Sekitar dua minggu yang lalu, seorang sahabat saya yang sedang tinggal di negara tetangga menanyakan hal ini kepada saya. Saya meresponnya dengan cepat. Tentu dia adalah salah satunya. Terus ada satu, dua, tiga, orang lain. Hanya, kalau dihitung-hitung lagi, sebenarnya sahabat saya lebih dari itu.
And then, apa arti sahabat buat saya? Namanya prima, apa-apa kan harus dipikir sampai berhari-hari. Saya bingung aja gitu, gimana harus mendefinisikan ‘sahabat’ karena buat saya artinya bisa luas, dan bisa jadi punya tujuan yang spesifik. Misalnya, kalau saya lagi pingin nyari nasehat masalah agama, ada sahabat A. Kalau saya lagi buntu masalah kuliah, ada sahabat B. Jadi persahabatan seperti ini ‘fungsional’. Mungkin sister akan merasa “lho, kalau gitu sesama sahabat saling memanfaatkan dong, datang kalau ada butuhnya aja?” Saya pribadi justru tidak merasa hal ini adalah suatu masalah yang besar. Why so? Karena saya senang kalau saya bisa memberi manfaat buat orang lain, apalagi kalau dia merasa nyaman berbagi suka dan duka dengan saya. Beberapa tahun yang lalu, ada seseorang yang ‘ternyata’ menganggap saya sahabatnya. Saya sampai takjub mendengarnya, karena saya tidak menyangka, berdasarkan latar belakang kami yang jauh berbeda, dia menganggap keberadaan saya di hidupnya sangat berarti. Sampai sekarang pun, dia masih sering curhat ke saya.
Saya juga tidak membatasi sahabat saya hanya karena masalah kuantitas, dalam hal ini, frekuensi perjumpaan, atau lama persahabatan. Dari – katakan saja ada sepuluh orang ini – mereka, ada yang saya kenal hanya dalam hitungan dua tahun terakhir. But our feeling of needing each other is mutual. Jangan salah, engga hanya PDKT ke calon pacar doang yang butuh mutual feeling. We need to make sure that our best friend also feel the same way towards us.
Baru-baru ini, saya merasa kehilangan seorang sahabat. Saya sangat-sangat merasakan jarak di antara kami berdua and I am so sad about that. Saya sudah merasakannya sejak bertahun-tahun yang lalu, that we grow into different direction. Kami tidak se-nyambung dan se-cocok dulu. Meskipun beberapa tahun yang lalu kami sempat dekat lagi, but still, I know I am not her first priority. Saya pun curhat ke sahabat yang nanyain pertanyaan diatas itu. Lalu kami berdua sadar, kami telah tumbuh dewasa. It sucks but we have to admit that in life, some people stay, some people leave. Kita tidak bisa terus terkungkung dalam suatu lingkaran jika kita ingin berkembang. Memang kadang kita harus berusaha mempertahankan beberapa orang yang we can’t live without, tapi selebihnya...kalau kata orang Jawa, kita tidak boleh dan tidak bisa nggoceli seseorang. Sama seperti mungkin juga orang-orang – siapapun itu – tidak boleh dan tidak bisa nggoceli kita kalau kita sudah memutuskan untuk pergi. Eh prim, ini bukan ngomongin mantan pacar kan? #eaaa #ujungujungnyacurcol
After all, hidup akan mempertemukan kita dengan orang-orang baru yang engga kalah lucuk dan menggemaskan (ini sahabat atau puppy ya?). Yang pasti, insyaAllah lebih memahami situasi diri kita saat ini.
Barusan saja saya nonton film Bridesmaids. Keren banget! Banyak pemerannya yang terkenal, dan seperti sister tahu, saya kan suka film drama, jadi mewek gitu deh. Bukan karena pingin nikah (saya pingin ngerasain fitting baju bridesmaid – and I am making one now for my best friend’s wedding in November, yay!), tapi karena saya teringat sahabat-sahabat saya. Berhubung jumlahnya lumayan, mungkin saya harus tega untuk menyaring siapa saja yang akan jadi bridesmaid saya kalau saya menikah sama Pangeran Dubai nanti. Ah engga usah deh, kalau beneran nikah sama Pangeran Dubai, semua sahabat saya bakal berangkat as my bridesmaid.
Sayangnya saya kelewatan setengah jam awal film ini, jadi saya sempat bingung. Premis film ini agak unik, kalau biasanya yang jadi menggila menjelang pernikahan itu calon pengantin perempuannya, di film ini yang engga ‘asik’ adalah para pengiring pengantin. Ada aja masalahnya, tapi yang paling terasa ya antara Helen dan Annie. Gara-garanya, mereka bersaing untuk membuat the bride, Lillian, bahagia selama persiapan pernikahan. Si Annie keukeuh karena merasa mengenal sahabatnya sejak lama, sementara Helen merasa punya selera yang bagus sehingga bisa membuat Lillian tampak cantik dan mempesona. Akhirnya Annie merasa keberadaannya tidak dihargai dan bertengkar habis-habisan dengan Lillian. Tipikal film drama Hollywood juga sih ending-nya, tapi tetep menarik untuk ditonton. Apalagi Nathan, aduh dia cute banget, itu lho gayanya cowok yang naksir ke cewek tapi malu-malu. Waktu nulis ini aja, saya jadi senyum-senyum sendiri. Untung sepupu saya yang lagi nonton TV di sebelah saya engga sadar. Hahaha.
Nah, kalau berdasarkan film Bridesmaids ini, pada dasarnya definisi sahabat adalah seseorang yang sudah mengerti jeleknya kita. Mereka juga engga ngetawain hal itu (ketawa sih, tapi di depan kita), tapi ngomong di depan kita: ‘hey, ini lho ada yang perlu diperbaiki dari dirimu.’ Kita pun engga ngerasa risih berbagi hal-hal jelek itu karena tahu sahabat engga akan menghakimi. Contohnya tuh, sahabat saya yang bilang kalau saya gendutan. Terus jangan dikira kalau saya ngumpul sama sahabat saya ngomongnya yang manis-manis, engga. Kadang juga bisa kasar banget sampai orang yang dengar mungkin berpikir ‘ini lagi ngapain sih?’ Tapi kami berdua tahu engga bakal menyakiti satu sama lain, udah ngerti batasnya. Ya kalau memang sakit hati tinggal bilang, ‘aku engga suka kamu ngomong gitu’, terus minta maaf dan engga diulangi lagi.
So~ lewat blog post ini, saya mau minta maaf ke sahabat-sahabat saya buat every little thing that I did wrong. Saya juga minta maaf kalau ada yang merasa saya ‘berbeda’ atau menjauh, I never meant to. I am just trying to catch up with my personal target, like you who are moving forward with getting married, and so on. Semoga suatu masa nanti, pada kesempatan yang lebih baik, our path will cross again.
Lots of love,
Prima
No comments:
Post a Comment