Dear M,
Hari ini seharusnya hari kedua Pos Cinta. Sebenarnya tak patut aku mengatakan sakit demam berdarah yang sudah menjangkitiku sejak minggu lalu, menjadi penyebab aku terlambat mengikuti Pos Cinta ini. Allah pasti punya skenario lain, mengapa Dia membuatku sakit pada masa-masa yang cukup krusial. Tesisku sudah terlambat beberapa bulan, tak apalah jika ditunda barang satu-dua minggu lagi. Sementara temanku yang datang dari Singapura besok, dia petualang sejati. Dia pasti (dan sudah) menemukan cara untuk menikmati Yogyakarta sendiri.
Namun entah mengapa masa sakitku ini membuatku berpikir tentangmu. Tentang kita berdua.
Sedikit-banyak aku merasa sakitku ini disebabkan oleh ketidakpedulianmu akan rumah yang kamu tempati saat ini. Rumah tempatku (terpaksa) menghabiskan beberapa hari dalam seminggu dalam rangka ‘pulang kampung’. Kamu justru menyalahkan aku akan serangkaian kejadian di rumah itu. Ingin aku berteriak, “meneketehe?” karena aku memang tidak selalu berada disana. Namun aku paham, kamu hanya mencari kambing hitam. And it’s me, the one who will be your black sheep. Not only in the past, but also now, although I have been away.
Nyatanya, Jogja masih cukup dekat dari jangkauanmu. Kamu masih terus saja merongrongku. Kamu masih perlahan menghancurkan jiwaku. Kepercayaan diriku. Impianku. Kamu yang selalu mengatakan aku tidak cukup baik untuk apapun yang aku kerjakan. Aku membawakanmu nilai delapan, kamu marah, “seharusnya kamu bisa dapat sepuluh”, katamu. Bertahun-tahun kemudian, aku siap ‘menetas’, perkataanmu berubah lagi. “Kalau kamu pergi dari rumah, kamu bukan anak berbakti.” Aku mengkerut. Aku lupakan pekerjaan menarik di ibu kota. “Aku tidak bahagia disini,” aku pernah mengemis kesempatan untuk menjejak dunia luar. Kamu marah bukan kepalang. Aku pun menutup diri. Aku tak pernah lagi ingin membuka mulutku di hadapanmu, karena kamu pasti tak memberi izin.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah peluang bagus datang kepadaku. Aku mengambilnya tanpa berpikir dua kali. Aku berangkat ke Jogja. Isakanmu tak kupedulikan. Kamu pun sadar diri. Situasi finansial keluarga kita yang sedang carut-marut tak memberimu banyak pilihan. Dua tahun kemudian, aku kembali tercengang. Kamu masih seperti yang dulu, bahkan lebih buruk. Kamu menimpakan semua kesialan hidupmu kepadaku. Seseorang yang usianya tak ada separuh darimu. Saat aku berusaha untuk bangkit, kini aku melihatmu sebagai seorang yang tak rela melihatku lebih berhasil darimu.
Mengapa?
Hari ini seharusnya hari kedua Pos Cinta. Sebenarnya tak patut aku mengatakan sakit demam berdarah yang sudah menjangkitiku sejak minggu lalu, menjadi penyebab aku terlambat mengikuti Pos Cinta ini. Allah pasti punya skenario lain, mengapa Dia membuatku sakit pada masa-masa yang cukup krusial. Tesisku sudah terlambat beberapa bulan, tak apalah jika ditunda barang satu-dua minggu lagi. Sementara temanku yang datang dari Singapura besok, dia petualang sejati. Dia pasti (dan sudah) menemukan cara untuk menikmati Yogyakarta sendiri.
Namun entah mengapa masa sakitku ini membuatku berpikir tentangmu. Tentang kita berdua.
Sedikit-banyak aku merasa sakitku ini disebabkan oleh ketidakpedulianmu akan rumah yang kamu tempati saat ini. Rumah tempatku (terpaksa) menghabiskan beberapa hari dalam seminggu dalam rangka ‘pulang kampung’. Kamu justru menyalahkan aku akan serangkaian kejadian di rumah itu. Ingin aku berteriak, “meneketehe?” karena aku memang tidak selalu berada disana. Namun aku paham, kamu hanya mencari kambing hitam. And it’s me, the one who will be your black sheep. Not only in the past, but also now, although I have been away.
Nyatanya, Jogja masih cukup dekat dari jangkauanmu. Kamu masih terus saja merongrongku. Kamu masih perlahan menghancurkan jiwaku. Kepercayaan diriku. Impianku. Kamu yang selalu mengatakan aku tidak cukup baik untuk apapun yang aku kerjakan. Aku membawakanmu nilai delapan, kamu marah, “seharusnya kamu bisa dapat sepuluh”, katamu. Bertahun-tahun kemudian, aku siap ‘menetas’, perkataanmu berubah lagi. “Kalau kamu pergi dari rumah, kamu bukan anak berbakti.” Aku mengkerut. Aku lupakan pekerjaan menarik di ibu kota. “Aku tidak bahagia disini,” aku pernah mengemis kesempatan untuk menjejak dunia luar. Kamu marah bukan kepalang. Aku pun menutup diri. Aku tak pernah lagi ingin membuka mulutku di hadapanmu, karena kamu pasti tak memberi izin.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah peluang bagus datang kepadaku. Aku mengambilnya tanpa berpikir dua kali. Aku berangkat ke Jogja. Isakanmu tak kupedulikan. Kamu pun sadar diri. Situasi finansial keluarga kita yang sedang carut-marut tak memberimu banyak pilihan. Dua tahun kemudian, aku kembali tercengang. Kamu masih seperti yang dulu, bahkan lebih buruk. Kamu menimpakan semua kesialan hidupmu kepadaku. Seseorang yang usianya tak ada separuh darimu. Saat aku berusaha untuk bangkit, kini aku melihatmu sebagai seorang yang tak rela melihatku lebih berhasil darimu.
Mengapa?
“Sini Ibu peluk. Kamu anak yang baik. Pasti ada alasan mengapa Allah mempercayakan ujian hidup ini kepadamu.” Entah karena kekesalan yang menumpuk, atau karena perasaanku lebih sensitif karena sakit ini. Aku menemukan diriku mencurahkan perasaan kepada seorang ibu yang duduk di sampingku di klinik. Seorang ibu yang dua anaknya sedang bersekolah di luar negeri. Seorang ibu yang memberikan kepercayaan penuh pada kedua anaknya, bahwa mereka bisa menggapai apapun yang mereka inginkan. Wow, berbeda sekali denganmu, M. Teringat ejekanmu, atau seringaimu, yang seolah-olah mengatakan, “kamu tidak akan pernah mendapatkan apapun di hidupmu.”
Mengapa, M?
Padahal yang ada di pikiranku, jika aku sukses, aku akan bisa memperbaiki kehidupan kita. Membawamu pergi dari rumah tak layak itu, mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Karena kamu pantas menerimanya.
Namun begitu, pertemuanku dengan sang ibu di klinik mengingatkan diriku bahwa hidupku, tanggung jawabku. Mulai saat ini, aku akan berhenti meminta izin kepadamu, M. Mulai saat ini, aku akan melakukan apa saja yang aku mau, selama tidak melanggar hukum negara dan hukum agama. One day when I am happy, you will be happy with me too. Hopefully.
Lots of love,
Prima
ouuuuuuu
ReplyDeletePeluuuk Kak Prima. I can feel you! :’(
ReplyDeleteBaca ini sedih, terus inget sama kejadian sendiri :(
ReplyDelete:')
ReplyDelete