Showing posts with label #1Hari1Ayat. Show all posts
Showing posts with label #1Hari1Ayat. Show all posts

Monday, August 31, 2020

A Letter to My Daughter (Surat untuk Anakku (4))

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

My dearest daughter who is still in the heaven,


How are things there? 


Everything is much better there than here on Earth, I supposed…


Ibu* knows you must be mad because you have been waiting for my letter (“Ibu, I want ONE letter every two years is that too much to ask for?” — Yes, yes I can hear you would say that), but still I had a wish that I don’t need to write you a letter, so I waited until the last day of August…


…and as I — we — only have four months left in this year, we can be sure that we will not meet this year. 


When someone broke Ibu’ heart early last year, Aunty Kiki wondering, “On your wedding day, I will tell it to your husband’ face: “Where have you been? Prima has been waiting for you along her life.”” But I told her, even myself has no clue who he is, where he is right now, and what he is doing until it takes him so much time to pick me up.


Oh, Allah must have whispered to you his name? Can you whisper it to Ibu as well? I promise we will keep it as our secret until the day is coming. ;)


My lovely daughter, the reason I still wake up in the morning and do the things I am doing…


Two years have passed since my last letter, thus I have sent you three letters, and some days are truly hard. 


Ibu wouldn’t lie that sometimes Ibu feels like we will not meet at all. I know my time is limited to have you. I thought I will have you when I was… 24 years old? And this year I will be 32… but I don’t want to give up. Yet. 


You might see me hitting the rock bottom last year, but eventually I rise up, and you might also see… I turned the table in just five months. 


When the world seems like stopped because of the deadly virus called Corona, Ibu signed deals with some parties for Ibu’ second book; started the writing consultancy services with two clients: an exciting book project about traveling, and one of the Fast Company’ Most Innovative Companies 2020; also planning three social projects; all while maintaining performance at the office. On some nights, Ibu cried because Ibu is so exhausted — but in the next morning, Ibu wakes up too early because Ibu is very excited to start the day. 


Yes, you gotta be ready that you will inherit this endless energy from Ibu. :))


Thursday, February 21, 2019

10 Quran Verses to Relieve Your Broken Heart



He’s not my type of man, at least from his physique. He is handsome and has fit body – two qualities of men which usually make me feel insecure. Ya eyalah, secara muka pas-pasan, pakai baju kadang serampangan, lipstik sering ketinggalan, apalagi bedak – sudah sejak lama terlupakan. Sadar diri ya tho~ But then we exchanged our books, and we talked. If it isn’t obvious by now, I have been always attracted to smart guys and he is one of those guys who can get me like “oh really?” everytime he tells me something new. That time he worked as a political journalist and lecturer, so I got encouraged to read more. He often asking me questions about Islam, and my automatic response be like, “wait, let me browse for a more trustworthy insight”. Sadly, not too long after our introduction, his mom condition got worse. Then I booked the flight ticket to Jakarta in July… without knowing that it was the first and last time I met his mom. That trip made me realized there is something really interesting about him. Soon after I arrived in Bali, he asked me to collaborate for a project. And I was like… “yaaah, ini mah friendzone.” *nangis di pojokan* 

Still, I joined the project because the purpose is good. I also tried to resist my feeling because I am questioning myself. Being with him means accepting his mom as well, and I was doubtful if I could give my best. It was in my nature because I am not even close with my mom. Eventually, I ‘proposed’ him in the end of September because there was one and only thing I chased: the reward from Allah. This, sparked arguments between me and the girl who introduced us. She couldn’t take the idea of me turning down my dreams to accompany him. Well, he rejected my proposal though. I moved forward with my life… until his mom passed away last month. I was sad for not having more opportunities to get to know his mom. That night on the train to Jakarta, I texted my best friend, “what if I cry in front of him?” She said, “don’t! You’ll make him sadder. Give him a lot of smile, I know you can make him happy.” And I was proud of myself to successfully hold my tears for one week. 

However, at one point, I realized I don’t merely like him. I love him because I am happy when he is happy, and I want the best for him. His corny jokes made me giggling, and being away from him tortured me. I know we haven’t done a lot of stuffs together but even if we have limited chances, it’s always high-quality time (I liked it the most when we went to the mosques). And I think that he is grateful to have me around…

…or at least that’s what I believed in. 

Monday, February 11, 2019

Monday Journal #6

dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, (Q.S. An-Najm (53): 43)

Sekitar dua hari yang lalu, saya mengatakan kepada sahabat bahwa hidup saya tak ubahnya seperti sedang naik rollercoaster: sebentar happy, sebentar gila. Sering saya komat-kamit berdoa, “Ya Allah, tolong jangan buat aku jantungan dengan skenario-Mu.” Bayangkan saja, Kamis malam saya bingung sebingung-bingungnya karena sudah mentok, tetiba keesokan paginya saya dapat bantuan bertubi-tubi dari teman-teman… lalu sorenya saya mem-block semua kontak mama dan adik saya karena bertengkar habis-habisan di telepon. Ya, begitulah hidup. You can plan, but you have to prepare yourself for all the surprises. 

Lalu bagaimana caranya menguatkan mental untuk menjalani hari-hari? Saya pribadi sedang berupaya memperbaiki salat, dari mulai wajib, sunah rawatib, dan salat-salat yang lain. Saya juga belajar untuk lebih khusyuk dengan cara menyelami makna bacaan salat dan surat pendek. Pada suatu waktu, saya pernah hampir ambruk karena mencoba menginternalisasi kalimat takbir. Iya, ‘Allahu Akbar’ yang biasa kita bacakan sambil lalu untuk mengawali salat. Kali itu, saya mengumpulkan semua konsentrasi yang saya punya dan ‘mengucap’ Allahu Akbar dari hati. Ya Allah, rasanya tubuh saya ingin bersungkur – bersujud dan tidak bangun lagi. 

“…menggemakan Allahu Akbar merupakan penegasan hakiki tentang betapa kecilnya kita sebagai makhluk di hadapan Sang Pencipta. Menurut Imam Ja’far, Kemahabesaran Allah tidak bisa diukur dengan suatu hal apapun. Merasakan kebesaran Allah adalah dengan cara meresapinya lewat akhlak dan akidah kita. Karena jika kita benar-benar meresapi hal itu, kalimat takbir yang sering kita ucap secara langsung membuat kita merasa kerdil, kecil, dan tiada daya upaya.”BincangSyariah

Setelah memahami agungnya kalimat takbir ini, saya jadi lebih sering ‘berbincang’ dengan Allah.

“Ya Allah, aku mau pindah kos ke Gianyar hari ini.” – Eh kok, sopir langganan sedang available

“Ya Allah, maaf tadi pagi aku tidak jadi datang pengajian di Masjid Muhammad. Sekarang aku akan salat zuhur di Masjid Al-Ukhuwwah.” – Ndilalah saya bertemu dengan KBIH yang sedang manasik haji, dan diperbolehkan mempromosikan Pelatihan Baca Alquran. 

“Ya Allah, terima kasih sudah membangunkan aku untuk tahajud.” – Kebetulan teman tidak pulang ke kosnya sehingga saya bisa lebih leluasa. 

“Ya Allah, aku ingin salat isya’ di masjid dekat kos.” – Perjalanan Denpasar-Gianyar sejauh 30km lancarrr. 

Ya, Allah se-Maha Besar itu. Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk Allah selesaikan. 

Tentu saja hal ini tidak lantas membuat hidup saya mulus. Masih ada friksi dimana-mana, seperti saya ceritakan minggu lalu, tentang perpisahan saya dengan grup pengajian di Bali. Problematika rumah tangga antara saya dan mama yang tidak kunjung membaik. Kisah cinta yang enggak ada kemajuan (hari Sabtu kemarin saya maraton nonton He’s Just Not That Into You dan 500 Days of Summer, and I feel so so stupid). And many other stuffs. 

I am sure you feel that way too. Rasanya pengin hidup ini baik-baik aja terus, enggak ada yang bikin sedih. Ya kan? 

Tapi Allah menciptakan kekurangan, agar kita bisa mengapresiasi kelebihan. Allah membuat kita menangis, agar kita tahu betapa menyenangkannya tertawa. Allah mengambil begitu banyak hal (atau bahkan orang) dari genggaman kita, agar kita kembali kepada-Nya. 

…"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". (Q.S. Ali ‘Imran (3): 173)

Semoga minggu ini saya dapat lebih rida atas ketetapan-Nya, mengurangi pengharapan dan ketergantungan atas manusia, dan --- lebih produktif lagi di kantor (penting!). Semoga kamu pun bisa belajar dari apa yang alami, trust Him no matter what!

Salam,
Prima

Saturday, December 8, 2018

Rasanya Kehilangan Sahabat

“When you lose a best friend, it's worse than breaking up with a boyfriend. Because you lose more than a heart, you lose a little bit of yourself.” – Anonymous

Sebelum saya merilis 2018 Year Review (baca tahun 2016 dan 2017 dulu deh yaaa), izinkan saya berbagi sebuah kepedihan yang mendera selama setahun ini. Tahun ini Allah mengaruniai saya banyaaaaak teman baru; thanks to Muslimah Sinau, Ubud, and Jakarta...

But, I lost a lot of my best friends.

Kayaknya lebay banget ngomong ‘a lot’, tapi kalau lebih dari SATU orang itu buat saya sudah banyak. Tahun 2016 saya pernah menulis bahwa saya punya cukup banyak sahabat karena biasanya persahabatan tergantung ‘peruntukan’ dan ‘tujuan’; misal ada sahabat yang enak dijadikan tempat curhat tentang agama, tentang passion dan karier, tentang orangtua dan hubungan percintaan, dan sebagainya. Tetapi tentu ada orang-orang yang saya anggap sahabat dekat, dan saya bisa berbagi kepada mereka tentang apapun.

I personally think soulmate is much more than a lover/spouse. Punya sahabat yang satu frekuensi – dengan segala perbedaan kita, tapi tetap bisa berkomunikasi tanpa berargumen terus-menerus hingga membuat kita kehilangan kepribadian – itu kesempatan yang harganya sangat mahal. I won’t trade it with anything in the world.

Tuesday, August 7, 2018

Surat untuk Anakku (3)

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Anakku tersayang,

Apa kabar?

Ibu belum terlambat kan, menulis surat untukmu? Atau kamu sudah menunggu-nunggu surat dari ibu? Memang sebenarnya tidak ada hari spesial pada bulan Juli dan Agustus, tapi ibu hanya mengacu pada surat pertama yang ibu kirim pada tanggal 11 Agustus 2014. Entah apa yang terjadi 2 tahun yang lalu, surat kedua ibu kirim lebih cepat. Tadinya ibu berharap tidak perlu menulis surat untukmu tahun ini, tapi qadarullah kita belum bertemu juga. Hmmm, setidaknya ibu masih bisa menyapamu lewat surat ini, sembari menguatkan teman-teman dan saudara/i ibu yang juga belum dititipi amanah anak oleh Allah.

Ya, ya, ya. Ibu tahu kamu pasti sudah mengintip, kalau beberapa hari yang lalu ibu menulis surat yang lumayan panjang untukmu. Tapi setelah ibu baca lagi, surat itu sarat kesedihan. Ibu tidak suka nada bicara seperti itu, seolah-olah ibu sedang ‘memarahi’ Allah atas kegagalan usaha ibu untuk menebusmu. Ibu yakin ibu belum gagal, Nak. Ibu mungkin hanya sedang mengambil jalan memutar. 

Ibu jadi ingat, saat ibu masih kecil, ibu, nenek, dan sopir melakukan road trip ke Jakarta (dulu kami sering melakukannya). Lalu ibu berkata kepada Pak Sopir, “Pak, aku lebih suka kita lewat jalan tol. Lebih cepat dan enggak macet.” Tapi nenek menyanggah, “kalau lewat jalan tol terus, Pak Sopir bisa mengantuk karena jalannya lurus-lurus saja. Sesekali harus lewat jalan biasa agar kita juga bisa melihat pemandangan berbeda.”

Waktu itu ibu tidak paham perkataan nenek, tapi lama kelamaan ibu sadar, tak peduli seberapa jauh jalan yang harus kita lewati, jika Allah sudah menakdirkan maka kita akan tiba di tempat tujuan.

Seperti keadaan ibu saat ini. Ibu sedang berdomisili di Bali, membantu penyelenggaraan Ubud Writers & Readers Festival 2018 – setelah tiga kali menjadi relawan. Ketika ibu melakukan hipnoterapi karena didiagnosis depresi awal tahun ini, ibu membayangkan Ubud sebagai tempat yang paling membahagiakan. Dan disinilah ibu sekarang, mengurusi data-data international speakers, sambil tetap mengerjakan pekerjaan dari kantor Jakarta.

Oh ya, maaf ya, ibu sempat putus asa menghadapi hidup ini. Ibu sempat hilang harapan akan kamu, ayahmu, bahkan diri ibu sendiri. Akan tetapi, ibu belajar untuk menjadi hamba yang lebih bersyukur, Nak. Hamba yang berupaya memahami bahwa Allah tidak hendak menghukum ibu. Allah justru menyayangi ibu dengan menghindarkan ibu dari ketetapan-ketetapan yang tidak mendekatkan ibu denganNya.

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman (31): 22)

Pengobatan dan perawatan selama depresi itu justru mendorong ibu untuk lebih berbaik sangka kepada Allah. Ibu pun berhasil menerbitkan buku tentang perjalanan spiritual ibu, judulnya Perjalanan Menuju Cahaya. Apa, kamu ingin mengganti namamu menjadi Cahaya? Baik, nanti ibu diskusikan dengan ayahmu ya.

Anakku tersayang,

Percaya pada ibu, percaya pada Allah. Kalau hingga hari ini kita belum berjumpa – dan bahkan ibu pun belum berjumpa dengan ayahmu – pasti ada rahasia yang indah. Allah memberi kesempatan ibu berbaikan dengan kakekmu setelah sekian lama berseteru; Allah menggugah ibu untuk mendampingi lebih banyak orang mewujudkan karyanya melalui Muslimah Sinau (iyaaa, kamu tahu sendiri ini mimpi ibu dari beberapa waktu yang lalu); Allah memberi kekuatan ibu untuk menjadi pengajar Alquran. Semuanya berasal dari Allah, Nak. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Nah, sekarang waktunya ibu pulang kantor dan bersiap salat magrib. Ibu akan terus doakan kita dan ayahmu – siapapun ia, semoga Allah pilih seseorang yang menuntun kita ke surga ya Nak; dan semoga Allah mampukan ibu untuk jadi pendamping yang menguatkannya dunia-akhirat.

Love you as always,
Ibu

Friday, June 29, 2018

Tentang Menjadi Istri (Bagian Dua)

“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.” (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).

Selain langsung mencuat jadi #1 Popular Post of the week, blog post sebelumnya menjadikan saya dicaci-maki oleh sebagian netijen. Oalah yooo, mau memberikan wawasan aja setengah mati susahnya. Bahkan ada yang komentar, ‘cobalah sesekali menulis hal-hal baik tentang lelaki, agar lelaki yang baik mendekatimu.’ Hmmm, sebenarnya kurang tepat juga sih kalau ngomong begini. 9 dari 10 lelaki (CIEEEH kayak ada sebanyak itu, Prim) yang mendekati saya, alhamdulillah baik-baik kok. At least mereka bukan bandar narkoba atau koruptor, dan bukan penjahat kelamin juga. That’s one good thing, right? Perkara cocok-enggaknya, nah itu yang kadang tidak semua lelaki (saya pun) bisa menerimanya sehingga end up badly. But anyway, kali ini saya coba sampaikan tulisan penyeimbang yang saya karang sesudah saya tidak terlalu emosional lagi. Semoga dapat diterima dengan baik, aamiin.

Sebagian besar dari kita, muslim-muslimah, pasti pernah dengar hadis di atas setidaknya satu kali dalam hidup. Alhamdulillah, perempuan diberi kedudukan yang sangat tinggi di Islam, serta dihormati dan dihargai layaknya manusia (bukan barang seperti pada zaman jahiliyah dulu). Alhamdulillah, perempuan diberi privilege untuk ‘santai’ di rumah, karena itulah tempat terbaik perempuan (pada dasarnya).

Namun sebenarnya, apa benar istri bisa ‘santai’ saja di rumah? We all know, yang namanya pekerjaan rumah tangga enggak akan ada habisnya. Dari mulai ngebersihin rumah, urusan pakaian, dan belum lagi menjaga hubungan dengan tetangga. Dulu sih ada siskamling ya, jadi para warga – baik lelaki maupun perempuan – masih guyub dengan para tetangga. Kalau sekarang rasanya bapak-bapak sudah enggak begitu aktif (CMIIW); sehingga biasanya ibu-ibu yang wajib kudu harus ikut arisan PKK karena memang banyak pengumuman penting ‘disiarkan’ melalui arisan (pengalaman pribadi). Nah, jadi wajar kalau ‘ibu rumah tangga’ doesn’t simply means ‘perempuan yang ongkang-ongkang kaki di rumah’. Contoh nih, urusan dapur aja. It’s not just cooking and that’s all. Kudu mikir menu dulu, belanja ke pasar/tukang sayur, masak, cuci piring, nyiapin makanannya, cuci piring lagi, bersihin dapur. ‘Kasihannya’ istri, mereka mah nerima aja dikasih belanja berapa, mikir jumpalitan supaya suaminya bisa ganti menu tiap hari. Suami enggak perlu tahu dong, kan udah ngasih uang belanja…

“Kalau semuanya dilakukan dengan ikhlas, pasti enggak terasa berat kok, Prim.”

Iya, saya tahu. Saya hanya bermaksud memberikan gambaran kalau suami dan istri sama-sama punya waktu 10 jam dalam sehari: suaminya kerja (dan PP rumah-kantor), istri juga berjibaku dengan segala printilan ‘kehidupan’. Kalau kata teman saya, ini prinsip ‘saling’: suami berupaya memberikan yang terbaik untuk istri, istri pun demikian.

“Terus masalahnya apa, Prim?”

Begini, mari kita mengakui sebuah realita. Terkadang, yang namanya rumah tangga butuh pemasukan lebih dari sekadar apa yang bisa dihasilkan oleh suami. Suka atau tidak, kenyataan ini terjadi. Kita tidak bisa menutup mata, meskipun Allah sudah menjamin:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur (24): 32)

Monday, June 11, 2018

#Refleksi Ramadan 1439 H: Finale

Assalamu’alaikum, Pemirsaaa. Kok sudah hari ke-26 aja ya.. Ini waktu berlalu begitu cepat atau kalender saya yang bermasalah? Bisa ga nih, kita balik ke hari pertama Ramadan? *ditimpuk pembaca

Iyaaa, iyaaa. Tadinya saya sudah janji kepada diri sendiri untuk mengisi blog ini lagi dengan tema-tema #RamadanMenulis. Sungguh saya merasa berdosa karena mewajibkan para peserta menulis secara konsisten, sementara sayanya malah kabur mengurusi ujian kehidupan yang tiada habisnya. Tsah. Tapi beneran, saya lelah luar biasa pada Ramadan tahun ini. I know setiap orang punya porsi ujiannya masing-masing. Kalau saya tidak diuji dengan masalah ini, saya tetap akan diuji dengan masalah lain. Jadi lain kali ada ujian datang, senyumin aja. Enggak takut, weeek. *Julurin lidah ke masalah*

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah (94): 5-6)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".” (Q.S. Al-Baqarah (2): 286)

Selama bulan Ramadan, Al-Insyirah dan dua ayat terakhir Al-Baqarah menjadi favorit saya untuk dibaca pada saat salat wajib maupun sunah. Despite the fact that I am forever grateful to be able to release my book, Perjalanan Menuju Cahaya, and also held Ramadan Menulis on my second account Instagram Muslimah Sinau, life has been so hard these days.

Bermula dari Whatsapp saya yang di-block oleh mama beberapa hari sebelum Ramadan, sehingga membuat saya fokus meminta dan terus meminta kepada Allah, bagaimana caranya agar bisa berbaikan dengan mama saya sebelum saya berangkat ke Bali. Dikabulkan? Ya, Allahu Akbar! Mama saya dilarikan ke rumah sakit pada hari Selasa minggu lalu karena kondisi badan yang drop. Insya Allah mama saya tidak menderita penyakit yang berarti, hanya mungkin kebebanan pikiran tentang saya sampai stres. Saya pun berkesempatan menemuinya dan akhirnya kami berbaikan di rumah sakit. 

Akan tetapi, saya harus melewati proses yang menyakitkan untuk dapat melepaskan perasaan bersalah (karena sebenarnya saya tidak bersalah dalam kejadian ini – but it’s too complicated to tell). Saya pikir saya hampir masuk jurang depresi lagi. Saya sudah mulai sering bengong lagi, susah tidur, dan malas beranjak dari kamar. Selain dibantu dengan obat antidepresan; pekerjaan, Ramadan Menulis, dan berdialog dengan Ustaz membangkitkan saya dari keterpurukan. Pokoknya saya bertekad enggak boleh sampai jatuh lagi. Nangis boleh, sesenggukan oke. Tapi jangan sampai terjun bebas kayak waktu itu.

Namun pada akhirnya, ada satu khotbah tarawih yang saya catat dalam hati dan pikiran. Bahwa ujian itu ada untuk menghapus dosa dan menaikkan derajat seseorang. Saya pulang dengan tersenyum dan memeluk ayah saya, “Alhamdulillah Yah, semoga aku dimampukan Allah untuk menemuiNya dalam keadaan suci tanpa dosa karena ujian-ujian yang datang ke kehidupanku.”

Sesudah malam itu, saya mencoba untuk lebih berbahagia. Saya menulis gratitude list lagi, dan berfokus pada apa yang bisa saya maksimalkan pada Ramadan tahun ini. Memang ada hal-hal yang hingga hari ini masih saya latih terus-menerus, tapi untuk menambah wawasan Sister, bolehlah belajar dari kesalahan saya berikut:

Tuesday, May 22, 2018

Refleksi Ramadan 1439 H: Standar Sukses Berpuasa Ramadan

“…bisa bantuin aku kasih link pencerahan rohani gitu....seriusnya....kok aku gak dapet asiknya Ramadhan.”

Setelah ber-basa basi singkat, Kak Didi, begitu saya memanggil perempuan itu, melontarkan pertanyaan yang sesungguhnya juga sedang menggelayuti pikiran saya. Wah, sepertinya dia belum baca buku saya (LOL) atau mengikuti akun Muslimah Sinau (hehe). Bercanda, Pemirsa. Saya pun bertanya balik bagaimana ibadahnya akhir-akhir ini. Dia katakan, dia baru saja bersuci dari menstruasi. Saya tanya lagi, apa ada masjid di dekat tempat tinggalnya. Ternyata oh ternyata, dia tinggal di Ubud. Waduh. *langsung menyiapkan mental* 

But seriously, although I have released a book that titled “Perjalanan Menuju Cahaya: Renungan Harian Ramadan untuk Muslimah Pembelajar” and I was sooooo happy to meet Ramadan again (I even did jingkrak-jingkrak on the first tarawih evening); I still feel that I haven’t optimized this Ramadan yet. Kabar buruknya, sudah hari ke-6. Kabar baiknya, baru hari ke-6 dan insya Allah masih ada 22-23 hari lagi untuk berjuang.

Nah, kebetulan khotbah tarawih malam ke-4 adalah tentang muhasabah diri alias evaluasi. Ustaz tersebut menyatakan, Muslim yang menjalani Ramadan ini gampangannya sedang berjalan (…menuju cahaya :p) menuju suatu tujuan. Ya ya ya, mungkin kita bahkan sudah hafal Surat Al-Baqarah ayat 183 di luar kepala, tapi sudahkah kita benar-benar memahami tujuan puasa itu sendiri?

‘Buat jadi manusia bertakwa, Prim.’  Yaaa, sekarang pertanyaannya sudah tahu apa itu takwa? Atau belum? Waiki, that’s why puasa bertahun-tahun tapi enggak berubah, gara-gara enggak tahu arah perjalanan ini. Istilahnya, Sister mau ke Jakarta, tahu banget Jakarta ada di bagian barat Pulau Jawa, tapi Sister malah bergerak ke arah timur. Enggak bakal nyampe. 

Wednesday, May 16, 2018

Refleksi Ramadan 1439 H: Menjadi Muslim yang Lebih Berempati

“Kita enggak akan pernah tahu rasanya jadi minoritas kalau enggak pernah ngerasain.”

Saya baru tiba di Jakarta dan driver GoCar ini sudah mulai menceramahi saya. Saya – di sela-sela perasaan mabuk karena baru saja naik kereta dari Surabaya, lanjut KRL sampai Stasiun Pasar Minggu Baru – mengangguk-angguk. Mungkin ia merasa tak mendapat tanggapan, sehingga ia melanjutkan ceramahnya dengan berapi-api hingga kami tiba di kos teman saya di daerah Jati Padang.

What he didn’t know, I actually took some notes from what he said. I just never thought that it will be an urgent topic to discuss for, only two weeks after.

Saya, yang lahir sebagai seorang Muslim dan besar di Jawa, tidak pernah menyadari bahwa menjadi mayoritas adalah sebuah privilese. Sampai suatu waktu, seseorang berkewarganegaraan Amerika bertanya kepada saya, “how does it feels to be a Muslim in Indonesia?That American girl, now converted to Muslim, was the first person ever who reminded me that it’s GREAT to be a Muslim in Indonesia.

Tak lama sesudah pertanyaan itu muncul dan mengisi benak saya selama berhari-hari, saya menjalani karantina World Muslimah Award 2014. Bersama sekitar 17 finalis lain dari Inggris, Iran, India, Bangladesh, Trinidad & Tobago, Tunisia, Malaysia, Singapura, dan Nigeria; kami bertukar kisah tentang menjadi Muslim di negara masing-masing. And you know what? The hardest thing of being a Muslim is not receiving the poor treatment from non-Muslim, but from our own brother/sister. My roommate was Dina Tokio from England, and if you see her style, I won’t be shocked to know she is judged a lot by other British Muslims. Ya memang, sang pemenang, Fatma dari Tunisia, banyak menerima perlakuan tidak adil saat dia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Perancis. Dia sempat mengatakan, “betapa enaknya kalian Muslimah Indonesia bisa berhijab dengan santai dan tenang. I can’t.” Tapi selepas itu, perlakuan paling keras ‘biasanya’ adalah dari kalangan Muslim sendiri.

Saya pun merefleksikan pengalaman ini dengan hari-hari saya selama menjadi volunteer di Ubud Writers & Readers Festival. Entah kenapa, berinteraksi dengan rekan-rekan yang Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, tak beragama, tak bertuhan... terasa ‘alami’. Mungkin karena kami tidak pernah ‘menyenggol’ hal-hal yang bersifat prinsipil. Kamu mau nge-bir, terserah. Enggak nge-bir, ya enggak ada yang maksa juga. Pernah juga volunteer pada mau makan malam, nungguin saya dulu yang harus mengkhatamkan Alquran (nanggung nih, udah setengah jalan juz 30, hehe). Sekumpulan orang dewasa yang berkumpul dengan membawa prinsipnya masing-masing, tahu apa yang perlu dikatakan dan apa yang tidak.

Loncat ke peristiwa pengeboman di Surabaya, I was devastated. Really. Saya tak sanggup berkata-kata karena saya rasa kita semua tahu, Surabaya adalah salah satu kota paling damai di Indonesia. Candaan datang silih berganti, bahwa Surabaya adalah kota paling ‘seru’, karena di mana lagi Jawa-Madura-Cina-Arab-dan kelompok lain bisa hidup berdampingan dengan rukun? Sejak menjadi perwakilan Surabaya untuk World Scout Jamboree dan harus satu regu dengan anak pesantren PLUS anak Sekolah Ciputra PLUS anak Sekolah Al-Azhar, saya semakin mengerti perbedaan itu garis tipis yang menjadi pilihan: kita mau mempermasalahkannya atau tidak? Toh pada akhirnya kami makan sepiring dan tidur setenda. Bayangin kalau enggak saling percaya, bisa-bisa w kudu tidur di luar tenda.

Thursday, February 22, 2018

Road to Success

Harus saya akui, yang membuat saya sangat tertekan beberapa waktu lalu adalah tekanan orangtua terhadap pencapaian saya. Mereka mengharapkan saya memiliki pekerjaan tetap, jabatan strategis, yang tentu berimplikasi terhadap penghasilan yang tinggi. Terlebih sesudah saya lulus S2, ekspektasi diri saya menjadi semakin meningkat. Teman-teman terdekat mengatakan sebenarnya kehidupan saya sudah cukup ‘sukses’, tetapi saya terlanjur menetapkan target yang teramat tinggi untuk diri saya sendiri. Saya pun sering membandingkan diri dengan orang lain, namun bukan seberapa kaya seseorang dibandingkan saya, melainkan lebih kepada kontribusi seseorang kepada lingkungannya. Saya sering merasa sangat ‘kecil’ dan belum membuat perubahan apa-apa untuk masyarakat luas, atau sederhananya belum membuat gebrakan agar kehidupan orang menjadi lebih baik.

Salah satu yang tampak dari usaha saya memenuhi pengharapan itu adalah pemahaman saya terhadap waktu. Terkadang saya menyesal jika satu hari terlewatkan begitu saja ‘tanpa berbuat apa-apa’, selain bekerja tentunya. Di sisi lain, orangtua saya bukan orang yang pandai menyampaikan apresiasi, sehingga saya menyibukkan diri pada bidang-bidang atau kelompok-kelompok yang sekiranya dapat menghargai saya. Makanya, pada masa awal depresi, saya merasa kelaparan terus-menerus. Kalau kata bos, saya ‘lapar’ penghargaan – tapi alhamdulillah, saya ‘mengenyangkan diri’ saya dengan tindakan positif.

Berhubung mental saya sedang lumayan ‘rawan’, saya pun berusaha menurunkan target tersebut sedikit demi sedikit. Saya juga banyak berbincang dengan teman-teman dan saudara; serta membaca buku biografi. Why biography? Karena di situ saya melihat perjalanan seseorang dari mulai ‘belum punya apa-apa’ hingga bisa menjadi seperti saat ini.
And you know what? There is no such thing called an instant success.

SEMUA ORANG, I repeat, SEMUA ORANG, mengalami masa-masa struggling financially; belum lagi kalau mereka juga masih mencari apa yang sesungguhnya ingin mereka lakukan (seperti saya). Salah satu sepupu saya yang berprofesi sebagai dokter gigi bercerita, sesudah menyandang gelar, ia tak butuh waktu lama untuk membuka praktik di sebuah rumah sakit. Pada bulan pertama dan kedua, ia tidak mendapatkan pasien satu pun. Alhamdulillah, pada bulan ketiga, ia mulai mendapatkan pasien: satu orang. Meskipun begitu, ia tetap datang ke rumah sakit setiap hari meskipun belum tentu ada pasien (dan pada masa itu ia sebenarnya bisa on call). Tahun berganti tahun, sekarang pasien sudah cukup mengenalnya dan jadwal praktiknya hampir selalu ramai.

Kedua teman saya yang lain, yang menurut saya sudah lumayan ‘enak hidupnya’, juga mengalami perjuangan tersendiri. 6-7 tahun yang lalu, mereka harus naik-turun angkot menuju kantor (karena belum ada GoJek). Berangkat pagi buta, sampai rumah paling cepat jam sembilan malam, begitu terus sampai akhir pekan. Sebagai ‘anak bawang’, mereka harus mau melakukan apapun yang diminta oleh atasan, tak peduli mereka tidak menikmati pekerjaan itu. Someone has to work to pay the bills. Beberapa tahun kemudian, posisi mereka sudah cukup senior sehingga bisa mendelegasikan tugas-tugas kepada bawahan.

Saya pun bercermin pada pengalaman hidup saya, yang sepertinya ‘enggak jelek-jelek amat’. Saat orang lain masih bingung mencari kerja, saya sudah punya pekerjaan dan beberapa proyek pribadi (yang mungkin saat ini belum menghasilkan uang, but who knows?). Banyak orang iri dengan pekerjaan saya yang bisa dikerjakan di rumah, dan walaupun saya pegawai kontrak, alhamdulillah saya sudah mendapatkan pekerjaan lain selepas kontrak dengan perusahaan ini berakhir. And guess what? InsyaAllah saya akan bekerja di..... B a l i! Woohoo.

Mungkin bagi saya ‘masalahnya’ adalah, back in 2014, saat saya seharusnya diangkat menjadi manajer, saya justru resign dan mengikuti World Muslimah Award; yang ternyata oh ternyata merupakan sebuah ajang yang gagal karena sampai hari ini pun saya belum menerima hadiah saya dan tidak ada kelanjutannya. Jika saja manusia boleh berandai-andai, sekiranya saya tetap bekerja di kantor tersebut, barangkali saya sudah bisa keluar negeri setiap tiga atau empat bulan sekali. FYI, gaji+bonus saya waktu itu hampir sama dengan gaji saya sekarang, bahkan bisa lebih tinggi kalau lagi banyak klien.

Nyesel sih enggak, tapi kadang suka nyesek mikirin itu. Hahahahaha. Di sisi lain, life keeps surprising me dan target saya yang lain yaitu selesai S2 maksimal 5 tahun sesudah S1 sudah tercapai (terlambat satu tahun sih, tapi lumayan lah...). Allahu akbar!

Everybody has his/her own battle and all we can do is work hard. Seorang teman saya pernah berkata, “kalau ada orang yang lebih kaya atau sukses daripada kamu, lihat jam berapa dia pulang dari kantor.” Maksudnya itu kiasan untuk menggambarkan yaaa orang itu gimana kerja kerasnya. Kecuali kalau dia kaya dari warisan, beda cerita. Hehe.

Untuk itu, saya punya dua contoh yang bisa sister pelajari. Pertama, kamu bisa baca bukunya Kak Teppy (Stephany Josephine) yang berjudul “The Freaky Teppy: Cerita Hidup Penuh Tawa Walau Luka-luka”. Saya sudah pernah menuliskan review bukunya di sini. Kalau kamu cek Instagram dan blog Kak Teppy, sekitar 2-3 tahun terakhir kakak cantik satu ini makin heboh traveling dan kerjaannya. Siapa belum pernah baca review Ayat-ayat Cinta 2-nya yang ngehe abis? :))) Luar biasanya, she is still as humble as I knew her first time. Melihat kak Teppy yang sekarang enggak akan bikin orang berpikir dulu dia pernah ‘miskin’ (pokoknya kalian kudu baca bukunya). Hehe.

Kedua, mas Ariev Rahman. Saya memang belum jadi travel blogger, tapi kalau saya lagi malas mengerjakan proyek-proyek pribadi saya, saya pasti teringat akan mas satu ini. Selain menjadi pekerja kantoran dan memiliki blog traveling yang heitsnya kanmaen; ia pun menjalankan bisnis travel bersama teman-temannya. Yang ada di pikiran saya, “ini masnya tidurnya berapa jam sehari yak?” But he is a true hardworker at heart, and I think you can learn a lot from him.

Barangkali tidak semua orang harus bekerja sekeras saya, atau Kak Teppy, atau Mas Ariev. Hanya saja buat kita yang tidak punya nama ‘Bakrie’ sebagai nama keluarga; rasanya kita kok masih harus kerja keras kalau mau ‘hidup enak’, hihi. Ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita kalau kita sendiri tidak berusaha.
"...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." Q.S. Ar-Ra'd (13): 11

And maybe as I have said, it’s not about how much you can get but how much you can contribute to the society.


Sabar, sabar, sabar. Dan tetap ikhtiar.

Lots of love,
Prima 

Sunday, February 18, 2018

Perjalanan Menuju Cahaya (Teaser)

“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Yusuf (12): 6)

Awal tahun 2018, saya ‘terpaksa’ menemui psikolog dan psikiater karena sudah tak sanggup menahan penderitaan. Long story short, saya didiagnosis mengidap ‘severe depressive episode without psychotic syndrom’, yaitu gangguan psikologis yang tidak keren pokoknya. Awalnya saya shock karena tidak menduga sama sekali; saya kira saya hanya stres biasa. Akan tetapi, berhubung saya menulis blog dan buku harian, belakangan saya menjadi sadar kalau gejala depresi sudah muncul sejak awal 2016. Meskipun demikian, fisik dan mental saya mampu menahannya sampai Agustus 2017. Saat itu saya kewalahan dengan berbagai keperluan yang harus saya urus setelah melalui ujian tesis.

Puncaknya, saya merasakan dorongan yang sangat kuat untuk bunuh diri pada tanggal 20 Agustus 2017 (kok tahu? Ya kan saya tulis di diary). Saya sudah menenggak dua tablet obat tidur, tapi urung meminum lebih banyak karena takut dosa kalau beneran meninggal. Keesokan pagi, betapa bersyukurnya saya masih diberi hidup – walaupun rasanya tetap enggan beranjak dari tempat tidur dan tidak ada energi untuk melakukan apapun. Sayangnya, tekanan sosial dan daftar aktivitas yang harus dipenuhi menahan saya dari mencari penyebab kejadian ini. Saya pun menjalani hari dengan tertatih-tatih sampai tahun 2017 berakhir.

Beberapa hari sesudah tahun baru, saya muntab. Tingkah laku saya semakin tak terkendali sehingga sahabat terdekat pun menyarankan agar saya memeriksakan diri. Saya menemui dokter umum sambil membawa buku harian saya; menjalani serangkaian tes bersama psikolog; lalu dirujuk ke dokter spesialis kejiwaan. Sungguh hati saya remuk, tetapi saya percaya ada hikmah di balik ini semua. Saya merasa ini adalah bagian dari ikhtiar saya untuk menjadi hamba yang lebih baik di mata Allah; sekaligus mengoptimalkan fungsi saya sebagai makhluk sosial.

Hari demi hari, saya mulai membaik. Namun begitu, tidak mudah bagi saya untuk mengakui hal ini pada awalnya. Saya takut teman-teman saya menjauhi saya, saya pun khawatir dengan penghakiman orang atas saya. Alhamdulillah teman-teman saya justru menjadi pendukung terbaik saya. Tidak ada satupun yang mencerca atau merendahkan saya. Pujian dan apresiasi malah datang bertubi-tubi, menguatkan hati saya untuk terus menjalani perawatan.

Lucunya, banyak orang – seperti followers saya di media sosial atau pembaca blog – yang tidak percaya kalau saya mengalami depresi. Mungkin sudah pembawaan saya yang sanguinis dan ekstrovert untuk tampak ceria, meski berjuta beban sebenarnya menggelayuti bahu saya. Di kelompok pergaulan manapun, saya memang dikenal sebagai badut yang bicara paling lantang dan tertawa paling keras. Sungguh tak ada yang akan menduga kalau saya kerap menangis hingga mengamuk kalau sedang sendiri.

Salah satu tanggapan dari teman yang cukup menggelitik saya untuk menuangkannya dalam bab ini adalah,
“But mbak Prima, how could you be depressed? Your life is perfect. You are beautiful, smart, and have such an amazing life. Imagine if you were me...”

Ini teman saya yang bilang lho ya, bukan saya. Hehe. Dia pun mengeluarkan unek-uneknya tentang permasalahan hidupnya sejak kecil sampai sekarang; sehingga dia menganggap dirinya lebih ‘pantas’ untuk mengidap depresi daripada saya. For your information, dalam sudut pandang medis, seringnya depresi tidak berhubungan dengan seberapa cantik/terkenal/kaya/relijius seseorang. Sejauh yang saya pahami, depresi adalah gabungan dari turunnya ketahanan mental, serta reaksi dari saraf-saraf di otak yang berkaitan dengan zat-zat/hormon tertentu dalam tubuh. Dengan demikian, seseorang yang depresi tidak dapat berpikir dengan jernih layaknya orang normal. Dalam kasus saya, obat-obatan dibutuhkan untuk menyeimbangkan zat-zat/hormon tersebut. Meningkatnya kekebalan fisik saya, insyaAllah akan berimbas positif pada kekukuhan psikologis saya. Tahu enggak, apa yang saya pikirkan selama proses penyembuhan? Maha Besar Allah yang menciptakan akal manusia untuk terus mengembangkan ilmu; ditambah dengan orang-orang tulus yang mau mengemban misi sebagai psikolog dan psikiater. Luar biasanya lagi, orang-orang yang menangani saya itu mampu menuntun saya untuk menerima kejadian ini dengan penuh keimanan. Semoga Allah berkenan memberkahi hidup mereka.
Kembali ke perkataan teman saya, saya pun tertawa saat mendengarnya. Saya menjawab, “you don’t know my life. I have endured more pain than any common people. I have been living under the cloud of negativity for too long until it becomes difficult for me to see the light. For the last five years, I have became the most insecure person in the world no matter how big my achievements are.”

Barangkali sister akan bertanya-tanya, apakah saya tidak cukup beribadah hingga harus jatuh terpuruk seperti ini? Sebenarnya, masalah-masalah yang terus berdatangan sungguh membuat saya lebih dekat dengan-Nya. Ada suatu masa lutut saya sampai melepuh karena terlalu banyak salat dan terlalu lama bersujud. Saya pun semakin sering menekuni Al-Qur’an dan terjemahannya. Dan saat itulah saya jatuh cinta kepada Nabi Yusuf a.s.

Konon cerita tentang ketampanannya sudah sering kita dengar, sementara kisah cintanya dengan Zulaikha juga santer dibagikan untuk menginspirasi kita agar menahan hawa nafsu. Namun bukan itu yang membuat saya takjub.
Yusuf a.s. mengalami banyak masalah dalam hidupnya. Tetapi ketika dia menoleh pada masa lalu kehidupannya, dia berkata, ‘Ah tidak, Allah Mahatahu apa yang sedang terjadi pada diriku selama ini, dan semua ini adalah kebijaksanaan-Nya.’ Subhanallah. (Nouman Ali Khan, 2016: 69)

Semua nabi dan rasul menghadapi ujiannya masing-masing. Akan tetapi, Yusuf telah menjalani kehidupan yang ‘sengsara’ sejak kecil, pun salah satu penyiksa terberatnya adalah kakak-kakaknya sendiri. Bayangkan kalau sister dibenci oleh saudara sister, diajak main ke suatu tempat terpencil dan ditinggal di sana. Betapa sakitnya hati ini.

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi". (Q.S. Yusuf (12): 15) 

Kemalangan Yusuf tak berhenti di situ. Memang ada sekelompok orang yang menyelamatkannya, tetapi ia malah dijual, untuk kemudian dibeli oleh penguasa Mesir.

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yusuf (12): 19) 

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (Q.S. Yusuf (12): 20) 


Apakah lalu hidupnya menjadi lebih baik? Ya, untuk sementara. Sebelum Zulaikha menggodanya dan menjadikannya sebagai sasaran fitnah. Yusuf tak gentar sedikit pun. Ia justru memilih untuk dipenjarakan!

“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".  (Q.S. Yusuf (12): 33) 

Saat di penjara inilah, Yusuf mulai menunjukkan kenabiannya dengan menafsirkan mimpi penghuni penjara lainnya. Sedihnya, ia ‘apes’ sekali lagi. Si narapidana yang berhasil keluar dari penjara, ternyata lupa menyebutkan perihal Yusuf kepada tuannya! MasyaAllah. Setelah beberapa tahun, barulah mantan napi itu teringat untuk ‘mempromosikan’ jasa Yusuf dalam menginterpretasi mimpi kepada sang raja. Maka Al Aziz pun mengangkat Yusuf sebagai bendaharawan negara. Fiuh, akhirnya...

“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu". Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (Q.S. Yusuf (12): 42)

“Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)". (Q.S. Yusuf (12): 45)

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Yusuf (12): 56)

Ternyata, perjalanan hidup Yusuf yang berliku tersebut membawanya kepada hadiah terbesar dari Allah: kemuliaan dunia-akhirat. Dan luar biasanya, ia begitu bersabar dalam menjalani ketetapan Allah, dan terus berprasangka baik kepada Allah. Coba kalau kita yang diuji oleh Allah seperti itu? Mungkin yaaa, ujung-ujungnya seperti saya, melambaikan bendera putih alias menyerah.
Pada bagian awal surah itu (surah Yusuf) sebelum masalah timbul, kita menoleh ke Allah dan menyebut-Nya sebagai Mahatahu dan Mahabijaksana. Lalu kita mempunyai harapan rencana besarnya bagi kita. Ketika masalah timbul, kita menyebut Allah sebagai Mahatahu dan Mahabijaksana karena apa pun yang terjadi itu adalah bagian dari pengetahuan dan kearifan Allah. Kita percaya pada-Nya. Dan ketika masalah kita teratasi, kita berpaling lagi pada Allah Swt. dan mengatakan bahwa Allah menolong kita. Kita bisa melihat peristiwa itu baik untuk keimanan kita. Dan hal itu juga baik dari sisi lain. Bahkan ketika kita tidak memahaminya, Allah Swt. mempunyai kebaikan untuk kita. Allah Swt. mempunyai sesuatu untukku. (Nouman Ali Khan, 2016: 75)

Suatu kali saat saya sedang berada dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menemui psikiater, saya melihat pelangi yang begitu indah di kejauhan. Sister tahu kan, kalau pelangi hanya dapat muncul sesudah hujan? Hidup seperti itu – cahaya hanya akan tampak sesudah gelap yang begitu pekat.

Maka saya pun mengucap syukur berkali-kali. Alhamdulillah, Allah masih berkehendak untuk memanggil saya mendekat dengan-Nya. Ia langsung ‘turun tangan’ untuk memberikan jalan keluar. Ia mengirimkan orang-orang baik untuk membantu saya memperbaiki diri. Ia memberikan keberanian bagi saya untuk membagikan cerita ini kepada sister, semata agar sister bisa mengambil pelajaran.

Dan tahukah sister, apa kearifan yang nilainya paling besar dari peristiwa ini? Saya jadi mengerti bahwa Allah masih sayang sama saya. Ia masih peduli akan saya, dan Ia percaya saya bisa naik level setelah ujian ini. He trust me, so why can’t I trust myself?

Ramadan kali ini, mari resapi makna ujian hidup yang diberikan oleh Allah. Yakinlah bahwa tak ada ujian tanpa ganjaran; sebagaimana tak ada penyakit tanpa obat. Allah sudah menjanjikan, dan memberikan contoh melalui kisah nabi-nabi. And now it depends on us, will we fight to pass the test? Bismillah. 

Tuesday, October 10, 2017

#29 (Part One)

Tiga minggu terakhir ini adalah salah satu masa paling ‘penuh’ bagi saya dalam tahun ini. Ada masa dimana saya merasa gagal dalam semua yang saya kerjakan, kemudian hal itu berbalik menjadi keberuntungan, lalu berbalik lagi menjadi semakin buruk. Saya memang masih berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian saat ini, namun begitu perlahan saya merasa lebih kuat. Mengapa bisa demikian? Saya akan ceritakan di post terpisah.

Last three weeks were one of the most intense weeks for me in this year. There were some moments when I feel failed in everything that I do, then I got my luck, but then it gets worse. At this second I still feel ‘trapped’ in a situation full of uncertainty, but slowly I get stronger. How? I will share it in the separated post.

Minggu lalu mungkin merupakan puncaknya, saya mendapatkan tiga pelajaran sekaligus. Di satu sisi, hal-hal tersebut menampar saya...karena saya menjadi sadar betapa selama ini saya telah meragukan kebesaran-Nya. Di sisi lain, saya seperti diingatkan kembali bahwa memang sudah sepatutnya saya tidak bergantung kepada makhluk – yang tidak memiliki daya dan upaya apapun untuk menjadi tempat saya bernaung.

Last week might be the peak, as I got three important lessons. In one side, those accidents slapped me...because I finally realized that I have been doubt His greatness along these times. In other side, I got reminded that we are supposed to not depending on creature – who doesn’t have strength or power to be my shelter. 


Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya ‘baru tahu’ bahwa melamar pekerjaan untuk S2 tidak semudah yang saya harapkan. Saya punya harapan besar untuk terikat dengan perusahaan mapan selama setidaknya tiga tahun. Pada satu titik, saya mulai memahami kekhawatiran kedua orangtua saya – bahwa sebenarnya mereka hanya ingin saya bahagia.

As I have said before, I ‘just knew’ that Master degree doesn’t make job applications easier. I have a big hope to work in an established company and stick out for at least three years. In one point, I started to understand my parent’s worry – as they actually want me to be happy.


Nah, perjalanan saya menggapai harapan itu – dan ekspektasi orangtua saya – tentu saja tak sepenuhnya lancar.  Tapi, ada beberapa kejadian yang membuat saya merasa merasa pintu-pintu yang tadinya terkunci mulai terbuka. Saya bahkan menangis saat sedang naik Gojek karena tak menyangka mukjizat-Nya terasa sudah sangat dekat.

Well, of course the journey in reaching my hope – and my parent’s expectation – isn’t totally smooth. However, there were some events that convinced me that the locked doors started to open one by one. I even cried when I rode the motorcycle taxi because I couldn’t believe that His miracle had been so close to me.

Sayangnya, saya belum bisa memberikan kabar baik itu sekarang :p Sementara saya masih terus berdoa agar apa yang saya perjuangkan ini akan menjadi nyata dalam waktu dekat, inilah tiga pelajaran yang ‘memaksa’ saya untuk melangkah maju. 

Unfortunately, I can’t reveal any good news new :p While I am still praying so that the progress will be real in no time, these are three lessons that ‘force’ me to move forward.
 

1. Semua Manusia Pasti Punya Kesalahan (Everyone Makes Mistakes)
Saya senang mengamati, dan saya ‘senang’ belajar dari kesalahan orang lain karena saya berharap saya tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama. Bagaimanapun, sepanjang hidup saya, saya melihat bahwa orang-orang hanya bisa bertransformasi menjadi diri yang lebih baik, saat mereka berani mengakui bahwa mereka salah.

I like doing some observation, and I ‘like’ learning from other people’ mistakes so that I don’t need to repeat the same mistakes over again. However, all of my life, I saw people who have successfully transformed into a better person, it was because they admit that they have done some mistakes.  

Suatu waktu saya menulis caption di akun media sosial tempat saya bekerja: "Memenangkan sebuah pertandingan itu biasa, berbangga diri saat menang juga biasa. Tapi, bagaimana kita menghadapi kekalahan, itulah yang menunjukkan karakter diri kita sesungguhnya."

One time I wrote a caption at my company’ social media account: "Winning a match is common, being proud of getting that triumph is also common. But, how we face the defeat, that shows our real characters."

Saya menemukan orang-orang yang ‘berkubang’ dalam penolakannya terhadap kenyataan, dan bersikeras bahwa tidak ada yang perlu diperbaiki dari dirinya, terpaksa berada dalam situasi buruk itu terus-menerus.

I found that people who deny the reality, and insist that there is nothing that needs to be fixed from him/her, have to stay in that bad condition constantly.

Sebaliknya, saya melihat orang-orang rendah hati yang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf – kepada dirinya sendiri, kepada orang-orang yang ia sakiti, dan kepada orang-orang yang peduli – akan segera menemukan jalan naik.

In contrary, I saw humble people who want to confess his/her mistakes and apologize – to him/herself, to people whom he/she hurt, and to people who care about him/her – will soon discover a way up.

Saya tidak mau menjadi orang egois yang merasa bahwa diri saya paling benar. Saya ingin orang-orang merasa nyaman berada di dekat saya karena tahu bahwa saya hanyalah manusia biasa. Dan manusia biasa itu mengenali kekurangannya dan menghargai kelebihan orang lain.

I don’t want to be a selfish person who thinks that I am the most righteous person in this world. I want people to feel comfort being with me because I am just a human. And a human knows his/her weaknesses and honor people’ strength.

Bahkan dalam Qur’an, tercantum ayat tentang larangan menjadi manusia sombong. Karena ketika seseorang dibutakan oleh kebesaran dirinya, dia akan sulit menerima kebenaran.

Even in Qur’an, it is mentioned some verses about prohibition of being an arrogant person. As when someone is blinded by his/her self, it will be difficult for him/her to see the truth. 

"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." (Q.S. Al-Isra' (17): 37)
   
"And do not walk upon the earth exultantly. Indeed, you will never tear the earth [apart], and you will never reach the mountains in height." (Q.S. Al-Isra' (17): 37) 

Jadi, kalau saat ini kamu merasa sedang terjebak dalam ‘kesialan’ yang tampak tak berujung, coba tanyakan kepada dirimu, apakah kamu pernah merasa terlalu tinggi dalam memandang orang lain?

So, if you are feeling stuck in endless bad luck, ask yourself, have you ever disrespect somebody?

Minta maaf-lah, bisa jadi dia memegang kunci kemajuanmu.

Ask for forgiveness, because he/she might holding your key.

- Bersambung [to be continued]-

Saturday, September 30, 2017

Bersyukur Tanpa Tapi


Minggu pagi menjelang siang, saya baru saja menyelesaikan pekerjaan di Grha Sabha Permana. Saya duduk-duduk di parkiran mobil sambil mengamati orang-orang yang sedang jogging. “I should have done it (jogging) more often,” pikir saya. Sedikit menyesal karena baru sadar kalau jogging di GSP sepertinya sangat menyenangkan...apalagi kalau ada temannya. YEEE. Realizing that it’s been more than one month since the last time I visited gym, I feel so unhealthy. I feel sooooo fat (kerasa dari celana panjang yang sudah susah dikancing -_-). But more than that, I feel so unhappy.

Seharusnya saya bersyukur karena sudah mendapatkan pekerjaan bahkan sebelum resmi lulus dari Universitas Gadjah Mada. Seharusnya saya bersyukur karena orangtua saya sangat mempedulikan masa depan saya – dengan caranya masing-masing. Seharusnya saya bersyukur karena dijauhkan dari lelaki(-lelaki) yang mungkin memang tidak pantas bersanding dengan saya (more stories on that later...).

But I feel so empty inside.

Saya sering nggerundel sendiri karena saya merasa bisa mendapatkan hal-hal yang lebih baik dari apa yang saya miliki saat ini. Dorongan dari orang-orang di sekitar saya mulai menjadi beban dan tekanan batin – yang bukannya membuat saya maju, malah justru membuat saya ingin lepas dan bebas.

Bersamaan dengan air mata yang hampir menetes, gerimis datang. Saya bergegas mengambil motor dan beranjak pulang. Dan dalam perjalanan pulang, saya menemukan pemandangan yang miris. Pertama, saat ada sepasang orang tua yang menjual keranjang dari bambu, yang biasanya dipakai buat meletakkan baju kotor itu lho. Mereka bergandengan tangan dan setengah berlari mencari tempat berteduh. Kedua, seseorang yang membawa kostum badut boneka, berusaha melindungi portable tape dari derasnya hujan. Mungkin dia menggunakan alat tersebut untuk mencari nafkah.

Sontak tangis saya pecah. Penderitaan yang saya rasakan bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka, dan jutaan orang lain yang lebih tidak beruntung. Saya lulusan S2...yang mana kesempatan untuk mengenyam (dan menyelesaikan) pendidikan tinggi itu sendiri adalah suatu berkah yang tak ternilai harganya. Sementara saya masih bisa pulang ke rumah yang nyaman, bagaimana dengan mereka?

Sorenya, sepupu saya bertanya apakah memang mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan sesulit itu? Terlebih dengan gelar S2 yang baru saja saya dapatkan. Saya tak bisa langsung menjawab, tapi kemudian saya berpikir, mungkin hanya belum waktunya saja. Dulu ketika saya lulus S1, saya menunggu dua bulan sebelum akhirnya mendapat pekerjaan. Alhamdulillah, saya bertahan pada pekerjaan itu hingga dua tahun-an, sebelum hengkang untuk mengikuti World Muslimah Award 2014.

To be honest, looking for a decent job these days indeed become more difficult than five years ago. Saingannya semakin banyak, dan kadang perusahaan engga ‘logis’ dalam menetapkan kriteria pelamar. Misalnya, pengalaman kerja minimal 5 tahun dan maksimal usia 25 tahun, plus harus cum laude pula. Gimana caraaaaa.

Akan tetapi, saya beneran harus banyak bersyukur karena sejak mulai kuliah S2, saya hampir selalu memiliki pekerjaan dan itu berasal dari networking – bukan melamar dari nol banget. And if now I have to start applying again, surely that will be all okay. Namanya ikhtiar kan tsaaay.

That’s why tiba-tiba ‘bersyukur tanpa tapi’ muncul di pikiran saya bak lampu yang menyala (‘eureka!’). Berapa banyak dari kita – bahkan saya sendiri – yang suka berkata, “bersyukur sih, tapi.....” Padahal yang namanya bersyukur ya bersyukur aja. Allah sendiri sudah menjamin, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu...” (Q.S.Ibrahim (14): 7).

Bersyukur dan bersabar, ikhtiar dan tawakkal... jangan pernah terlepas salah satunya. Buat saya pribadi yang (mungkin) sudah punya jejaring yang cukup luas, saya tetap melamar pekerjaan kesana kemari kok. Because maybe a great job has waited for me somewhere. I just need to go out and try to reach it... even if it has to be step by step.

Malam itu saya berangkat tidur dengan perasaan lebih tenang daripada biasanya. Saya berusaha mengurangi pertanyaan ‘what about tomorrow?’, tapi mengucap banyak hamdalah karena saya diizinkan berada pada titik ini. My life is not perfect, and it might never be, but most important thing, I can finally see the light.

Lots of love,
Prima

Tuesday, February 14, 2017

Weekend Journal #7

So sorry for being late to post Weekend Journal. Akhir-akhir ini saya sedang engga mood blogging, padahal banyak yang pingin diceritain ke sister. Mungkin efek habis sakit kali. Makanya saya happy banget waktu tahu salah satu finalis World Muslimah Award 2014 dari Singapura, Masturah, main ke Yogyakarta. Ehhh, kok pas saya sakit :((( Jadilah kami hanya main bareng selama satu hari. Terus pagi ini saya down waktu ditinggal Masturah ke airport pagi buta, hiks. Masuk masa seminggu sebelum datang bulan alias PMS memang menyesakkan dada. Argh kesel kesel kesel, engga salah kalau kapan hari saya nulis artikel berjudul: Pasti Ada Alasan Mengapa Tuhan Menciptakan Saya Begitu Perasa.

Oh ya, alhamdulillah saya sudah jauh lebih baik. Sebenarnya hari Selasa lalu saya divonis dokter harus masuk rumah sakit karena positif demam berdarah dan kondisi saya semakin memburuk. Malamnya, saya naik motor sendiri (ditemani roommate) ke rumah sakit dekat rumah, tapi ternyata kamarnya penuh. Udah berasa hotel di Prawirotaman aja pakai penuh segala. Ya sudah, Rabu-Jumat saya istirahat di rumah lagi, sampai bosaaaaan. Lalu Jumat sore saya cek lab dan trombosit saya sudah meningkat pesat. Yay!!!

Sakit selama 10 hari jelas membuat mood saya turun drastis. Pokoknya baper, tidak bersemangat, serba salah juga. Badan masih lemas, mau ngapa-ngapain yang berat sedikit eh capek. Namun beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kabar seorang sahabat saya divonis lupus. Belum lagi minggu waktu saya sakit itu, saya mengetahui seorang kenalan saya divonis kanker. Hati saya mencelos. Saya jarang sekali sakit parah, bahkan seingat saya, terakhir kali saya ambil darah – itupun untuk medical check up – adalah pada masa World Muslimah Award 2014. Mendengar tentang kabar dua orang ini membuat saya banyak ‘bersyukur’ bahwa Allah masih berkenan mengingatkan saya untuk mengambil rehat dan merenung. Apa ini waktu yang tepat untuk membuat Happiness Project lagi? Mengingat sejak awal tahun, cukup banyak badai yang menghantam biduk kehidupan saya. LOL, drama abis.

Saya minta maaf kalau pagi-pagi sister harus membaca cerita saya yang sedang pesimis. I do feel like I have to find some strength to rise up and move forward. Thankfully I had Masturah came and reminded me that life can be beautiful whatever it gives you. Ngelihat cerita hidup kami berdua, engga heran kalau kami dapat gelar Inspiring Muslimah dulu, hihihi. Semoga siapapun yang membaca ini mendapatkan semangat yang dibutuhkan untuk bangkit:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” [Q.S. Ali Imran (3): 190] – (ayat ini diulang sebanyak 16 kali di dalam Al-Qur’an) 

Have a nice day,
Prima

Monday, September 19, 2016

Antara Halal dan 'Halal' (Bagian 1)

Ketika saya ‘iseng’ nulis post untuk The Sunshine Blogger Awards 2016, saya engga nyangka bakal dapat banyak sekali inspirasi dari teman-teman blogger tersayang. Sejauh ini, yang sudah menjawab tantangan dari saya ada Kak Nissa, Nazura Gulfira, Erny, Ika, dan Mbak Ine. Atau ada lagi yang sudah menulis tapi belum saya baca?

Berhubung mereka harus bikin 11 pertanyaan baru, saya tertarik untuk menjawab beberapa (kalau bisa sih semua) pertanyaan dari mereka, sebagai bahan untuk mengisi blog ini. Nasib belum mampu jadi fashion blogger, saya tetap akan bertahan sebagai blogger bawel yang hobi mengomentari hal-hal yang saya lihat atau dengar.

Salah satu pertanyaan yang menggelitik, saya dapat dari Ika.
Menurut kamu (yang Muslim), penting nggak sih berhati-hati saat makan di luar? Kan nggak menutup kemungkinan meski makanan yang disajikan itu no pork, tapi bumbunya mengandung zat-zat yang diharamkan (misal: wine).

Sunday, July 3, 2016

#RefleksiRamadhan: FINALE

Allahu akbar!!!!! This year might be the most unproductive year for me and my personal blog. Apalagi di bulan Ramadhan ini ternyata saya hanya mampu mem-post lima #RefleksiRamadhan. Kalau sister hanya menilai saya dari blog, mungkin sister akan berpikir, ‘prima kemana aja selama Ramadhan ini? Tidur doang? Atau lagi sibuk banget ngerjain tesis?’ BWAKAKAKAKAKAKAKAKAKAK *ngakak sampai Lebaran* Hasrat hati sih pingin ngerjain tesis atau paper buat ACMC, tapi apa daya tiap buka laptop yang di-klik folder kerjaan lagi, kerjaan lagi. 

Meskipun demikian, banyak sekali hal yang harus saya syukuri dan tentu saja, saya pelajari di Ramadhan tahun ini. Salah satunya yang pasti saya dapat THR lagi setelah sekian lama~~~~~ yang langsung amblas dipakai buat kasih uang saku dan kado buat adik-adik tersayang. Secara hari raya Idul Fitri juga bertepatan dengan menjelang masuk tahun ajaran baru, dan alhamdulillah adik-adik saya sudah pada dapat sekolah semua. Jadi siap-siap deh, “mbak, hadiah buatku mana?” Padahal namanya masuk sekolah ya tanggungjawab pribadi, kenapa saya ikutan repot #lah #dasarkakaktakberguna

Berhubung saya besok sudah mudik ke Surabaya, kali ini saya (mau tidak mau) akan membagikan beberapa mutiara dari ceramah-ceramah tarawih yang sudah saya catat di handphone saya. Seharusnya sih, setiap malam langsung saya tuangkan di blog, tapi ya sudahlah. Saya tidak mungkin membalikkan waktu kan. Ini beberapa cerita yang menginspirasi saya selama Ramadhan ini:

1. Gravitasi Dunia vs Langit
Mungkin sister pernah mendengar tentang ‘hamba yang sangat terkenal di langit, tapi tak terkenal di dunia.’ Pertama kali saya mendengar konsep tersebut, saya langsung merasa bahwa Allah itu Maha Adil. Let’s just say in simple words, tidak semua orang bisa mendapatkan ‘kebahagiaan’ di dunia. Tapi kalau dipikir lagi, apa sih sebenarnya makna kebahagiaan? Punya rumah gede? Mobil bagus? Koleksi Hermes? Atau tahu bedanya lipstik lima ratus ribu dan lima puluh ribu? #eh 

Semua bentuk kebahagiaan diatas ternyata bukanlah sesuatu yang dikejar oleh hamba satu ini. Atau mungkin beliau sempat memiliki impian, tapi tidak lagi menjadi prioritas ketika memahami bahwa Allah menyimpannya untuk diberikan di akhirat nanti. 

Tentu saya tidak ingin mengatakan ‘ya sudah yang penting kamu jungkir balik sholat terus atau ngaji terus aja, nanti juga bakal dimasukin surga.’ Kerja juga ibadah, apalagi kalau sister bekerja di sektor yang sangat berpotensi untuk mencetak amal jariyah. Seperti saya dan tulisan-tulisan saya gitu *ehem*

Beberapa hari yang lalu, saya juga pernah membaca sebuah kutipan, ‘having dunya is not a problem, loving dunya is.’ Saya harus menyampaikan hal ini karena mungkin sister bertanya, lha gimana kalau memang hidup saya alhamdulillah enak? Apa saya harus hidup menyengsarakan diri? No no! Ustadz Salim A Fillah pernah bilang, bahwasanya semua yang kita miliki idealnya bukan hanya milik kita pribadi. Sebisa mungkin, semuanya bermanfaat untuk ummat. Jadi kalau kebetulan sister memiliki mobil dan tinggal di daerah yang banyak orang miskin, mungkin sister ‘dikirim’ oleh Allah untuk membantu mengantar orang sakit ke rumah sakit atau ibu hamil ke bidan. Bagaimanapun, semua hal itu lebih aman untuk dilakukan dengan mobil daripada sepeda motor kan. 

Yang kemudian membahayakan adalah ketika mobil itu menjadi sarana bermewah-mewahan, menyombongkan diri, dan tidak mudah puas. Bukan sponsored post nih (LOL), misalnya sister cuma mampu punya Toyota Avanza, tapi memaksakan diri untuk membeli Mercedes Benz demi gengsi. Contoh lain, adanya televisi di rumah boleh digunakan untuk mencari ilmu pengetahuan, jangan dipakai buat menonton The Kardashians terus. Ya, prim? *ngomong sama diri sendiri* Sampai pada akhirnya, televisi membuat sister lupa akan jam sholat. Mobil mewah membuat sister lebih mikirin angsurannya daripada bersedekah. Perlahan sister lebih mengutamakan dunia daripada akhirat yang lebih kekal. Waspadalah, jika semuanya terasa sangat mudah, mungkin sister sedang diuji dengan istidraj: ditinggikan di dunia, direndahkan di akhirat. Naudzubillahi min dzalik. 

That’s why, jangan berlebihan dalam hal apapun di dunia. Kalau kata lagu dangdut, yang sedang-sedang saja. Sementara untuk akhirat, sebaliknya. Gas pol! Ada waktu untuk sholat dhuha, jangankan hanya 2 atau 4 rakaat, lakukan 12 rakaat! Sudah mampu melakukan #OneDayOneJuz? Pertahankan dan ajak lebih banyak orang untuk melakukannya. Berlomba-lombalah dalam hal kebaikan dan ibadah, supaya kelak nama sister digaungkan di langit. 

Tuesday, November 24, 2015

The Belief

Q.S. Yunus (10)

Ternyata sudah lama ya saya ga menulis post untuk #1Hari1Ayat. Kemana saja, prim? Biasa, sedang mengeksplorasi hal-hal baru :))) Bukannya ga menemukan ayat untuk ditulis, tapi sesudah #1Hari1Hadits selama bulan Ramadhan, saya lebih fokus untuk mempertahankan kuantitas bacaan Qur'an. Secara umum saya juga sedang jarang nge-blog, maklum sindrom menjelang UAS, buka laptop automatically buka folder Kuliah atau Tugas endebre endebre.

Sejak hari Jum'at yang lalu, sampai Senin kemarin, saya mendapatkan berbagai kejutan – yang saking bikin syok, saya cuma bisa ketawa getir. Awal-awal sih nangis sesenggukan, terus nangis kenceng sampai badan gemetar, terus kok ada aja lagi yang terjadi...hmmm, senyumin aja deh. Huft.

Jadi kalau dirunut ceritanya begini: beasiswa saya ditunda karena ada permasalahan administratif, permohonan referral saya ke sebuah universitas di Australia ditolak, ada orang yang suudzon kepada saya, dan terakhir HP saya mendadak rusak. Ga ada angin, ga ada hujan, tiba-tiba HP saya mati begitu saja di tengah negosiasi 'bisnis' yang maha penting dengan beberapa kolega. Allahu akbar, rezeki saya ditahan lagi oleh Allah.

Saya jadi teringat suatu perbincangan di grup whatsapp tentang keyakinan. Ketika kita yakin bahwa Allah akan mengabulkan permohonan kita, ada dua hal yang akan Allah lakukan: memberikan apa yang kita minta, atau menguji keyakinan kita. Iya, menguji apakah kita yakin bahwa ketentuan Allah lebih baik daripada permohonan kita.

Saya terhenyak. Mungkin keyakinan saya sedang diuji, terutama karena saya sedang punya banyaaak sekali permintaan. Saya tidak boleh 'pura-pura buta', ngotot merasa bahwa yang saya minta ini yang terbaik untuk saya, daripada yang akan diberikan oleh Allah sebagai gantinya. Saya harusnya bersyukur, bahwa Allah sedang melindungi saya dari konsekunsi buruk yang mungkin timbul dari apa yang saya inginkan.

Yakin, tawakkal, dan menunggu keputusan Allah. MasyaAllah, sulitnya bukan main, sister. Terutama jika ujian keyakinan itu datang bertubi-tubi pada waktu yang berdekatan. Tapi percayalah, Allah adalah hakim terbaik, dan akan selalu begitu.

Salam,
Prima

Friday, July 24, 2015

The Hoax


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (Q.S.Al-Isra' (17): 36) 


Friday, May 22, 2015

Bicara Tentang Kematian


Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan. QS. Al-Munafiqun (63), Ayat 11

Konon, malaikat kematian mengintai kita 70 kali sehari (sudah berusaha nyari hadits-nya, tapi kok kurang meyakinkan ya..). Selain itu, kata teman saya, dia pernah dengar bahwa nyawa kita akan dicabut ketika kita melakukan kegiatan yang paling sering kita lakukan. Kebetulan dia berkomentar seperti ini sesudah kami menonton Furious 7 (baca review saya disini). Asumsinya, Paul Walker ‘dimatikan’ oleh Allah, saat sedang berada di mobil – sesuatu yang dekat dengannya saat masih hidup.

Whatever they say about death, saya percaya mempersiapkan kematian adalah salah satu hal yang sangat penting, bahkan mungkin lebih penting daripada kehidupan itu sendiri. Ustadz Fatih Karim, guru Ustadz Felix Siauw, pernah bercerita kalau beliau menyimpan kain kafan sejumlah anggota keluarganya, diletakkan di lemari, di bagian yang terlihat setiap kali ia membuka lemari. To remind him that one day he will wear that ‘clothes’.

Di rumah tante yang saat ini saya tinggali, alhamdulillah, kematian selalu membayangi. Om saya, meninggal sekitar 1,5 tahun yang lalu. Ia tidak dalam keadaan sakit, meski memang pernah stroke ringan, tapi kontrol dokter terakhir menyatakan bahwa ia cukup sehat. Ia meninggal di sela-sela waktunya bekerja, di rumah, dalam situasi yang cukup ‘tiba-tiba’ dan tidak terduga.

When Allah said it’s the time, we can’t hold back.

Saya sering membayangkan, seperti apa nanti kematian saya. Apakah saya akan meninggal dalam damai, bersama keluarga yang mendampingi di sekeliling saya? Apakah saya akan meninggal dalam kesendirian, mungkin saat itu keluarga saya sedang melakukan aktivitas mereka masing-masing, dan tidak tahu-menahu bahwa saya sedang meregang nyawa? Atau apakah saya akan meninggal dengan cepat, mungkin pada kecelakaan pesawat atau diambil nyawanya oleh seseorang? 

Saya tidak tahu, saya tidak bisa menerka.

Yang saya tahu, saya tentu berharap bahwa kematian saya tidak akan merepotkan orang-orang yang saya tinggalkan. Yang saya tahu, saya berusaha agar ketika saya meninggal, mereka mendoakan saya dengan tulus, mengikhlaskan hutang-hutang saya baik material maupun hutang budi, dan memaafkan kesalahan saya. Yang saya tahu, saya berjuang agar ketika saya telah tiada, mereka hanya mengenang yang baik-baik saja dari saya.

Yang saya tahu, bahwa ketika seorang manusia meninggal terputuslah semua urusan, kecuali tiga: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak soleh. Sementara saya tidak tahu apakah saya akan sempat memiliki yang ketiga, dan tentu saya masih sangat pas-pasan untuk yang pertama; semoga, semoga Allah izinkan saya mengoptimalkan yang kedua.

Jika sister berpikir post ini sangat gloomy, sebaliknya, saya menulis sambil tersenyum. Saya ingin diri saya merasa optimis bahwa saya akan meninggal dalam keadaan yang dekat dengan keridhoan Allah. Saat sedang membaca Al-Qur’an, saat sedang menyiapkan blog post untuk #1Hari1Ayat, saat sedang perjalanan ke majelis ilmu. Doa bersama yuk, semoga aktivitas-aktivitas ini bisa lebih kita rutinkan lagi, karena ingat, kematian tidak menunggu tua.

Salam,
Prima

Friday, March 20, 2015

#1Hari1Ayat: Children

Wealth and children are [but] adornment of the worldly life. But the enduring good deeds are better to your Lord for reward and better for [one's] hope. (Q.S.Al-Kahfi (18): 46)

Ustadz Salim A. Fillah once reminded in his book, Lapis Lapis Keberkahan, that it’s not a blessing to have many kids if they don’t obey Allah and Rasulullah. It’s one kid, but he/she keeps praying for us and doing good deeds that much more important – doa anak shaleh/shalehah adalah salah satu dari amalan yang tidak terputus hingga kita berpindah alam.

Because of this, I found many couples that worried a lot of not having kids soon after getting married. Three of my best friends getting pregnant in around one year of their marriage. One of them pregnant right in one month after getting married, masyaAllah!

But others still struggling to have kids, even after two or three years of marriage. One of them is my cousin, Intan, who wrote her thought here. To hear what she feels, it sucks you know.

Life is actually simple, it’s all about what Allah gives to us. If Allah doesn’t give it to us, then He will give something better. As simple as that.

Maybe some people think it is because we are not good enough to be a parents, or because we don’t do efforts needed to have them come to our life – but Zakariya just had Maryam at his very old age. Do we dare to say that Zakariya wasn’t pious and deserves to be a father? Or when you know some couples try IVF for many times but Allah still doesn’t make it, do you have any idea how much money they have spend?

Tawakkul, tawakkul. The most important thing is we keep trusting Him fully. Find interesting things to do with your spouse so you can embrace the marriage. Hmmm, I think I would write some tips about it. Stay tune! ;)

Lots of love,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...