Hari ini tepat seminggu saya break syuting kerja dari ZettaMedia. Huhuhu. Sedih banget sih, tapi saya memang kurang fokus dan sulit mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama. Seharusnya bisa, seharusnya. Saya sempat mencoba untuk mengerjakan tesis di pagi hari dan malam hari, lalu bekerja pada jam09.00-17.00. Tapi seringnya saya sudah lelah, sementara akhir pekan dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan lain – kadang juga bekerja (bikin #LifeGoals, meeting sama tim penulis, atau kerjaan freelance lain). Saya pun masih punya ‘kehidupan orang biasa’ seperti mencuci baju, menyapu rumah, hahahahaha. Kadang saya berharap orang rumah mau lebih memahami dan berbagi masalah pekerjaan rumah ini, tapi ya sudahlah. Jangan dijadikan beban. Oh ya, kalau lagi mengeluh begini, saya suka membandingkan diri dengan orang-orang lain yang lebih sukses tapi juga lebih banyak yang harus dikerjakan. So please Prima, no more excuses!!!
Beberapa minggu terakhir sebelum break, saya ‘numpang’ kerja di kantor tante saya. Sebenarnya saya pernah bekerja di kantor tersebut. Status saya sebagai mahasiswa (iya, masih mahasiswa) juga memungkinkan saya untuk keluar-masuk dan menggunakan fasilitas dengan bebas. Awalnya sih ngerasa karena di rumah selalu terdistraksi. Sepupu atau nenek nonton TV; sedikit-sedikit saya pingin ngeberesin tumpukan piring kotor atau ngebersihin rumah (emak-emak banget); atau diajak ngobrol sama teman sekamar yang menjalankan bisnis dari rumah. Huh, kalau gini ceritanya, pekerjaan engga kelar.
Tadinya saya sempat bersyukur mendapatkan pekerjaan yang bisa saya kerjakan dari rumah. Iyalah bersyukur banget, engga harus berjibaku dengan kemacetan setiap harinya. Trauma sama yang namanya kerja di Surabaya, jarak rumah-kantor 19 km = 70 menit. Pulang-pergi, jadi sekitar 140 menit setiap hari, dikali 25 hari. Punggung rasanya cuklek. Makanya saya masih ngeri kalau ditawari kerja di Jakarta. OH NOOO, pulangkan saja aku pada ibuku.
Kemacetan ini implikasinya banyak, terutama ketika sampai di kantor, kita engga bisa langsung kerja. Bahkan saya pernah mencanangkan program mandi di kantor, soalnya gerah selama di jalan. Untungnya kantor saya waktu itu menerapkan kamar mandi terpisah antara laki-laki dan perempuan. Habis mandi, sarapan dulu. Walaupun udah sarapan di rumah, tapi sampai kantor udah lapar lagi. Habis makan, terbitlah ngantuk dan BYE BYE pekerjaan. Engga deng, bercanda.
Awalnya, ketika bos mengetahui hal ini, beliau menawarkan untuk kami – para tim marketing, mengecek dan mengirim email pekerjaan dari rumah. Jadi kami bisa datang sedikit lebih terlambat, lalu mengerjakan hal-hal yang perlu, seperti berdiskusi dengan tim dan sebagainya. Sempat ada wacana untuk full bekerja dari rumah, tapi kami menolak karena diskusi dengan tim susah dilakukan jika tidak ketemu...dan koneksi internet di kantor jauh lebih cepat. Jadi bisa sambil download atau browsing gitu :p
Lalu saya resign, dan memulai babak baru kehidupan sebagai mahasiswa/freelancer. Tahun 2015, saya jarang sekali pegang laptop kecuali urusan kuliah. Pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan, hampir semuanya menuntut saya untuk ketemu orang, bahkan keluar kota. Sleman-Gunung Kidul hitungannya keluar kota kan? :)))
Barulah tahun 2016 saya kembali bekerja dengan ritme yang relatif teratur. Saya menyisihkan empat hari bekerja full dari pagi sampai malam, lalu tiga hari untuk urusan perkuliahan dan lain-lain. Tempat bekerja saya pun pindah-pindah. Kadang di rumah berbekal modem WiFi. Kadang di kafe (cieh – padahal sekali beli es teh, tinggalnya empat jam, LOL). Kadang di kampus, nebeng WiFi kampus. Mungkin karena sering berpindah tempat, saya engga merasa bosan. Tapi setelah beberapa waktu terakhir kerjanya di kampus terus, baru deh terasa jenuh *masukkan lagu Rio Febrian disini*
Kemarin saya sempat baca sebuah artikel yang mengulas tentang kebijakan kantor non-kubikel. Jenis kantor seperti ini memang lagi laris terutama di dunia start-up. Kantor saya dulu yang studio animasi (bagian ilustrator dan animator) juga menerapkan hal ini. Namun saya sendiri kurang begitu merasakannya karena saya dan rekan tim marketing dikumpulkan dalam satu ruangan tersendiri. Saya dan rekan tim marketing juga lumayan tertib. Kalau ngobrol paling berhubungan sama pekerjaan, atau sekalian menjelang dan sesudah jam makan siang. Jadi engga merasakan gangguan konsentrasi. Kembali lagi ke atas, saya justru merasa susah fokus ketika baru tiba di kantor karena macet endebre endebre.
Yang menarik dari artikel itu, penulis menyebutkan bahwa pekerja yang bekerja dari rumah atau remote working mengalami peningkatan produktivitas. Kok bisa? Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa kelebihan bekerja dari rumah yang perlu saya rangkum lagi, yaitu:
1. Tidak perlu berjibaku dengan kemacetan pada pagi atau sore hari.
2. Bisa bekerja dimana saja – selama anggaran memungkinkan dan fasilitas mencukupi.
3. Bisa menentukan jadwal atau ritme bekerja – selama bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan. Mau kerja pagi atau malam hari, lalu siang mau nongkrong cantik (atau dalam kasus saya, ke kampus dan nungguin dosen pembimbing sampai lumutan), bebas.
4. Sejalan dengan poin nomer 3, bisa memaksimalkan waktu bekerja dan mengoptimalkan waktu luang.
5. Efisiensi ongkos pekerjaan dan penghasilan. Maksudnya gini, sister menerima gaji sebesar X tapi dikurangi ongkos bensin atau angkot dan lain-lain – dibandingkan dengan gaji sebesar X-1 tapi hanya dikurangi ongkos internet atau WiFi. Ada yang merasa lebih ‘untung’ dengan alternatif kedua.
Namun begitu, dengan segala kelebihannya, remote worker bukannya tidak merasakan tantangan. Misalnya sebagai berikut:
1. Konektivitas Internet – mungkin ini hanya masalah saya pribadi. Sepanjang setahun saya bekerja dengan dua perusahaan di Jakarta, atasan saya sering mengeluhkan tentang hal ini. Habis gimana, rumah saya di gunung dan kami hampir tidak punya alternatif untuk Internet fiber optic. Masih bisa kerja pakai modem: nulis, ngedit, download/upload kerjaan, tapi tidak bisa lebih dari itu. Mau Skype-an? Harus ‘turun gunung’ dulu.
2. Produktivitas selalu akan jadi tantangan untuk remote worker, terutama buat sister yang angka produktivitasnya agak susah dihitung. Sejak dulu di studio animasi, saya sudah pakai Asana untuk mengevaluasi pekerjaan tim. Ada macam-macam website yang bisa digunakan untuk memantau produktivitas. Terutama karena remote worker tentu tidak bekerja berdasarkan jam kerja normal. Sistem evaluasi produktivitas harus menguntungkan kedua belah pihak, baik pekerja maupun perusahaan.
3. Komunikasi dengan rekan kerja. Ketika kita membahas hal ini, sebenarnya bukan hanya berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri. Saya juga pernah beberapa kali mengalami misunderstanding dengan orang kantor. Akan tetapi ada hal yang lebih krusial, manusia adalah makhluk sosial yang pastinya butuh berinteraksi. Ini yang paling berat buat saya karena saya engga punya teman ngobrol, apalagi pekerjaan saya menuntut saya harus terus update. Makanya, coworking space menjamur dimana-mana untuk memfasilitasi diskusi dan kerjasama bagi para single worker.
Sementara saya menyelesaikan tesis, ada kemungkinan saya masih akan menjadi remote worker sampai bulan Ramadhan atau bahkan Idul Fitri. Sesudah itu, saya rasa saya mau kerja di kantor aja deh. Mungkin juga udah kelamaan sih, berarti saya ‘break’ dari kantor hampir 3 tahun-an sejak November 2014. I can’t waaaaait to have lunch with office mates, getting through the traffic jam, and weekly meeting please!
Kalau menurut sister, lebih enak remote working atau bekerja di kantor?
Lots of love,
Prima
Beberapa minggu terakhir sebelum break, saya ‘numpang’ kerja di kantor tante saya. Sebenarnya saya pernah bekerja di kantor tersebut. Status saya sebagai mahasiswa (iya, masih mahasiswa) juga memungkinkan saya untuk keluar-masuk dan menggunakan fasilitas dengan bebas. Awalnya sih ngerasa karena di rumah selalu terdistraksi. Sepupu atau nenek nonton TV; sedikit-sedikit saya pingin ngeberesin tumpukan piring kotor atau ngebersihin rumah (emak-emak banget); atau diajak ngobrol sama teman sekamar yang menjalankan bisnis dari rumah. Huh, kalau gini ceritanya, pekerjaan engga kelar.
Tadinya saya sempat bersyukur mendapatkan pekerjaan yang bisa saya kerjakan dari rumah. Iyalah bersyukur banget, engga harus berjibaku dengan kemacetan setiap harinya. Trauma sama yang namanya kerja di Surabaya, jarak rumah-kantor 19 km = 70 menit. Pulang-pergi, jadi sekitar 140 menit setiap hari, dikali 25 hari. Punggung rasanya cuklek. Makanya saya masih ngeri kalau ditawari kerja di Jakarta. OH NOOO, pulangkan saja aku pada ibuku.
Kemacetan ini implikasinya banyak, terutama ketika sampai di kantor, kita engga bisa langsung kerja. Bahkan saya pernah mencanangkan program mandi di kantor, soalnya gerah selama di jalan. Untungnya kantor saya waktu itu menerapkan kamar mandi terpisah antara laki-laki dan perempuan. Habis mandi, sarapan dulu. Walaupun udah sarapan di rumah, tapi sampai kantor udah lapar lagi. Habis makan, terbitlah ngantuk dan BYE BYE pekerjaan. Engga deng, bercanda.
Awalnya, ketika bos mengetahui hal ini, beliau menawarkan untuk kami – para tim marketing, mengecek dan mengirim email pekerjaan dari rumah. Jadi kami bisa datang sedikit lebih terlambat, lalu mengerjakan hal-hal yang perlu, seperti berdiskusi dengan tim dan sebagainya. Sempat ada wacana untuk full bekerja dari rumah, tapi kami menolak karena diskusi dengan tim susah dilakukan jika tidak ketemu...dan koneksi internet di kantor jauh lebih cepat. Jadi bisa sambil download atau browsing gitu :p
Lalu saya resign, dan memulai babak baru kehidupan sebagai mahasiswa/freelancer. Tahun 2015, saya jarang sekali pegang laptop kecuali urusan kuliah. Pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan, hampir semuanya menuntut saya untuk ketemu orang, bahkan keluar kota. Sleman-Gunung Kidul hitungannya keluar kota kan? :)))
Barulah tahun 2016 saya kembali bekerja dengan ritme yang relatif teratur. Saya menyisihkan empat hari bekerja full dari pagi sampai malam, lalu tiga hari untuk urusan perkuliahan dan lain-lain. Tempat bekerja saya pun pindah-pindah. Kadang di rumah berbekal modem WiFi. Kadang di kafe (cieh – padahal sekali beli es teh, tinggalnya empat jam, LOL). Kadang di kampus, nebeng WiFi kampus. Mungkin karena sering berpindah tempat, saya engga merasa bosan. Tapi setelah beberapa waktu terakhir kerjanya di kampus terus, baru deh terasa jenuh *masukkan lagu Rio Febrian disini*
Kemarin saya sempat baca sebuah artikel yang mengulas tentang kebijakan kantor non-kubikel. Jenis kantor seperti ini memang lagi laris terutama di dunia start-up. Kantor saya dulu yang studio animasi (bagian ilustrator dan animator) juga menerapkan hal ini. Namun saya sendiri kurang begitu merasakannya karena saya dan rekan tim marketing dikumpulkan dalam satu ruangan tersendiri. Saya dan rekan tim marketing juga lumayan tertib. Kalau ngobrol paling berhubungan sama pekerjaan, atau sekalian menjelang dan sesudah jam makan siang. Jadi engga merasakan gangguan konsentrasi. Kembali lagi ke atas, saya justru merasa susah fokus ketika baru tiba di kantor karena macet endebre endebre.
Yang menarik dari artikel itu, penulis menyebutkan bahwa pekerja yang bekerja dari rumah atau remote working mengalami peningkatan produktivitas. Kok bisa? Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa kelebihan bekerja dari rumah yang perlu saya rangkum lagi, yaitu:
1. Tidak perlu berjibaku dengan kemacetan pada pagi atau sore hari.
2. Bisa bekerja dimana saja – selama anggaran memungkinkan dan fasilitas mencukupi.
3. Bisa menentukan jadwal atau ritme bekerja – selama bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan. Mau kerja pagi atau malam hari, lalu siang mau nongkrong cantik (atau dalam kasus saya, ke kampus dan nungguin dosen pembimbing sampai lumutan), bebas.
4. Sejalan dengan poin nomer 3, bisa memaksimalkan waktu bekerja dan mengoptimalkan waktu luang.
5. Efisiensi ongkos pekerjaan dan penghasilan. Maksudnya gini, sister menerima gaji sebesar X tapi dikurangi ongkos bensin atau angkot dan lain-lain – dibandingkan dengan gaji sebesar X-1 tapi hanya dikurangi ongkos internet atau WiFi. Ada yang merasa lebih ‘untung’ dengan alternatif kedua.
Namun begitu, dengan segala kelebihannya, remote worker bukannya tidak merasakan tantangan. Misalnya sebagai berikut:
1. Konektivitas Internet – mungkin ini hanya masalah saya pribadi. Sepanjang setahun saya bekerja dengan dua perusahaan di Jakarta, atasan saya sering mengeluhkan tentang hal ini. Habis gimana, rumah saya di gunung dan kami hampir tidak punya alternatif untuk Internet fiber optic. Masih bisa kerja pakai modem: nulis, ngedit, download/upload kerjaan, tapi tidak bisa lebih dari itu. Mau Skype-an? Harus ‘turun gunung’ dulu.
2. Produktivitas selalu akan jadi tantangan untuk remote worker, terutama buat sister yang angka produktivitasnya agak susah dihitung. Sejak dulu di studio animasi, saya sudah pakai Asana untuk mengevaluasi pekerjaan tim. Ada macam-macam website yang bisa digunakan untuk memantau produktivitas. Terutama karena remote worker tentu tidak bekerja berdasarkan jam kerja normal. Sistem evaluasi produktivitas harus menguntungkan kedua belah pihak, baik pekerja maupun perusahaan.
3. Komunikasi dengan rekan kerja. Ketika kita membahas hal ini, sebenarnya bukan hanya berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri. Saya juga pernah beberapa kali mengalami misunderstanding dengan orang kantor. Akan tetapi ada hal yang lebih krusial, manusia adalah makhluk sosial yang pastinya butuh berinteraksi. Ini yang paling berat buat saya karena saya engga punya teman ngobrol, apalagi pekerjaan saya menuntut saya harus terus update. Makanya, coworking space menjamur dimana-mana untuk memfasilitasi diskusi dan kerjasama bagi para single worker.
Sementara saya menyelesaikan tesis, ada kemungkinan saya masih akan menjadi remote worker sampai bulan Ramadhan atau bahkan Idul Fitri. Sesudah itu, saya rasa saya mau kerja di kantor aja deh. Mungkin juga udah kelamaan sih, berarti saya ‘break’ dari kantor hampir 3 tahun-an sejak November 2014. I can’t waaaaait to have lunch with office mates, getting through the traffic jam, and weekly meeting please!
Kalau menurut sister, lebih enak remote working atau bekerja di kantor?
Lots of love,
Prima
Belum pernah kerja dari rumah, Kak Prim. Tapi kayaknya enak ya. Apalagi kalo udah nikah dan punya anak, ribet pasti kalo masih kerja di kantor. Eh tapi kerja itu hiburan juga deng biar gak bosen di rumah :D
ReplyDeleteIni sepertinya aku lagi menjalani remoter worker, Prim. Sepertinya enak, (((sepertinya))) Ya... paling kendalanya itu sih, akses internet yang tidak secepat di kantor. Dan, punya kesempatan buat ketemuan sama teman yang "senasib" waktu pas kerja kan jarang terjadi pertemuan sama teman yang super sibuk juga. Dan, kebetulan sama-sama sibuk di akhir pekan. Ya momen, remote worker jadi bisa ketemuan kapan pun deh. :))
ReplyDelete