Friday, June 29, 2018

Tentang Menjadi Istri (Bagian Dua)

“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.” (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).

Selain langsung mencuat jadi #1 Popular Post of the week, blog post sebelumnya menjadikan saya dicaci-maki oleh sebagian netijen. Oalah yooo, mau memberikan wawasan aja setengah mati susahnya. Bahkan ada yang komentar, ‘cobalah sesekali menulis hal-hal baik tentang lelaki, agar lelaki yang baik mendekatimu.’ Hmmm, sebenarnya kurang tepat juga sih kalau ngomong begini. 9 dari 10 lelaki (CIEEEH kayak ada sebanyak itu, Prim) yang mendekati saya, alhamdulillah baik-baik kok. At least mereka bukan bandar narkoba atau koruptor, dan bukan penjahat kelamin juga. That’s one good thing, right? Perkara cocok-enggaknya, nah itu yang kadang tidak semua lelaki (saya pun) bisa menerimanya sehingga end up badly. But anyway, kali ini saya coba sampaikan tulisan penyeimbang yang saya karang sesudah saya tidak terlalu emosional lagi. Semoga dapat diterima dengan baik, aamiin.

Sebagian besar dari kita, muslim-muslimah, pasti pernah dengar hadis di atas setidaknya satu kali dalam hidup. Alhamdulillah, perempuan diberi kedudukan yang sangat tinggi di Islam, serta dihormati dan dihargai layaknya manusia (bukan barang seperti pada zaman jahiliyah dulu). Alhamdulillah, perempuan diberi privilege untuk ‘santai’ di rumah, karena itulah tempat terbaik perempuan (pada dasarnya).

Namun sebenarnya, apa benar istri bisa ‘santai’ saja di rumah? We all know, yang namanya pekerjaan rumah tangga enggak akan ada habisnya. Dari mulai ngebersihin rumah, urusan pakaian, dan belum lagi menjaga hubungan dengan tetangga. Dulu sih ada siskamling ya, jadi para warga – baik lelaki maupun perempuan – masih guyub dengan para tetangga. Kalau sekarang rasanya bapak-bapak sudah enggak begitu aktif (CMIIW); sehingga biasanya ibu-ibu yang wajib kudu harus ikut arisan PKK karena memang banyak pengumuman penting ‘disiarkan’ melalui arisan (pengalaman pribadi). Nah, jadi wajar kalau ‘ibu rumah tangga’ doesn’t simply means ‘perempuan yang ongkang-ongkang kaki di rumah’. Contoh nih, urusan dapur aja. It’s not just cooking and that’s all. Kudu mikir menu dulu, belanja ke pasar/tukang sayur, masak, cuci piring, nyiapin makanannya, cuci piring lagi, bersihin dapur. ‘Kasihannya’ istri, mereka mah nerima aja dikasih belanja berapa, mikir jumpalitan supaya suaminya bisa ganti menu tiap hari. Suami enggak perlu tahu dong, kan udah ngasih uang belanja…

“Kalau semuanya dilakukan dengan ikhlas, pasti enggak terasa berat kok, Prim.”

Iya, saya tahu. Saya hanya bermaksud memberikan gambaran kalau suami dan istri sama-sama punya waktu 10 jam dalam sehari: suaminya kerja (dan PP rumah-kantor), istri juga berjibaku dengan segala printilan ‘kehidupan’. Kalau kata teman saya, ini prinsip ‘saling’: suami berupaya memberikan yang terbaik untuk istri, istri pun demikian.

“Terus masalahnya apa, Prim?”

Begini, mari kita mengakui sebuah realita. Terkadang, yang namanya rumah tangga butuh pemasukan lebih dari sekadar apa yang bisa dihasilkan oleh suami. Suka atau tidak, kenyataan ini terjadi. Kita tidak bisa menutup mata, meskipun Allah sudah menjamin:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur (24): 32)

Thursday, June 28, 2018

Tentang Menjadi Istri (Bagian Satu)

Menikah dan punya anak itu BUKAN prestasi/pencapaian. Menikah dan punya anak itu pilihan; dan menikah-tidak menikah | punya anak-tidak punya anak punya konsekuensinya masing-masing. Dan ingatlah, bahwa apa yang menurut kita benar dan baik, belum tentu demikian halnya dengan pandangan orang lain.

Rasanya sulit untuk tidak emosional dalam menuliskan hal ini, karena begitu banyaknya penghakiman yang menuju kepada saya. “Ya kan kamu belum menikah, bisa ngomong gitu… Coba deh menikah, nanti pasti pandanganmu berbeda.” Well, to be honest, saya agak ‘senang’ karena belum menikah, karena saya bisa lebih banyak belajar dan berusaha membuat keputusan dengan matang.

“Halah itu kan pembenaran aja buat menghibur diri sendiri…”  Tuh kan salah lagi, memang maha benar netijen dengan segala firmannya. Eh maap saya juga netijen. But really, saya hampir enggak pernah nyinyirin pasangan menikah, kenapa banyak yang nyinyirin pilihan hidup saya untuk menjadi single (at least sampai ketemu orang yang tepat)? Plis jangan cuma nyinyir, bawain calon suami baru boleh nyinyir. Btw, saya maunya calon suami yang seperti Sheikh Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al-Maktoum ya, enggak bisa kurang. Heuheu.

Anyway, blog post ini jadi semacam klarifikasi setelah status Facebook saya yang cukup kontroversial. Status tersebut mempertanyakan sebuah situasi yang sering kita jumpai bahkan pada masa modern seperti saat ini. 

Seorang lelaki yang ingin menikah, mencari istri yang ‘akan memprioritaskan keluarga dan anak’.

Sementara seorang perempuan yang ingin menikah, mencari suami yang ‘menghargai dirinya dengan segala karakteristiknya (termasuk impian-impiannya).’ 

While they try to communicate, lelaki dengan mudahnya menjustifikasi bahwa perempuan yang tidak bercita-cita menjadi ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak solehah. Sementara si perempuan bingung, memangnya lelaki ini sesoleh apa sampai berharap bisa mendapatkan perempuan solehah luar dalam depan belakang atas bawah?

Berdasarkan komentar-komentar yang masuk pada status saya tersebut, saya melihat ada kecenderungan: sebagian kecil perempuan – yang pikirannya sudah dimajukan oleh zaman dan pendidikan – tidak senang menyerah dengan batasan-batasan patrarki (‘perempuan itu 3M: manak, masak, macak’); sementara sebagian besar laki-laki merasa tugasnya sebagai suami berhenti pada memberikan nafkah. Titik.

Mari kita mundur sejenak pada pola pikir yang ditanamkan oleh kebanyakan orangtua (kita). Perempuan berharap dinikahi untuk dibahagiakan; dan laki-laki berharap mereka akan dilayani dalam sebuah pernikahan. Seiring berjalannya waktu, suami lupa membahagiakan istri berarti mendengar ceritanya, memberikan waktu yang cukup, mengajaknya bepergian, dan mengungkapkan rasa sayang; dan istri lupa melayani suami pada aspek emosional dan intelektualitas. Mohon maaf, bahkan mungkin istri ‘lupa’ melayani suami di tempat tidur karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan rumah dan anak-anak; dan suami pun ‘lupa’ bahwa kelelahan istri ini sedikit-banyak disebabkan oleh andil dirinya.
Seorang rekan kerja di kantor saya dulu, adalah salah satu contoh lelaki paling brengsek yang pernah saya tahu. Dia bekerja, oke. Bangun tidur anak sudah rapi, dia antarkan ke rumah mertuanya, pulang kerja makanan sudah siap, sesudah makan malam dia pun nonton TV. Istrinya bekerja, oke. Bangun lebih pagi karena harus memasak sarapan dan bekal makan siang suaminya, sembari menyiapkan anaknya. Pulang kerja lebih cepat daripada suaminya, setibanya di rumah dia akan masak makan malam, mencuci piring, kemudian mencuci baju. Akhir pekan, si suami akan nongkrong dengan teman-temannya; dan istri harus menyetrika lanjut membersihkan rumah. Dan ketika saya memprotesnya, si lelaki mengatakan, “istriku mau kok melakukannya, kok kamu yang ribut?”

Janc*k, he is right. Perempuannya mau-mau aja kok jadi keset, kok saya yang enggak terima.

It leads me to a principle, that if I get married one day, I am gonna bring it to the table BEFORE we even say “I love you”. Sekali lagi, semua ada konsekuensinya. Mungkin kalau saya menerima jadi perempuan yang ‘biasa-biasa’ saja seperti istrinya rekan kerja saya itu, saya sudah menikah sejak beberapa tahun yang lalu. But I am still single, and I realize every minute of my life that it is because of my choice.

I really wish most men will realize that at the end of the day, it is women who always sacrifice more. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang – setidaknya – selalu memberikan kebutuhannya (dan bahkan keinginannya), perempuan harus mau ‘tercerabut’ dan mengikuti suaminya. Ia harus bersedia mengubur mimpi-mimpinya demi mendampingi suaminya. Ia harus merelakan badannya yang semlohay untuk jadi nggelambyar dimana-mana demi memiliki anak. Pun ia harus setegar karang saat lingkungan mempertanyakan caranya merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.

Benar, ganjarannya surga. Tapi egoiskah saya, ketika saya berupaya ‘menyadarkan’ calon pasangan bahwa tugas-tugas saya sebagai perempuan itu – bukanlah kewajiban, melainkan bukti cinta saya kepadanya? Tak patutkah saya meminta sedikit penghargaan? Salahkah saya merasa sakit hati jika mendengar lelaki mengatakan, “ya itu sudah kodratnya perempuan: mengurus rumah, membuat anak dan membesarkannya”? Apakah saya dianggap sebagai makhluk tanpa otak dan perasaan?

Yuk ah, belajar untuk lebih menghargai perempuan, terlebih yang sudah jadi istriMU, ibunya anak-anakMU, pasanganMU, teman tidurMU, pendamping hidupMU, pendukung terbesarMU. Ask her what she really wants, today!

Hugs to all strong women out there,
Prima

Monday, June 25, 2018

My First Week (of Living) in Ubud

Assalamu’alaikum Sister, gimana rasanya hari/minggu pertama kerja sesudah libur Idulfitri? Males males gitu yagaseeehhh. Tapi tidak berlaku untuk saya, sayangnya. Saya sekarang berdomisili di Ubud, yaaay! Dan langsung tancap gas buat kerja aja dong. Huhuhu. Alhamdulillah sih, secara yang namanya cari kerja memang susah (dan saya juga mengalami susahnya), jadi apapun itu kudu disyukuri. Yang penting halal dan berkah. *genjreng gitar* *lho kok jadi ngamen*

Nah yang namanya baru selesai Lebaran + pindahan ke pulau lain naik bis & kapal + menginap di dormitory selama seminggu + nyari kos + puasa bayar utang, bisa kebayang kan capeknya saya ("Prima mah capek mulu." - pembaca)? Makanya Sabtu kemarin saya tidur dari subuh sampai jam 10; terus setelah pindah ke kos lanjut tidur lagi dari jam 2 siang sampai hampir jam 6 sore. Malamnya enggak bisa tidur sampai jam 1 pagi, LOL. Belum lagi, Ubud diguyur hujan hampir setiap hari jadi kasur rasanya posesif banget sama badan ini. :)))))

Tapi ada sisi positif dari badan yang digeber habis-habisan, yaitu tidak terasa sudah lewat seminggu saya di Ubud. Wow. Belum terasa homesick atau nangis kangen ayah/mama/adik-adik, walau sedikit aneh aja saat sahur dan buka yang nemenin malah bule Amerika (pas sahur di dormitory). Kalau buka sih, seringnya sendiri, bikin pengin nyanyi “sudah terlalu lama sendiri…” *salaman sama Aji Kunto*

Jadi seminggu ini, Prima udah ngapain aja di Bali?

First thing first, perlu digarisbawahi saya ke sini untuk kerjooooo. Catet: kerjooooo. Kudu diulangi kayaknya: kerjooooo. Ya habisnya 11 dari 10 orang yang tahu saya pindah ke Bali pasti komentar: “enaknyaaa pindah ke Bali.” Lha tinggal di Bali itu enak kalau 1) liburan; 2) punya banyak duit. Sementara gaji saya juga enggak yang berpuluh-puluh juta gitu (belum), jadi saya harus cukup puas tinggal di kamar kos sederhana ala-ala homestay kelas melati. Kegiatan saya juga bukan yang tiap hari duduk-duduk shantay di pantai sambil menyesap orange juice; atau nongkrong sambil bikin #ootd di kafe-kafe instagrammable. NOT AT ALL. Yang ada, saya mampir ke Pantai Sanur pas udah gelap (telat nyampenya), kemudian makan malam di KFC. #toughlife

Yang namanya kerja di Bali ya hampir sama aja dengan kerja dimana-mana. Ngantor Senin-Jumat, dari pagi sampai petang, kalau mau berkegiatan yang lain ya nunggu malam atau akhir pekan. Sementara ini saya baru dua kali keluar Ubud. Hari Rabu pulang kantor ngebut ke Sanur nganterin seorang turis dari Vietnam yang pengin banget lihat laut, lalu hari Sabtu malam melipir ke Gianyar buat buka puasa. Secara warung-warung Jawa atau rumah makan Padang di Ubud belum ada yang jualan. Lumayan deh, makan ayam bakar dan terong penyet enak banget Masya Allah. 

Btw, setelah saya post di Insta story, ada beberapa followers nanyain tentang tinggal di dormitory. Actually this is not my first time, tahun 2014 waktu ke Kamboja saya nginep semalam di dorm. UWRF tahun lalu juga nginep tiga malam di dorm. Tadinya saya mau balik ke dorm itu lagi, tapi ketika saya browsing harganya kok naik, makanya saya memilih Bali Backpackers Inn.

As it costs me Rp. 40.000/night, I don’t really expect anything. Yang penting bisa taruh barang dengan aman, dan tidur+mandi dengan nyaman, sudah. Kelebihan Bali Backpackers Inn dibandingkan dorm yang saya inapi tahun lalu adalah, ada female dorm di lantai 3, terus bentuk tempat tidurnya mirip-mirip kapsul. Privasi lumayan terjaga dan ya itu menurut saya insya Allah aman karena enggak akan ada tamu yang “aneh-aneh” (secara space kasurnya lumayan sempit, apalagi buat bule). Selain itu, di lantai 1 juga ada common room lengkap dengan dapur (ada kulkas, kompor, toaster, dan microwave). Saya pun sempat sahur dengan kentang panggang karena memanfaatkan microwave, asik bener dah.

Kekurangannya, waktu saya ke situ Wi-Fi di lantai 3 lagi trouble, jadi kalau mau internetan kudu ke bawah. Berhubung itu juga dormitory murah meriah oye, beberapa tamu stay dalam hitungan minggu, bahkan bulan! Agak annoying apalagi kalau mereka ‘menandai’ tempat tertentu sebagai ‘milik’ mereka, jadi sungkan kalau mau duduk di situ padahal kan fasilitas umum ya. Terlepas dari itu, kembali lagi, hellooo ini 40ribu semalem lho. Dapat alas tidur dan atap aja kayaknya udah Alhamdulillah. Wkwkwk.

Apart of that, awalnya saya berpikir Ubud enggak terlalu spesial buat saya secara ini adalah ke-ENAM kalinya saya ke sini. Memang makan di kafe-kafe sepanjang jalan utama Ubud tidak pernah menarik hati saya (karena selain mahal, saya meragukan kehalalannya); akan tetapi, saya kemudian merasa akan ada kemungkinan untuk feel excited again after exploring the neighbourhood. Jadi bukan di Ubud-nya ya, tapi di sekitarnya. Saya belum pernah ke Tegalalang, Tampaksiring, Pura Tirta Empul, Bali Bird Park, dan masih banyak lagi. Saya juga berencana ke Nusa Penida dan Nusa Lembongan, waaah kudu ngatur jadwal (dan duit gaji) dengan ketat nih.

They say for once in a lifetime you do this kind of thing, like living in Bali (and people will see it as a ‘heaven’). But still, for a serious person like me, I’ll always put work (and then rest) in priority. Semoga aja saya enggak malas supaya bisa main ke berbagai tempat di Bali sebelum kontrak berakhir. Atau semoga saya dapat kerjaan lain jadi bisa lanjut tinggal di Bali sesudah UWRF. Atau semoga saya nikah (segera) dan suamik memutuskan untuk buka usaha di Bali. Atau… okay stop Prim, you need to live the reality. So, I’ll see you in Bali soon? ;)

Lots of love,
Prima

Monday, June 11, 2018

#Refleksi Ramadan 1439 H: Finale

Assalamu’alaikum, Pemirsaaa. Kok sudah hari ke-26 aja ya.. Ini waktu berlalu begitu cepat atau kalender saya yang bermasalah? Bisa ga nih, kita balik ke hari pertama Ramadan? *ditimpuk pembaca

Iyaaa, iyaaa. Tadinya saya sudah janji kepada diri sendiri untuk mengisi blog ini lagi dengan tema-tema #RamadanMenulis. Sungguh saya merasa berdosa karena mewajibkan para peserta menulis secara konsisten, sementara sayanya malah kabur mengurusi ujian kehidupan yang tiada habisnya. Tsah. Tapi beneran, saya lelah luar biasa pada Ramadan tahun ini. I know setiap orang punya porsi ujiannya masing-masing. Kalau saya tidak diuji dengan masalah ini, saya tetap akan diuji dengan masalah lain. Jadi lain kali ada ujian datang, senyumin aja. Enggak takut, weeek. *Julurin lidah ke masalah*

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah (94): 5-6)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".” (Q.S. Al-Baqarah (2): 286)

Selama bulan Ramadan, Al-Insyirah dan dua ayat terakhir Al-Baqarah menjadi favorit saya untuk dibaca pada saat salat wajib maupun sunah. Despite the fact that I am forever grateful to be able to release my book, Perjalanan Menuju Cahaya, and also held Ramadan Menulis on my second account Instagram Muslimah Sinau, life has been so hard these days.

Bermula dari Whatsapp saya yang di-block oleh mama beberapa hari sebelum Ramadan, sehingga membuat saya fokus meminta dan terus meminta kepada Allah, bagaimana caranya agar bisa berbaikan dengan mama saya sebelum saya berangkat ke Bali. Dikabulkan? Ya, Allahu Akbar! Mama saya dilarikan ke rumah sakit pada hari Selasa minggu lalu karena kondisi badan yang drop. Insya Allah mama saya tidak menderita penyakit yang berarti, hanya mungkin kebebanan pikiran tentang saya sampai stres. Saya pun berkesempatan menemuinya dan akhirnya kami berbaikan di rumah sakit. 

Akan tetapi, saya harus melewati proses yang menyakitkan untuk dapat melepaskan perasaan bersalah (karena sebenarnya saya tidak bersalah dalam kejadian ini – but it’s too complicated to tell). Saya pikir saya hampir masuk jurang depresi lagi. Saya sudah mulai sering bengong lagi, susah tidur, dan malas beranjak dari kamar. Selain dibantu dengan obat antidepresan; pekerjaan, Ramadan Menulis, dan berdialog dengan Ustaz membangkitkan saya dari keterpurukan. Pokoknya saya bertekad enggak boleh sampai jatuh lagi. Nangis boleh, sesenggukan oke. Tapi jangan sampai terjun bebas kayak waktu itu.

Namun pada akhirnya, ada satu khotbah tarawih yang saya catat dalam hati dan pikiran. Bahwa ujian itu ada untuk menghapus dosa dan menaikkan derajat seseorang. Saya pulang dengan tersenyum dan memeluk ayah saya, “Alhamdulillah Yah, semoga aku dimampukan Allah untuk menemuiNya dalam keadaan suci tanpa dosa karena ujian-ujian yang datang ke kehidupanku.”

Sesudah malam itu, saya mencoba untuk lebih berbahagia. Saya menulis gratitude list lagi, dan berfokus pada apa yang bisa saya maksimalkan pada Ramadan tahun ini. Memang ada hal-hal yang hingga hari ini masih saya latih terus-menerus, tapi untuk menambah wawasan Sister, bolehlah belajar dari kesalahan saya berikut:

Sunday, June 3, 2018

Living an Impactful Life: 4 Pelajaran Berharga dari Ali Banat dan Razan Najjar

Ramadan tahun ini, Muslim/Muslimah di seluruh dunia diliputi kabar-kabar menyedihkan. Dimulai dari negara kita tercinta, yang sebenarnya berawal dari hoax, tapi kemudian kalau saya pikirin, semakin sedih saya jadinya. Ini kok kayaknya Muslim Indonesia bakal diuji dengan perpecahan kalau enggak hati-hati. Iya perbedaan itu selalu ada, tetapi akhir-akhir ini rasanya semakin mendebarkan dan menakutkan. Kayak… Ada perasaan curiga bahkan ke sesama saudara Muslim, astagfirullah.. Makanya setiap Subuh saya baca Al-Fatihah khusus untuk Indonesia, pokoknya gimana caranya saya yakin Allah masih akan melindungi kita semua dari marabahaya walaupun udah bocel-bocel di sana-sini tapi harapan masih ada – selama kita berharap #eaaa.

Selepas kasus hoax daftar ustaz radikal (udah baca artikel Asumsi di sini? Saya jadi narasumber lho, hihi), minggu lalu kita dikejutkan dengan meninggalnya Ali Banat dan Razan Najjar. Tanpa mengecilkan kedua sosok tersebut, let’s just admit that people die everywhere everytime. So why these two persons matter?

Saya pun browsing dan membaca beberapa artikel tentang keduanya, and I can conclude that they are SO LUCKY. Karena, sebagaimana saya tulis di buku saya, mereka meninggal pada saat keadaan iman sedang bagus-bagusnya (insya Allah), dan dalam keadaan sedang berbuat baik. Sementara menjelang Ramadan kita mendengar, berpuluh-puluh orang meninggal karena minum miras oplosan. Waduh, udah penyebab meninggalnya enggak keren, nyusahin orang pula. Naudzubillahi min dzalik.

While I believe you can googling about Ali Banat and Razan Najjar, let me just summarize some important lessons from them. Hopefully it can give you more motivation to accomplish Ramadan as a winner.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...