Showing posts with label #ThePrimUWRF. Show all posts
Showing posts with label #ThePrimUWRF. Show all posts

Friday, August 2, 2019

Ubud 101: Panduan Wisata Ubud Paling Lengkap (Bagian 2) – Makanan Halal, Penginapan Hemat, dan Transportasi

Baca dulu: Ubud 101: Panduan Wisata Ubud Paling Lengkap (Bagian 1) – Aktivitas dan Spot Foto Paling Kece

Kembali lagi dalam ulasan wisata Ubud bersama saya yang sudah tinggal di Ubud selama setahun tapi merasa masih belum kenal-kenal amat sama daerah ini, hehehe. As I wrote this blog post, I asked around to my expat colleagues because I believe they also have their own ‘unique’ experiences with Ubud. One office mate said that Ubud is about food and café, like it’s one of the best place to do café-hopping in Bali or even if you want to try local culinary (with ‘bule’-kind of style restaurant [and of course the price]). Another said that Ubud is about nice accommodation where you don’t feel like you want to be out all day long because just like I wrote in the first part, there isn’t much things to do/see in Ubud. Cocok banget sama bahasan bagian kali ini, karena saya akan mengulik wisata Ubud dari sisi makanan halal dan akomodasi murah di Ubud (serta hal-hal lain juga).

Pilihan Makanan Halal di Ubud
Image credit: @stasiadelimarta (kiri), @nomadlife.io (kanan)
Tenang Pemirsa, makanan halal mudah sekali ditemukan di Ubud. Kalau mau murah meriah layaknya di Jawa, bisa mengunjungi Sayan Night Market. Tapi kalau mau yang penting halal dengan harga lumayan ‘normal’ seperti 25,000-30,000 IDR per porsi, berikut beberapa favorit saya:
  • Warung Barokah Surabaya “Pak Kumis” dekat Patung Arjuna Peliatan, pastikan kamu tanya harga makanannya terlebih dahulu – penjualnya kerap memberikan harga ‘suka-suka’.
  • Warung Ijo dekat Pasar Ubud, tapi saya terakhir ke sini tahun 2017, haha. Menunya lebih ke masakan warteg dengan berbagai sayur dan lauk (tapi enak kok).
  • Warung Borneo “8” dekat Kantor Pos Ubud, favorit saya: all thing kwetiau dan sapo tahu.
  • Ayam Goreng Asli Prambanan, tapi saya lebih suka ayam bakar terus minta kremes yang banyak.
  • Warung Igelanca, saya cuma sekali ke sini karena menurut saya taste masakan Warung Borneo “8” lebih enak.
  • Bakmie Arga di Peliatan: ‘pelipur lara’ kalau saya lagi pengin yamin atau mie ayam yang insyaAllah halal.
  • Tips tambahan: kalau mau cari makanan yang beneran murah, lebih baik ke arah Peliatan atau Desa MAS. Di sini banyak orang Jawa yang buka warung kaki lima, rumah makan Padang, ada juga Mie Aceh yang enak banget (di Jl. Raya Teges dekat SPBU dan Warung D’Ubud, tapi hanya buka pada malam hari).
Mau lunch atau dinner dengan budget ‘menengah’, yang bisa saya rekomendasikan:
  • Bali Buda, ada label halal dan menunya banyak – dijamin bingung memilih, favorit saya: Chicken Curry Pita.
  • Halal Ubud Burger, tapi jujur saya kurang suka karena ‘patty’-nya agak kering.
Teman kantor kerap merekomendasikan Bubur Bali yang bisa dibeli di Pasar Ubud pada pagi hari, yang mana saya baru pernah mencoba satu kali saja. Terus sekarang saya bingung gimana mendeskripsikan buburnya, hihihi. Well, silakan cari sendiri ya.

Selebihnya, untuk makanan halal di Ubud kamu bisa pesan menu vegetarian atau vegan di berbagai restoran, dari mulai Alchemy, Clear Cafe, Warung Semesta, Sari Organik, Roti Daal, dan sebagainya (dengan harga mulai dari 75,000IDR per orang). Intinya jangan takut kelaparan atau jatuh miskin untuk keperluan logistik (perut) di Ubud, there are hundreds of choices!

Notes:
kebanyakan tempat makan di Ubud tutup pukul 21.30-22.30WITA (termasuk berbagai coffee shop), jadi usahakan kamu makan malam lebih awal kalau mau nongkrong agak lama. Saya sering banget ‘diusir’ dari restoran karena mereka mau tutup dan saya + teman-teman masih keasyikan ngobrol. :))

Ubud 101: Panduan Wisata Ubud Paling Lengkap (Bagian 1) – Aktivitas dan Spot Foto Paling Kece

Image credit: @andathousandwords (kiri), @stephng4 (kanan)
Disclaimer:
1.    Hampir semua informasi yang tertera di blog post ini adalah berdasarkan pengalaman saya pribadi atau kenalan/teman – setiap pengalaman bisa berbeda tergantung situasi, kondisi, dan ekspektasi.
2.    Saya tidak mendapatkan komisi apapun dari penyertaan informasi di sini (hahaha) – jadi kalau mau membantu perekonomian saya, boleh kasih proyek terjemahan Inggris-Indonesia (dan Indonesia-Inggris) atau copywriting/artikel. InsyaAllah layanan memuaskan dan harga bersahabat. :D


Satu tahun telah saya lewati di Ubud dengan segala asam-garamnya dari mulai fase ‘bulan madu’ yang super membahagiakan, hingga sekarang kalau bisa dibilang yaaaaa… gitu deh. Namanya juga kerja: ada deadline, ada tekanan, ada yang bikin emosi, dan sebagainya. But a whole experience in Ubud is surely fulfilling and I am grateful for everything that has happened. Untuk rangkuman tentang kehidupan saya di Ubud selama setahun belakangan bisa dibaca di sini (sekalian follow dong, hehe).

Berhubung saya datang ke Ubud untuk bekerja, jujur saya tidak terlalu bernafsu untuk mengeksplorasi wisata Ubud, atau bahkan wisata Bali pada umumnya. Maklum, tahun lalu saya bergabung dengan Ubud Writers & Readers Festival lima bulan menjelang hari H, sehingga perhatian dan energi saya jelas tersita. Memang tahun ini saya punya lebih banyak waktu luang dan hari libur untuk piknik tipis-tipis. Apalagi dengan adanya – ehem – Tinder, jadi enggak repot kalau mau cari travel buddy [#abaikan]. Tapi sumpah, aktivitas wisata yang saya lakukan enggak se-menantang turis lainnya. Ya secara kalaupun mau jalan-jalan pada akhir pekan, Senin saya harus kerja lagi ye kan.

Hanya saja, pertanyaan tentang wisata Ubud terus berdatangan ke saya. Padahal informasi tentang Ubud dari para travel blogger – yang saking terkenalnya, bisa menginap di Kamandalu secara gratis – berlimpah! Mungkin you guys berpikir saya punya sudut pandang berbeda, lalu saya rasa juga “why not?” – bagi-bagi informasi kan berpahala. So here we go, panduan wisata Ubud (semoga) paling lengkap.

Tuesday, November 6, 2018

For The Last Two Months...

Masya Allah! Pertama, saya shock karena sudah DUA bulan tidak blogging, dan ini akan berimbas pada… sepertinya jumlah blog post saya tahun ini tidak mungkin mengungguli – atau bahkan menyamai – jumlah blog post tahun 2017. Nge-blog seminggu sekali apa susahnya sih, Prim? Itu dia… Mencari topik untuk dijadikan blog post itu enggak susah, yang susah adalah mengumpulkan motivasi dan… WAKTU! Ah elah, itu Diana Rikasari tetap bisa blogging meskipun akhir-akhir ini blog post-nya semakin singkat daripada beberapa tahun yang lalu. But yes, currently I am maintaining an Instagram account named Muslimah Sinau, remember? Tugas untuk kurasi konten dan menyempurnakan caption masih ada di pundak saya. Membuat tiga post setiap hari pada hari Senin-Jumat dan sesekali merekam podcast untuk Dawn2Dusk ternyata butuh banyak energi. Terkadang saya menghabiskan setengah hari pada akhir pekan hanya untuk menyiapkan konten selama satu minggu. Belum lagi, mengajar ngaji, dan memikirkan proyek-proyek Muslimah Sinau berikutnya. Btw, sekarang saya sedang menggarap buku antologi yang insya Allah akan diterbitkan menjelang Ramadan tahun depan. Sejauh ini ada 15 orang kontributor – para followers Muslimah Sinau – yang menyumbangkan tulisan mereka. It’s an exciting stuff for me as I am editing, giving them feedback, as well as taking care of the cover, publisher, and so on.

Kedua, #uwrf18 has been accomplished!!! Sejak awal September, suasana kerja yang intens mulai terasa. Begitu masuk Oktober, berbagai tantangan dan kendala muncul silih berganti. Bahkan saya bisa bilang suasana mendadak ‘mencekam’ karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kami. Tapi apa mau dikata, Festival harus tetap berjalan. Alhamdulillah, saya melewati empat hari (24-27 Oktober 2018) dengan ‘gagah berani’. Hari Minggu, 28 Oktober 2018, saya bertolak ke Palangka Raya untuk menjalankan program kantor, berkolaborasi dengan Kedutaan Amerika Serikat: Satellite Event. We visited two universities: IAIN Palangka Raya dan Universitas Palangka Raya; and the audiences were amazing!

So, apa saja highlight dari Ubud Writers & Readers Festival tahun ini untuk saya? Here we go.

Sunday, September 2, 2018

Ubud Journal #9 - #10 - #11

Allahumma sholli ‘alaa Muhammad, pakai alasan apa lagi ini untuk ‘membenarkan’ kelakuan saya yang tidak menulis Ubud Journal sampai tiga minggu lamanya. *kabur dari hujatan netijen *menghapus title ‘Blogger’ di LinkedIn

Kalau saya bilang ‘sibuk’ atau ‘capek’, kayaknya udah basi banget yagaseeeh. Tapi ternyata, sejak Ubud Journal saya yang terakhir, saya justru semakin dan semakin sibuk sampai bingung yang mana yang mau dikerjain duluan. Dan pada kenyataannya saya semakin susah untuk bangun pagi, mungkin juga karena tidur pun semakin larut, astagfirullah.

Anyway, first thing first, I know it sounds crazy but I finally launched my podcast channel!!! ‘Out of nowhere’, Qowi – teman yang saya kenal dari workshop puisi di Jakarta sebelum Ramadan (dia pembicara, saya peserta OF COURSE :p) mengajak saya ikut di project-nya. Alasan saya mengiyakan sebenarnya retjeh: karena dia mau ngurusin yang lainnya, saya tinggal ngomong doang, hahaha. Mengusung nama Dawn2Dusk, Qowi dan saya ingin berbagi tentang pengalaman beragama kami yang masih cethek ini; semata untuk mendorong lebih banyak muslim millennial untuk mendalami agama Islam. Kalau di Muslimah Sinau saya fokus kepada cewek-cewek, kalau di Dawn2Dusk insya Allah bisa lebih luas lagi. Kalau kamu punya ide topik untuk dibahas, atau mau jadi narasumber, bisa hubungi saya atau Qowi di Instagram: @aqbastian. Kamu lebih memilih ngobrol sama Qowi daripada saya? OH GITU? #tersenyumsimpul #siapinsenjataapi #lho

Selain itu, saya sempat mudik ke Surabaya dan Malang; dan sedihnya, dibumbui drama telat ke bandara (Ngurah Rai). Jadilah saya berutang tiket pesawat kedua ke ayah (karena jam pesawat berikutnya mefet dan harus bayar pakai kartu kredit). Berkah dari merelakan uang sebanyak setengah juta rupiah lebih sedikit melayang adalah, saya kenalan dengan asisten pribadinya istrinya Raditya Dika yang juga sedang menunggu jadwal pesawatnya ke Jakarta. We had a nice conversation, especially because she is sooo funny. She shared some success tips from Raditya Dika, as we know that he is one of the most famous comedy writer/producer/Internet celebrity (not sure if I can refer him to this title but…) at the moment. Bunga (beneran ini namanya) cerita kalau Raditya Dika berangkat ‘kerja’ jam6 pagi dan baru pulang jam11 malam. That’s how hardworking he is. Cuma saya jadi penasaran, terus gimana maintain hubungan sama istrinya ya? Well, the perks of being an ‘entrepreneur’, saya yakin dia bisa mengatur waktu dengan efektif agar semua proyeknya bisa berjalan dengan baik. Jadi gimana time management kamu, Prim? *melipir

Liburan saya di Surabaya dan Malang diisi dengan semacam ‘camp’ untuk guru ngaji di sebuah vila di Taman Dayu, Pasuruan. Alhamdulillah, recharge iman. Lalu, karena saya dikunjungi oleh Mbak Diah – roommate saya waku di Jogja dulu – kami pun berjalan-jalan ke Kampung Warna-Warni dan Batu Secret Zoo. Saya juga menyempatkan diri untuk takziyah ke rumah sahabat saya waktu S1, Laily, yang duluuu rumahnya sering saya inepin kalau lagi bosan di kos. Makanya lumayan sedih juga ketika dapat kabar ayahnya meninggal. Huhu. Semoga Allah berikan tempat terbaik untuk ayahnya Laily; dan juga kesehatan untuk orangtua kita semua yang masih hidup. Aamiin.

Sekembalinya ke Bali, saya mengisi akhir pekan lalu dengan menjadi panitia pada kajian Ustaz Hanan Attaki di Denpasar. Cannot really say that he is my favourite, but I learned from him in regards to provide a safe place for millennial muslims who want to explore Islam. No judgmental, portraying ourselves as ‘young’ and ‘fun’, and emphasizing in how practicing Islam is actually pretty easy.

Selanjutnya, seminggu kemarin merupakan salah satu minggu yang berat karena ayah saya operasi multiple lipoma; dan sahabat saya, Meidika Rahmadiaji, meninggal. It was two shocking moments because my dad didn’t tell me before; and I was late for calling Meidika’s mom. I supposed to call her that night, right when I found out that he is hospitalized… But we can’t control the destiny, and once again I need to ask you, my readers, to recite Al-Fatihah for Meidika. Thank you.

Meidika was my very first volunteer friend in UWRF2014. He is so cute and nyablak, tapi dia sering banget membantu saya. Dari mulai proofread grammar CV saya, sampai menyediakan tempat tinggal buat saya selama saya mengerjakan tesis di Jakarta. I feel so regretful because we rarely talked this year. I miss him already as now I won’t find he called me di siang bolong, screaming as he got frustrated with his love life. In the same time, I was grateful to get introduced to his family, saya bertekad ke depannya akan tetap menjaga silaturrahim dengan mama dan adiknya. Insya Allah. 

Apakah ‘roda kehidupan’ saya berhenti di situ? Cencu cidak. Karena sehari sebelum meninggalnya Meidika, saya bertemu dengan mbak Elita, pemilik Elita Kerudung, merek paling heitsss di Yogyakarta dan memang favorit saya. Ceritanya mbak Elita baru ikut workshop bisnis gitu, terus jalan-jalan di Ubud. Rezeki saya, mbak Elita belum booking tempat menginap malam itu. Dan mau aja lhooo, nginep di kosan saya yang sederhana. Alhamdulillah, semalaman saya dapat tips-tips bisnis dan jadi percaya diri buat jalanin Muslimah Sinau dengan lebih serius.

Last but not least, hari Minggu ini saya menghadiri pertemuan pertama Kelas Eksekutif Yukngaji Bali. Ya Allah, bersyukur banget dikasih kesempatan buat ikut. Bersamaan dengan KEY, saya menjadi murid di kajian online Bengkel Diri via WhatsApp grup (sudah lewat pertemuan ketiga). Mantap bukan, Pemirsa? Tapi enggak boleh mengeluh capek, belum pantes! Masih banyak hak Allah yang belum saya tunaikan, masih banyak dosa yang belum saya tebus, masih banyak permasalahan umat yang ingin saya bantu selesaikan. Bismillah, bismillah, bismillah; so now, let’s take some rest and hopefully we’ll have a great week ahead. 😄

Lots of love,
Prima

Tuesday, August 14, 2018

Ubud Journal #8


Wow, is it even real? Minggu ini saya memasuki dua bulan tinggal di Ubud (sejak 17 Juni 2018), dan pada akhirnya saya harus ‘menerima kenyataan’. Maksudnya apa, Prim? Sejak awal tiba di sini pun saya sudah bersyukur, tapi sekarang saya lebih bisa legowo dan menerima apapun keadaannya. Hujan, panas – dinikmati. Jalanan macet karena upacara, makanan mahal karena ternyata restorannya ‘khusus’ bule, motor mogok karena motor sewaan kan jarang diservis… Ya gitu deh, sekarang senyumin aja deh. Alhamdulillah for everything~~~

Yang lebih Alhamdulillah lagi, minggu lalu saya mulai mengajar baca Alquran untuk beberapa orang di sini. Sempat malu dan takut mau nge-post di grup Facebook-nya para perantau, tapi terus Bismillah aja deh. Dan ternyata peminatnya banyak! Sekarang saya batasi 4 orang dulu, karena ada beberapa hal lain yang harus saya kerjakan. But I am truly happy, and it’s the kind of happiness that… I don’t know, I can only pray that it brings me closer to Allah, aamiin.

Setelah mengisi malam hari dengan mengajar Alquran, ostomastis pada akhir pekan saya sudah menggelepar bak ikan yang loncat dari akuarium. Tapi rencana ke Denpasar tetap harus dijalankan dong, secara mau bergaoool. Hla kok, semua jalan utama untuk keluar dari Ubud MACET CET CET. Sesudah menghabiskan 1 jam sendiri untuk mencari jalan keluar (dan enggak nemu jalan yang agak longgar), saya pun berbalik arah ke Jl. Sriwedari, mampir ke tempat kerja seorang teman yang dulu pernah mendampingi saya di World Muslimah Award 2014. It’s funny how the world sometimes feels too small; and yes we had a very nice Saturday night. Ngobrol ngalor ngidul, ngopi sampai kembung, ditutup dengan makan mie ayam. Heuheu.

Hari berikutnya, karena hasrat mager melanda, saya pun hanya utak-atik laptop untuk mengecek persiapan proyek-proyek Muslimah Sinau dan sudaaah, akhir pekan pun habis. Hiks hiks. What about you, do you always plan your weekend ahead, or just simply take a lot of rest and do whatever you want to do?

Aside of the weekend affair, minggu ini Ubud Writers & Readers Festival merilis full lineup dan saya sangat bersemangat!!! Semoga lancar, semoga dimudahkan oleh Allah sampai selesai acara, dan semoga membawa manfaat untuk karir saya (khususnya) dan para audiens (pada umumnya). Wish us luck, and have a great week ahead! 

Lots of love,
Prima

Monday, August 6, 2018

Ubud Journal #5 - #6 - #7

Wow, tiga minggu terlewatkan tanpa menulis blog post… Sometimes I wonder if my days are THAT busy because most of the time I wake up at 8AM, rush to the office, go home at 6PM, and doing nothing until morning. Ya enggak doing nothing juga sih, seringnya saya ngaji, kadang nulis buku harian (do you guys still write – and I mean, by hands?) atau baca buku, kadang ya capek aja terus goler-goler di tempat tidur menatap langit-langit kamar sambil berharap lagi ada di mana gitu (I would love to say ‘Jakarta’ but if that’s for work, saya langsung hilang mood). Jadi ingat, awal saya tiba di Ubud, saya berencana untuk menghadiri acara-acara yang di-share oleh para perantau di grup Facebook (yeah we have that kind of group). Tapi ketika sore menjelang, mendadak males aja gitu. Terus ngeliat kasur di kos rasanya, “oh sayangku… I miss you so much.” LOL.

Btw, do you guys know if I am running 2 full time jobs at the moment? Well, I didn’t know how I could decide to just do those stuffs, but I really want to optimize my time. Enggak setiap saat saya bisa tinggal sendiri dan bebas melakukan apa yang saya mau, jadi saya pikir saya harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. However, I know there will be a moment when I have to let go some things. And surely I will choose to focus on Ubud Writers & Readers Festival 2018 because some personal reasons. Not because the job seems glamorous – definitely, because if you see what I am doing here, you might laugh at me. Like… “masa lulusan S2 kerja gitu?” But hey, saya enggak mau meremehkan pekerjaan apapun. Yang penting halal, gajinya cukup buat menghidupi diri sendiri, syukur-syukur bisa bantu orangtua walaupun sedikit, dan saya dapat apresiasi yang saya butuhkan. Untuk yang terakhir, mungkin suatu hari nanti saya akan cerita – mungkin juga tidak. Rasanya susah bercerita tentang hal ini tanpa menjelekkan satu-dua orang. Jangan ditanya deh, biar enggak semakin kzl. (Siapaaa juga yang mau nanya…)

Terus kenapa masih menulis Ubud Journal di blog? Jujur, buat kenang-kenangan kalau sewaktu-waktu saya enggak tinggal di sini lagi. Karena sampai detik ini pun saya belum menentukan apakah saya akan stay di Bali setelah kontrak berakhir, atau pindah ke kota lain. Sebenarnya saya benci mengakui bahwa Jakarta adalah pusat dari alam semesta. Toh saya masih bisa ‘menghindar’ dari keharusan tinggal di Jakarta, meskipun memang pekerjaan saya sejak tahun 2016 dapetnya dari Jakarta juga. Tapi gimana yahhhhh, I am seeing myself as a person who started from ‘zero’ again. I need to do a few things regarding my goals, and most likely it has to be done in Jakarta. Mau cari network, audiens, atau bahkan investor itu lebih mudah di Jakarta. Berdasarkan pengalaman saya tinggal di Surabaya, Yogyakarta, lalu Malang; ya memang Jakarta is the best place to actualize your dream. Huhuhu.

Anyway, tiga minggu terakhir saya masih lari-lari kesana kemari. Pada hari Minggu, 22 Juli saya ke Denpasar untuk kajian pernikahan dan event-nya Hijab Sister Bali, lalu kembali ke Ubud pada malam hari. Alhamdulillah dapat teman-teman baru, dan mulai akrab dengan teman-teman di Yuk Ngaji Bali. InsyaAllah, saya akan ikut kelas yang mereka adakan pada bulan September-Oktober. Oyaaa, saya juga ikut kajian online dari Bengkel Diri yang akan dimulai pada tanggal 20 Agustus 2018. Wow, semakin sibuk yaaa Prima.

Lalu Sabtu minggu lalu, tanggal 28 Juli saya ke Jakarta untuk 45 jam saja. Jangan kaget, Pemirsa. Saya pernah ke Jakarta tiba pada pagi hari dan pulang malamnya, ‘hanya’ untuk menghadiri pernikahan teman. Makanya sering dimarahin orangtua, kayaknya duit saya habis buat beli tiket. Hix hix. Kali ini, saya ke Jakarta untuk menjenguk mamanya teman (teman apa teman… :p), dan menghadiri Jakarta Modest Fashion Week. Mending kalian follow Instagram saya deh, sekaligus Instagram Muslimah Sinau, biar bisa dapat update dengan foto/video. Soalnya saya malesssss banget kasih image buat blog. Cari waktu buat menulis dan menyelesaikan 1 blog post aja udah perjuangan tersendiri. :(

Long story short, Jumat malam kemarin saya ke Denpasar buat komplain ke XL Center, berakhir nongkrong sama teman sampai jam 2 pagi sambil makan cokelat (girls time), nge-mall, dan balik ke Ubud hari Sabtu sore untuk ikut bedah buku Lelaki Kantong Sperma. Hahaha, kapan-kapan saya ceritain kenapa saya mau baca dan apa kesan saya tentang buku ini.

For now, let me get back to my job and Muslimah Sinau. InsyaAllah tahun ini ada DUA project besar yang akan launching, and I am sooooo excited. Semoga Allah mudahkan, semoga Allah ridai, dan semoga Allah menerima ini sebagai amal baik. Aamiin.

Have a nice week ahead,
Prima

Tuesday, July 17, 2018

Ubud Journal #3 & #4

Dua minggu terakhir, bukan hanya pekerjaan yang menjadi semakin banyak dan berat, ada tantangan lain yang harus saya hadapi: suhu Ubud menurun secara drastis! Pada siang hari tentu saya sangat menikmatinya, apalagi kalau lagi puasa. Tetapi pada pagi dan malam hari, ya Allah, ingin rasanya enggak mandi karena saya enggak punya water heater. Namun apa daya, daripada teman kantor komplain dan saya enggak bisa tidur, ‘terpaksa’ saya mandi cepat-cepat. Lebih dari 10 menit di kamar mandi, berpotensi bikin sakit demam (dan sebenarnya badan saya sudah panas-dingin sejak tiba di Ubud sebulan yang lalu).

To be honest, saya merasa kasihan kepada para turis yang tidak bisa menikmati Ubud dalam keadaan hujan. Kasihan bok, sudah jauh-jauh dari Amerika/Eropa terus enggak bisa kemana-mana. But anyway, dari sononya Ubud is indeed a place to rest, jadi kalau cuaca begini rasanya ingin selimutan terus sambil pelukan… Sayang sekali saya hanya bisa memeluk agama. Wkwk.

Saya juga kembali sibuk mengurusi Muslimah Sinau, karena saya ingin sekali melihat akun ini bertumbuh. Mohon doanya ya, dan mohon saran kalau ada yang ingin Sister lihat di akun tersebut. I want it to be one-stop place to gain Islamic insights, as well as offering Islamic-related activities. Makanya akhir-akhir ini saya sering mematikan data Internet pada petang hari agar saya bisa berkontemplasi, what do I really need to learn in order to make everything accomplished well? Saya juga sedang butuh memperbaiki koneksi dengan Allah, karena kalau banyak mau ya kudu banyak doa dooong.

Sementara akhir pekan saya tetap seru seperti biasa. Meskipun belum sempat berwisata layaknya seorang turis beneran, tapi saya cukup menikmati beberapa event, seperti melihat prosesi Ngaben di Banjar Padangtegal Ubud, which is Ngaben massal yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Jadi yang ikut ada 100-an orang (atau jenazah lebih tepatnya). Attending this event makes me remembering death in another way. Ada ‘tuntutan’ agar kita jadi orang baik selama hidup, agar ketika kita meninggal nanti, orang-orang yang kita tinggalkan akan ikhlas me-ngaben-kan kita. Begitu yang saya pelajari dari Ibu Kos yang beragama Hindu. Btw, yang di-aben adalah bapak iparnya General Manager di kantor, jadi yaaa anggap aja takziyah. Hehe.

Selepas hari Minggu, hari Senin lalu saya menghadiri pesta ulang tahun Ibu Bos. Berhubung Ibu Bos punya restoran dan homestay, tentu saja makanan yang disajikan sangatlah enak… Kayaknya sih, soalnya saya enggak banyak makan (haha, you know why). Tapi saya suka banget dengan kentang panggangnya, lagi mikir itu kentang biasa atau apa, kok manis… Hmmm.

Lalu seminggu berjalan dengan cepat dengan hujan di sana-sini, hingga saya pun batal jogging di Campuhan pada hari Sabtu pagi, huhu. Padahal saya sudah sangat bersemangat dan membayangkan bisa PP sebanyak 4 kali. Soalnya pengin banget pakai dress lucu pada pernikahan saya perhelatan UWRF18 akhir Oktober, jadi mau enggak mau ini sungguhan olahraga (walaupun cuma jogging) dan mengurangi gula. Usaha lainnya, ntar dulu deh. Kalau sudah bisa cut off minuman manis sepenuhnya, baru lanjut ke langkah berikutnya.

Salah satu hal paling membahagiakan bulan ini adalah, hari minggu lalu saya menghadiri rihlah bersama Yukngaji Bali. Ternyata mencari kajian Islam di Bali ini enggak susah, hanya jarang sekali di sekitar Ubud/Gianyar. Kalau enggak di Denpasar, ya di Klungkung. Kebetulan Yukngaji Bali yang merupakan cabang dari komunitas hijrah FAST sedang membuka pendaftaran untuk KEY (Kelas Eksekutif Yukngaji). Saya sudah daftar, dan insya Allah nanti bulan September akan mulai belajar lagi tentang Islam dari aspek aqidah, sejarah, dan dakwah. So excited!

Apa lagi ya cerita dua minggu ini? Kadang memang membosankan sih, as I said meskipun judulnya tinggal di Bali, lain-lainnya sih tetap sama. Kudu ngosek WC, nyapu-ngepel-nyuci baju, gitu deh namanya aktivitas sehari-hari kayak gimana sih, Sister… Bedanya, sekarang saya kembali tinggal sendiri sesudah 6 tahun jadi saya punya lebih banyak kesempatan untuk berkonsolidasi dengan diri saya. Percayalah, pada dasarnya saya menyenangi kesendirian dan sering butuh ‘istirahat’ setelah berinteraksi dengan banyak orang. That’s why I am enjoying this solitude. I’d like to go home to my lovely room, pray and recite Qur’an, read books, and sleep. Kalau kata teman saya, “puas-puasin deh, sebelum meniqa dan punya anak, dan lu enggak akan bisa tidur nyenyak lagi.” Hehehe.

Well, that’s all for these 2 weeks. There will be more excitement as more of my friends will come to Ubud this week, and I will go to Jakarta next weekend. Have a nice week ahead, fellas!

Lots of love,
Prima

Saturday, July 7, 2018

How Does It Feels to be a UWRF Volunteer?

“Apa yang bikin mbak Prima balik volunteering di UWRF lagi dan lagi?”

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gehitto, sesama volunteer Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), yang juga ikutan di mobil Akid pada perjalanan ke Bali. Seperti saya ceritakan sedikit di post My Life After Graduation, tahun lalu saya kembali ke UWRF setelah tahun 2016 absen karena mengikuti konferensi media dan komunikasi di Yogyakarta. Memang alasan saya ikut Akid naik mobil dari Jogja ke Bali adalah karena keputusan untuk datang ke UWRF17 agak mendadak. Berhubung saya belum beli tiket pesawat, saya pun mengiyakan tawaran Akid untuk mengarungi jalan darat menuju Bali.

“Hmmm, I don’t know. Kamu harus ngerasain sendiri.”

Sampai sekarang pun saya masih susah menjelaskan betapa ‘magis’-nya UWRF sehingga membuat saya selalu ingin kembali. You have to experience it yourself. Dan biar dikata sudah berkali-kali ke UWRF, selalu ada sesuatu yang baru menanti di sini.

Tapi mengapa harus menjadi volunteer? 

Nah ini, mungkin zaman memang sudah berubah. Ketika saya kuliah dulu, saya cenderung fokus ke akademis dan kegiatan-kegiatan di kampus. Iya sih, saya bekerja part-time. Sesekali ikut lomba debat Bahasa Inggris atau kompetisi menulis. Tapi sisanya, saya tidak terlalu banyak melihat ‘dunia’ di luar kampus saya. Sempat saya heran ketika semakin ke sini, usia volunteer UWRF semakin muda. Tahun lalu ada yang nyeletuk, “busyet, mbak Prima umur 2x?? Aku dong, masih 19 tahun.” Rasanya saya pengin ngedorong dia ke jurang di belakang kantor UWRF. Zzz.

But it really is happening. Mungkin kids jaman now lebih terbuka dengan kesempatan-kesempatan di luar kampus, ditambah lagi punya orangtua yang mendukung secara finansial. And it’s good. Sebagai orang yang bekerja di bidang manajemen SDM, let me tell you: recruiter would looove to have a candidate who had done LOTS of stuffs at college times while maintaining good GPA. Kamu mahasiswa kupu-kupu, enggak punya prestasi akademis, dan skill-mu juga rata-rata? B Y E.

However, setelah tiga kali menjadi volunteer dan saat ini (Alhamdulillah) menjadi staf, I think I can give you better insights about why you have to volunteer for UWRF. 

Wednesday, July 4, 2018

Ubud Journal #2

Sudah hari Rabu, telat banget!!! Padahal saya berharap bisa mem-publish Ubud Journal (selanjutnya akan saya sebut begini) setiap hari Senin. Hufffttt.

Maklum, hampir sama dengan minggu pertama, minggu kemarin berjalan dengan sangat cepat. Memasuki minggu kedua puasa (minggu pertama qadha, minggu lalu Syawal); saya merasa tubuh saya lebih sehat karena pola makan yang terjaga. Berhubung saya sudah pindah ke kos dan tidak terlalu berminat untuk masuk dapurnya Ibu Kos, maka saya memilih sahur yang praktis: roti atau buah. Pernah juga sekali hanya sahur air saja karena terlambat bangun. Alhamdulillah I’m done with it and now taking a short break before accomplishing another target for sunnah fasting this year. Seingat saya, sejak Idulfitri tahun lalu sampai Ramadan tahun ini, saya tidak banyak melakukan puasa sunah (atau tidak sama sekali?). Sedih deh, karena menurut saya ibadah puasa sunah itu amal tambahan yang nilainya sangat besar. Bukan hanya pahalanya, tetapi puasa bagi saya adalah tentang “harapan”. Bahwa suatu waktu dalam hari itu saya akan berbuka; bahwa suatu hari nanti saya akan menerima ganjaran dari apa yang saya usahakan sesudah ‘berenang-renang ke hulu, berakit-rakit ke tepian’. Aamiin, insya Allah.

Selain pola makan yang cukup teratur dengan kalori yang tidak sebanyak biasanya (bilang aja ‘rasanya gue udah kurusan lho, Pemirsa…’); saya juga mulai memperbaiki pola tidur yang tadinya berantakan. Sebenarnya saya orangnya pelor, tapi entahlah, waktu di dormitory rasanya sering terbangun karena mungkin kurang nyaman. Sekarang di kos Allahu Akbar, bisa enggak bangun-bangun kalau tidur sesudah Subuh (ups). Semoga kebiasaan buruk ini segera sembuh, bisa disamblek Bapake kalau Beliau tahu, mihihihi.

Kemudian, akhir pekan kemarin saya menyempatkan pergi ke Denpasar untuk melihat Unspoken Poetry Slam di Rumah Sanur. Saya punya kenangan di Rumah Sanur, tepatnya pada UWRF tahun 2015 dimana saya mendampingi penulis-penulis pada sebuah sesi Fridge Event di sini. Mungkin saat itu saya kelelahan atau gimana, waktu perjalanan dari Ubud ke Sanur saya mual parah, dan sesampainya kami di sana, saya muntah-muntah. Panitia event pun segera menyajikan teh panas untuk saya, sehingga saya bisa ‘berdiri tegak’ sepanjang dua jam acara. Gara-gara dedikasi saya, Nathalie Handal, pembicara sesi itu mengingat saya dengan baik dan kami pun banyak ngobrol di jalan pulang. Bahkan saat kami bertemu lagi di Bandara Ngurah Rai selesai UWRF, dia mentraktir saya ngopi. Hehe.

Selepas maghrib, saya mengejar salat magrib dan isya di Masjid Al-Ihsaan di Komplek Grand Inna Bali Beach Sanur, lalu wusss ngebut ke Soto Cita Rasa Cak Di karena kelaparan. Ingat ya, yang asli namanya Cak Di, bukan Cak Ri, Cak Ran, atau Cak Kecak (itu sih tarian, krik krik). Sudah kenyang, lalu pulang? Oh tentu tidak, saya ke Jl. Teuku Umar untuk menemui teman S2 saya yang pindah ke Bali juga. Lalala yeyeye. Mohon maaf, kegiatan malam ini tidak dapat saya publikasikan kepada manteman sekalian. #jagaimage

Saya terbangun pada waktu subuh dengan dada yang berat karena sesak napas parah. Sepertinya saya alergi terpapar polusi dan juga bulu kucing di kos temannya teman saya. Lho bukannya kamu punya kucing di rumah ya, Prim? Iya kan kucing saya tidak tidur sama saya, dan kos temannya teman saya tergolong sempit jadi bulunya di situ-situ aja. Menjelang pukul tujuh saya tidak dapat lagi menahan sesak dan hampir membangunkan teman saya untuk minta diantar ke rumah sakit. Tapi Alhamdulillah saya masih mampu motoran ke mini market terdekat untuk minum cokelat panas, dan segera merasa lega (bisa jadi juga karena menghirup udara segar di pagi hari). Daripada balik ke kamar dan tidur lagi, saya pun pergi ke… Pantai Batu Belig.

Random banget? Enggak juga, karena tidak ada pantai di Ubud, jadi memang saya sudah berencana ke pantai selama di Denpasar. Hehe.

Sepulangnya dari pantai, saya dan teman sarapan lalu belanja di Carrefo*r tanpa mandi, LOL. Sesudahnya baru saya mandi dan cuss ke agenda berikutnya yaitu bertemu dengan teman lain, namanya Indri. Berhubung Indri orang Bali, saya pun memanfaatkan pertemuan ini dengan menanyai dia tentang obyek wisata di Bali. Pengin banget bisa ke Nusa Penida, atau mengikuti itinerary Kak Teppy di sini. Semoga ada waktu, duit, dan partner. Kalau ada partner hidup lebih baik lagi. Bisa ajaaa, Primaaa.

Menjelang waktu asar, saya pun pamit agar bisa menunaikan salat di Masjid At-Taqwa Polda Bali. Tahun 2016 saya pernah salat di sini sama Bapake dan adik-adik saya. And you know what, it made me cry inside. Sometimes we take things for granted and that’s what happened with me and the mosques. Rasanya dengar azan sesudah dua minggu itu… hati langsung adem. Masya Allah. Semoga Allah berkenan membukakan hati saya agar selalu dekat denganNya meskipun berjuang sendiri di Bali.

So, untuk memudahkan kamu yang mencari masjid di Bali, berikut daftar masjid yang saya kunjungi akhir pekan lalu:
1. Masjid At-Taufiq, Kompleks Brimob Tohpati
N.B.: masuk kompleks ini agak ribet, harus setor KTP dan lepas helm selama di kompleks. Tapi masjidnya tanpa dinding, jadi semriwing.
2. Masjid Al-Ihsaan, Grand Inna Bali Beach Sanur
Jl. Hang Tuah, Sanur Kaja, Denpasar Sel., Kota Denpasar, Bali; letaknya persis sebelum gerbang masuk Pantai Sanur. Masjidnya gede, cocok buat rombongan, dan tanpa dinding juga.
3. Masjid At-Taqwa, Polda Bali
Jl. Wr. Supratman, Sumerta Kauh, Denpasar Tim., Kota Denpasar, Bali; di sini agak susah parkir mobil terutama kalau weekend (karena di teras luar masjid hanya tersedia parkir motor jadi harus masuk kompleks), tapi bismillah aja kan mau salat bukan lain-lain.

Sementara itu dulu daftar masjidnya, insya Allah saya kabari lagi kalau besok-besok ke masjid lain. Makanya, follow Instagram saya: @primaditarahma untuk tahu cerita saya di Bali. :) :) :)

Lots of love,
Prima

Monday, June 25, 2018

My First Week (of Living) in Ubud

Assalamu’alaikum Sister, gimana rasanya hari/minggu pertama kerja sesudah libur Idulfitri? Males males gitu yagaseeehhh. Tapi tidak berlaku untuk saya, sayangnya. Saya sekarang berdomisili di Ubud, yaaay! Dan langsung tancap gas buat kerja aja dong. Huhuhu. Alhamdulillah sih, secara yang namanya cari kerja memang susah (dan saya juga mengalami susahnya), jadi apapun itu kudu disyukuri. Yang penting halal dan berkah. *genjreng gitar* *lho kok jadi ngamen*

Nah yang namanya baru selesai Lebaran + pindahan ke pulau lain naik bis & kapal + menginap di dormitory selama seminggu + nyari kos + puasa bayar utang, bisa kebayang kan capeknya saya ("Prima mah capek mulu." - pembaca)? Makanya Sabtu kemarin saya tidur dari subuh sampai jam 10; terus setelah pindah ke kos lanjut tidur lagi dari jam 2 siang sampai hampir jam 6 sore. Malamnya enggak bisa tidur sampai jam 1 pagi, LOL. Belum lagi, Ubud diguyur hujan hampir setiap hari jadi kasur rasanya posesif banget sama badan ini. :)))))

Tapi ada sisi positif dari badan yang digeber habis-habisan, yaitu tidak terasa sudah lewat seminggu saya di Ubud. Wow. Belum terasa homesick atau nangis kangen ayah/mama/adik-adik, walau sedikit aneh aja saat sahur dan buka yang nemenin malah bule Amerika (pas sahur di dormitory). Kalau buka sih, seringnya sendiri, bikin pengin nyanyi “sudah terlalu lama sendiri…” *salaman sama Aji Kunto*

Jadi seminggu ini, Prima udah ngapain aja di Bali?

First thing first, perlu digarisbawahi saya ke sini untuk kerjooooo. Catet: kerjooooo. Kudu diulangi kayaknya: kerjooooo. Ya habisnya 11 dari 10 orang yang tahu saya pindah ke Bali pasti komentar: “enaknyaaa pindah ke Bali.” Lha tinggal di Bali itu enak kalau 1) liburan; 2) punya banyak duit. Sementara gaji saya juga enggak yang berpuluh-puluh juta gitu (belum), jadi saya harus cukup puas tinggal di kamar kos sederhana ala-ala homestay kelas melati. Kegiatan saya juga bukan yang tiap hari duduk-duduk shantay di pantai sambil menyesap orange juice; atau nongkrong sambil bikin #ootd di kafe-kafe instagrammable. NOT AT ALL. Yang ada, saya mampir ke Pantai Sanur pas udah gelap (telat nyampenya), kemudian makan malam di KFC. #toughlife

Yang namanya kerja di Bali ya hampir sama aja dengan kerja dimana-mana. Ngantor Senin-Jumat, dari pagi sampai petang, kalau mau berkegiatan yang lain ya nunggu malam atau akhir pekan. Sementara ini saya baru dua kali keluar Ubud. Hari Rabu pulang kantor ngebut ke Sanur nganterin seorang turis dari Vietnam yang pengin banget lihat laut, lalu hari Sabtu malam melipir ke Gianyar buat buka puasa. Secara warung-warung Jawa atau rumah makan Padang di Ubud belum ada yang jualan. Lumayan deh, makan ayam bakar dan terong penyet enak banget Masya Allah. 

Btw, setelah saya post di Insta story, ada beberapa followers nanyain tentang tinggal di dormitory. Actually this is not my first time, tahun 2014 waktu ke Kamboja saya nginep semalam di dorm. UWRF tahun lalu juga nginep tiga malam di dorm. Tadinya saya mau balik ke dorm itu lagi, tapi ketika saya browsing harganya kok naik, makanya saya memilih Bali Backpackers Inn.

As it costs me Rp. 40.000/night, I don’t really expect anything. Yang penting bisa taruh barang dengan aman, dan tidur+mandi dengan nyaman, sudah. Kelebihan Bali Backpackers Inn dibandingkan dorm yang saya inapi tahun lalu adalah, ada female dorm di lantai 3, terus bentuk tempat tidurnya mirip-mirip kapsul. Privasi lumayan terjaga dan ya itu menurut saya insya Allah aman karena enggak akan ada tamu yang “aneh-aneh” (secara space kasurnya lumayan sempit, apalagi buat bule). Selain itu, di lantai 1 juga ada common room lengkap dengan dapur (ada kulkas, kompor, toaster, dan microwave). Saya pun sempat sahur dengan kentang panggang karena memanfaatkan microwave, asik bener dah.

Kekurangannya, waktu saya ke situ Wi-Fi di lantai 3 lagi trouble, jadi kalau mau internetan kudu ke bawah. Berhubung itu juga dormitory murah meriah oye, beberapa tamu stay dalam hitungan minggu, bahkan bulan! Agak annoying apalagi kalau mereka ‘menandai’ tempat tertentu sebagai ‘milik’ mereka, jadi sungkan kalau mau duduk di situ padahal kan fasilitas umum ya. Terlepas dari itu, kembali lagi, hellooo ini 40ribu semalem lho. Dapat alas tidur dan atap aja kayaknya udah Alhamdulillah. Wkwkwk.

Apart of that, awalnya saya berpikir Ubud enggak terlalu spesial buat saya secara ini adalah ke-ENAM kalinya saya ke sini. Memang makan di kafe-kafe sepanjang jalan utama Ubud tidak pernah menarik hati saya (karena selain mahal, saya meragukan kehalalannya); akan tetapi, saya kemudian merasa akan ada kemungkinan untuk feel excited again after exploring the neighbourhood. Jadi bukan di Ubud-nya ya, tapi di sekitarnya. Saya belum pernah ke Tegalalang, Tampaksiring, Pura Tirta Empul, Bali Bird Park, dan masih banyak lagi. Saya juga berencana ke Nusa Penida dan Nusa Lembongan, waaah kudu ngatur jadwal (dan duit gaji) dengan ketat nih.

They say for once in a lifetime you do this kind of thing, like living in Bali (and people will see it as a ‘heaven’). But still, for a serious person like me, I’ll always put work (and then rest) in priority. Semoga aja saya enggak malas supaya bisa main ke berbagai tempat di Bali sebelum kontrak berakhir. Atau semoga saya dapat kerjaan lain jadi bisa lanjut tinggal di Bali sesudah UWRF. Atau semoga saya nikah (segera) dan suamik memutuskan untuk buka usaha di Bali. Atau… okay stop Prim, you need to live the reality. So, I’ll see you in Bali soon? ;)

Lots of love,
Prima

Tuesday, November 21, 2017

My Life After Graduation

Tak terasa baru sebulan sejak saya wisuda. Kenapa saya bilang ‘baru’? Karena sepertinya saya sudah melakukan banyaaaaak hal. And yes, it’s another excuse of why I couldn’t continue my birthday blog post. Hvft.

Here’s the story.

Saya wisuda pada hari Kamis, 19 Oktober 2017. Pada hari itu saya bangun pada pukul 03.00 untuk mencoba make up sendiri – lalu gagal – dan akhirnya ngibrit ke rumah sahabat untuk didandanin (cek IG-nya: Dias Kusumastuti). Karena jam sudah menunjukkan pukul 06.00, saya akhirnya mengenakan hijab sekadarnya dan meminta tante ngebut ke Grha Sabha Permana. Meskipun sebenarnya saya terhitung terlambat, untungnya wisudawan/ti masih boleh registrasi ulang dan memasuki barisan. Tak sampai setengah jam, kami memasuki GSP dengan perasaan berkecamuk. Happy sih, tapi agak sedikit senep teringat berapa banyak uang yang sudah kami ‘investasikan’. Eaaa. 

Prosesi wisuda di universitas tidak memakan waktu lama karena jumlah wisudawan/ti memang dibagi dua gelombang. Wisuda yang pertama sudah dilangsungkan sehari sebelumnya. Sekitar pukul 11.00 saya keluar gedung dan berfoto bersama ayah dan ibu, lalu saya melanjutkan wisuda fakultas bersama mama, adik, nenek, tante, dan roommate saya, mbak Diah. Kok bisa yang datang banyak? Ini adalah salah satu keuntungan punya tante yang berprofesi sebagai dosen, hehe. Well, besides my mom and my dad, of course I dedicated my graduation for my aunt as she has taught me a lot of important lessons and lift me up along the hard times.

Untuk foto, sejak awal saya merencanakan booking fotografer karena malas antri di studio dan takut ayah/mama ada yang iri. Berdasarkan rekomendasi teman (thank you Rika!), saya dikenalin sama Fandi. Alhamdulillah yaaaaa, dia sabar banget, asik diajakin kerja sama, dan ya itu pokoknya sabar. Saya sempat berpikir, ‘kok foto saya sedikit ya’, apalagi setelah tahu ada seorang teman yang fotonya mencapai 500. Busyet itu foto wisuda atau nikahan, haha. Tapi saya sudah puas foto-foto dan yang penting sudah bikin foto di dalam perpustakaan, saksi bisu perjuangan saya mengerjakan tesis dan berbagai kerjaan. Terima kasih UGM untuk perpustakaan yang lumayan nyaman, coba bikin sleeping corner biar makin asik. #yakale
 


Malamnya saya dan adik ngobrol di Tempo Gelato Jakal, terus lanjut ngobrol sama mama sampai kepala saya pusing. Saya baru tidur pukul 03.00 (it means I have been awake for 24 hours!!), jadi ketika mama dan adik pamit ke stasiun pukul 06.00, saya lanjut tidur lagi. Tapi sayangnya saya tidak bisa tidur lama karena harus beres-beres daaan packing. Yup, saya menghadiri Ubud Writers & Readers Festival lagi setelah tahun lalu skip karena ikut konferensi. Saya berangkat sama Akid, Chu, Oscar, dan Gehitto...naik mobil pada hari Sabtu malam. Gila? Iya. Sampai sekarang aja masih suka berasa capeknya, but it was really fun. Boleh kapan-kapan nyobain road trip lagi, misalnya dari Bali ke Aceh. Toh saya tinggal duduk manis karena tidak bisa menyetir mobil, mwahaha.

Tadinya saya ditelepon Bli Gustra untuk jadi moderator di Emerging Voice, ‘pecahan’ UWRF untuk audiens anak muda Indonesia. Saya akan memandu (memanduuu) sesi bersama Leila S. Chudori, Ahmad Fuadi, dan Anita dari Bitread.id (self publishing platform). Selain itu, saya juga akan membantu Akid, yang mengajak saya naik mobil ke Bali, di divisi Book Launch. Ternyata, karena saya sudah – ehem – berpengalaman, saya dipindahtugaskan ke International Writers Liaison. It wasn’t my first time being a liaison, like I told you here and here, but yeah it’s a bit different now.
With some of my writers.
Setelah delapan hari di Bali, saya kembali ke Jogja untuk mendampingi penulis VIP, Simon Winchester, pada Satellite Event yang disponsori US Embassy. Selain mengisi sesi di kampus UNY dan nDalem Natan Kotagede, Simon masih punya waktu tiga hari di Jogja. Ia pun meminta saya mengatur jadwal jalan-jalan karena dia ingin mengajak istrinya, Setsuko, melihat matahari terbit di Candi Borobudur. Cerita tentang UWRF dan Simon akan saya tuliskan nanti ya because there are many things I want to share – seperti biasa, kalau ingat *digetok pembaca*
With Simon Winchester & Setsuko.

Thursday, November 19, 2015

Jogging di Campuhan

 
 
Photo courtesy of Gracia Ardiati.





Sejak kembali dari Bali, saya memutuskan untuk jogging setiap pagi. Alasannya, saya merasa sangat lelah dan tidak bugar, jadi saya pikir berolahraga akan mengembalikan kebugaran saya. Alhamdulillah, setelah dua minggu, saya ingin sekali bisa melanjutkannya secara rutin. Saya juga berharap bisa terus meningkatkan durasi dan mengombinasikan rute perjalanan supaya tidak bosan.

Ngomong-ngomong tentang jogging, waktu di Bali kemarin saya sempat mengunjungi Gunung Lebah, atau biasa dikenal orang dengan sebutan Bukit Campuhan. Yang pertama, saya pergi dengan Volunteers Coordinator yang juga roommate saya, Mutia. Yang kedua, saya pergi dengan beberapa teman volunteers dan seorang peserta. Pinginnya sih bisa kesana lebih sering, tapi kebetulan tempat saya menginap cukup jauh, jadi susah kalau mau bolak-balik dan harus standby di kantor sebelum pukul 08.30.

How to get there? Kalau sister datang dari timur, sebelum jembatan/Warung Murni, ada Warwick Ibah di kanan jalan. Masuk kesitu, dan kalau sister membawa motor, ada lahan kosong di belakang Mini Market. Di jalan tersebut ada sebuah SMA, tapi sebaiknya tidak parkir disana; karena bisa saja saat kembali, parkirannya sudah penuh, dan pastinya merepotkan kalau sister mau pulang.

Kemudian, pilih jalan di samping kanan jembatan, melewati bagian samping pura, dan sister akan menemukan jalan setapak. Ikuti saja jalan di sebelah sungai itu, nanti sister akan menemukan belokan ke kiri, lalu ke kanan, and then welcome to Campuhan :)

Pada saat saya di Bali, matahari terbit sekitar pukul enam WITA. Jadi kami jogging sekitar pukul setengah tujuh sampai setengah delapan. Menurut saya, jam segitu sudah cukup panas, tapi ketika kami pulang, Campuhan malah semakin ramai. Saya sempat bertemu dengan seorang bapak-bapak tour guide yang juga sedang jogging, beliau bilang bule lebih suka ke Campuhan pada pukul sembilan. Kalau warga lokal malah lebih senang nongkrong di Campuhan pada sore hari, apalagi yang muda-mudi. 'Banyak yang pacaran, mbak. Sampai kita kewalahan ngusirnya', ujar Pak Wayan. Oya, bukit tersebut sebenarnya adalah salah satu tempat suci di Ubud, jadi sudah sepatutnya untuk kita berperilaku yang baik ya.

Kelebihan dari Campuhan adalah, adanya tempat sampah yang disediakan, jadi ga perlu galau kalau mau bawa bayi minuman, you can simply put it in the trash bin. Tentang jarak, sebelum masuk Campuhan, ada plang penunjuk kafe, tapi saya sendiri tidak begitu memperhatikan lokasi kafenya. Katanya sih, kalau kita sampai ke kafe tersebut, artinya kita sudah menempuh jarak sejauh dua kilometer. Lalu, kalau kita jalan terus, jalan itu akan berujung di Jalan Sanggingan, dan jaraknya ke Warwick Ibah bisa sekitar enam atau tujuh kilometer. That's why kebanyakan orang lebih suka kembali lewat Campuhan lagi.

Uniknya, ada tradisi tidak tertulis di Campuhan, yaitu sister harus menyapa orang-orang yang papasan dengan sister. Tadinya saya kaget waktu disapa 'hi', 'morning', atau 'pagi' oleh orang-orang yang saya temui, tapi saya mengalaminya dengan semua orang; so at the next time, I do that and teach the volunteers who went with me. Senang deh bisa bikin orang tersenyum di pagi hari. Apalagi kalau bisa ngobrol dan minta nomer hape-nya si bule ganteng yang hobi jogging bertelanjang dada..... #eaaa  

'Aturan' lainnya di Campuhan sama saja dengan jogging dimanapun: lakukan pemanasan terlebih dahulu. Kalau sister jarang berolahraga, pelan-pelan saja, karena di awal jalannya memang nanjak abis. But make sure to take a lot of pictures, because the view is really beautiful!

Happy jogging,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...