Thursday, October 30, 2014

High

Saya pernah ga lulus SMA.

Ups, ini bukan tentang Ibu Menteri yang satu itu.

Saya bukan mau bahas beliau, hehehe *penonton kecewa*

Sekarang, setelah delapan tahun berselang dari insiden yang memalukan keluarga itu, saya baru saja berpikir, apakah kehidupan saya akan menjadi lebih baik kalau seandainya saya lulus SMA dengan baik-baik saja?

We never know.

But, Allah is the best planner, indeed.

And I thank Him for giving me warning that soon, before everything is too late.

Saya adalah salah seorang murid yang pintar, tanyakan pada teman-teman sekolah saya, atau guru saya, mereka akan mengakuinya. Meski sebenarnya saya ngerasa kurang cepat dalam memahami materi pelajaran eksak, tapi saya lebih suka mengulanginya sendiri di rumah daripada ikut les atau bimbel. Toh nyatanya saya tidak pernah keluar dari peringkat sepuluh besar sepanjang sejarah saya bersekolah. Di kelas 2 dan 3 SMA saya juga bolak-balik peringkat satu atau dua. Bahkan saya bisa ngajari teman saya, dan juga memberikan les untuk siswa SD.

See how my life seems so okay?

Nah, MUNGKIN kemudian saya menjadi sombong. Menduga bahwa semua yang saya dapatkan semata karena usaha keras saya. I deserve it. I deserve to be the champion.

Lalu tibalah pukulan itu. Nilai Matematika di Ujian Nasional saya hanyalah 4,00 - tanpa saya tahu mengapa. Soalnya saya ngerasa bisa-bisa aja waktu ngerjain. 7 lah minimal, pikir saya. 

Terkejutkah saya waktu menerima kabar ketidaklulusan itu?
Sangat. 

Saya, seorang rahma (panggilan saya waktu SMA), yang gini ini?? Masa ga lulus? Malu-maluin keluarga (dan sekolah) aja. 

Lama kemudian saya baru sadar, ini salah satu bentuk kasih sayang Allah. Masih lebih baik dihukum di dunia, daripada di akhirat nanti. Iya kan?? 

He shows that He still care. Coba kalau saya dibiarin sombong, mungkin saya akan jauh dari rahmat dan ampunan-Nya. Hih, saya ga berani ngebayangin.

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim no. 91)

Saya ga sedang mencari sensasi. Saya percaya lulus sekolah itu kewajiban anak terhadap orangtuanya, kewajiban murid terhadap sekolahnya, kewajiban diri sendiri terhadap kesempatan menimba ilmu. 

Tapi begini, sekiranya kamu menemukan saya mulai sombong karena jadi finalis World Muslimah Award, tabok aja saya. Sms. Whatsapp. Bbm. Line. Mention. Kirim message di Facebook. Kirim email. Tolong ingatkan saya sebelum Allah mengingatkan saya dengan cara-Nya.

Mohon doanya, agar saya bisa mengemban amanah ini dengan penuh tanggung jawab :)

Lots of love,
Prima

Wednesday, October 29, 2014

#ThePrimUWRF: Simple Tips to Write Better

Okay, so, Island to Island adalah sesi pertama yang saya MC-in di UWRF. Congratulation for Andre Dao, Gillian Terzis, Maggie Tiojakin, Ninda Daianti, and Sam Twyford-Moore (chairperson), you are so lucky to have me destroying your session!!! *digebukin Kate* :)))

Sumpah, saya ga bohong, bahkan saya sendiri bisa mendengar suara saya yang bergetar saking groginya. Begini cerita lengkapnya...

Di brief yang saya terima, saya bertugas untuk memastikan bahwa semua penulis dan chairperson sudah tiba di lokasi sesi paling lambat 15 menit sebelum sesi. Susahnya, lokasi sesi itu kan digunakan untuk sesi-sesi sebelumnya juga, dan padat banget.. Bisa jadi kan panelis ikut di sesi itu tapi duduknya nyelip dimanaaa gitu. Terus, harusnya saya ngobrol dulu sama chairperson tentang pengejaan namanya (penting! Misalnya nih, jangan sampai Kate dibaca Ka-te, emang ayam?! :p) dan mungkin ada note yang harus saya sebutkan, diluar penjelasan sesi yang tertera di buku. Kabarnya, panelis dan chairperson akan berkumpul di Green Room, tapi kenyataannya...selama festival berlangsung, saya ga pernah ketemu panelis dan chairperson disini. Soalnya ya itu, panelis juga, chairperson juga, peserta sesi juga (ini kayaknya berlaku buat kak Ni Ketut Sudiani, hihi). 

Yang kedua, suasana sesi itu panaaasssss banget. Peringatan, buat yang mau datang ke sesi di Left Bank, disarankan mengenakan kaos lengan pendek dan hot pants saking gerahnya #eh
Mana saya ga bisa banyak minum soalnya kan harus in charge di depan terus. Serba salah deh. 

Kombinasi dari sesi pertama + kurang koordinasi + gerah membuat konsentrasi saya buyar yar, begitu saya bilang "Sam, time is yours." Tapi syukur alhamdulillah, saya sempat memperhatikan beberapa ilmu dari Kak Maggie.. Cuma Kak Maggie aja soalnya dia satu-satunya orang Indonesia (excuse: bahasa Inggris-nya paling mudah untuk saya pahami), maafkan saya ya manteman..... #DitabokPembaca

Kak Maggie ini kan sekolah Creative Writing di Amerika, nah saat itu banyak yang mempertanyakan, termasuk orang tuanya. Ini cuma nulis 'doang', ngapain jauh-jauh belajar ke Amerika? Iya kalau Teknik, Kedokteran, pokoknya eksak..

Menurut Kak Maggie, disinilah letak kesalahan mindset penulis. Dipikir nulis itu cuma masalah praktek, praktek, praktek. Padahal, kita ga akan pernah bisa nulis bagus kalau ga banyak baca!

#tertohok

Semakin banyak yang kita baca, tentu semakin kaya kita dengan perbendaharaan kata, plot, karakter, dan lain-lain. Pantas aja kalau kita sering kena writing block, wong pikiran kita ga terbuka dan pengetahuan kita kurang luas.

#tertohokLagi

Terutama nih, kita ga akan pernah nulis bagus kalau kita ga tahu, yang bagus itu seperti apa.

#HAYOLHOH

Kita kudu tahu tulisan yang best seller, pemenang Nobel/Pulitzer (berat nih..), atau paling engga, disukai pasar dan penerbit itu seperti apa.. Terus jangan cuma dibaca. Langkah selanjutnya, adalah analisis. Kenapa ya karakternya sifatnya A, B, C. Kenapa plotnya begini.. Kalau misal begitu, gimana.. Apakah akan mengubah cerita dan klimaks-nya.. Hal-hal seperti itu akan menjadi latihan yang sangat baik ketika menuliskan naskah kita sendiri.

Saya sempat tertegun lho pas mendengarnya. Soalnya bener banget tuh, kita pasti sering kepikiran, tapi ga pernah se-kreatif itu untuk menguliknya. 

Makanya, kak Maggie keukeuh, kalau kita mampu dan punya kesempatan, belajarlah menulis.. Like taking professional course. Percayalah bahwa menulis itu sebuah skill yang amat sangat dapat dipertanggungjawabkan, dan berprospek cerah jika mau dijadikan profesi. 

But, if you don't have that privilege now, why don't you practice the simple tips that I have shared?

Cobain, yuk! ;)

Love,
Prima

Pic from here.

Monday, October 27, 2014

Selamat #HariBloggerNasional :)

It's been more than a year I'm blogging here. 

I have to say that it goes up and down along the year. There are some times I have a lot of things to share, but I also experience some days that I have nothing to talk about. Tipsnya? 'Nabung' tulisan saat lagi banjir ide :D

Blogging has brought me to a place I never expected before, and I am ready for more challenges and opportunities in the future. Let Allah ease my way, amiiin insyaAllah.

Through this free medium, I have met many inspirational people, got a lot of new friends (some of them becoming my best friends), and I discover myself. Everybody's changing, Keane said. And yes, I am. Gladly, I find that blogging is a really good way to see my improvement.

My main concern in blogging is, I have a responsibility in posting ANYTHING, literally, anything. Whether it is a social responsibility (being a good representative of muslimah) - or my personal responsibility in front of Allah. I am blessed, for every single thing that I've got in my life. So I take it as a duty to share and promote positivity in my blog. I am so sick of all the news and entertainment stuffs in mass media, so when I go online, I hope to see positive things.

#SelfReminder

Now, I can't be more grateful to know that some people has appreciate what I do through blogging. When I say I want to be an Islamic lifestyle blogger at the beginning of this blog' journey, I do put my commitment to it. Alhamdulillah, I am a proud blogger and from this, World Muslimah Award has chosen me to be one of the finalist of World Muslimah Award 2014. Everything is from Allah and back to Allah, and I hope He permits me to move forward.

Oh, you can support me by voting me here. Many thanks!

So, what blogging has bring to you? ;)

Lots of love,
Prima

Thursday, October 23, 2014

Wajib vs Sunnah

Beberapa hari yang lalu, ketika saya sedang berhalangan, saya melonjak dari tempat tidur saat mendengar kicau burung. It means, matahari sudah terbit dan ternyata...sudah jam enam! Bukan sok-sok kebiasaan sih, hehe. Hari itu saya sudah merencanakan jogging (nunduk liat perut), tapi berhubung sudah kesiangan (alesan), saya balik tidur lagi. Hahaha.

Siangnya, saya merenung. Saya rindu tahajud, saya rindu waktu berbincang dengan Allah.....

Lalu saya tersadar satu hal..

Kok saya ga rindu sholat Subuh?

#jengjeng

Beberapa waktu lalu, saat bertemu dengan adik saya yang manis, Rhosa, dia mengatakan, “Aku sih pernah denger ya mbak, katanya perlu sesekali 'meninggalkan' yang sunnah agar kita tahu bahwa itu 'hanya' sunnah.”

Tolong ini jangan dikonfrontasi yes. Sebagai dua manusia biasa, saya dan Rhosa kemudian mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan pendapat diatas.

Begini, menurut saya, yang namanya amalan sunnah itu akan berfungsi sebagai pemberat timbangan amal kita nanti di hari perhitungan. Misalnya, sholat sunnah dan puasa sunnah.

Berhubung namanya juga sunnah, patut diusahakan selama yang wajib sudah terpegang. Meski, tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa yang sunnah dapat dijadikan latihan untuk yang wajib. Misalnya, seperti saya pernah bilang, saya (sayangnya) masih sangat-sangat lemah untuk puasa sunnah. Tapi, ibu saya meminta saya sungguh-sungguh berusaha untuk puasa Senin-Kamis sejak dua bulan sebelum Ramadhan agar terbiasa. Di sisi lain, saya berteguh hati hanya akan berpuasa Syawal setelah hutang puasa bulan Ramadhan saya lunas. Jadi, (insyaAllah) pengetahuan saya berimbang lah ya..

Hanya saja, ayah saya pun sering melihat kelompok yang kurang sempurna pengetahuannya malah jomplang untuk masalah wajib dan sunnah ini..

Bayar hutang vs sedekah?
Menafkahi istri vs menyantuni orang tua (terlebih ketika orang tua masih mampu)?

Dan banyak contoh lain.. Yang memang bedanya agak-agak tipis..

Setelah saya konfirmasi ke Ustadz Imron – ustadz yang sering mengisi kajian Hijabee Surabaya beliau merekomendasikan catatan dibawah ini..

Seorang ulama besar, Al-Hafidzh Ibnu Hajar berkata:
Sebagian Ulama besar mengatakan : “Barangsiapa yang menyibukkan dengan perkara wajib (hingga melewatkan) perkara sunnah, maka dia ma’dzur (dapat dimaafkan). Barangsiapa disibukkan oleh perkara sunnah, hingga melupakan perkara wajib, orang tersebut telah tertipu.” (Fathul Baari’ 11/343)

Nah, kalau menurut saya, idealnya keduanya jalan berdampingan. Yang wajib semakin khusyu', dan yang sunnah juga diperbaiki. Selama niatnya lillahi ta'ala, insyaAllah kita tidak akan terbebani :)

Salam,
Prima

Wednesday, October 22, 2014

#ThePrimUWRF: Q & A about Being a Volunteer

Setelah tahun lalu saya menjadi peserta UWRF, tahun ini saya mencoba peruntungan untuk menjadi volunteer. Awalnya, saya pikir melamar sebagai volunteer sangatlah mudah, toh namanya juga volunteer: tidak digaji dan tidak ditanggung akomodasi atau transportasi-nya; it supposed to be easy.

Saat mendaftar di web UWRF, kamu akan diminta menjawab 3 pertanyaan:

  • Experience and Background
  • Tell us a bit about yourself.
  • Why you would like to be a volunteer?

See? Gampil tho?

Apalagi saya punya kenalan volunteer (hai, Ayu! ;)) yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya mengenai being a volunteer.

Tapi, menginjak pertengahan Agustus, saya tak kunjung menerima email pemberitahuan tentang diterimanya saya sebagai volunteer. Lagi-lagi, Ayu yang menyabarkan saya, dengan mengatakan bahwa mungkin mereka butuh waktu lebih lama untuk menyeleksi semua aplikasi yang masuk.

Maka suatu sore, ketika ada SMS masuk di HP saya, mengatakan bahwa ia, kak Paris, Assistant of Volunteer Coordinator UWRF akan menelepon, saya standby – bahkan tak mengindahkan permintaan briefing dari tim kerja saya *ditoyor bos*

Setelah pembicaraan via telepon dan beberapa email, I'm in! I'm a volunteer for UWRF 2014! \^^/

Nah, pastinya sister juga pingin tahu lebih banyak tentang being a volunteer, jadi izinkan saya sedikit buka rahasia dapur.. Sssttt, ga usah bilang-bilang kak Paris atau ibu Janet (founder UWRF) ya! ;) 

Berapa jumlah aplikasi yang masuk tahun ini? 
Lebih dari 450! Yang diterima? Tidak sampai 250 orang..
Pelamar datang dari berbagai penjuru dunia (I'm telling you the truth). Di divisi MC aja, ada yang dari Malaysia dan Filipina! Selain Indonesia, yang paling banyak juga berasal dari Australia. Tapi ada juga yang dari Amrik, ckckck. 

Apakah kemampuan bahasa Inggris menjadi faktor utama terpilihnya kamu sebagai volunteer?
Ya, jika memang kamu bertugas di divisi yang membutuhkan bahasa Inggris aktif. Ada juga kok, Indonesian Writer Liaison (pendamping panelis yang berasal dari Indonesia). TAPI dengan jumlah aplikan yang segitu banyak, we can't choose to talk only with Indonesian volunteers, right? Kita PASTI berhubungan sama volunteer bule, jadi ya... you paham sendiri lah apa yang I maksud. 

Apa yang akan kita dapat sebagai volunteer? 
Full access for free sessions along the festival (4 days), Sertifikat (YES!), kaos+tote bag+kipas eksklusif UWRF, dan konsumsi untuk lunch&dinner (apabila kamu bertugas). Oya, buat yang ga bisa nyetir motor atau ga mau repot sewa motor, kita akan dilayani ojek yang khusus bertugas untuk para volunteer, dan gratis. Hoho. 

Apakah kita harus mengikuti UWRF sebagai peserta terlebih dahulu? 
Tidak, tapi setelah saya mengalami sendiri, I think I prefer to say yes. Dengan kamu mengikuti UWRF sebagai peserta, maka kamu jadi punya gambaran mau jadi volunteer di divisi apa.. Yah, meskipun keputusan final tetap ada di tangan Volunteer Coordinator sih.. :p

Nah, disini, kamu mesti paham kalau yang namanya volunteer kan terikat jadwal, jadi kita ga bisa milih-milih sesi apa yang mau kita ikuti. Tapi, privilege yang dimiliki volunteer adalah, tentu saja, kita bisa lebih dekat dengan para panelis. Volunteer gitu lho, hihihi.

Kalau saya disuruh milih, enakan mana, jadi peserta atau volunteer? Hmmm saya rasa tetep enakan volunteer, apalagi MC. Total 'keuntungan' yang saya dapatkan karena bertugas di sesi berbayar adalah sekitar dua juta rupiah. Hoho.

Triknya? Lihat dulu daftar panelis yang akan berbicara di UWRF. Kalau kamu pingiiiiin banget ketemu seorang panelis, ngobrol sama dia, dll dst dsb, mending jadi volunteer. Biasanya waktunya ga begitu sih; tapi misi saya tahun ini untuk berbincang dengan Kak Sacha Stevenson, Karim Allam (The Muslim Show), Pak Bondan Winarno, Kak Pangeran Siahaan, dan ibu Lily Yulianti Farid accomplished! And I am happy for that. Alhamdulillah.

Lagipula, as I have mentioned above, ga semua aplikan diterima, jadi udah...daftar volunteer dulu aja. Urusan diterima atau engga, itu belakangan. Kalau ternyata belum berjodoh, yaudin, jadi peserta aja tetep bisa merasakan keseruan UWRF kok.

So, I'll see you in UWRF next year? ;)

Lots of love,
Prima

Volunteer tag
Suasana MC Orientation with Kate Hall (MC Coordinator)
Suasana MC Orientation
Suasana Volunteer Orientation - abaikan ekspresi cantik teman saya :)))

Monday, October 20, 2014

Rumah Harapan

Sometimes life is funny, it meets us with our teenage dream again, with an unexpected way.

This is one of my story :)

Sewaktu saya SMA, saya punya dua orang teman dekat. Yang satu sebut saja namanya Rara; yang satunya lupa, kalau ga salah namanya Mika. Silahkan jitak saya karena sudah sepatutnya saya ga lupa sama nama dia, tapi mungkin namanya juga teman dekat, kita udah ga saling panggil nama tapi beb, say, cyin, atau apalah. Mungkin. *brb searching di fb*

Pada masa-masa memilih jurusan kuliah, kami bertiga bercerita dengan semangat: saya akan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, Rara di Psikologi, dan Mika, akan merenda langkah untuk menjadi dokter.

“Kayaknya seru ya, kalau kita punya rumah sakit murah, tapi disitu ada layanan pendampingan perempuan juga, semacam bantuan psikologi dan komunikasi keluarga. Dari perempuan, oleh perempuan, untuk perempuan.”

Kami mencetuskan mimpi.

Lalu mimpi itu terlupakan, tertinggal di sudut ruang hati, karena pemimpi-nya terlalu sibuk dengan kenyataan hidup.

Sampai sabtu lalu, sahabat saya, Titasya, menyodorkan meme ini. Membuat saya terdiam seribu bahasa.

It's not about the pic, that I think 50% of it happens in my life.
But the fact that I was once abandoned, and then life has been so kind to meet me with good people...'til I have a dream to help teenagers who have the same problem.

Lucu ya, hidup saya (ternyata) sudah jauuuuuh lebih baik, hingga saya lupa membantu orang-orang, seperti yang sudah pernah saya janjikan.

Jadilah semalam, sebelum tidur, saya merenung, apa yang terjadi?
Apakah mimpi tersebut telah hilang dimakan waktu, bertransformasi menjadi impian-impian lain yang hanya menitikberatkan pada profit dan keuntungan?

Atau jangan-jangan, saya khawatir akan omongan orang? Saya bukan komunikator handal, bukan pula psikolog yang bisa memberikan solusi profesional untuk masalah seseorang.

Atau memang saya takut karena tak punya modal finansial? Tak ada waktu mengurusnya?

Duh, duhai Allah yang Maha Pengasih, ampuni hamba-Mu yang besar omong ini..

Saat ini, saya sedang menuliskan ulang mimpi Rumah Harapan ini. Saya beri nama sementara demikian, karena ini juga merupakan salah satu harapan saya, yang mudah-mudahan terwujud sebelum usia saya beranjak senja..

“Sebuah rumah, yang didalamnya terdapat kenyamanan, ketenangan, dan ketentraman hati.
Tidak ada penghakiman, tidak ada kesalahan; yang ada hanyalah refleksi diri dan pembelajaran melalui pengalaman hidup..
Rumah singgah untuk para anak-anak korban perceraian yang menginginkan pelukan, serta istri dan janda yang membutuhkan penyemangatan.
Mungkin perempuan yang mengharapkan perbaikan kesehatan, atau yang ingin menambah keterampilan..
Rahasia terjaga disini, dan kamu, bebas menjadi diri sendiri..”
 

Bismillah, semoga Allah mendengarnya, dan malaikat mengamininya..

Dari teman-teman pembaca juga, boleh minta doanya? :)

Salam,
Prima


Friday, October 17, 2014

If Only

Seandainya Allah mau, Ia bisa saja menciptakanku dengan cacat mental atau IQ rendah; buta, tuli, bisu; lumpuh; atau dengan kekurangsempurnaan anggota tubuh yang membuatku tak tampak menarik.

Seandainya Allah ingin, Ia mampu menakdirkan aku hidup di kolong jembatan; lahir dari rahim seorang ibu yang miskin nan tak tersentuh pendidikan tinggi; atau memiliki ayah yang tak berbudi nan tak paham agama.

Seandainya Allah berkehendak, mudah bagi-Nya untuk menjadikan aku hidup di antara para pemalas; tak mengerti pentingnya bermimpi, berharap, berusaha, dan berdoa. 

Allah Maha Memaksa. 
Satu yang harus selalu aku ingat, apa yang aku miliki saat ini semata hanya karena rahmat-Nya, bukan karena apa yang telah aku kerjakan.

Tak patut meninggikan hati, karena jika Ia bertitah, semua dapat hilang dalam sekejap mata.

Rendahkan hatimu, turunkan suaramu, dengar hatimu; mengapa kamu tetap enggan bersyukur?

Thursday, October 16, 2014

Ketika Galau Melanda

[Note: this post is very very very personal]

Dua minggu kemarin, mungkin hingga saat ini (karena lagi deg-deg-an nunggu pengumuman finalis World Muslimah Award), saya sedang sering gelisah... dan jadinya terbitlah perasaan mendamba somebody to talk to. #cieh #BukanKode #TapiBeneran #DuhPanjangBanget #lol 

You might think that I look like the strongest woman you ever know.

I am not. I am strong because Allah ask me to.
Or at least, I think I am strong because I have to.

But often I cry, because when I say I am weak, nobody will believe me.

Pencitraan yang sukses, bukan? :)))

Anyway, kalau sister sering baca buku tentang pernikahan, hal paling mendasar yang disarankan sebelum melangkah menuju persiapan adalah: 1) menulis visi-misi pernikahan; dan 2) mendefinisikan pasangan hidup yang ideal menurut kita. Konon, dari kedua hal ini kita bisa melihat kita sekarang berada di level apa, dan apa saja yang harus kita perbaiki untuk mencapainya.

Nah, biasanya sih saya susah jawab pertanyaan ini.. Soalnya takut dibilang terlalu pemilih atau pasang standar ketinggian. Padahal, beli baju aja perlu pertimbangan, apalagi pasangan hidup. Padahal (lagi), aslinya kriteria saya tuh ga muluk-muluk banget. Cukup: ganteng, sholeh, sugih (kaya). Mwahahahahahaha. Ya engga lah, pemirsa. Kriteria saya tuh:


  1. Kalau ngobrol, nyambung - ga harus 100% sama, tapi ada keinginan dari kedua belah pihak untuk mengusahakan pembicaraan tetap berjalan. Kalau cuma saya yang usaha sih, namanya wirausaha :p
  2. Selevel – biasanya orang bilang 'sekufu', tapi bukan kaya-miskin sih saya lihatnya, lebih ke hmmm apa yah, tingkat penerimaan satu sama lain. Saya sih bisa nerima ya kalau lelakinya udah punya mobil pribadi, rumah pribadi, bisnis pribadi, asal jangan hutang pribadi – eh bukan – maksud saya, terkait dengan kriteria satu, kalau bisa jangan jauh-jauh lah level pergaulan atau gaya hidupnya. Meski saya ga nolak juga kalau dilamar Putera Mahkota Dubai – apasihprim – tapi ngebayangin kalau dia punya rumah seluas kecamatan Rungkut, bisa bikin keder juga pasti.
  3. Ada keinginan untuk menjadi lebih baik. Seperti yang diajarkan di buku Sabtu Bersama Bapak, terimalah seseorang dengan segala kelebihannya, agar hal ini dapat memotivasi kita untuk bertukar ilmu dan semangat menuju kebaikan.


See? Easy breezy, right?
Kembali ke keadaan lonely...I am still lonely... I have nobody... *salaman sama Akon*

Ada satu waktu di hari itu, tiba-tiba saya loncat dari tempat tidur, dan mem-whatsapp sahabat saya, 

“Seseorang yang bersamanya, kami bisa mensinergikan mimpi kami untuk menyemaikan ilmu dan mencerdaskan ummat.”

“Seseorang yang memahami, bahwa kelebihanku (dan -nya) hanyalah karunia dari Allah semata.”

“Seseorang yang menjadikan aku pribadi yang lebih baik di dunia dan akhirat.” 

Here we go, the definition of my dream man.
Aplikasinya? Aduh susah ya bok, ternyata #GarukGarukTembok

Makanya langkah selanjutnya adalah, memperbaiki diri. Terus menerus.
Sucikan niat, ikhtiar, dan tawakkal. 

Saya yakin, saya akan bertemu dengan sang pujaan hati.
Hanya tinggal masalah waktu saja...
...And I believe, He is always on time :)

Doakan saya ya :)

Salam,
Prima 

**untuk bacaan lain tentang 'ukuran' keshalihan lelaki, bisa baca disini.


Wednesday, October 15, 2014

#ThePrimUWRF: Suastika Lodge, Ubud

Sejauh yang saya ingat, ini adalah pertama kalinya saya menginap cukup lama di sebuah tempat berbayar. Maklum, budget yang masih serba mepet, ditambah anugerah kerabat atau teman tersebar di seluruh dunia (amiiin), menjadikan 'nginep di rumah kenalan' sebagai solusi berhemat ketika traveling.

Kali ini pun, sebenarnya ada yang menawari saya nginep di Ubud. Lumayan ya, tapi karena beberapa pertimbangan, saya akhirnya memilih untuk nginep di homestay.. Dan pilihan saya jatuh pada Suastika Lodge, Jalan Sukma, Peliatan, Ubud.

Awalnya Nuri – volunteer fotografer UWRF yang juga teman masa SMA saya - menawari (prima ditawar mulu.. #eh :p) untuk nginep bareng dia. Tapi karena waktu itu saya masih ngobrol sama yang nawari saya nginep di rumahnya itu, saya menunda memberi keputusan pada Nuri. Pas mau saya oke-in, eh si Nuri udah ada roommate-nya.. Yaudin saya booking kamar sendiri.. Kebetulan ada teman lain yang akan ke UWRF, meski sebagai peserta dia baru tiba tanggal 1 Oktober (saya tiba di Ubud tanggal 29 September karena ada orientasi volunteer).

Kebetulan, saya dapat voucher diskon Airbnb dari Pak Bos, jadi kalau dihitung-hitung, saya menginap 5 (lima) hari itu cuma bayar 4 (empat) hari. Dan setelah dikurangi urunan dengan teman-teman sekamar, jumlah yang saya bayar untuk menginap 5 (lima) hari itu sekitar Rp. 450ribu-an. Cukup affordable untuk ukuran Ubud, hoho.

Murah-nya lagi, saya bandingkan dengan segala service yang saya dapat di Suastika Lodge, itu kayaknya lebih-lebih-lebih. Hari Senin 29 September 2014, saya tiba di Ubud sekitar jam sebelas malam waktu setempat, tapi Pak Alit, pemilik Suastika Lodge dengan sabar menjemput saya di sekitar Peliatan agar tidak tersesat.

Terus, suasana-nya amazing banget, pemirsa. Buat saya yang rewel masalah ketenangan di tempat menginap, hal ini jadi concern saya banget. Apalagi ternyata daerah pusat Ubud (dekat pasar dan sekitarnya) rameeeee dan crowded banget. Suastika cuma punya 4 (empat) kamar, yang dipisah di 2 (dua) bangunan, which means full of peace!!! Matur nuwun Gusti!

'Kekurangannya', nginep di Suastika bisa bikin mager alias males gerak. Gimana engga, pemandangan hutan mini tepat di depan teras kamar pastinya bikin mood tidur cantik muncul terus.. Tapi apa daya, yang namanya ke Ubud kan buat UWRF, jadi harus bangun and let's go!!! :)))

Selain itu, kalau nginep di Suastika, kita akan mendapatkan breakfast. Sederhana sih, toast dan sunny side up (aka telur ceplok), atau telur rebus, ditambah buah-buahan dan teh/kopi hangat. Tapi konon, di beberapa tempat nginep lain yang sama-sama murahnya, ga disediain sarapan. Hiks. Padahal kan lumayan penting buat ngganjel perut sebelum beraktivitas..

Kamarnya juga bersih, termasuk kamar mandinya! Selama disana sih memang saya ga sempat mandi pakai air hangat (why would I need to?), tapi kata teman saya cukup lancar kok.

At the top of everything, Ibu, Bapak, Bli Ngurah, dan Kak Ayu ramah banget.. Berasa kayak rumah kerabat dekat aja gitu, soalnya bisa ngobrol banyak hal. Hihihi.

But, if this blog post seems like surreal as too many good things that I have told, just remember kalau lokasi Suastika Lodge tidak berada di pusat Ubud.. Kalau jalan kaki, cukup lumayan ya.. sekitar 30-40 menit jalan santai dari Pasar Ubud. Jadi kalau mau nginep disini, saya sarankan sewa motor untuk jalan-jalan keliling Ubud, dan yes, Pak Alit bisa menyediakannya.

For more information about Suastika Lodge, bisa cek di profilnya di Airbnb, search “Suastika Lodge, Ubud”; atau kontak Bli Ngurah: 0361-970215 atau 0812145918182. Have a nice stay in Ubud! ;)

Love,
Prima

Foto sama Kak Ayu, anaknya Pak Alit. Dia habis pulang dari Upacara Hari Saraswati :)

Bentuk kamar saya sesudah dibersihkan, hehe.

Kamar di bangunan lain.

Teras kamar bangunan depan.

Jalan menuju bangunan tempat kamar saya berada.

Tuesday, October 14, 2014

The Most Important Business


Menyambung blog post kemarin, ternyata... masih banyak yang lebih kurang beruntung dari saya masalah sholat.. Begini ceritanya..

Pasca UWRF dan liburan kantor ke Bandung tanggal 9-11 Oktober (yep, I did it); punggung udah berasa kayak digebukin Jepang. #lebay

Jadilah hari minggu kemarin, saya meluncur ke plaza terdekat untuk melakukan foot spa. Eh malah tergoda untuk full body massage dan alhamdulillah kondisi tubuh lumayan membaik.

Saya bingung kudu ngomong apa, mungkin saya hanya terlalu lelah – halah – but both of them: foot spa and body massage weren't really good experience for me. Waktu foot spa, dapet mbaknya yang bukan langganan saya.. agak sengak gitu orangnya, hiks. Terus waktu body massage, rameee gitu, yang mijet lagi pada curhat (sambil mijet!). Jadi ga bisa rileks.. :(((

Tapi untungnya ya, mood saya lagi agak bener.. Saya tanggepin lah curhat mbak-mbak pijetnya.. Dan masalah terbesar dia, adalah, ga punya kesempatan untuk sholat. Yang capek lah pulang kerja, yang mushola-nya kecil banget dan selalu ngantri, dan lain-lain. Hiksss, sedih banget dengernya..

Gara-gara curhatnya, saya jadi inget satu kejadian waktu Ramadhan yang lalu.

Hari itu, selepas sholat maghrib di rumah teman, saya masih harus menyelesaikan satu keperluan – dan juga harus berbuka dulu dong. Daripada nanti kelaparan terus gelisah waktu taraweh, kan ga enak banget.. Hehehe.

Alhamdulillah, di dekat masjid yang saya tuju untuk taraweh, ada beberapa penjual makanan. Sambil mengantri, saya mendengar penjual makanan tersebut berbincang dengan seorang pembeli.

Penjual makanan: Ah, saya titip absen aja deh.

Pembeli: Yah, mestinya tetep taraweh lah Pak.. Saya aja taraweh sendiri di rumah, soalnya kan sekarang kerja, pulang jam sembilan nanti.

Penjual makanan: Ya itu mbak, kadang pulang udah capek banget.. Gusti Allah ngerti lah pasti..

Deg!

Sumprit kalau ga laper banget nget, saya pasti batal beli.

Pingin juga tusuk-tusuk penjual makanannya pakai garpu, kok nggampangin banget sih.. Emang yang ngasih rezeki itu siapaaa. #MaapEsmosi

That's why saya kasih quote diatas itu.

Kata mama saya, akan sangat-sangat mudah menukar akhirat dengan dunia, karena semua yang di dunia ini kelihatannya indah, membahagiakan, menyenangkan.. Pokoknya enak-enak semua deh.

Apalagi, akhirat itu kan masih nanti, masih lama.. Mikirin apa yang ada di depan mata dulu aja deh.

Hmmm, sebenernya banyak banget contoh-contoh dari profesi serupa: tukang sampah, penjual bakso/kerupuk/lumpia. Macem-macem bentuknya, macem-macem pula perilakunya. 

Saya tahu penjual bakso yang biasanya keliling komplek saya, memprioritaskan sholat diatas aktivitas jualannya. Tapi saya juga tahu, tukang sampah di komplek saya, hampir ga pernah sholat jum'at. Padahal dia hanya wajib mengambil sampah di komplek saya empat kali dalam seminggu, tapi dia selalu pilih jum'at. Katakan mulai kerja jam enam, biasanya jam sebelas baru selesai. Langsung beralasan lah, ga sempat mandi, baju saya bau dan sebagainya. Lha kan udah tau kalau sholat jum'at itu diadakan tiap jum'at? Duh Pak, tobat Pak..

Buat saya, betapa meruginya orang-orang seperti tukang sampah ini. Kasarnya gini deh, kalau udah kismin di dunia, mbok ya jangan kismin juga di akhirat nanti.

But remember, hal ini ga cuma berlaku buat orang-orang kismin. Bahkan, peluang hal ini terjadi pada orang berprofesi lebih tinggi juga sama besar. You name it: meeting, appointment sama klien, dikejar deadline, lembur..

Merugilah kita yang masih kesulitan dalam memprioritaskan ibadah dan Allah, padahal Dia, satu-satunya yang mampu memberikan kita penghidupan..

Yuk, lebih menghargai waktu beribadah. Belajar on time, belajar khusyu', belajar menikmati perjumpaan dengan Sang Khaliq.

Semoga Allah memudahkan.

Salam,
Prima

Monday, October 13, 2014

#ThePrimUWRF: Sholat Dimana Saja


Foto diatas diambil oleh Kak Hendrik, salah satu volunteer yang bekerja dengan saya di sesi “One Woman, A Baby, and A Backpack” bersama Jane Cornelius dan Jeni Caffin. Tentu saja saya tidak tahu menahu tentang foto ini sampai foto ini diunggah Kak Hendrik di Grup Facebook khusus Volunteer UWRF (yes, we have it :)).

Saya jadi teringat blog post Jaesa Rahmannialdy, yang isinya kurang lebih sama, menceritakan tentang pesepakbola muslim yang merumput di Liga Inggris – dan mesti siap sholat dimana saja. Syukur alhamdulillah, pemain-pemain tersebut mungkin sedikit lebih beruntung dari saya. 



Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
(Q.S.Taha (20): 2)


Hari itu, setelah saya bertugas di Maya Ubud – yang saya ceritakan disini – saya bertugas di Yoga Barn. Tempatnya buuuaguuusss, pemirsa. Masuknya sih lewat jalan kecil, yang kalau ada motor papasan, satunya harus berhenti supaya tidak bersenggolan. Tapi begitu masuk ke dalam, kita akan disambut beberapa bangunan kecil (kantor dan dapur), lalu ada gubug yang berfungsi sebagai kantin. Di belakangnya lagi, ada tangga dan jalan setapak menuju sebuah lapangan dan bangunan bertingkat. Beberapa ruang di bangunan yang saya lewati sebenarnya bukan kosong, melainkan digunakan untuk kelas yoga. Ada berbagai kelas yang bisa dicoba, dengan harga yang relatif terjangkau dibanding tempat-tempat yoga lainnya.

Oyaaa, Ubud memang terkenal dengan gaya hidup sehat lho. Jadi kalau ke Ubud, jangan bayangin tempat hingar bingar sampai malam. Rata-rata aktivitas sudah berhenti jam sepuluh malam. Menurut Keith (teman saya dari Irlandia yang sama-sama volunteer UWRF), banyak juga turis mancanegara yang jauh-jauh ke Ubud untuk belajar yoga. Amazing, huh?

Berhubung sesi dijadwalkan selesai jam 17.00, saya takut ga akan keburu untuk saya sholat ashar di homestay. Meski maghrib di Ubud jam 18.17, tapi saya masih harus beres-beres, dan macet jalanan di Ubud susah banget diprediksi. Makanya saya meminta izin kepada manajemen Yoga Barn untuk sholat disini.

Sehabis sholat, saya sempat menitikkan air mata. Mudah rasanya untuk mencari-cari alasan untuk meninggalkan sholat. Tapi bagi saya, jika Allah telah memanggil, segala cara harus ditempuh untuk memenuhinya. Selagi mampu, selagi bisa, selagi masih diberi kekuatan..

Semoga, semoga kita selalu istiqomah untuk mengejar ridho-Nya ya, sister :)

Salam,
Prima

The view from my praying corner
Suasana sesi, santai banget, ada yang sambil tiduran :))

Thursday, October 9, 2014

#ThePrimUWRF: Lunch with Robyn Davidson - Book Writing vs Blog Writing

Seperti yang saya bilang di post ini, saya kedapetan jadwal yang enak banget..
Salah satunya, adalah sesi Lunch with Robyn Davidson.

Sedikit tentang Robyn Davidson, she is an Australian author, dan salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Tracks. Tracks sendiri sudah diangkat menjadi film layar lebar pada tahun 2013, dan dibintangi oleh Mia Wasikowska.




Balik ke event - disini, sebagai satu-satunya orang Indonesia yang bertugas (selain MC, ada volunteer divisi Special Events, Venue Helper, dan Supervisor/Coordinator); saya kedapetan 'berkah' ngurusin semua-muanya, termasuk jadwal keluarnya meal course, dan ngurusin audio visual. Alhamdulillah :)

Acaranya diadakan di Maya Ubud Resort & Spa, sebuah vila yang terletak di daerah Peliatan, Ubud. Dari namanya aja udah bisa nebak dong ya, kalau venue-nya top markotop lah. Mau tau berapa harga session-nya? Rp. 950.000 per orang. And I can join it for FREE. Another luck of mine, isn't it? ;)

Harusnya, saya duduk semeja dengan sesama volunteer, tapi berhubung saya ga tahu, saya malah duduk sama Robyn Davidson dan Rosemary Sayer, moderatornya. Untungnya, Robyn is a very sweet woman, we talked a lot and this is what I want to share with you..

Awalnya, salah seorang wanita di meja kami nyeletuk kalau dia ga ngerti apa itu hashtag.
Jadi, di setiap sesi, MC akan mengingatkan audiens, “please feel free to tweet and post, and don't forget to use the hashtag #uwrf14”. Nah akhirnya kita rame-rame bahas tentang social media...sampai blog writing.

Secara rata-rata audiens adalah penulis/public relations/jurnalis, maka mereka terbiasa menulis sesuatu yang memiliki bukti secara fisik. Contoh: artikel, buku, press release. Sedangkan blogger cenderung kurang 'terpercaya', menurut mereka.

Buat mereka, yang namanya nulis itu biasanya buku. Bahkan, rata-rata membutuhkan waktu minimal TIGA tahun untuk menuliskan satu buku; belum termasuk editing, proof-reading, dan lain-lain.

Disinilah muncul kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Robyn merasa tidak mampu menulis blog, dalam artian menuliskan topik yang berbeda-beda setiap harinya. Sedangkan untuk buku, maka ia akan fokus menulis satu hal saja, dan menjadi semakin ahli di bidang yang ia tulis.

Dari sisi saya, mewakili blogger, kita terlatih untuk menulis hal-hal yang ringan, singkat, padat; dan hal ini akan meluaskan wawasan kita juga. Kekurangannya... ya sebenarnya kita ini jadi kurang sabar dengan yang namanya proses, karena apa-apa cenderung lebih instan.

Namun begitu, Robyn tetap mengapresiasi blogger lho. Ia sendiri mengakui bahwa social media, termasuk blog, dapat menjadi medium yang baik untuk mendekati pembaca, mengumpulkan reader base dan melakukan testing pasar.

Robyn juga mendukung saya, dan meminta saya menulis lebih banyak blog post dalam bahasa Inggris. As she learn a lot about cultural understanding, she was interested to know that I write about Islam. She said that so many people becoming too ignorant with cultures outside theirs. So she thinks blog is a good place to make people understand about what is Islam from a person who really embraces it :)

Kesimpulannya, mau milih blog atau buku, apapun yang kamu tulis saat ini harus memiliki visi dan tujuan yang jelas. Sebagai seorang muslim, jika apa yang kita kerjakan dapat membimbing orang banyak menuju kebaikan, bukankah hal ini akan dinilai sebagai amal baik dan diganjar pahala?

Amin, insyaAllah :)

Love,
Prima

With Robyn Davidson
With Rosemary Sayer
 
The dessert
 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...