Monday, August 29, 2016

Kekhawatiran Terhadap Angka

Beberapa hari yang lalu, blog saya berulangtahun yang ke-3. Despite the fact that I have written more than 400 posts, ternyata saya masih merasa tidak puas saat melihat page views-nya yang belum mencapai target saya. Tadinya saya sempat ingin mencapai 100ribu page views pada tahun pertama saya nge-blog. Artinya, seharusnya angka ini saya dapatkan pada tahun 2014. Saya lupa tahun berapa angka yang saya capai pada tahun itu, cuma secara sekarang ini baru 130ribu sekian, maka marilah kita menganggap bahwa saya gagal memenuhi target. At that time, in 2014, saya pasrah dan berpikir ‘ah ya udah, let it go aja deh’.

Pada waktu yang hampir bersamaan, salah seorang fashion blogger favorit saya, merayakan angka page views 10 JUTA! Saya kurang begitu ingat sudah berapa lama dia nge-blog, but I was stunned. Like, 10 millions gitu? I know she is very famous in her country. I almost work with her for an event in 2014, but then the event was canceled although I have booked the flight. Dia adalah seorang hijabi/fashion blogger yang chubby (that’s why I like her style, haha), dan sesekali berbagi tentang cerita-cerita yang emosional (dan ‘menenangkan’, ternyata orang sekeren dia juga pernah ditolak cowok lho). To be honest, saya pernah berpikir untuk jadi fashion blogger karena dia. Saya tahu dan sangat sadar kalau blog dengan niche yang spesifik cenderung meningkatkan page views karena pembaca tahu apa yang akan dia dapatkan ketika mengunjungi blog tersebut. Nah, kalau mau menyasar kelompok pembaca perempuan muda, tentu saja kalau bukan fashion maka beauty yang akan jadi andalan. Siapa sih yang engga suka ngeliat cewek-cewek cantik dan modis, dengan baju-baju yang bagus – dan somehow engga mungkin kita lakukan? Kalau kata CEO tempat kerja saya, makanya Awkarin itu terkenal, karena dia adalah potret dari sosok ideal di mata remaja: cantik, rambut bagus, badan oke, teman-temannya keren, dan segala atribut yang dia kenakan seolah-olah mengatakan ‘I’m the coolest person in the world!’ And we want to be that kind of person. Or at least some of us want to.

Sunday, August 28, 2016

Bridesmaids: Siapa Sahabat Saya?


“Siapa sahabat paling dekatmu saat ini?”

Sekitar dua minggu yang lalu, seorang sahabat saya yang sedang tinggal di negara tetangga menanyakan hal ini kepada saya. Saya meresponnya dengan cepat. Tentu dia adalah salah satunya. Terus ada satu, dua, tiga, orang lain. Hanya, kalau dihitung-hitung lagi, sebenarnya sahabat saya lebih dari itu.

And then, apa arti sahabat buat saya? Namanya prima, apa-apa kan harus dipikir sampai berhari-hari. Saya bingung aja gitu, gimana harus mendefinisikan ‘sahabat’ karena buat saya artinya bisa luas, dan bisa jadi punya tujuan yang spesifik. Misalnya, kalau saya lagi pingin nyari nasehat masalah agama, ada sahabat A. Kalau saya lagi buntu masalah kuliah, ada sahabat B. Jadi persahabatan seperti ini ‘fungsional’. Mungkin sister akan merasa “lho, kalau gitu sesama sahabat saling memanfaatkan dong, datang kalau ada butuhnya aja?” Saya pribadi justru tidak merasa hal ini adalah suatu masalah yang besar. Why so? Karena saya senang kalau saya bisa memberi manfaat buat orang lain, apalagi kalau dia merasa nyaman berbagi suka dan duka dengan saya. Beberapa tahun yang lalu, ada seseorang yang ‘ternyata’ menganggap saya sahabatnya. Saya sampai takjub mendengarnya, karena saya tidak menyangka, berdasarkan latar belakang kami yang jauh berbeda, dia menganggap keberadaan saya di hidupnya sangat berarti. Sampai sekarang pun, dia masih sering curhat ke saya.

Saya juga tidak membatasi sahabat saya hanya karena masalah kuantitas, dalam hal ini, frekuensi perjumpaan, atau lama persahabatan. Dari – katakan saja ada sepuluh orang ini – mereka, ada yang saya kenal hanya dalam hitungan dua tahun terakhir. But our feeling of needing each other is mutual.  Jangan salah, engga hanya PDKT ke calon pacar doang yang butuh mutual feeling. We need to make sure that our best friend also feel the same way towards us.

Baru-baru ini, saya merasa kehilangan seorang sahabat. Saya sangat-sangat merasakan jarak di antara kami berdua and I am so sad about that. Saya sudah merasakannya sejak bertahun-tahun yang lalu, that we grow into different direction. Kami tidak se-nyambung dan se-cocok dulu. Meskipun beberapa tahun yang lalu kami sempat dekat lagi, but still, I know I am not her first priority. Saya pun curhat ke sahabat yang nanyain pertanyaan diatas itu. Lalu kami berdua sadar, kami telah tumbuh dewasa. It sucks but we have to admit that in life, some people stay, some people leave. Kita tidak bisa terus terkungkung dalam suatu lingkaran jika kita ingin berkembang. Memang kadang kita harus berusaha mempertahankan beberapa orang yang we can’t live without, tapi selebihnya...kalau kata orang Jawa, kita tidak boleh dan tidak bisa nggoceli seseorang. Sama seperti mungkin juga orang-orang – siapapun itu – tidak boleh dan tidak bisa nggoceli kita kalau kita sudah memutuskan untuk pergi. Eh prim, ini bukan ngomongin mantan pacar kan? #eaaa #ujungujungnyacurcol

After all, hidup akan mempertemukan kita dengan orang-orang baru yang engga kalah lucuk dan menggemaskan (ini sahabat atau puppy ya?). Yang pasti, insyaAllah lebih memahami situasi diri kita saat ini. 

Barusan saja saya nonton film Bridesmaids. Keren banget! Banyak pemerannya yang terkenal, dan seperti sister tahu, saya kan suka film drama, jadi mewek gitu deh. Bukan karena pingin nikah (saya pingin ngerasain fitting baju bridesmaid – and I am making one now for my best friend’s wedding in November, yay!), tapi karena saya teringat sahabat-sahabat saya. Berhubung jumlahnya lumayan, mungkin saya harus tega untuk menyaring siapa saja yang akan jadi bridesmaid saya kalau saya menikah sama Pangeran Dubai nanti. Ah engga usah deh, kalau beneran nikah sama Pangeran Dubai, semua sahabat saya bakal berangkat as my bridesmaid. 

Sayangnya saya kelewatan setengah jam awal film ini, jadi saya sempat bingung. Premis film ini agak unik, kalau biasanya yang jadi menggila menjelang pernikahan itu calon pengantin perempuannya, di film ini yang engga ‘asik’ adalah para pengiring pengantin. Ada aja masalahnya, tapi yang paling terasa ya antara Helen dan Annie. Gara-garanya, mereka bersaing untuk membuat the bride, Lillian, bahagia selama persiapan pernikahan. Si Annie keukeuh karena merasa mengenal sahabatnya sejak lama, sementara Helen merasa punya selera yang bagus sehingga bisa membuat Lillian tampak cantik dan mempesona. Akhirnya Annie merasa keberadaannya tidak dihargai dan bertengkar habis-habisan dengan Lillian. Tipikal film drama Hollywood juga sih ending-nya, tapi tetep menarik untuk ditonton. Apalagi Nathan, aduh dia cute banget, itu lho gayanya cowok yang naksir ke cewek tapi malu-malu. Waktu nulis ini aja, saya jadi senyum-senyum sendiri. Untung sepupu saya yang lagi nonton TV di sebelah saya engga sadar. Hahaha.

Nah, kalau berdasarkan film Bridesmaids ini, pada dasarnya definisi sahabat adalah seseorang yang sudah mengerti jeleknya kita. Mereka juga engga ngetawain hal itu (ketawa sih, tapi di depan kita), tapi ngomong di depan kita: ‘hey, ini lho ada yang perlu diperbaiki dari dirimu.’ Kita pun engga ngerasa risih berbagi hal-hal jelek itu karena tahu sahabat engga akan menghakimi. Contohnya tuh, sahabat saya yang bilang kalau saya gendutan. Terus jangan dikira kalau saya ngumpul sama sahabat saya ngomongnya yang manis-manis, engga. Kadang juga bisa kasar banget sampai orang yang dengar mungkin berpikir ‘ini lagi ngapain sih?’ Tapi kami berdua tahu engga bakal menyakiti satu sama lain, udah ngerti batasnya. Ya kalau memang sakit hati tinggal bilang, ‘aku engga suka kamu ngomong gitu’, terus minta maaf dan engga diulangi lagi.

So~ lewat blog post ini, saya mau minta maaf ke sahabat-sahabat saya buat every little thing that I did wrong. Saya juga minta maaf kalau ada yang merasa saya ‘berbeda’ atau menjauh, I never meant to. I am just trying to catch up with my personal target, like you who are moving forward with getting married, and so on. Semoga suatu masa nanti, pada kesempatan yang lebih baik, our path will cross again.

Lots of love,
Prima

Saturday, August 27, 2016

Challenge Accepted: The Sunshine Blogger Awards 2016

Have to post it soon before I forget it! Beberapa tahun yang lalu (halah), saya juga pernah di-tag something award gitu sama teman blogger, terus udah kejawab pertanyaannya, eh lupa di-post. Anyway, award kayak gini seru juga ya, soalnya jadi ada ide buat nge-blog. Bahkan, mungkin dari setiap pertanyaan yang dikasih, bisa jadi satu blog post sendiri.

Sebelum saya menduduki kursi panas – busyet, berasa Who Wants to be Millionaire ajeee – let me thank Hestia Istivani, adik saya yang gemar sekali membaca. She inspired me to read more, dan saya sering nanya ke dia kalau mau beli buku. Kali ini pertanyaan yang dia ajukan ada yang sulit, jadi mari lihat sebagus apa jawaban saya. Hehe.

1. Why did/did not you sign up to have Spotify account?

What is Spotify? #meh

2. What concert do you want to attend so bad?
MICHAEL BUBLE, please! Taylor Swift – pasti masih kebayang video klip New Romantics nih. Terakhir, Charlie Puth, because...I want to Marvin Gaye and get it on with him, awww!

3. If you can choose a music instrument to play, which one would you like to be master at?
Piano sih, karena dulu waktu kecil sudah pernah les. Tapi masuk SMP ketemu aktivitas yang lebih seru dan jadi malas untuk ngelanjutin. Cuma sekarang kayaknya kudu beli pianonya dulu ya, biar bisa praktik setiap hari. Berarti harus punya rumahnya dulu, buat naruh pianonya, hahaha. 

4. What is your most favorite tv series so far?
Please don’t judge me.....Keeping Up with The Kardashians? Ya Allah, malu bok jawabnya. Jadi sampai akhir tahun lalu saya masih suka banget nonton Criminal Minds, terus waktu Asia’s Next Top Model Cycle 4 nyoba nonton dari episode 2 atau 3 gitu eh keterusan. Setelah habis, saya jadi suka nonton KUWTK soalnya penasaran apa sih yang bikin mereka terkenal banget. Buat saya, cara mereka untuk ‘sukses’ seharusnya bisa dipelajari dan diambil yang baik, terutama untuk menyebarkan positive vibes. Cuma sampai sekarang belum ketemu ‘apa’-nya, hahahahahahahaha payah ah. Oh ya, kemarin saya habis menyelesaikan Joanna Lumley’sTrans-Siberian Adventure, nonton di BBC Earth. KEREN GELAK. *catat itinerary-nya*  
(((lalu sadar pertanyaannya bukan yang sedang ditonton tapi most favorite tv series, tapi sudah terlanjur..)))

5. If you can choose a spouse from fictional character from a tv series/movie, who is the lucky one?
Masterchef Australia masuk fictional character engga? YA ENGGA LAH. Hiks sedih, saya lagi suka sama Matt Sinclair dari Season 8 nih. Yaudah kalau gitu Dr. Spencer Reid dari Criminal Minds aja, soalnya ya jelas: cerdas! Eh boleh satu lagi? Prince Liam Henstridge dari The Royals dong! FYI pemerannya ternyata pernah main di film favorit saya, The Chronicles of Narnia. Pantas kok rasanya mukanya familiar.....sok kenal banget sih, prim? Hihihi.

6. Would you like to tell me your way to watch an entire season of a tv series?
Applause for me, saya engga pernah ngabisin banyak waktu untuk nonton TV series. Basically I don’t really like series. Kalau orang bilang ‘ah masa sih kamu engga suka nonton drama Korea?’ NOOO. Coba cek aja, bahkan Descendants of the Sun pun saya engga nonton. Makanya waktu itu pernah nonton Cansu Hazal, ya Allah aku tersiksa sekaleee~ Cuma tahan lima episode kalau engga salah, apalagi TV Indonesia kan iklannya buanyak banget. Eneg deh. And then, saya merasa lebih seru kalau nungguin kelanjutannya besoknya, atau minggu depannya. Walaupun pernah geregetan waktu tahu Castle dan Beckett harus berpisah di Season 8, tapi saya selalu sabar menunggu episode berikutnya ditayangkan di televisi. Nunggu TV series aja sabar, apalagi nungguin kamu ngelamar aku mas.. #lah

7. What is your best treat to appreciate yourself after surviving the most depressing situation?
Makan es krim/pizza/cemilan penuh MSG yang banyak! Hahaha, engga sehat ya? Yang bisa terpikirkan sekarang sih ini. Tadinya pingin jawab ‘traveling’ tapi kayak sok iyes banget. Mungkin bisa juga nyalon (bukan nyaleg ya #krik), tapi belum nemu salon yang oke banget di Jogja. Manicure-pedicure juga udah dijadwalin tiap bulan, so pampering myself isn’t a ‘treat’ for me. Terus apa dong. Makan aja deh, itu jawabannya udah paling bener.

8. Mind telling me your motivational quotes/speech to boost up your mind, mood, and spirit?
Banyak! Coba baca post ini: Top Quotes for Strong Women. Ada satu lagi: 'the journey of a thousand miles begins with one step.' - Lao Tzu, terutama untuk mengingatkan diri sendiri agar tesis segera dimulai (dan diselesaikan!). Oh, and this (long) quote:


    “Dear Woman,
    Sometimes you’ll just be too much woman.
    Too smart, too beautiful, too strong.
    Too much of something that makes a man feel like less of a man,
    Which will make you feel like you have to be less of a woman.
    The biggest mistake you can make is removing jewels from your crown
    To make it easier for a man to carry.
    When this happens, I need you to understand:
    You do not need a smaller crown—
    You need a man with bigger hands.”
    ― Michael Reid

9. Do you believe in “pressure makes diamonds” kind of thing?
If so, then have I become diamond now? Think about the journey and life as a bunch of milestones, and to reach every milestone, you need to do a big leap. Sometimes the leap is so big until you feel like you are standing on the edge and have to burn the bridge. All you can do now is JUMP! Saya lebih percaya demikian.

10. Just use your imagination, why was Pluto being dropped out from the Milky Way?
Maybe he is being too naughty? *efek habis nonton Guffy dan Pluto di channel Disney*

11. I’d like to know your opinion about “feminism” as act of gender equality, please?

Ya Allah ini pertanyaan jawabannya bisa panjang banget. Suatu waktu ada bahasan tentang gender di kelas Isu Isu Komunikasi Kontemporer, dan saya sampai berapi-api memberikan pendapat. Daripada menjelaskan panjang lebar, gimana kalau baca artikel ini aja? Yang penting, saya percaya perempuan punya hak untuk melakukan apapun yang ia mau selama ia siap bertanggungjawab di hadapan Sang Pencipta. Hanya saya tetap merasa, sebenarnya setiap perempuan punya kemampuan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dari dirinya, namun kadang tekanan sosial dan lingkungan sekitar turut memberikan kontribusi dalam mengkerdilkan peranan perempuan. Cukup menjawab kah?

Now it’s time for me to make some questions and tag other blogger/friends.

Pertanyaannya adalah *drum roll*
1. Apa media sosial yang masih kamu pertahankan, dan kamu rasa you can’t live without?
2. Apa buku favoritmu sepanjang masa (bukan Al-Qur’an/Alkitab ya pastinya, itu sih engga usah disebut, hehe)?
3. Apa momen paling membahagiakan dalam hidupmu hingga saat ini?
4. Apa film paling jelek yang pernah kamu tonton setahun terakhir?
5. Kalau kamu boleh mengulang masa kuliah, adakah hal yang ingin kamu ubah?
6. Siapa blogger favoritmu (selain saya tentunya :p)?
7. Apa arti menulis/blogging buatmu?
8. Kalau suatu hari memoir hidupmu dibuat film, siapa yang kamu pilih untuk memerankan dirimu?
9. Apa lagunya Adele yang menurutmu paling galau dan bisa bikin depresi?
10. Seandainya kamu menjadi atlet, apa olahraga yang akan kamu pilih?
11. Bagaimana pendapatmu tentang ‘perempuan harus bisa masak’?

Dan blogger yang harus menjawab kesebelas pertanyaan diatas, adalah:
1. Kak Anissa Rizkianti yang chantique
2. Bumil Rosa Susan
3. Mahasiswa baru Hilda Ikka
4. Mbak blogger yang makin heits, mrs. Tiananana
5. Yang lagi sibuk skripsi, Erny Kurniawati
6. Kak Teppy yang sedang saya rindukan
7. Sepupuku yang lagi ribet, Intan Dzikria, semoga jadi hiburan buatmu

8. The multi-talented Nazura Gulfira
9. Yang baru aja jadi Duta Bahasa Jawa Barat, Safira
10. Dosen kece Mbak Ineee~
[don't forget to tag me on your post :))] 

Hmmm, siapa lagi, I will add more begitu ingat siapa yang pingin diajak. But for now, hope you enjoy my answers, and have a nice weekend! Mmuah!

Wednesday, August 24, 2016

Dear Mantan, Izinkan Aku untuk Melupakanmu. Sudah Waktunya Aku Mengejar Kebahagiaan yang Lebih Nyata

Tanggal pernikahanku sudah di depan mata. Tadi sore aku melakukan fitting gaun pengantinku untuk yang terakhir kali. Semuanya sudah pas, tinggal aku berjuang untuk mengempeskan perutku yang sedikit buncit. Sebenarnya aku sudah cukup langsing – namun karena stres, akhir-akhir ini aku cukup banyak makan makanan manis. Aku sudah membuat janji dengan personal trainerku di gym. Mulai besok, aku akan menambah pola olahragaku agar aku bisa tampil sempurna pada hari H.

Undangan sudah disebar. Beberapa teman berhalangan hadir dan berpesan akan mengirimkan kado. Beberapa yang lain sangat excited dan berkata akan segera memesan tiket ke Yogyakarta. Memang sulit ketika kamu memiliki begitu banyak teman dari berbagai kota. Akan tetapi, aku ingin berbagi kebahagiaanku dan kedatangan mereka akan sangat berkesan untukku, melebihi apapun kado yang mereka berikan.

Bukannya aku tidak menghargai kado berupa barang. Nanti sesudah aku menikah, aku akan pindah ke rumah suamiku yang sudah ia tinggali dua tahun terakhir. Namanya juga lelaki. Sejauh ini aku lihat rumahnya sangat rapi, atau bisa dibilang...kosong. Tempat tidur, lemari, meja makan, kulkas, hanya sebatas itu perkakas yang ia miliki. Kalau saja aku bisa mendapatkan mixer, oven, atau set pisau sebagai hadiah pernikahan, tentu aku akan sangat senang. Aku memang hobi memasak, dan banyak teman yang memuji cake buatanku.

Aku mengecek handphone dan hendak mengirim pesan kepada sahabatku. Ia sudah berjanji menemaniku untuk mengambil souvenir yang sedianya akan diberikan kepada para tamu yang datang pada malam pengajian. Saat itulah sebuah pesan masuk.

“Kamu mau nikah kok engga bilang?”

Deg! Aku terkejut setengah mati. Nomer ini...nomer handphone mantan pacarku. Aku sudah menghapusnya dari phone book, tapi aku akan selalu mengingatnya. Balas...tidak...balas...tidak. Sebuah pesan lain masuk.

“Bolehkah aku bertemu denganmu untuk yang terakhir kali?”

Terlambat, ia menelepon. Entah mengapa, aku langsung memencet tombol hijau.

“Halo.”

Suara itu. Suara yang dulu – sepertinya sampai sekarang – selalu membuatku luluh. Suara yang dulu – selalu menenangkan aku dan membuatku tertawa. Suara yang dulu selalu membangunkan aku di pagi hari, dan mengucapkan ‘have a nice dream’ setiap malam.

“Halo, apa kabar?”

Ia mengulanginya.

Sedetik kemudian, aku merutuki diriku sendiri yang menjawab panggilan itu, merespon “baik”, lalu menanyakan kabarnya juga. Sejam berikutnya, kami mengakhiri telepon, dan aku merasa sangat sangat bersalah.

Monday, August 22, 2016

Kenaikan Harga Rokok dan Pesugihan

Good morning, sister! Ternyata saya sudah lama engga nge-blog. Yaaa, walaupun memang tahun ini saya lumayan sibuk (ceileh), saya masih punya target minimal 100 post sebelum 31 Desember 2016. I have a lot of things in my mind which I want to share to you, tapi kadang waktu mau nulis udah kecapekan dan besoknya lupa deh. Padahal banyak juga topik yang sudah ditulis di notes. Akhirnya, tema itu menurut saya udah basi dan engga asik lagi buat dibahas.

Sabtu lalu saya main ke kos teman dan dia menunjukkan sebuah gambar yang kayaknya sih editan. Di gambar itu, harga-harga rokok jadi tujuh sampai delapan kali lipat dari harga sebenarnya. Kayaknya ada yang harganya 118ribu rupiah deh. Pulangnya saya segera mengecek di mini market, ternyata harganya masih belum naik. Syukurlah #lho

Dulu waktu zaman SMP, awal-awal tahu ada teman yang merokok, saya tuh sempat bingung, ‘enaknya merokok itu dimana?’ Memang ayah saya perokok (dulu), tapi pikiran saya waktu itu ya, orang dewasa merokok itu biasa saja. Sedangkan remaja, yaelah, uang saku masih minta orangtua. Mending buat beli pentol – eh engga mending juga, mending uangnya buat main CS atau PS, eh engga deng, ditabung deh (pencitraan biar kelihatan bak anak sholehah).

Semakin heran lagi ketika ada teman yang habis liburan ke luar negeri, pulang bawa oleh-oleh...rokok! Dan dia membanggakan kalau rokok itu harganya mahal banget, jadi rasanya enak (?). 

Tapi namanya juga pergaulan, waktu SMA saya sempat mencoba merokok just for the sake to know what it feels like to smoke. Semoga ayah dan mama saya engga baca blog ini #eaaa But I don’t like it. Terutama saya engga suka kalau beli, karena masih berprinsip mending beli pentol. Hidup pentol!

Waktu berlalu, dan karena saya belum masuk golongan perokok, saya dengan mudah berhenti merokok. Lupa sama rokok dan segala permasalahannya, sampai saya magang di perusahaan rokok. Disini, saya sempat belajar tentang industri rokok dan cerutu. Kalau dulu saya mencoba merokok, sekarang saya mencoba menghisap cerutu. Tapi mahal bok! Bisa sekitar 50ribu-60ribu per batang. Jadi sekali lagi, mending duit segitu dibeliin apaaa? Yak, tepat sekali, pentol!

Lucunya, baru setelah lulus kuliah, saya baru sadar kalau Indonesia ini surga buat perokok. Tahu dong kalau sampai beberapa bulan yang lalu, orang masih bebas merokok di kereta kelas ekonomi dan stasiun. Saya mulai merasakan ‘neraka dunia’ karena saya sering menggunakan kereta untuk pergi keluar kota.

Tak hanya di stasiun. Di warung kaki lima sampai restoran kelas atas pun, sister bisa menemukan orang merokok. Di kampus! Ya Allah! Ini parah banget! Engga tau juga kemarin-kemarin saya ngapain aje, kok ya baru sadar kalau banyak mahasiswa nongkrong di kampus terus ngerokok dengan tenangnya. (Oh ya, waktu saya S1 dulu, kebanyakan teman saya tidak merokok, atau mungkin mereka merokok tapi tidak di depan saya.)

Sementara itu, asma saya semakin sering kambuh. And that’s how I hate smokers dan antek-anteknya. Sampai bersumpah pokoknya saya engga akan menikah dengan perokok. Kalau orang lain nanya sama gebetan, “kamu Islam?”, yang pertama saya tanyakan, “kamu merokok?” Engga lah, bercanda woy. Tapi segitu itu saya benci rokok, baunya, perokok, endebre endebre.

Yang paling bikin sebel dari semua itu adalah, sebenarnya saya tidak masalah sama sekali ketika ada yang merokok. Tapi mbok ya, merokoknya jangan di depan orang-orang yang tidak merokok. Merokok itu hak asasi panjenengan, oke deh. Tapi saya juga punya hak akan udara yang bersih. Makanya ada yang paling ngeselin dari perokok, yaitu perokok yang egois dan berpikir dunia hanya miliknya seorang – yang lain ngontrak!

Terus kenapa judulnya ada kata ‘pesugihan’? Because I think it’s a tragical situation when too many people struggling for improving their financial situation (read: trying to be rich), but then burning their money in the forms of cigarettes.

Mungkin kamu bisa bilang ‘kamu sirik aja prim, itu kan duit mereka, beli rokok juga engga minta kamu.’ Iya bener banget, tapi kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa begitu banyak orang masih hidup dibawah garis kemiskinan tapi mereka ngebelain buat beli rokok. Ujung-ujungnya, that thing kills their family. Engga nyadar kalau asap rokok yang bikin anaknya sakit-sakitan. Tahu sendiri kalau uang sepuluh-dua puluh ribu sangat berharga buat mereka, tapi mereka memilih untuk membakar uang itu demi kesenangan sesaat daripada buat ngebiayain anaknya sekolah.

And then, orang kaya boleh ngerokok, gitu maksudmu? Engga juga! Apalagi kalau kayanya lewat pesugihan. Asal tahu saja, syarat buat ngedapetin uang dari pesugihan itu banyak, berlapis, dan kadang rumit. Tapi ya mungkin juga karena uangnya udah terlanjur engga barokah, habisnya cepet. Zzz.

I know that changing habit is difficult, but sometimes I find smokers just too lazy to do that. Too ignorant. Too careless. Too selfish. Pertanyaan bertahun-tahun itu kan belum pernah terbantahkan, ‘kalau kamu yakin merokok itu sehat (atau setidaknya ada gunanya), why don’t you teach your kids to smoke?’ It’s because they are SURE that smoking is NOT HEALTHY AT ALL. Bahkan ayah saya yang akhirnya bisa berhenti setelah sekian tahun berjuang, sibuk melarang adik saya merokok. It’s because my dad loves my brother so much.

Memang saya belum punya jawaban jika kamu bertanya, ‘jika industri rokok mati, buruhnya harus kerja apa?’ walaupun saya yakin rezeki itu dari Allah. Pasti akan ada bantuan untuk orang-orang yang mengejar manfaat dan menghindari mudharat. Mungkin saya harus bikin pabrik (pentol) untuk menampung mereka. Mungkin saya harus memberikan pelatihan menulis supaya mereka bisa jadi copywriter and make money from that. Mungkin kamupun juga harus mulai memikirkan kontribusi apa yang harus kamu berikan agar Indonesia ini tidak jadi surganya perokok untuk selamanya.

But if you want to know, is there an urgent thing that has to be done NOW? I’d said, please support this project. Saudara/i muslim kita di Chiba, Jepang, sangat membutuhkan bantuan dana karena mereka hendak membeli gedung untuk dijadikan mushola dan halal shop secara semi permanen. Masih setengah jalan dari kebutuhan dana, dan waktunya kurang sekitar sebulan (sampai akhir September). Kalau kamu merokok dan mau menyisihkan dana rokokmu selama sebulan sebanyak lima puluh persen untuk diberikan ke project ini (syukur-syukur kalau bisa 100%), I believe it will be much better. Kamu pun jadi punya alasan untuk tidak merokok, dan lebih sehat karenanya. 

Pic from here.

Ingat juga untuk men-share link ini di media sosialmu. Berapapun bantuanmu, insyaAllah akan berguna. Semoga Allah berkenan menggenapkan dan melunasi hutang tersebut, agar saudara/i kita bisa sholat dengan tenang dan khusyu’. Amiiin.

Salam,
Prima

Tuesday, August 9, 2016

Polemik Full Day School dan Kenyataan Pahit tentang Pendidikan di Indonesia

Wadaw judulnya lebaaay~

Anyway, Ini mau dibahas dari sisi mana nih?

Apa perlu dibuat disclaimer dulu, kalau this post really is subjective and based on experiences?

Atau harus dituliskan pernyataan bahwa “saya menerima bahwa metode full day school itu bagus tapi tidak mendukung jika metode ini diberlakukan secara nasional”?

Lha terus masalahnya dimana dong?

Engga ada masalah juga sih. *lalu ditendang pembaca*

Menurut saya, masalahnya ada pada pemerintah Indonesia yang entah kenapa senang sama sesuatu yang disebut standarisasi atau penyeragaman. Somehow, mungkin beberapa standar dibutuhkan, misalnya helm SNI #lah

As I always said, saya ini korban dari kebijakan pemerintah Indonesia (terutama di bidang pendidikan) yang seringnya prematur. Tidak lulus UN SMA itu membuang waktu saya lho. Belum lagi malunya, ngurusin Kejar Paket C, bolak-balik ke Malang buat memastikan kalau Universitas Brawijaya tetap akan menerima saya sebagai mahasiswa. Ribet. Makanya ketika kontroversi tentang full day school itu mencuat, saya cuma ketawa. Pemerintah bikin dagelan apa lagi nih?

TAPI.

Harus digarisbawahi bahwa saya pribadi tidak merasa kebijakan itu salah sama sekali. Sebagai contoh, ujian nasional itu. Kalau saya bilang seharusnya UN itu diadakan terus, bukan juga karena saya kesel kok saya doang sih yang jadi korban, mbok ya lebih banyak lagi yang engga lulus #yakali. Saya pikir pada dasarnya ujian nasional itu tujuannya baik, hanya mungkin eksekusinya tidak berjalan sesuai harapan (baik harapan pemerintah maupun harapan orang banyak).

Demikian juga dengan full day school. Makasih lho, mbak Laksmi. Saya sudah dicerahkan bahwa Indonesia ini belum siap untuk menerapkan kebijakan tersebut secara nasional. Ketika saya mengonfirmasi kepada tante yang kedua anaknya disekolahkan full day – dan beliau adalah dosen kebijakan publik – beliau juga tidak setuju kalau semua sekolah harus full day. Ya dikembalikan saja ke masing-masing sekolah. Kalau siap, ya monggo. Kalau engga siap, ya jangan. Beres.

Making full day school ain’t easy at all. Apalagi sekolah dasar. Bikin anak-anak umur segitu betah belajar di kelas dari pagi sampai siang aja udah perjuangan, apalagi kalau sampai sore. Jadi selain daripada keteguhan hati dan kreativitas para guru, orangtua yang mengirim anaknya ke sekolah full day harus paham betul tujuan mereka.

Thursday, August 4, 2016

"You Fail Only If You Stop Writing." So Why Do You Stop Writing?

Namanya Han.

Dia sengaja hanya menyebut namanya singkat begitu, mungkin karena tahu saya juga tidak akan mengingatnya.

Satu pemain Korea lain menjabat tangan saya. ‘Kim Young Jun’, begitu katanya.

Sedetik kemudian, saya diajak ngobrol oleh Coach Timo Scheunemann dan saya langsung melupakan kedua orang itu. 

Besoknya saya melihatnya di stadion.

‘Kim! Kim!’ Saya memanggil berulang kali. Dia tidak menoleh.

‘You call me?’, ya ampun ternyata saya salah orang. Kim Young Jun, yang sedianya tidak terpilih sebagai salah satu pemain Persema sudah berdiri di depan saya.

‘No, no. Him.’

Dan sejak itu saya ingat baik-baik, namanya Han. Han Sang Min.

Wednesday, August 3, 2016

#PrimWMADiary: This is the Truth about World Muslimah Award 2014

 
 
 
 


[Disclaimer: I am ready to face all the consequences that might be arised by this post. I am standing on my own, although I will be happy if other finalists will stand up and defend me. I am writing this just for the sake of my own feeling, and I don’t want to hurt others neither harm any brands that worked with World Muslimah Award.]

Tuesday, August 2, 2016

What Would You Do If You Weren't Afraid?

Buat yang sudah pernah baca bukunya Sheryl Sandberg yang berjudul Lean In, pasti familiar dengan judul diatas. Kutipan tersebut, ditempel di ruang workshop #WhyNot yang diadakan oleh Kak Ollie dan Girls in Tech bekerjasama dengan Facebook, pada hari sabtu lalu di Jakarta. 

Entah mengapa saat melihat kutipan di dinding itu, saya merasa harus menuliskannya di blog, untuk suatu pemikiran...yang baru muncul tadi siang. Tadinya saya sempat bertanya-tanya, apa ya yang akan saya lakukan kalau saya tidak takut? Secara hingga umur segini, rasanya saya hampir selalu melakukan apa yang saya inginkan. Bahkan sering juga melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang karena saya paham, basically saya orang yang cenderung plin-plan dan perfeksionis. Kalau semua hal dipikirin baik-baik, takutnya malah engga jalan. Menghadiri UWRF pada tahun 2013 adalah salah satu keputusan spontan yang saya lakukan, and in the end saya sudah berpartisipasi sebanyak tiga kali, jadi supervisor MC pula. What a decision that changed my life. 

Selain itu, ada beberapa hal yang saya lakukan dengan mengesampingkan rasa takut, dan tidak berakhir sebagaimana saya mau, misalnya:
1. Melamar kerja di Supreme Committee (World Cup Qatar 2022), sampai bikin video dan beberapa blog post, sempat berkirim email dengan recruiter tapi tidak diterima.
2. Melamar posisi volunteer di Emirates Airline Festival of Literature, sempat video call, diterima jadi asistennya asisten manajer, tapi gagal berangkat karena engga punya uang.
3. Melamar seorang lelaki, dengan pedenya, karena I thought we have future, tapi ditolak mentah-mentah. Hahahahahahaha. Sekarang sih bisa ketawa, tapi waktu kejadian, sakitnya bok. 

See, I have swallowed a lot of failures in my life and I never regret it even for a second. I am glad I can make my own decision, and face all the consequences, even though in the process I might lose something. 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...