Monday, February 27, 2017

Weekend Journal #9

Akhir pekan kemarin adalah salah satu productive weekend yang sangat bermakna. Saya mendapat banyak suntikan semangat dan food for thought. Buat sister yang belum tahu, saya meneliti tentang faktor yang memotivasi donatur menyumbangkan uangnya di campaign NusantaRun Chapter 4 yang dipublikasikan di Kitabisa.com. [Ada yang jadi donatur? Kontak saya dong, email: primaditarahma at gmail dot com]

Makanya ketika saya melihat nama Alfatih Timur, CEO KitaBisa, sebagai salah satu pembicara di dYouthizen, saya langsung Whatsapp-an dan minta waktu untuk ketemu. Awalnya saya engga dapat konfirmasi untuk ikut seminar tersebut, tapi karena Timy (panggilannya) minta ketemu di seminar, saya pun tetap datang. Alhamdulillah saya bisa jadi peserta dan bisa dengerin mbak Melanie Subono berbagi inspirasi.

Saya pertama kali menyimak mbak Melanie di Surabaya Youth Carnival beberapa tahun lalu, and she is really really amazing (baca post ini). Ada dua poin penting yang dia share ke peserta dYouthizen. Yang pertama, ada dua tipe manusia di dunia ini: yang melakukan – dan yang tidak. Meskipun niat aja udah dapat pahala, tapi ‘mau’ aja engga cukup. You have to take action! Yang kedua, the best time to take action is NOW. Apalagi kalau habis datang seminar itu biasanya semangat lagi tinggi banget. Kalau nunggu besok, atau lusa.. bye deh. That’s why malam minggu itu saya sebenarnya berencana untuk langsung menuliskan transkrip wawancara sama Timy. Sayangnya ada keluarga jauh yang datang ke rumah dan yaaa masa saya engga nemenin (excuse melulu -_-).

Sesudah saya sholat dzuhur, saya ketemu Timy lagi buat ngobrol. Eh ternyata, sesi berikutnya adalah sesinya ko Yansen Kamto dari Kibar.id. Orangnya narsis abis, tapi penjelasannya warbiyasak keren! Nah, kami pun sepakat untuk memperhatikan materinya ko Yansen. Oya, untuk cerita dari ko Yansen, kayaknya lebih baik dibikin blog post tersendiri deh.

Oleh karena waktu Timy yang terbatas, saya justru ditawari ikut dia dan istri makan siang (tapi udah jam 3 sore..), sekalian mengantar mereka ke hotel tempat mereka menginap malam itu. Allah baik banget.. saya pun dapat waktu eksklusif buat konsultasi tentang tesis saya, bahkan bisa berdebat tentang banyak hal. Dari mulai transportasi online (istrinya kerja sebagai Marketing Analyst di GoJek), masalah kemiskinan di Indonesia, dan tren gaya hidup sehat.

Timy banyak memberikan saya pengetahuan dan wawasan, yang pastinya membantu tesis saya. Kalau saya mengetahui hipotesis atau asumsi dari teori dan observasi, Timy sudah memahaminya lebih dulu. Cuma yaaaaa, trial and error selama hampir 4 tahun sejak KitaBisa berdiri. Setara dengan S3 kan.

Selain Timy sendiri, caranya berinteraksi dengan istrinya jadi #RelationshipGoals buat saya. Mungkin karena sama-sama bekerja di start-up, obrolan mereka nyambung banget. Mereka juga satu jurusan di UI, hanya beda angkatan. Engga nyangka, mereka sudah menikah 3 tahun lho. Istrinya ini manis manja gitu. Gara-gara banyak peserta perempuan yang minta foto bareng, waktu di mobil istrinya tanya ke Timy, “abang udah dapat nomer handphone cewek berapa?” :)))))

Meskipun saya engga banyak tahu tentang mereka, istrinya Timy sempat cerita kalau dia S2 di Amerika Serikat. Mereka pun menjalani long distance marriage selama 1,5 tahun. Balik ke Indonesia, Timy masih semangat banget dengan Kitabisa. Istrinya tetap mendampingi dan percaya dengan mimpi-mimpi Timy. Even for them both, saya ngeliat..... gampang kalau naksir sama Timy yang sekarang, secara KitaBisa udah ‘membukukan’ donasi sebanyak Rp. 73 Miliar dari 4000-an campaign. Tapi dulu waktu baru mulai? I can’t imagine the challenges and difficulties.

Saya pun merefleksikan hal ini kepada diri sendiri. Kira-kira, apakah saya siap untuk menjadi suami yang masih membangun, belum kelihatan masa depannya gimana, dan punya mimpi teramat besar which is unthinkable for common people. 

Dulu saya pernah didekati oleh seorang yang baru mendirikan start-up dan saya khawatir sama rencana keuangannya. Bedanya dengan Timy, saya melihat dia tidak punya fighting spirit. Orangnya agak ‘menggampangkan’ dan saya jadi mikir, apakah dia berkomitmen untuk membahagiakan saya?

See, ketemu orang-orang yang inspiratif selalu bikin merenung. So grateful to meet Timy and wife, dan sekarang mari lanjut ngerjain tesis karena Timy pun menunggu hasil penelitian saya :D

Have a great week ahead!

Lots of love,
Prima

Wednesday, February 22, 2017

Back to Blog

Akhir-akhir ini, saya seperti diingatkan untuk kembali nge-blog secara rutin karena beberapa kejadian. Yang pertama ada Addy McTague, seorang mualaf yang berasal dari Chicago. Dulu dia mendapat wawasan tentang Islam, salah satunya dari blog saya (baca post ini), dan kami sempat berkirim email. Setelah saling follow di Instagram, kami juga bertukar nomer WhatsApp. Berhubung dia sedang berada di Tiongkok, dia bilang akan senang sekali kalau bisa mengunjungi Indonesia tahun ini (enaknya jadi warga negara Amerika Serikat, she doesn’t need visa to enter Indonesia). Somehow, dia mengingatkan saya untuk menulis lagi tentang #1Hari1Ayat, atau #1Hari1Hadits.

Yang kedua, Selasa kemarin saya ikut syuting program Ragam Manfaat di Trans7 sebagai narasumber. Engga syuting yang gimana sih, cuma memberikan testimonial tentang penggunaan honey lemon shot. Kru Trans7 memang menghubungi saya lewat post ini, dan saya sempat membantu mencarikan kontak narasumber yang lain. Nanti saya kabari kalau sudah akan tayang (cieh), dan perhatikan baik-baik ya, karena saya hanya akan muncul selama... SATU menit :)))

Yang ketiga, kemarin saya juga mendapat email dari Office of International Affairs UGM. Kantor ini menyediakan informasi beasiswa untuk mahasiswa (atau alumni) UGM, dan mereka berjasa menyekolahkan saya selama dua semester. Pakai beasiswa dari Tokyo Foundation sih, hehe. Saya jadi ingat waktu tes interview beasiswa ini. Saya banyak ditanya tentang blog saya, mengapa saya menulis blog, dan manfaat apa saja yang pernah saya dapatkan dari blogging. Salah satu jawaban yang terus membekas di pikiran saya adalah, ‘saya tidak pernah menyangka kalau tulisan saya bisa mengubah kehidupan seseorang yang tidak saya kenal.’ Kebetulan, saya menceritakan tentang Addy McTague.

I have to admit, the case of Addy was one of the biggest achievements in my blogging career. Blog tidak hanya memberikan saya pekerjaan dan penghidupan. Membawa saya kepada kesempatan besar seperti World Muslimah Award 2014. Menjadikan saya narasumber di berbagai acara. It’s not just that. Tanpa bermaksud mengecilkan hal-hal lain yang sudah saya dapatkan dari blog, ‘dipercaya oleh Allah untuk mengubah kehidupan seseorang’ is something reaaaaally big. Saya mah apa atuh, hanya butiran debu di kehidupan yang fana ini. But He trusted me to write and change people’s lives.

Ada orang yang diberikan karunia kekayaan dan bisa membantu orang-orang di sekitarnya lewat amal yang ia berikan. Ada orang yang diberikan anugerah kecerdasan dan jadi guru/dosen/ilmuwan. Ada orang yang diberikan berkah naluri kepedulian dan membaktikan hidupnya sebagai pekerja sosial.

What’s your blessing?

Saya masih ‘betah’ menjadi seorang blogger yang menuliskan refleksi diri dan pengalaman. Saya masih belum berorientasi untuk menjadikan blog ini lebih komersil. Saya masih nyaman bercerita tentang lika-liku kehidupan untuk sister, terutama untuk diri sendiri. Sehingga suatu saat nanti ketika saya (insyaAllah) mencapai puncak, saya tidak tinggi hati.

Saya sudah punya beberapa pertanyaan untuk dijawab di blog ini. Saya mendapatkan bahannya dari Thought Catalog – suka banget sama website ini, it opens my mind and encourages me to hear my inner voice more.

Sampai jumpa di post berikutnya!

Lots of love,
Prima

Monday, February 20, 2017

Weekend Journal #8

Aloha, good morning! Ya Allah, sudah tanggal 20 Februari, artinya saya sudah ambil break dari pekerjaan selama tiga minggu lebih. Rasanya sudah tiga tahun (lebay) saya engga berinteraksi sama orang masalah deadline, dan engga ada penghasilan. Sediiih, pingin jalan-jalan – padahal minggu lalu baru nge-trip ke Kalibiru – pingin belanja, pingin ini itu banyak sekali. Maybe this is why saya diliputi kekhawatiran yang luar biasa. Kalau kata orang, salah satu sumber ketidakbahagiaan yang paling utama adalah ketika kita tidak hidup untuk hari ini, tapi terlalu banyak berangan-angan ke masa depan yang masih jauh.

Contohnya saya yang saat ini masih single, terus ngebayangin “enak kali ya punya suami, ada yang ngebantuin diskusi tesis.” Padahal belum tentu juga, kenyataannya nih, teman-teman sekelas saya yang sudah menikah, malah tesisnya berhenti karena keasyikan ngurus rumah tangga.

Atau contoh lagi, masih tentang saya yang sedang mengerjakan tesis. Setiap kali saya lihat lowongan pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan hubungan internasional, saya sering berharap sudah lulus dan tiba-tiba bekerja di instansi terkait. Padahal kembali bekerja full time di kantor mungkin engga seindah yang saya harapkan. Segala macam tuntutan ada di depan mata untuk membuktikan apakah kita cukup profesional dan produktif. Apalagi orangtua akan tutup mata: engga peduli gajimu berapa, kamu harus bisa survive. Anyway, British Embassy buka lowongan lho: [Digital Media Officer]

Makanya sekarang saya berusaha fokus pada hari demi hari. Setiap pagi, saya mengingatkan diri sendiri untuk membuat kemajuan dengan tesis. Mau harus baca bahan selama dua jam nonstop (satu jam aja deh...); ngetik 1000 kata (hitungannya sedikit, tapi kalau buat tesis, malasnya kanmaen); atau browsing case study (believe me, it can take a lot of time).

Demi menjaga kewarasan, saya memaksakan diri untuk keluar rumah paling tidak dua hari sekali. Saya orangnya suka mager, tapi engga bagus untuk kesehatan mental karena saya orang yang sangat people person. Saya harus tetap ketemu orang agar tidak stres.

Saya juga berusaha untuk tidak melirik kalender atau agenda. Saya membuat jadwal maksimal seminggu ke depan agar tidak memberati pikiran saya sendiri. Hal ini ternyata berguna karena saya jadi melakukan evaluasi setiap hari. Seperti akhir pekan kemarin, saya merasa bersalah karena gagal membaca 5 jurnal dan mengetik 1500 kata untuk kerangka pemikiran. Saya pun harus ‘membayar hutang’ tersebut pada hari ini dan besok. Di sisi lain, saya masih harus banyak istirahat karena badan belum pulih seratus persen. I also attended my classmate’s wedding and turned out it was really fun. Namanya mahasiswa kalau udah ngerjain tesis, cuma bisa reunian kalau lagi bimbingan (itupun beda dosen pembimbing) dan ada yang menikah. I definitely enjoyed last weekend but still feel guilty for my thesis.

Jadi, buat kamu yang sering merasa gelisah, coba lihat lagi apakah kamu tipikal orang yang suka berandai-andai dan justru mengabaikan masa sekarang? Saya pernah baca salah satu cara agar sholat kita lebih khusyu’ adalah dengan membayangkan jika sholat ini adalah sholat terakhir yang kita lakukan. Dalam hidup, saya merasa akan lebih mudah untuk berjuang jika kamu tahu hari ini adalah hari terakhir kamu berada di dunia. After all, kita engga tahu apakah kita masih akan hidup keesokan hari. So, do your best today and make the most of your happiness!     

Love,
Prima

Saturday, February 18, 2017

Terjebak dalam Hubungan yang Rumit, Haruskah Bertahan?

I finally decided to write this post after weeks contemplating. Sebenarnya saya agak malu mengakui bahwa saya sedang dalam proses baikan dengan si mas Pangeran Dubai KW Premium (baca: si Ganteng dari Asia Selatan). Iya, setelah post saya berjudul What If, kami berkomunikasi lagi dan tiba-tiba saja semuanya seperti yang dulu. Ngobrol ngalor ngidul, ketawa sampai ngakak, dan ngegombal. Halaaah. Saya lemah.

I have to say that after 5 years being single, going back to a relationship (or at least approach phase) is really really hard. Saya tuh tipikal yang kalau udah suka, suka banget. Baper, berpikir kalau dia satu-satunya, dan membayangkan jauh ke depan. Terakhir saya mengalami perasaan suka ini akhir tahun 2014. Yang gila, saya menyatakan perasaan saya kepadanya dan ditolak!!! Hingga bulan September 2016, saya mengaku kepada seorang sahabat kalau saya susah move on karena dia memenuhi semua kriteria saya. Ngomongin kriteria lelaki idaman saya itu hal lain lagi. Memang dari lubuk hati terdalam saya masih berharap bisa menikah sama Pangeran Dubai yang beneran. Bahahahahak. Tapi kalau realita, saya senang dengan seorang lelaki yang passionate with his life, bertanggungjawab, dan suportif sama saya. Kalau sudah berinteraksi, nanti kelihatan apakah ada chemistry, dan bisakah kami saling membawa satu sama lain menjadi pribadi yang lebih baik. Sederhana, kan?

This man that I liked in circa 2014-2015 has everything that I need/want. But one: he doesn’t likes me back. Perih. Sekarang pun dia sudah bertunangan dengan entahlah siapa, and then saya langsung unfollow Instagramnya :)))

Nah, saya sudah pernah membocorkan beberapa cuplikan dari ‘hubungan’ saya dengan mas Pangeran Dubai KW Premium. Secara garis besar, sebenarnya dia kurang memenuhi kriteria yang saya inginkan. Di sisi lain, dia punya kualitas diri yang membuat saya berpikir “bisa dicoba lah.” Selain karena dia ganteng yaaa, hihihi. Namun kemudian, mungkin kami terlalu terburu-buru dan tibalah kami pada pertengkaran pertama yang cukup membuat saya terkejut. Ya iyalah, secara saya sudah lama tidak berhubungan serius dengan seorang lelaki, terus sekarang saya harus berkompromi dan memikirkan perasaannya. Kaget deh.

Untungnya, saya ditantang oleh seorang konsultan karir (dan ternyata konsultan cinta juga kayaknya, peace mbak Rani, hehehe) untuk bertahan selama minimal tiga bulan. Why so? Karena dia tahu saya tipikal orang yang kadang terlalu independen, sampai seolah-olah tidak membutuhkan orang lain – dalam hal ini, pasangan hidup. It was true, I could almost just go and say “hell-o, who the hell are you? Engga ada kamu, aku tuh baik-baik aja.”

But I didn’t do that. Saya merefleksikan apa yang terjadi dalam hubungan kami, meminta maaf, dan bertanya apa yang bisa saya lakukan agar hubungan kami lebih kondusif. Dia memang engga langsung menjawab dengan jelas, namun perlahan saya memahami apa yang kami butuhkan untuk memperbaiki hubungan ini.

Saya juga berkonsultasi dengan orang-orang yang saya anggap lebih berpengalaman, seperti konsultan pernikahan mas Wahyu ‘Wepe’ Pramudya, dan sahabat-sahabat saya yang sudah menikah, terutama yang menikah sama WNA. 

Friday, February 17, 2017

A New Page on My Thesis

It’s all about your mindset. Cukup lama saya berjibaku dengan pikiran negatif saya tentang tesis. Tadinya saya pikir suatu hari akan ada ‘aha moment’ – semacam lampu yang tiba-tiba menyala di dekat kepala saya, lalu ide tentang tesis akan tertulis secara lancar.  Nyatanya, sampai akhir tahun 2016, saya tak kunjung mendapatkan ‘gong’ tersebut. Sampai dosen pembimbing saya mengadakan panggilan khusus dan memaksa para mahasiswa yang belum pernah mengumpulkan progress sama sekali untuk konsultasi. Termasuk saya.

Jumlah teman sekelas yang tidak banyak, membuat kami mengetahui apa yang terjadi dengan tesis semua mahasiswa sekelas. Kami pun kerap curhat, padahal yang dibahas itu-itu aja. Jadilah ada kesepakatan kalau di grup WhatsApp engga boleh bahas tesis. Kalau ada yang ngomongin tesis, artinya dia ‘ngomong jorok’. LOL.

Hingga minggu lalu, sebenarnya pikiran saya masih kemana-mana. Baca, ngetik, baca, ngetik; tapi ada perasaan yang kurang sreg. Satu hal yang sering mengganjal adalah dosen pembimbing. Sejak awal beliau bilang kurang begitu menguasai tentang komunikasi pemasaran. Saya pun sempat ilfil sama beliau, ups. Namun, setelah berkali-kali diingatkan oleh teman-teman sekelas, saya kemudian menyadari bahwa saya sangat beruntung.

Dosen pembimbing saya memang cukup sibuk (who doesn’t?), tapi beliau sangat perhatian dan komunikatif. Dalam artian, beliau mudah dihubungi dan siap sedia merespon pertanyaan kami lewat WhatsApp. Beliau bahkan membuat grup WhatsApp untuk mahasiswa bimbingannya, dan memiliki jadwal bimbingan yang jelas. Kebetulan tanggung jawab beliau di luar mengajar masih berkisar di seputaran administrasi Jurusan Ilmu Komunikasi dan FISIPOL UGM. Beliau tentu masih punya aktivitas di luar kampus, tapi engga sesibuk dosen-dosen lain. Alhamdulillah banget deh pokoknya.

Saya jadi ingat zaman saya magang dan skripsi waktu S1. Dosen penguji laporan magang saya adalah seseorang yang luar biasa teliti. Saya sempat sebal karena beliau suka mempermasalahkan hal-hal yang menurut saya remeh. Nyatanya, bertahun-tahun berikutnya, saya justru mengikuti jejak beliau dengan menjadi editor di ZettaMedia. Ajaran beliau waktu itu banyak saya aplikasikan pada pekerjaan saya. She taught me so much about writing perfectly. Karena beliau, mata saya jadi ‘sakit’ kalau melihat susunan kalimat yang kacau, atau salah ketik yang teramat banyak. And it is good, very good. Right?

Saat skripsi, tantangannya berbeda. Dosen pembimbing saya baru pulang sekolah dari Belanda dan beliau sangat bersemangat membantu saya. Pada saat pengerjaan skripsi itu, saya berdarah-darah untuk bisa memenuhi ekspektasi yang sangat tinggi. Dosen pembimbing kedua dari Jurusan Psikologi juga punya harapannya sendiri. Namun begitu, skripsi saya menjadi sempurna. I never thought that I can write that great, and I am proud of it. Bukan hanya saya yang mengatakannya, tapi setiap orang yang membaca skripsi saya pasti akan memuji kedalaman penelitian itu – terutama untuk ukuran skripsi.

Melalui proses seperti itu beberapa tahun yang lalu, menjadi refleksi bahwa seberat apapun hari-hari ini, this too shall pass. At the end of the day, I will smile. Saya akan mengenakan toga, berpanas-panas antri di dalam Grha Sabha Pramana, bersalaman dengan rektor (atau cuma dekan? – engga apa-apa juga, bapak dekan FISIPOL ganteng banget lho), and I will make my parents proud of me. AND I WILL MAKE IT ON THIS SEMESTER! #PrimaWisudaJuli2017!!!!!

Salam pejuang tesis,
Prima

Tuesday, February 14, 2017

Weekend Journal #7

So sorry for being late to post Weekend Journal. Akhir-akhir ini saya sedang engga mood blogging, padahal banyak yang pingin diceritain ke sister. Mungkin efek habis sakit kali. Makanya saya happy banget waktu tahu salah satu finalis World Muslimah Award 2014 dari Singapura, Masturah, main ke Yogyakarta. Ehhh, kok pas saya sakit :((( Jadilah kami hanya main bareng selama satu hari. Terus pagi ini saya down waktu ditinggal Masturah ke airport pagi buta, hiks. Masuk masa seminggu sebelum datang bulan alias PMS memang menyesakkan dada. Argh kesel kesel kesel, engga salah kalau kapan hari saya nulis artikel berjudul: Pasti Ada Alasan Mengapa Tuhan Menciptakan Saya Begitu Perasa.

Oh ya, alhamdulillah saya sudah jauh lebih baik. Sebenarnya hari Selasa lalu saya divonis dokter harus masuk rumah sakit karena positif demam berdarah dan kondisi saya semakin memburuk. Malamnya, saya naik motor sendiri (ditemani roommate) ke rumah sakit dekat rumah, tapi ternyata kamarnya penuh. Udah berasa hotel di Prawirotaman aja pakai penuh segala. Ya sudah, Rabu-Jumat saya istirahat di rumah lagi, sampai bosaaaaan. Lalu Jumat sore saya cek lab dan trombosit saya sudah meningkat pesat. Yay!!!

Sakit selama 10 hari jelas membuat mood saya turun drastis. Pokoknya baper, tidak bersemangat, serba salah juga. Badan masih lemas, mau ngapa-ngapain yang berat sedikit eh capek. Namun beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kabar seorang sahabat saya divonis lupus. Belum lagi minggu waktu saya sakit itu, saya mengetahui seorang kenalan saya divonis kanker. Hati saya mencelos. Saya jarang sekali sakit parah, bahkan seingat saya, terakhir kali saya ambil darah – itupun untuk medical check up – adalah pada masa World Muslimah Award 2014. Mendengar tentang kabar dua orang ini membuat saya banyak ‘bersyukur’ bahwa Allah masih berkenan mengingatkan saya untuk mengambil rehat dan merenung. Apa ini waktu yang tepat untuk membuat Happiness Project lagi? Mengingat sejak awal tahun, cukup banyak badai yang menghantam biduk kehidupan saya. LOL, drama abis.

Saya minta maaf kalau pagi-pagi sister harus membaca cerita saya yang sedang pesimis. I do feel like I have to find some strength to rise up and move forward. Thankfully I had Masturah came and reminded me that life can be beautiful whatever it gives you. Ngelihat cerita hidup kami berdua, engga heran kalau kami dapat gelar Inspiring Muslimah dulu, hihihi. Semoga siapapun yang membaca ini mendapatkan semangat yang dibutuhkan untuk bangkit:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” [Q.S. Ali Imran (3): 190] – (ayat ini diulang sebanyak 16 kali di dalam Al-Qur’an) 

Have a nice day,
Prima

Thursday, February 9, 2017

What If

Aku tahu ini hari Selasa, dan aku tahu kita berjanji hanya bicara pada akhir pekan. Namun pesanmu tak kunjung datang. Bukannya aku mengharapkannya. Iyaaa, aku berharap kamu melihat post-ku di Facebook, bahwa aku sakit demam berdarah, dan kamu akan mengucapkan “semoga cepat sembuh.” Tapi sudah enam hari sejak kita terakhir bicara, jadi aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menunggu agak petang, memastikan kamu sudah pulang kantor. “Aku sakit demam berdarah,” dan supaya tidak terlalu terkesan egois, aku menambahkan, “jaga dirimu baik-baik.”

Kalau suka kenapa gengsi?
Kalau kangen kenapa menahan diri?

Karena aku benci melihat kita saat ini. Kita yang berminggu-minggu lalu bisa berbicara setiap hari, tak peduli aku harus menahan posisi sampai leher pegal demi tidak kehilangan sinyal. Kita yang sekarang, entahlah... apa yang sedang terjadi? Mungkinkah kita sama-sama kehilangan optimisme? Delapan bulan memang bukan waktu yang singkat, tapi ingin aku percaya bahwa delapan bulan juga bukan waktu yang lama. Seandainya kita mau saling menunggu.

Akan tetapi, aku tidak bisa menunggu dalam diam. Aku ingin tahu apakah aku menunggu seseorang yang juga menungguku. Ataukah ini akan berujung pada kesia-siaan?

Tolong, beri tahu aku. 

"What if I had never let you go
Would you be the man I used to know
If I'd stayed
If you'd tried
If we could only turn back time
But I guess we'll never know"
[What If - Kate Winslet] 

Mulai Hari Ini, Aku Akan Berhenti...

Dear M,

Hari ini seharusnya hari kedua Pos Cinta. Sebenarnya tak patut aku mengatakan sakit demam berdarah yang sudah menjangkitiku sejak minggu lalu, menjadi penyebab aku terlambat mengikuti Pos Cinta ini. Allah pasti punya skenario lain, mengapa Dia membuatku sakit pada masa-masa yang cukup krusial. Tesisku sudah terlambat beberapa bulan, tak apalah jika ditunda barang satu-dua minggu lagi. Sementara temanku yang datang dari Singapura besok, dia petualang sejati. Dia pasti (dan sudah) menemukan cara untuk menikmati Yogyakarta sendiri.

Namun entah mengapa masa sakitku ini membuatku berpikir tentangmu. Tentang kita berdua.

Sedikit-banyak aku merasa sakitku ini disebabkan oleh ketidakpedulianmu akan rumah yang kamu tempati saat ini. Rumah tempatku (terpaksa) menghabiskan beberapa hari dalam seminggu dalam rangka ‘pulang kampung’. Kamu justru menyalahkan aku akan serangkaian kejadian di rumah itu. Ingin aku berteriak, “meneketehe?” karena aku memang tidak selalu berada disana. Namun aku paham, kamu hanya mencari kambing hitam. And it’s me, the one who will be your black sheep. Not only in the past, but also now, although I have been away.

Nyatanya, Jogja masih cukup dekat dari jangkauanmu. Kamu masih terus saja merongrongku. Kamu masih perlahan menghancurkan jiwaku. Kepercayaan diriku. Impianku. Kamu yang selalu mengatakan aku tidak cukup baik untuk apapun yang aku kerjakan. Aku membawakanmu nilai delapan, kamu marah, “seharusnya kamu bisa dapat sepuluh”, katamu. Bertahun-tahun kemudian, aku siap ‘menetas’, perkataanmu berubah lagi. “Kalau kamu pergi dari rumah, kamu bukan anak berbakti.” Aku mengkerut. Aku lupakan pekerjaan menarik di ibu kota. “Aku tidak bahagia disini,” aku pernah mengemis kesempatan untuk menjejak dunia luar. Kamu marah bukan kepalang. Aku pun menutup diri. Aku tak pernah lagi ingin membuka mulutku di hadapanmu, karena kamu pasti tak memberi izin.

Beberapa waktu yang lalu, sebuah peluang bagus datang kepadaku. Aku mengambilnya tanpa berpikir dua kali. Aku berangkat ke Jogja. Isakanmu tak kupedulikan. Kamu pun sadar diri. Situasi finansial keluarga kita yang sedang carut-marut tak memberimu banyak pilihan. Dua tahun kemudian, aku kembali tercengang. Kamu masih seperti yang dulu, bahkan lebih buruk. Kamu menimpakan semua kesialan hidupmu kepadaku. Seseorang yang usianya tak ada separuh darimu. Saat aku berusaha untuk bangkit, kini aku melihatmu sebagai seorang yang tak rela melihatku lebih berhasil darimu.

Mengapa?
“Sini Ibu peluk. Kamu anak yang baik. Pasti ada alasan mengapa Allah mempercayakan ujian hidup ini kepadamu.” Entah karena kekesalan yang menumpuk, atau karena perasaanku lebih sensitif karena sakit ini. Aku menemukan diriku mencurahkan perasaan kepada seorang ibu yang duduk di sampingku di klinik. Seorang ibu yang dua anaknya sedang bersekolah di luar negeri. Seorang ibu yang memberikan kepercayaan penuh pada kedua anaknya, bahwa mereka bisa menggapai apapun yang mereka inginkan. Wow, berbeda sekali denganmu, M. Teringat ejekanmu, atau seringaimu, yang seolah-olah mengatakan, “kamu tidak akan pernah mendapatkan apapun di hidupmu.”

Mengapa, M?

Padahal yang ada di pikiranku, jika aku sukses, aku akan bisa memperbaiki kehidupan kita. Membawamu pergi dari rumah tak layak itu, mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Karena kamu pantas menerimanya.

Namun begitu, pertemuanku dengan sang ibu di klinik mengingatkan diriku bahwa hidupku, tanggung jawabku. Mulai saat ini, aku akan berhenti meminta izin kepadamu, M. Mulai saat ini, aku akan melakukan apa saja yang aku mau, selama tidak melanggar hukum negara dan hukum agama. One day when I am happy, you will be happy with me too. Hopefully.

Lots of love,
Prima

Monday, February 6, 2017

Weekend Journal #6

I was very very sick for the last five days. Nyebelin, kan? Padahal seminggu yang lalu saya ‘berpesan’ kepada sister untuk menjaga kesehatan. Ternyata saya sendiri tepar, sebenar-benarnya tepar.

I am not superwoman. Jadi engga usah komen, “masa Prima bisa sakit?” To be honest, menurut jurnal yang saya tuliskan, saya sakit hampir setiap bulan. Normal lah, flu ringan atau migrain. Gini belum kerja di Jakarta lho, ckckck. Tapi yang kemarin ini benar-benar di luar prediksi. 

Saya kembali dari Surabaya hari Selasa sore. Malamnya Jogja diguyur hujan teramat deras sehingga saya harus meringkuk sendirian di rumah (niatnya nginep kos teman). Rabu pagi saya lupa ngapain tapi badan mulai engga enak. Kok menggigil padahal dingin banget juga engga. Kamis pagi suhu badan semakin meninggi, sampai 39,5 derajat dan jalan kliyengan. Sholat pun duduk. Sisanya tiduran terus di kamar. Engga bisa makan karena (maaf) muntah-muntah. Udah mulai engga sanggup lihat handphone atau laptop.

Jum’at pagi tiba-tiba keadaan saya membaik. Alhamdulillah banget, karena saya sudah janji akan bertugas di event Japan Tobacco International. Engga sebagai SPG sih – lagian siapa yang mau nge-hire saya jadi SPG, hahaha – tapi sebagai fasilitator buat acara semacam Amazing Race. Kegiatannya selesai sebelum jum’atan, dan sesudah itu saya langsung ngibrit ke dokter. Diagnosanya antara gejala tipes atau DB :(((

Jadilah saya menghabiskan sepanjang akhir pekan di tempat tidur (lagi). Sampai tadi pagi. Dengan kekuatan bulan dari Yang Maha Kuasa, saya pergi lagi ke klinik untuk ambil darah dan tes lab. Hasilnya sih baru bisa dilihat besok, mohon doanya ya, semoga saya sudah sembuh sepenuhnya.

[Sekarang saya mau kembali ke tempat tidur lagi karena masih agak pusing.]

Take care,
Prima 

Wednesday, February 1, 2017

Pro Kontra Remote Working

Hari ini tepat seminggu saya break syuting kerja dari ZettaMedia. Huhuhu. Sedih banget sih, tapi saya memang kurang fokus dan sulit mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama. Seharusnya bisa, seharusnya. Saya sempat mencoba untuk mengerjakan tesis di pagi hari dan malam hari, lalu bekerja pada jam09.00-17.00. Tapi seringnya saya sudah lelah, sementara akhir pekan dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan lain – kadang juga bekerja (bikin #LifeGoals, meeting sama tim penulis, atau kerjaan freelance lain). Saya pun masih punya ‘kehidupan orang biasa’ seperti mencuci baju, menyapu rumah, hahahahaha. Kadang saya berharap orang rumah mau lebih memahami dan berbagi masalah pekerjaan rumah ini, tapi ya sudahlah. Jangan dijadikan beban. Oh ya, kalau lagi mengeluh begini, saya suka membandingkan diri dengan orang-orang lain yang lebih sukses tapi juga lebih banyak yang harus dikerjakan. So please Prima, no more excuses!!!

Beberapa minggu terakhir sebelum break, saya ‘numpang’ kerja di kantor tante saya. Sebenarnya saya pernah bekerja di kantor tersebut. Status saya sebagai mahasiswa (iya, masih mahasiswa) juga memungkinkan saya untuk keluar-masuk dan menggunakan fasilitas dengan bebas. Awalnya sih ngerasa karena di rumah selalu terdistraksi. Sepupu atau nenek nonton TV; sedikit-sedikit saya pingin ngeberesin tumpukan piring kotor atau ngebersihin rumah (emak-emak banget); atau diajak ngobrol sama teman sekamar yang menjalankan bisnis dari rumah. Huh, kalau gini ceritanya, pekerjaan engga kelar.

Tadinya saya sempat bersyukur mendapatkan pekerjaan yang bisa saya kerjakan dari rumah. Iyalah bersyukur banget, engga harus berjibaku dengan kemacetan setiap harinya. Trauma sama yang namanya kerja di Surabaya, jarak rumah-kantor 19 km = 70 menit. Pulang-pergi, jadi sekitar 140 menit setiap hari, dikali 25 hari. Punggung rasanya cuklek. Makanya saya masih ngeri kalau ditawari kerja di Jakarta. OH NOOO, pulangkan saja aku pada ibuku.

Kemacetan ini implikasinya banyak, terutama ketika sampai di kantor, kita engga bisa langsung kerja. Bahkan saya pernah mencanangkan program mandi di kantor, soalnya gerah selama di jalan. Untungnya kantor saya waktu itu menerapkan kamar mandi terpisah antara laki-laki dan perempuan. Habis mandi, sarapan dulu. Walaupun udah sarapan di rumah, tapi sampai kantor udah lapar lagi. Habis makan, terbitlah ngantuk dan BYE BYE pekerjaan. Engga deng, bercanda.

Awalnya, ketika bos mengetahui hal ini, beliau menawarkan untuk kami – para tim marketing, mengecek dan mengirim email pekerjaan dari rumah. Jadi kami bisa datang sedikit lebih terlambat, lalu mengerjakan hal-hal yang perlu, seperti berdiskusi dengan tim dan sebagainya. Sempat ada wacana untuk full bekerja dari rumah, tapi kami menolak karena diskusi dengan tim susah dilakukan jika tidak ketemu...dan koneksi internet di kantor jauh lebih cepat. Jadi bisa sambil download atau browsing gitu :p

Lalu saya resign, dan memulai babak baru kehidupan sebagai mahasiswa/freelancer. Tahun 2015, saya jarang sekali pegang laptop kecuali urusan kuliah. Pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan, hampir semuanya menuntut saya untuk ketemu orang, bahkan keluar kota. Sleman-Gunung Kidul hitungannya keluar kota kan? :)))

Barulah tahun 2016 saya kembali bekerja dengan ritme yang relatif teratur. Saya menyisihkan empat hari bekerja full dari pagi sampai malam, lalu tiga hari untuk urusan perkuliahan dan lain-lain. Tempat bekerja saya pun pindah-pindah. Kadang di rumah berbekal modem WiFi. Kadang di kafe (cieh – padahal sekali beli es teh, tinggalnya empat jam, LOL). Kadang di kampus, nebeng WiFi kampus. Mungkin karena sering berpindah tempat, saya engga merasa bosan. Tapi setelah beberapa waktu terakhir kerjanya di kampus terus, baru deh terasa jenuh *masukkan lagu Rio Febrian disini*

Kemarin saya sempat baca sebuah artikel yang mengulas tentang kebijakan kantor non-kubikel. Jenis kantor seperti ini memang lagi laris terutama di dunia start-up. Kantor saya dulu yang studio animasi (bagian ilustrator dan animator) juga menerapkan hal ini. Namun saya sendiri kurang begitu merasakannya karena saya dan rekan tim marketing dikumpulkan dalam satu ruangan tersendiri. Saya dan rekan tim marketing juga lumayan tertib. Kalau ngobrol paling berhubungan sama pekerjaan, atau sekalian menjelang dan sesudah jam makan siang. Jadi engga merasakan gangguan konsentrasi. Kembali lagi ke atas, saya justru merasa susah fokus ketika baru tiba di kantor karena macet endebre endebre.

Yang menarik dari artikel itu, penulis menyebutkan bahwa pekerja yang bekerja dari rumah atau remote working mengalami peningkatan produktivitas. Kok bisa? Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa kelebihan bekerja dari rumah yang perlu saya rangkum lagi, yaitu:

1. Tidak perlu berjibaku dengan kemacetan pada pagi atau sore hari.
2. Bisa bekerja dimana saja – selama anggaran memungkinkan dan fasilitas mencukupi.
3. Bisa menentukan jadwal atau ritme bekerja – selama bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan. Mau kerja pagi atau malam hari, lalu siang mau nongkrong cantik (atau dalam kasus saya, ke kampus dan nungguin dosen pembimbing sampai lumutan), bebas.
4. Sejalan dengan poin nomer 3, bisa memaksimalkan waktu bekerja dan mengoptimalkan waktu luang.
5. Efisiensi ongkos pekerjaan dan penghasilan. Maksudnya gini, sister menerima gaji sebesar X tapi dikurangi ongkos bensin atau angkot dan lain-lain – dibandingkan dengan gaji sebesar X-1 tapi hanya dikurangi ongkos internet atau WiFi. Ada yang merasa lebih ‘untung’ dengan alternatif kedua.

Namun begitu, dengan segala kelebihannya, remote worker bukannya tidak merasakan tantangan. Misalnya sebagai berikut:
1. Konektivitas Internet – mungkin ini hanya masalah saya pribadi. Sepanjang setahun saya bekerja dengan dua perusahaan di Jakarta, atasan saya sering mengeluhkan tentang hal ini. Habis gimana, rumah saya di gunung dan kami hampir tidak punya alternatif untuk Internet fiber optic. Masih bisa kerja pakai modem: nulis, ngedit, download/upload kerjaan, tapi tidak bisa lebih dari itu. Mau Skype-an? Harus ‘turun gunung’ dulu.
2. Produktivitas selalu akan jadi tantangan untuk remote worker, terutama buat sister yang angka produktivitasnya agak susah dihitung. Sejak dulu di studio animasi, saya sudah pakai Asana untuk mengevaluasi pekerjaan tim. Ada macam-macam website yang bisa digunakan untuk memantau produktivitas. Terutama karena remote worker tentu tidak bekerja berdasarkan jam kerja normal. Sistem evaluasi produktivitas harus menguntungkan kedua belah pihak, baik pekerja maupun perusahaan.
3. Komunikasi dengan rekan kerja. Ketika kita membahas hal ini, sebenarnya bukan hanya berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri. Saya juga pernah beberapa kali mengalami misunderstanding dengan orang kantor. Akan tetapi ada hal yang lebih krusial, manusia adalah makhluk sosial yang pastinya butuh berinteraksi. Ini yang paling berat buat saya karena saya engga punya teman ngobrol, apalagi pekerjaan saya menuntut saya harus terus update. Makanya, coworking space menjamur dimana-mana untuk memfasilitasi diskusi dan kerjasama bagi para single worker. 

Sementara saya menyelesaikan tesis, ada kemungkinan saya masih akan menjadi remote worker sampai bulan Ramadhan atau bahkan Idul Fitri. Sesudah itu, saya rasa saya mau kerja di kantor aja deh. Mungkin juga udah kelamaan sih, berarti saya ‘break’ dari kantor hampir 3 tahun-an sejak November 2014. I can’t waaaaait to have lunch with office mates, getting through the traffic jam, and weekly meeting please!

Kalau menurut sister, lebih enak remote working atau bekerja di kantor?

Lots of love,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...