“Apa yang bikin mbak Prima balik volunteering di UWRF lagi dan lagi?”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gehitto, sesama volunteer Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), yang juga ikutan di mobil Akid pada perjalanan ke Bali. Seperti saya ceritakan sedikit di post My Life After Graduation, tahun lalu saya kembali ke UWRF setelah tahun 2016 absen karena mengikuti konferensi media dan komunikasi di Yogyakarta. Memang alasan saya ikut Akid naik mobil dari Jogja ke Bali adalah karena keputusan untuk datang ke UWRF17 agak mendadak. Berhubung saya belum beli tiket pesawat, saya pun mengiyakan tawaran Akid untuk mengarungi jalan darat menuju Bali.
“Hmmm, I don’t know. Kamu harus ngerasain sendiri.”
Sampai sekarang pun saya masih susah menjelaskan betapa ‘magis’-nya UWRF sehingga membuat saya selalu ingin kembali. You have to experience it yourself. Dan biar dikata sudah berkali-kali ke UWRF, selalu ada sesuatu yang baru menanti di sini.
Tapi mengapa harus menjadi volunteer?
Nah ini, mungkin zaman memang sudah berubah. Ketika saya kuliah dulu, saya cenderung fokus ke akademis dan kegiatan-kegiatan di kampus. Iya sih, saya bekerja part-time. Sesekali ikut lomba debat Bahasa Inggris atau kompetisi menulis. Tapi sisanya, saya tidak terlalu banyak melihat ‘dunia’ di luar kampus saya. Sempat saya heran ketika semakin ke sini, usia volunteer UWRF semakin muda. Tahun lalu ada yang nyeletuk, “busyet, mbak Prima umur 2x?? Aku dong, masih 19 tahun.” Rasanya saya pengin ngedorong dia ke jurang di belakang kantor UWRF. Zzz.
But it really is happening. Mungkin kids jaman now lebih terbuka dengan kesempatan-kesempatan di luar kampus, ditambah lagi punya orangtua yang mendukung secara finansial. And it’s good. Sebagai orang yang bekerja di bidang manajemen SDM, let me tell you: recruiter would looove to have a candidate who had done LOTS of stuffs at college times while maintaining good GPA. Kamu mahasiswa kupu-kupu, enggak punya prestasi akademis, dan skill-mu juga rata-rata? B Y E.
However, setelah tiga kali menjadi volunteer dan saat ini (Alhamdulillah) menjadi staf, I think I can give you better insights about why you have to volunteer for UWRF.
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gehitto, sesama volunteer Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), yang juga ikutan di mobil Akid pada perjalanan ke Bali. Seperti saya ceritakan sedikit di post My Life After Graduation, tahun lalu saya kembali ke UWRF setelah tahun 2016 absen karena mengikuti konferensi media dan komunikasi di Yogyakarta. Memang alasan saya ikut Akid naik mobil dari Jogja ke Bali adalah karena keputusan untuk datang ke UWRF17 agak mendadak. Berhubung saya belum beli tiket pesawat, saya pun mengiyakan tawaran Akid untuk mengarungi jalan darat menuju Bali.
“Hmmm, I don’t know. Kamu harus ngerasain sendiri.”
Sampai sekarang pun saya masih susah menjelaskan betapa ‘magis’-nya UWRF sehingga membuat saya selalu ingin kembali. You have to experience it yourself. Dan biar dikata sudah berkali-kali ke UWRF, selalu ada sesuatu yang baru menanti di sini.
Tapi mengapa harus menjadi volunteer?
Nah ini, mungkin zaman memang sudah berubah. Ketika saya kuliah dulu, saya cenderung fokus ke akademis dan kegiatan-kegiatan di kampus. Iya sih, saya bekerja part-time. Sesekali ikut lomba debat Bahasa Inggris atau kompetisi menulis. Tapi sisanya, saya tidak terlalu banyak melihat ‘dunia’ di luar kampus saya. Sempat saya heran ketika semakin ke sini, usia volunteer UWRF semakin muda. Tahun lalu ada yang nyeletuk, “busyet, mbak Prima umur 2x?? Aku dong, masih 19 tahun.” Rasanya saya pengin ngedorong dia ke jurang di belakang kantor UWRF. Zzz.
But it really is happening. Mungkin kids jaman now lebih terbuka dengan kesempatan-kesempatan di luar kampus, ditambah lagi punya orangtua yang mendukung secara finansial. And it’s good. Sebagai orang yang bekerja di bidang manajemen SDM, let me tell you: recruiter would looove to have a candidate who had done LOTS of stuffs at college times while maintaining good GPA. Kamu mahasiswa kupu-kupu, enggak punya prestasi akademis, dan skill-mu juga rata-rata? B Y E.
However, setelah tiga kali menjadi volunteer dan saat ini (Alhamdulillah) menjadi staf, I think I can give you better insights about why you have to volunteer for UWRF.
1. Friends, Friends, Friends
“Jadi volunteer UWRF itu kudu nulis kah, Kak Prim?”, tanya seseorang yang saya temui di sebuah workshop kepenulisan di Jakarta. Lucunya, jawabannya enggak. Some of us are writers/editors/journalists. Some of us are artists, photographers, and movie goers. Some of us like reading, others like to party (hehe), and some ‘just’ love Bali.
Lalu apa yang mengikat kami semua? Curiosity. Most of us like to talk (haha) and share our knowledge. In the other side, most of us also like to listen and ask. Jadi kamu akan berada dalam sebuah suasana di mana orang-orang saling berbagi apa yang mereka bisa. Saling membantu, saling menasihati, dan saling menghibur. Dan setelah tiga kali volunteering, it is hard for me to imagine my life without my UWRF friends. Yang dulu menyediakan tempat nginep selama saya ngerjain tesis di Jakarta, Kak Lia dan Mei – volunteer UWRF14. Selanjutnya, setiap ke Jakarta, saya selalu nginep di kosnya Igna – volunteer UWRF14. Editor buku saya, Puput – volunteer entah tahun berapa aja saking seringnya. Lucunya lagi, meskipun nantinya sesama volunteer tidak bisa bertemu di UWRF (because sometimes our days become very hectic), bisa aja lhooo kita ketemu di event lain. Saya dan Igna cuma ketemu di UWRF sekali doang, selebihnya kami main bareng di Jogja. Pokoknya lucu deh UWRF ini.
What makes me more grateful is, volunteer UWRF pada baik-baik. Tahun 2015, saya baru selesai menghadiri pernikahan teman di Sanur, dan tiba-tiba aja, ada seorang volunteer yang menawarkan untuk mengantar ke Ubud. Thank you, dr. Adit! Sumpah, heran banget kok bisa ada segini banyak orang baik (dan unik) berkumpul di tempat yang sama.
So, what do you need to ‘have’ to be a UWRF volunteer? Respect. Alhamdulillah para volunteer UWRF hampir selalu memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Ya kalau ada yang ‘enggak beres’, paling 1 atau 2 orang. But basically, you have to appreciate your teammates, homestay-mates, and even other volunteers; staffs; as well as speakers. Bisa kok ya, kan udah pada dewasa… ;)
2. Added Skills & Networking
Bahkan buat saya yang udah tergolong ‘tua’ dan enggak butuh-butuh amat ikut UWRF buat ngisi CV, ternyata UWRF beneran membawa saya kemana-mana. Sebagai contoh, saya pernah diundang ke Semarang buat jadi moderator seminar di Kampus Udinus. Kebetulan Bu Janet DeNeefe, founder UWRF, menjadi pembicara pada seminar tersebut. Pernah juga ‘dilamar’ sebuah start-up untuk jadi event & community manager karena mereka lihat pengalaman saya di UWRF. Terakhir, tahun lalu saya diundang berbagi pengalaman me-manage event internasional di Kampus UNY. Dan sssttt, aslinya tahun ini saya diajakin mempersiapkan sebuah event kepenulisan di Australia oleh salah satu penulis yang saya assist tahun lalu. Tapi berhubung saya lebih memilih bekerja untuk UWRF, maybe next time. :)
Di sisi lain, sebagai seseorang yang memang ingin berkarier sebagai penulis, ada orang-orang di UWRF yang memegang koentji atas keberhasilan saya di masa depan. Tahun lalu, Simon Winchester menutup perjumpaan kami dengan mengatakan, “when you are ready, shoot me an email and I will try to grant your wish.” Yes, he offered to connect me to any institutions that he has ever worked with. Waktu itu saya hanya bisa nganga. Sampai sekarang saya belum menggunakan kesempatan itu sih, but perhaps someday I will.
3. The Feeling of Contributing to Something Big is Just Priceless
Dua kali menjadi MC (UWRF14 & UWRF15), jujur sebenarnya porsi tugas saya dan teman-teman hanya ‘pemanis’, walaupun… Kalau enggak ada kami, UWRF juga enggak jalan… Ya kaaan. Tapi, setelah tahun lalu saya ‘nyemplung’ jadi orang di balik layar, wagelaseh bikin event segede UWRF memang enggak gampang sama sekali. Oh ya, di sini saya perlu garisbawahi bahwa UWRF (dan UFF) bergerak di tiga bidang besar: pariwisata, literasi, dan kuliner. Saya enggak perlu cerita kalau Bu Janet cinta banget sama Indonesia sampai repot-repot mikirin gimana caranya pariwisata Ubud bisa balik normal setelah peristiwa bom Bali. Tapi kalau mau diperhatikan, kadang malu jadi orang Indonesia… Kok ya orang ‘negara lain’ yang mikirin itu… Mikir gimana para penulis muda di Indonesia bisa dikenal di mata dunia, mikir gimana kuliner Indonesia bisa bersaing sejajar dengan kuliner dari negara-negara lain. Menjadi volunteer UWRF, adalah sebuah langkah kuecil untuk turut berkontribusi untuk Indonesia.
Dua kali menjadi MC (UWRF14 & UWRF15), jujur sebenarnya porsi tugas saya dan teman-teman hanya ‘pemanis’, walaupun… Kalau enggak ada kami, UWRF juga enggak jalan… Ya kaaan. Tapi, setelah tahun lalu saya ‘nyemplung’ jadi orang di balik layar, wagelaseh bikin event segede UWRF memang enggak gampang sama sekali. Oh ya, di sini saya perlu garisbawahi bahwa UWRF (dan UFF) bergerak di tiga bidang besar: pariwisata, literasi, dan kuliner. Saya enggak perlu cerita kalau Bu Janet cinta banget sama Indonesia sampai repot-repot mikirin gimana caranya pariwisata Ubud bisa balik normal setelah peristiwa bom Bali. Tapi kalau mau diperhatikan, kadang malu jadi orang Indonesia… Kok ya orang ‘negara lain’ yang mikirin itu… Mikir gimana para penulis muda di Indonesia bisa dikenal di mata dunia, mikir gimana kuliner Indonesia bisa bersaing sejajar dengan kuliner dari negara-negara lain. Menjadi volunteer UWRF, adalah sebuah langkah kuecil untuk turut berkontribusi untuk Indonesia.
Saya sering berbincang dengan orang-orang Ubud dan somehow mereka mengakui bahwa UWRF menjadi tonggak bersejarah untuk perekonomian di Ubud. Ada kebanggaan tersendiri ketika memperkenalkan diri, “saya kerja di Sanggingan, Yayasan Mudra Swari Saraswati…” Meski dibilang cuma tenaga administrasi, tapi saya secara pribadi selalu mencari cara untuk memberi kontribusi lebih. Semoga aja semangatnya bertahan sampai akhir masa kontrak. Aamiin.
Di samping itu, setelah saya sekarang kerja di sini, saya banyak belajar. Salah satunya, saya belajar memetakan impian saya. Nanti saya ingin punya ini-itu, maka saya harus bisa ini-itu dan melakukan ini-itu. Saya belajar jadi anggota tim yang baik, leader yang baik (sebagai supervisor tahun 2015), dan belajar bertanggungjawab. Intinya di sini… Kalau yang enggak dibayar aja kita mau memberikan effort terbaik, apalagi kalau dibayar. Seharusnya lebih lebih lagi.
Lalu kalau ditanya, memang semua volunteer selalu puas sepulang dari UWRF?
Enggak. Namanya juga volunteer, kan enggak dibayar ya. Pernah ada teman yang enggak suka sama tugasnya, ada juga yang stres sama kerjaannya yang dirasa berat. Dan namanya juga event internasional, tingkat kesulitannya tinggi. Benar-benar kudu siap hati dan mental. Jadi kalau enggak ikhlas, jangan maksa buat daftar.
Beberapa teman lain, ada yang bosan sesudah beberapa kali datang ke UWRF. Wajar banget, wong tahun lalu aja saya enggak banyak hadir di sesi-sesi Main Program. Nevertheless, sebenarnya sayang kalau ‘menganggurkan’ volunteer ID Card yang berlaku sebagai 4-day pass. Sebagai mantan MC dan IWL yang selalu ngebacain profil pembicara, para pengisi acara di UWRF datang membawa isu-isu yang mereka pedulikan. And they ALWAYS slapped me on my face. Almost like, “wake up! We have this issue that we need to talk about.” Jadi ngerasa dibukakan wawasan, dan bersyukur banget bahwa selama ini hidup gue indah banget. Nanti deh ya, kalau daftar pembicara Early Bird sudah diumumkan, saya akan share cerita mereka (secara kerjaan saya adalah kepoin karya-karya mereka untuk bahan program). Nangis nangis deh, lu-lu pada.
Sudah membulatkan tekad untuk mendaftar sebagai volunteer UWRF18? Tunggu dulu, tahun ini UWRF juga membuka kesempatan untuk internship. Yuk, bantuin saya menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk menyambut kedatangan para pembicara dan volunteer. Buat yang berhasil jadi staf magang dan perempuan, boleh numpang di kos saya, hehe. Kalau laki-laki gimana? Coba saya lihat dulu, kalau seganteng mas gebetan mungkin saya pertimbangkan. LOL.
Last but not least, semoga blog post ini enggak bikin kalian mikir terlalu lama buat daftar jadi volunteer UWRF18 ya. Most important thing is, consider it as a new challenge, and have fun! Daftar volunteer UWRF18 di sini. ;)
Lots of love,
Prima
Beberapa teman lain, ada yang bosan sesudah beberapa kali datang ke UWRF. Wajar banget, wong tahun lalu aja saya enggak banyak hadir di sesi-sesi Main Program. Nevertheless, sebenarnya sayang kalau ‘menganggurkan’ volunteer ID Card yang berlaku sebagai 4-day pass. Sebagai mantan MC dan IWL yang selalu ngebacain profil pembicara, para pengisi acara di UWRF datang membawa isu-isu yang mereka pedulikan. And they ALWAYS slapped me on my face. Almost like, “wake up! We have this issue that we need to talk about.” Jadi ngerasa dibukakan wawasan, dan bersyukur banget bahwa selama ini hidup gue indah banget. Nanti deh ya, kalau daftar pembicara Early Bird sudah diumumkan, saya akan share cerita mereka (secara kerjaan saya adalah kepoin karya-karya mereka untuk bahan program). Nangis nangis deh, lu-lu pada.
Sudah membulatkan tekad untuk mendaftar sebagai volunteer UWRF18? Tunggu dulu, tahun ini UWRF juga membuka kesempatan untuk internship. Yuk, bantuin saya menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk menyambut kedatangan para pembicara dan volunteer. Buat yang berhasil jadi staf magang dan perempuan, boleh numpang di kos saya, hehe. Kalau laki-laki gimana? Coba saya lihat dulu, kalau seganteng mas gebetan mungkin saya pertimbangkan. LOL.
Last but not least, semoga blog post ini enggak bikin kalian mikir terlalu lama buat daftar jadi volunteer UWRF18 ya. Most important thing is, consider it as a new challenge, and have fun! Daftar volunteer UWRF18 di sini. ;)
Lots of love,
Prima
Baca Juga Pengalaman Hilda Ikka, Volunteer UWRF17:
Huwaaa pengen banget jadi anak magang bagian media 😁 tapi kalo magang di luar Surabaya aku mau ambil pas semester 7, jadi ya tahun depan. Semoga masih ada kesempatan yaah :”
ReplyDelete