“When
you lose a best friend, it's worse than breaking up with a boyfriend. Because
you lose more than a heart, you lose a little bit of yourself.” – Anonymous
Sebelum
saya merilis 2018 Year Review (baca tahun 2016 dan 2017 dulu deh yaaa), izinkan
saya berbagi sebuah kepedihan yang mendera selama setahun ini. Tahun ini Allah
mengaruniai saya banyaaaaak teman baru; thanks to Muslimah Sinau, Ubud, and
Jakarta...
But,
I lost a lot of my best friends.
Kayaknya
lebay banget ngomong ‘a lot’, tapi kalau lebih dari SATU orang itu buat saya
sudah banyak. Tahun 2016 saya pernah menulis bahwa saya punya cukup banyak sahabat karena biasanya persahabatan tergantung ‘peruntukan’ dan ‘tujuan’; misal
ada sahabat yang enak dijadikan tempat curhat tentang agama, tentang passion
dan karier, tentang orangtua dan hubungan percintaan, dan sebagainya. Tetapi tentu
ada orang-orang yang saya anggap sahabat dekat, dan saya bisa berbagi kepada
mereka tentang apapun.
I
personally think soulmate is much more than a lover/spouse. Punya sahabat yang
satu frekuensi – dengan segala perbedaan kita, tapi tetap bisa berkomunikasi
tanpa berargumen terus-menerus hingga membuat kita kehilangan kepribadian – itu
kesempatan yang harganya sangat mahal. I won’t trade it with anything in the
world.
That’s
why my heart were broken to know suddenly some of these friends stopped talking
to me – or I blocked them earlier because I think I have to do it than being
disoriented. Satu sahabat memutuskan hubungan karena saat itu saya tetiba
kehilangan arah – ya, tahun ini saya pernah meninggalkan salat (astagfirullah).
Dia punya hak untuk melakukannya, karena saya bukanlah teman yang bisa membawa
kepada kebaikan (pada waktu itu). Sahabat lain mengatai saya ‘sakit mental’ dan
menganggap saya ‘sirik’, mungkin karena ia sakit hati akan nasihat yang saya
berikan untuk kisah cintanya yang njelimet abis. Seseorang yang saya pandang
sebagai sahabat, hmmm, hubungan kami menjadi runyam sejak kami menyukai lelaki
yang sama. Seseorang yang melihat saya sebagai figur sahabat dan kakak,
mendadak pergi karena saya berhenti memberikan motivasi dengan kata-kata nan
lembut seperti selama ini saya lakukan. Seseorang yang kerap menghabiskan waktu
bersama saya, saya hapus dari daftar sahabat karena kami berulang kali
mengalami miscommunication dan saya kesal dibuatnya.
Sakitnya
jangan ditanya. Kami biasa bercerita hal-hal konyol sampai berbagi tangis
bersama, lalu hal itu menghilang. Dan bukan saya tidak diberondong rasa
bersalah, I do. Saya terus berpikir seandainya saya bisa memutarbalikkan waktu,
adakah hal yang lebih baik yang bisa saya lakukan?
Jelas,
jawabannya tidak ada.
Segala
hal di dunia ini pasti diuji. Sekolah saja ada ujiannya, apalagi persahabatan.
Berbeda dengan keluarga, kamu memilih sahabatmu. Kamu mengizinkan sahabatmu
masuk ke dalam kehidupanmu, mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh
publik. Dari mulai rahasia pribadi, sampai mungkin masalah keluarga. Orang lain
mungkin tahu segala prestasimu, tapi hanya sahabat dekatmu yang melihat
seberapa banyak darah dan air mata yang tertumpah dalam perjuanganmu. Orang
lain mungkin memuji penampilanmu, tapi hanya sahabat karibmu yang mengerti
seberapa besar pengorbananmu.
Dan
karena saya sudah tidak memiliki kekasih selama 7,5 tahun (haha), tentu sahabat
sangat berarti bagi saya. Khususnya ketika saya kehilangan kepercayaan kepada
kedua orangtua beberapa tahun terakhir, saya sungguh menggantungkan harapan
kepada sahabat-sahabat. Terkadang saya merasa kasihan karena mereka harus tabah
menghadapi berbagai bentuk keluhan saya. LOL.
Maka
Allah menguji persahabatan, untuk melihat yang mana yang memang dapat bertahan
hingga ke Jannah. Yang mana, yang lebih banyak membawa manfaat daripada
mudharat. Yang mana, yang mendorong kita untuk menjadi manusia yang lebih banyak
mendengar, berempati, dan mempedulikan perasaan orang lain; daripada menjadi
seseorang yang egois dan selalu ingin diperhatikan. Betul, bahwa persahabatan –
layaknya cinta – adalah give and give, BUKAN take and give. Ini bukan hubungan
transaksional. Ini adalah sebuah hubungan yang tetap akan dipertanggungjawabkan
kepada Allah, bahwa kamu memberi bukan untuk mendapat kembali, tetapi semata
karena Allah ingin kita saling menyayangi.
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Mumtahanah (60): 7)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Q.S. Maryam (96): 9)
Dari kasus-kasus yang terjadi kepada saya di atas (dan kejadian lain tentang persahabatan tahun ini), ada yang kembali membaik, ada yang tidak. Ada yang masih berproses, ada yang… saya sudah kehilangan harapan. Ada kalanya, saya terlalu takut untuk memulai langkah lebih dulu; takut berekspektasi lebih; atau takut berbuat kesalahan yang lebih besar. Saya tidak ingin berlindung di balik dalih bahwa saya manusia biasa yang punya ambang batas kesabaran, tetapi saya tahu: ketika saya menyakiti hati sahabat saya, ada hati yang lebih tersakiti, yaitu hati saya. Sering saya berpikir, ‘oh mungkin dia lebih bahagia tanpa saya’ dan saya pun hanya mampu memandanginya dari kejauhan.
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Mumtahanah (60): 7)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Q.S. Maryam (96): 9)
Dari kasus-kasus yang terjadi kepada saya di atas (dan kejadian lain tentang persahabatan tahun ini), ada yang kembali membaik, ada yang tidak. Ada yang masih berproses, ada yang… saya sudah kehilangan harapan. Ada kalanya, saya terlalu takut untuk memulai langkah lebih dulu; takut berekspektasi lebih; atau takut berbuat kesalahan yang lebih besar. Saya tidak ingin berlindung di balik dalih bahwa saya manusia biasa yang punya ambang batas kesabaran, tetapi saya tahu: ketika saya menyakiti hati sahabat saya, ada hati yang lebih tersakiti, yaitu hati saya. Sering saya berpikir, ‘oh mungkin dia lebih bahagia tanpa saya’ dan saya pun hanya mampu memandanginya dari kejauhan.
Untuk
para sahabat saya yang datang dan pergi, percayalah bahwa saya tetap menyebut
namamu pada saat tahajud. Jika Allah menakdirkan, suatu hari
nanti kita akan berbaikan lagi. Mungkin bahkan lebih erat, karena itulah arti
solusi – karenanya kita jadi lebih mengerti satu sama lain. Mungkin juga tidak,
karena takdir kita hanya sampai pada titik itu. Namun jika ada maaf yang belum
terucap dari bibirku (atau tertulis dari jari-jariku karena kita berinteraksi melalui aplikasi
perpesanan), semoga engkau ikhlaskan. Semoga engkau tutup aibku dan semoga
Allah memberikan ganjaran yang terbaik karena bagaimanapun, engkau pernah jadi
seseorang yang mencipta senyum pada wajah dan hatiku.
Lots
of prayers (and love – and hugs),
Prima
Mbak, i really miss you
ReplyDeletepedih ya mbak rasanya kehilangan sahabat. Saya juga pernah kehilangan sahabat, gara-gara sahabat saya itu udah bohongin saya. Padahal dulu pas masih kuliah kami deket banget, kemana-mana runtang runtung bareng.
ReplyDelete