“Foto ini bagus banget ya, kamu terlihat sangat ceria.”
Saya memandangi sebuah foto candid yang baru saja dikirim oleh instruktur zumba kepada saya. Outfit pink dan kerudung kuning saya, secara tak sengaja berwarna sama dengan bola-bola yang ada di belakang saya. Tak hanya itu, saya tertawa lepas, menyisakan garis mata – ekspresi yang biasa muncul ketika saya terbahak-bahak.
Saya, sang instruktur zumba, dan rekan-rekannya, saat itu sedang berada di pantai untuk melakukan zumba on the beach. Piknik, berolahraga, sambil mengikat tali persaudaraan. Sebuah pengalaman baru bagi saya yang biasanya hanya bertegur sapa di kelas dansa.
Tak banyak yang tahu bahwa pada malam harinya, saya masih menangis tersedu-sedu. Bahkan saat di pantai pun, saya lebih banyak diam. Berbicara hanya ketika ditanya, bahkan berjalan-jalan sendiri menuju tepi laut.
Tak ada yang menduga bahwa beberapa hari sebelumnya, saya baru saja mengalami patah hati. Yang pertama kalinya setelah sekian tahun. Hubungan yang berawal dari online dating itu memang baru memasuki tahap pembicaraan yang berkembang. Lebih dari sekadar “sedang apa?” atau “sudah makan” menjadi “apa yang kamu pikirkan tentang...?” Setiap harinya, percakapan kami semakin menggebu-gebu karena tampak ada chemistry terjalin di antara kami. Namun sesudah beberapa topik, mulai tampak bahwa perbedaan kami tidak dapat dicarikan jalan keluarnya. Yang membuat saya bersedih hati, kami menutup telepon dengan perasaan marah kepada satu sama lain. Saya pun menangis hingga lelah dan tertidur. Esoknya dan beberapa malam sesudahnya, saya masih terus-menerus menangis. Tak sanggup menerima kenyataan bahwa tiba-tiba saja kami sudah tidak berbicara lagi.
Saat-saat rapuh ini saya mengingat apa yang pernah dia katakan kepada saya, ‘mengapa kamu terlalu emosional? Sedikit-sedikit menangis!’ Saya harus mengakui bahwa dia benar. Saya sangat sering menangis. Saya menangis ketika menonton film drama. Ketika melihat penjual rujak mendorong gerobaknya dalam hujan deras. Ketika menyaksikan kuda milik tetangga saya melahirkan seekor kuda kecil. Ketika ibu saya berbicara kepada saya dengan suara terlewat lantang. Ketika saya dikecewakan oleh sahabat.
Saya pernah bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa saya begitu perasa. Tak hanya mudah menangis. Saya pun overthinker, dan mudah memasukkan apapun ke dalam hati saya. Kalau orang lain bilang ‘masuk telinga kanan, keluar telinga kiri’; saya tak memiliki kemampuan itu. Maka biarkan saya memiliki pojok kamar untuk saya sendiri, agar saya bisa duduk dan memeluk lutut saya lalu tersedu-sedu sepuasnya.
Dalam suatu waktu yang lampau, saya pernah dekat dengan seorang lelaki. Yang mudah marah, namun mudah juga memaafkan. Dia bisa memaki, lalu semenit kemudian tersenyum. Kami pernah berdebat, dan tak sampai sejam dia sudah mengajak saya makan malam. Saya sering bertanya-tanya bagaimana dia bisa melakukannya? Saya butuh setidaknya beberapa jam sebelum bisa berbicara lagi dengan seseorang yang menurut saya telah menyakiti saya. Beberapa bulan untuk berbaikan. Bahkan beberapa tahun telah berlalu, saya masih belum bisa melupakan perlakuan seseorang dan terus menyimpan dendam.
Tahun-tahun berlalu, saat ini saya masih perasa. Namun sejak lima tahun terakhir, saya mulai menuliskan perasaan saya. Kadang di buku harian, kadang di laptop, kadang di smartphone. Saya bisa menulis panjang sekali saat sedang gelisah. Cara ini tak selalu memberikan saya ketenangan atau menahan tangis saya. Saya akan tetap menangis, hingga beban sedikit terlepas.
Beberapa waktu kemudian, saya memindahkan tulisan-tulisan saya di blog. Awalnya saya malu karena blog saya berisi kesedihan dan pelajaran hidup yang sedianya saya tujukan untuk diri sendiri. Akan tetapi, saya mulai mendapat tanggapan. Sebagian besar positif dan mereka menyemangati saya. Beberapa mengatakan bahwa mereka mengalami hal yang sama, dan mendapat kekuatan baru setelah membaca tulisan saya. Saya pun mencari cara untuk membubuhkan motivasi di akhir tulisan. Tak hanya untuk para pembaca yang bersedia mampir, tapi untuk saya sendiri. Tanggapan semakin banyak. Sebagian dari mereka mengirim email secara pribadi, meminta nomor handphone saya, dan kami pun menjadi teman.
Setahun terakhir, saya bekerja sebagai penulis lepas. Saya tak menyangka bahwa sifat saya yang terlalu perasa dapat dimanfaatkan untuk pekerjaan ini. Apalagi saya bertanggungjawab untuk menghasilkan tulisan-tulisan inspiratif. Saya pun lebih banyak mendengar kata hati, mengamati sekitar, dan menyelami perasaan orang lain. Hasilnya? Beberapa tulisan saya pernah mendapatkan page views yang sangat tinggi, menunjukkan suara orang yang merasa terwakili.
Orang yang sama, yang membuat saya patah hati, juga pernah berkata, “saya mengagumi kamu karena kamu adalah orang yang sangat perhatian dan peduli akan perasaan orang lain.” Maka dari itu, mungkin sifat perasa ini adalah berkat dari Tuhan. Seharusnya. Dan saya percaya itu.
- Pernah dipublikasikan di Kamantara.id, Januari 2017
mungkin itu merupakan bentuk kelebihan yang Tuhan berikan kepada mbak
ReplyDelete