Monday, June 11, 2018

#Refleksi Ramadan 1439 H: Finale

Assalamu’alaikum, Pemirsaaa. Kok sudah hari ke-26 aja ya.. Ini waktu berlalu begitu cepat atau kalender saya yang bermasalah? Bisa ga nih, kita balik ke hari pertama Ramadan? *ditimpuk pembaca

Iyaaa, iyaaa. Tadinya saya sudah janji kepada diri sendiri untuk mengisi blog ini lagi dengan tema-tema #RamadanMenulis. Sungguh saya merasa berdosa karena mewajibkan para peserta menulis secara konsisten, sementara sayanya malah kabur mengurusi ujian kehidupan yang tiada habisnya. Tsah. Tapi beneran, saya lelah luar biasa pada Ramadan tahun ini. I know setiap orang punya porsi ujiannya masing-masing. Kalau saya tidak diuji dengan masalah ini, saya tetap akan diuji dengan masalah lain. Jadi lain kali ada ujian datang, senyumin aja. Enggak takut, weeek. *Julurin lidah ke masalah*

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah (94): 5-6)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".” (Q.S. Al-Baqarah (2): 286)

Selama bulan Ramadan, Al-Insyirah dan dua ayat terakhir Al-Baqarah menjadi favorit saya untuk dibaca pada saat salat wajib maupun sunah. Despite the fact that I am forever grateful to be able to release my book, Perjalanan Menuju Cahaya, and also held Ramadan Menulis on my second account Instagram Muslimah Sinau, life has been so hard these days.

Bermula dari Whatsapp saya yang di-block oleh mama beberapa hari sebelum Ramadan, sehingga membuat saya fokus meminta dan terus meminta kepada Allah, bagaimana caranya agar bisa berbaikan dengan mama saya sebelum saya berangkat ke Bali. Dikabulkan? Ya, Allahu Akbar! Mama saya dilarikan ke rumah sakit pada hari Selasa minggu lalu karena kondisi badan yang drop. Insya Allah mama saya tidak menderita penyakit yang berarti, hanya mungkin kebebanan pikiran tentang saya sampai stres. Saya pun berkesempatan menemuinya dan akhirnya kami berbaikan di rumah sakit. 

Akan tetapi, saya harus melewati proses yang menyakitkan untuk dapat melepaskan perasaan bersalah (karena sebenarnya saya tidak bersalah dalam kejadian ini – but it’s too complicated to tell). Saya pikir saya hampir masuk jurang depresi lagi. Saya sudah mulai sering bengong lagi, susah tidur, dan malas beranjak dari kamar. Selain dibantu dengan obat antidepresan; pekerjaan, Ramadan Menulis, dan berdialog dengan Ustaz membangkitkan saya dari keterpurukan. Pokoknya saya bertekad enggak boleh sampai jatuh lagi. Nangis boleh, sesenggukan oke. Tapi jangan sampai terjun bebas kayak waktu itu.

Namun pada akhirnya, ada satu khotbah tarawih yang saya catat dalam hati dan pikiran. Bahwa ujian itu ada untuk menghapus dosa dan menaikkan derajat seseorang. Saya pulang dengan tersenyum dan memeluk ayah saya, “Alhamdulillah Yah, semoga aku dimampukan Allah untuk menemuiNya dalam keadaan suci tanpa dosa karena ujian-ujian yang datang ke kehidupanku.”

Sesudah malam itu, saya mencoba untuk lebih berbahagia. Saya menulis gratitude list lagi, dan berfokus pada apa yang bisa saya maksimalkan pada Ramadan tahun ini. Memang ada hal-hal yang hingga hari ini masih saya latih terus-menerus, tapi untuk menambah wawasan Sister, bolehlah belajar dari kesalahan saya berikut:

1. Ngomel Dulu, Berpikir Kemudian
Saya ini tipikal orang yang mulutnya ceplas-ceplos. Reaktif banget apalagi kalau ada cowok ganteng lewat di depan mata. Enggak deng, bercanda. Kalau ada kejadian, komentar dulu; baru mikir, “hmmm benar enggak ya, komentarku?” Sama juga ketika diberi ujian oleh Allah. Ngomelngomelngomel kesana kemari, jungkir balik nyari solusi – bahkan sebelum berpikir dengan tenang. Nah, Ramadan tahun ini saya mencoba untuk diam dan merenung sebelum membuka mulut. Kalau kalut dan enggak bisa mikir, saya lantunkan istigfar dan hamdalah bergantian. Itu dulu sampai hati tenang, baru kemudian, “oke, saya harus gimana?” Terbukti, saat mendapat kabar bahwa mama masuk rumah sakit, saya bisa dengan sangat tenang menelepon rekan kerja dan minta izin untuk tidak bekerja hari itu. Lalu saya ngojek ke terminal dan naik bus ke Surabaya. Itu pun, karena masih agak panik, saya naik bis ekonomi. Jadilah saya turun di Singosari dan pindah ke bis patas. Tapi udah bagousss banget, biasanya saya pasti gendandapan.

2. Mendahulukan Ibadah Sunah, Melalaikan Ibadah Wajib
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” (Q.S. Al-Ma’un (107): 4-5)

Siapa yang bulan Ramadan ini semangat banget nambah salat sunah? Tarawih, tahajud, duha dijalankan… tapi salat wajibnya masih menunda-nunda? Udah dengar azan tapi, ‘ah ntar dulu, tanggung lagi ngerjain ini…’ Saya juga kok, Sister! Lalu tiba-tiba saya teringat guyonan dari guru les Bahasa Korea saya dulu.
“Kebiasaan orang Indonesia itu jam karet. Tapi ada SATU occasion yang orang enggak akan mau terlambat barang satu menit saja. Yaitu, buka puasa.”

HAYO LHOH.

Ya gitu kan kita, coba kalau dengar azan maghrib di jalan pasti udah kelimpungan nyari takjil atau minuman. Sementara, berapa banyak dari kita yang mikir, “salat maghribnya gimana?” Ini juga PR banget buat saya, karena namanya manusia kan penginnya doa dikabulkan dalam waktu yang secepat-cepatnya ya, tapi kalau disuruh nemuin Tuhannya, adaaa aja alasannya. Astagfirullah.

3. Terlalu Fokus pada Ibadah Pribadi dan Melupakan Ibadah Sosial

Tahun ini saya tidak punya target khataman, tetapi saya berusaha membaca Tafsir Muyassar setiap hari. Meskipun demikian, saya bisa di kamar terus enggak keluar-keluar karena sibuk dengan ibadah saya. Setelah saya bermuhasabah diri, saya pikir Ramadan kali ini kurang seimbang. Saya sama sekali tidak buka puasa bareng teman, dan hanya tiga kali buka puasa di luar, itu pun sama orangtua. Tadinya saya mendaftar sebagai relawan di sebuah komunitas sosial. Nyatanya saya hanya bisa ikut SATU kali saja, yaitu pada kegiatan pengobatan gratis di Desa Kemiri, Kabupaten Malang. Sedih? Iya dong. Musuh saya adalah manajemen waktu yang buruk dan suka menunda-nunda. Rencana saya mengajar Alquran di rumah tahanan pun gagal total karena malas mengurus birokrasi dan administrasi. Masih Alhamdulillah, saya bekerja di rumah sehingga saya berusaha meluangkan waktu bersama keluarga sebanyak-banyaknya. Entah berbincang dengan ibu, menyiapkan makan siang nenek yang tidak puasa, atau menyimak lantunan Alquran ayah pada jam menjelang berbuka. Anugerah yang luar biasa!

4.  Berhenti Melakukan Amalan Sunah Selepas Ramadan
Waduuuh jangankan nunggu Ramadan berakhir, ini aja saya libur puasa 6 hari, mau mulai lagi setengah mati susahnya. Padahal sepanjang libur saya sudah rutin berzikir dan membaca buku-buku agama. Apalagi kalau sama sekali disconnecting dari Allah setelah Ramadan? Padahal kita tahu sendiri iman itu naik-turun. Makanya saya selalu berusaha langsung puasa bayar utang dan puasa Syawal sesudah perayaan Idulfitri, agar saya tidak jauh melenceng dari ‘jalur’. Selain itu, mengelilingi diri dengan orang-orang yang saleh juga penting untuk menjaga istikamah. Yakin deh, mencoba istikamah sendirian itu berat, kamu tidak akan kuat. #terdilan2018

Kesimpulannya, begitulah. Kita kerap memandang Idulfitri sebagai akhir. Sementara saya justru melihatnya sebagai awal, benarkah saya ‘lulus’ dari ujian satu bulan dan berhasil ‘naik pangkat’? Hal ini juga membawa ingatan saya kepada pertanyaan seorang teman, “Mbak Prima, apa tandanya kita mendapatkan Lailatul Qadar?” Dan inilah jawaban saya yang dikumpulkan dari beberapa ceramah, “Saat ibadah kita dari bulan Ramadan ini hingga bulan Ramadan tahun depan meningkat dan semakin baik, itulah tanda kita memenangkan Lailatul Qadar. Wallahu a’lam.” Jadi, #jangankasihkendor untuk 11 bulan ke depan. Semoga Allah berkenan menjauhkan kita dari siksa kubur dan siksa neraka; dan mempertemukan kita dengan Ramadan berikutnya dalam keadaan iman yang penuh. Aamiin.
Taqabbalallahu minna wa minkum.

Selamat berhari raya,
Prima dan (calon) suami [brb nyari dulu :p]

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...