To the next town
To tell you
How much
I miss you.
“Uncountable Reasons”


Biarkan pasangan itu bercumbu mesra di bawah lampu temaram. Bodo amat, soal mantan yang naik pelaminan. Untuk sementara, aku mau berhenti mengemis romansa, aku mau berlari kemana mata angin membawa, meniupku hidup dalam rangkaian cerita.
“Love Letter #564”


Udah mau garuk-garuk aspal karena baper? :)))

Engga hanya puisi-puisi yang berpotensi bikin kamu nelepon mantan pacar dan ngemis minta balikan (seperti yang hampir saya pertimbangkan), banyak puisi Ayu yang membuat saya merenungkan tentang eksistensi diri di antara hiruk-pikuk aktivitas. Terlalu sibuk mengais rupiah kadang membuat kita lupa, untuk apa kita dihadirkan di dunia ini? Puisi-puisi Ayu sanggup memaksa saya berpikir tentang hal-hal ini.

Misalnya “Jakarta: A Love Story”, puisi sepanjang tiga halaman yang sedikit-banyak dirasakan oleh para perantau, ‘I do not wish to call this city a home, but I have to.’ Atau “Playboy City” yang menggambarkan Jakarta seperti gebetan – yang terlalu sayang kalau dilepaskan, tapi cinta pun sebenarnya engga. Read this: ‘Because both of us are gripping tight into each other/ so cowardly/ not expecting an exit.’ Yu, semoga interpretasiku benar ya. LOL.

Sementara “Settle Down” juga masih saya ambil dari bab 1: “Wounds of Taming”, adalah puisi sepanjang empat halaman yang menceritakan betapa kita saat ini hidup untuk memenuhi pengharapan orang lain. Bahkan lebih miris, hidup untuk menampilkan yang baik-baik saja di hadapan publik atau media sosial.

Maybe I should blame the city.
-for its fast entertainment
-a constructed self-imagery that tends to appear on our smartphone.
...
Like metaphor, they want me to conceal my weakness
And accentuate my strength
Or even fake some,
Construct a new identity that will fit
The right ideal
To be loved

Enam puisi memang belum bisa menggambarkan betapa bagusnya buku ini. I admire Ayu much more after reading the book, and I found this book brought us closer as we started to open more about ourselves to each other. So this book is not merely a book – or collection of poems. It’s your guide for life. To embrace every blessing that you have. To be more sympathetic towards the differences. To appreciate yourself as a human being, specifically to be proud of being a woman.

Jadi, kalau kamu sedang butuh buku bacaan yang akan membuatmu lebih menghargai hidup, why don’t you contact Ayu directly to ask more about the book?

Lots of love,
Prima

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...