Wadaw judulnya lebaaay~
Anyway, Ini mau dibahas dari sisi mana nih?
Apa perlu dibuat disclaimer dulu, kalau this post really is subjective and based on experiences?
Atau harus dituliskan pernyataan bahwa “saya menerima bahwa metode full day school itu bagus tapi tidak mendukung jika metode ini diberlakukan secara nasional”?
Lha terus masalahnya dimana dong?
Engga ada masalah juga sih. *lalu ditendang pembaca*
Menurut saya, masalahnya ada pada pemerintah Indonesia yang entah kenapa senang sama sesuatu yang disebut standarisasi atau penyeragaman. Somehow, mungkin beberapa standar dibutuhkan, misalnya helm SNI #lah
As I always said, saya ini korban dari kebijakan pemerintah Indonesia (terutama di bidang pendidikan) yang seringnya prematur. Tidak lulus UN SMA itu membuang waktu saya lho. Belum lagi malunya, ngurusin Kejar Paket C, bolak-balik ke Malang buat memastikan kalau Universitas Brawijaya tetap akan menerima saya sebagai mahasiswa. Ribet. Makanya ketika kontroversi tentang full day school itu mencuat, saya cuma ketawa. Pemerintah bikin dagelan apa lagi nih?
TAPI.
Harus digarisbawahi bahwa saya pribadi tidak merasa kebijakan itu salah sama sekali. Sebagai contoh, ujian nasional itu. Kalau saya bilang seharusnya UN itu diadakan terus, bukan juga karena saya kesel kok saya doang sih yang jadi korban, mbok ya lebih banyak lagi yang engga lulus #yakali. Saya pikir pada dasarnya ujian nasional itu tujuannya baik, hanya mungkin eksekusinya tidak berjalan sesuai harapan (baik harapan pemerintah maupun harapan orang banyak).
Demikian juga dengan full day school. Makasih lho, mbak Laksmi. Saya sudah dicerahkan bahwa Indonesia ini belum siap untuk menerapkan kebijakan tersebut secara nasional. Ketika saya mengonfirmasi kepada tante yang kedua anaknya disekolahkan full day – dan beliau adalah dosen kebijakan publik – beliau juga tidak setuju kalau semua sekolah harus full day. Ya dikembalikan saja ke masing-masing sekolah. Kalau siap, ya monggo. Kalau engga siap, ya jangan. Beres.
Making full day school ain’t easy at all. Apalagi sekolah dasar. Bikin anak-anak umur segitu betah belajar di kelas dari pagi sampai siang aja udah perjuangan, apalagi kalau sampai sore. Jadi selain daripada keteguhan hati dan kreativitas para guru, orangtua yang mengirim anaknya ke sekolah full day harus paham betul tujuan mereka.
Apa perlu dibuat disclaimer dulu, kalau this post really is subjective and based on experiences?
Atau harus dituliskan pernyataan bahwa “saya menerima bahwa metode full day school itu bagus tapi tidak mendukung jika metode ini diberlakukan secara nasional”?
Lha terus masalahnya dimana dong?
Engga ada masalah juga sih. *lalu ditendang pembaca*
Menurut saya, masalahnya ada pada pemerintah Indonesia yang entah kenapa senang sama sesuatu yang disebut standarisasi atau penyeragaman. Somehow, mungkin beberapa standar dibutuhkan, misalnya helm SNI #lah
As I always said, saya ini korban dari kebijakan pemerintah Indonesia (terutama di bidang pendidikan) yang seringnya prematur. Tidak lulus UN SMA itu membuang waktu saya lho. Belum lagi malunya, ngurusin Kejar Paket C, bolak-balik ke Malang buat memastikan kalau Universitas Brawijaya tetap akan menerima saya sebagai mahasiswa. Ribet. Makanya ketika kontroversi tentang full day school itu mencuat, saya cuma ketawa. Pemerintah bikin dagelan apa lagi nih?
TAPI.
Harus digarisbawahi bahwa saya pribadi tidak merasa kebijakan itu salah sama sekali. Sebagai contoh, ujian nasional itu. Kalau saya bilang seharusnya UN itu diadakan terus, bukan juga karena saya kesel kok saya doang sih yang jadi korban, mbok ya lebih banyak lagi yang engga lulus #yakali. Saya pikir pada dasarnya ujian nasional itu tujuannya baik, hanya mungkin eksekusinya tidak berjalan sesuai harapan (baik harapan pemerintah maupun harapan orang banyak).
Demikian juga dengan full day school. Makasih lho, mbak Laksmi. Saya sudah dicerahkan bahwa Indonesia ini belum siap untuk menerapkan kebijakan tersebut secara nasional. Ketika saya mengonfirmasi kepada tante yang kedua anaknya disekolahkan full day – dan beliau adalah dosen kebijakan publik – beliau juga tidak setuju kalau semua sekolah harus full day. Ya dikembalikan saja ke masing-masing sekolah. Kalau siap, ya monggo. Kalau engga siap, ya jangan. Beres.
Making full day school ain’t easy at all. Apalagi sekolah dasar. Bikin anak-anak umur segitu betah belajar di kelas dari pagi sampai siang aja udah perjuangan, apalagi kalau sampai sore. Jadi selain daripada keteguhan hati dan kreativitas para guru, orangtua yang mengirim anaknya ke sekolah full day harus paham betul tujuan mereka.
---
Semalam sahabat saya bercerita tentang betapa banyaknya pekerjaan seorang ibu rumah tangga. The conclusion is, she doesn’t have time to take care of herself. Saya sampai nyeletuk, ‘wah kalau kamu ngomongnya gitu, saya engga mau jadi ibu rumah tangga ah.’ Padahal saya memang engga punya rencana jadi ibu rumah tangga. So sorry if I broke your heart #pedeabis Gara-gara dia saya jadi mengamati pendapat-pendapat orang yang engga setuju dengan full day school. Beberapa pendapat itu saya ambil dan letakkan disini.
“Ah, menyekolahkan anak di full day school itu cuma excuse aja, supaya si ibu engga ngehabisin waktu buat ngurus anaknya terus bisa arisan.”
APA SALAHNYA DENGAN ARISAN YAAA? Eh bukan. Maksud saya, memang salah kalau ibu punya me time? Saya jadi sedih mendengarnya karena seolah-olah si ibu ini bersalah banget karena pingin punya waktu istirahat, mandi, beres-beres rumah, dandan, dan sebagainya. Kalaupun kemudian si ibu ini pergi arisan kan ya engga apa-apa juga sih, masa jadi ibu terus jadi engga boleh punya pergaulan?
“Kamu ngapain ngirim anak sekolah full day. Kamu engga bisa ngajarin anak-anakmu sendiri? Bukankah seorang ibu adalah madrasah pertama anaknya.”
AIH BUSYET OKE DEH SAYA KULIAH DI MIPA DULU YA BRO. Dan beneran lho ada yang bilang kayak gini ke tante saya karena beliau doktor. Tante saya sih jawabnya santai, ‘ya saya kan kuliahnya ekonomi, dan anak-anak saya butuh lebih dari itu.’ You know what they say, serahkan sesuatu kepada ahlinya. Lagipula ‘madrasah’ itu tidak perlu harus secara harfiah diterjemahkan menjadi mengajar. After all, seorang ibu pasti mengajari anak-anaknya tentang banyak hal, baik tentang mata pelajaran di sekolah ataupun hal-hal yang lain.
“Ih si bapak menteri bisa aja ngomongnya. Seolah-olah dunia itu kejam dan anak-anak lebih baik berada di sekolah daripada ‘berkeliaran’ di luar sekolah.”
Saya engga pingin berpikiran begitu, tapi setelah ada yang ngomong gini saya jadi kepikiran ada benarnya lho. Sadly our public transportation system still can’t facilitate the kids to go to school by themselves. Ini bukan Jepang yang anak-anak bisa pergi ke sekolah dengan kereta. Saya jadi ingat Danny, murid China yang sekolah di Singapura. Sepulang dari study tour di Jogja, dia pulang dari bandara ke rumah dengan MRT, sendiri! Ckckck. Sementara disini, engga semua angkutan umum ramah anak – ataupun memang dari sononya efisien secara rute perjalanan. Jadilah anak-anak dibawain sepeda motor, dengan alasan biar mandiri. Ujung-ujungnya eh nabrak orang dan engga mau disalahkan. Saya pun jadi berpikir bahwa iya ya, memang dunia itu kejam dan anak-anak harus dilindungi dengan cara disekolahkan di full day school. Apa mempekerjakan pembantu itu buruk? Engga juga, tapi bagaimanapun menitipkan si anak di sekolah jauh lebih menenangkan daripada meninggalkannya hanya dengan pembantu.
“Anak-anak jadi engga punya waktu bergaul. Waktunya habis untuk sekolah dan belajar.”
Well, ini kembali lagi ke sistem sekolahnya. Salah satu sekolah di Jogja menyediakan tempat tidur untuk muridnya beristirahat siang. Sebuah sekolah elit di Surabaya memfasilitasi ekstrakurikuler yang beragam, sampai saya sendiri aja nganga mendengar asyiknya kegiatan mereka. Lagipula, jaman sekarang, untuk anak-anak yang tinggal di perkotaan, masih jaman main layangan sepulang sekolah? Yang ada malah main PS di rental, atau nyari Pokemon. Atau nonton Kardashians sampai maghrib.
Capek ah, kalau diterusin bisa nulis sampai subuh. Intinya adalah seperti yang seseorang bilang sama saya, bagus buat saya bukan berarti bagus buat orang lain. However, it’s not bad at all. Saya jadi pingin cepet punya anak tetap akan menyekolahkan anak saya di full day school, karena based on my experiences selama ini ya baik-baik saja (dan kalau dibolehin bapaknya). Saya tumbuh jadi pribadi yang religius (cieh), ambisius (untuk sesuatu yang baik), dan bisa punya pekerjaan dari keahlian menulis karena di SD punya cukup waktu untuk latihan menulis dibawah bimbingan guru petugas perpustakaan.
So, the choice back to you. Selamat memilih sekolah buat anak, dan baca juga dong tulisan saya --> 5 Faktor Penting Ini Bisa Membuat Full Day School Seru dan Menyenangkan.
Salam,
Prima
ku terlalu fokus sama paragraf awal.
ReplyDeleteKalo emang suka keseragaman tapi belum sanggup untuk diseragamkan kenapa RI ga jadi RIS aja dari dulu ya?
Bukan buat permasalahan pendidikan aja loh, permasalahan yang lain lain nya juga. Biar kalo diseragamin ya gausah dari sabang sampe merauke. Wong kondisi awalnya aja udah gak seragam. Kontras banget malah. 😂
duh, gak bisa bayangin kalo SD di kampung2, yg gaji gurunya ada yang masih ratusan ribu saja (yg belum PNS) harus full day... -_-
ReplyDeletekasian anak-anaknya karna fasilitas sekolah belum memadai, kasian gurunya juga
Aku setuju tuh soal yang baik untukku belum tentu baik untukmu. Soal full day school ini pun begitu. Tapi yang lebih penting daripada bicara durasi atau kuantitas, mending jelas dulu perbaiki kualitasnya. Or at least kebayang gitu kalau kuantitas makin besar selaras sama kualitas juga. In my opinion yah hehe
ReplyDeletembk prim, aku adalah penggemar blog mu. suka dengan tulisan-tulisanmu. sukses selalu ya, salam dari aku.
ReplyDelete