Sunday, July 31, 2016

5 Tips Berhijab untuk Pemula



Call me uncreative, but I have to say I am happy to finally be back once again in Jogja!

Setelah rabu lalu mendarat di Jogja, hari Jumat malam saya bertolak ke Jakarta untuk pernikahan teman, dan langsung kembali ke Jogja pada hari Sabtu malam. Punggung/pinggang rasanya mau patah, sekarang pun masih agak kliyengan (karena tamu bulanan maju seminggu, why oh why? Etapi daripada telat ya, errr), but I am very happy and I still feel like love is in the air. Hihihi.

numpang foto di Photo Booth #NikahanDarulJezzie

Anyway, sepertinya saya belum pernah nulis tentang ini. Atau pernah, agak-agak lupa. Tapi kayaknya nulisnya bukan di blog tapi jadi script untuk vlog (yang akhirnya engga jadi dibuat, meh). Cerita tentang ke Jakarta di-pending dulu ya, karena tiba-tiba saja saya terpikir untuk menuliskan tema ini.  

I know keputusan berhijab itu bisa berbeda untuk setiap orang. Ada yang memang sudah lama memikirkannya, ada yang ‘ujug-ujug’ berhijab. I’m not here to judge but I personally think some people might be clueless about what to do as a ‘beginner’. Jujur sampai sekarang pun kadang saya masih merasa meragu dalam artian bukan berhijab atau engga-nya. Akan tetapi, lebih cenderung kepada apakah saya sudah cukup berbahagia dengan keputusan saya ini, apakah saya sudah berhijab dengan benar dan bagaimana niat saya yang sekarang mungkin berbeda dengan ketika awal berhijab, hingga ehem, apakah saya tetap tampil modis dengan hijab. Tidak dapat dipungkiri sebagai perempuan juga saya ingin dibilang cantik, ngaku aja deh, sister semua. Hayo. Meskipun itu bukan alasan pertama dan utama, cuma saya juga merasa khawatir kalau merepresentasikan hijab sebagai ‘produk’ yang tidak indah. We might arguing on that. Pada akhirnya, saya percaya berhijab itu untuk Allah dan sebagai salah satu bukti bahwa kita bersyukur atas semua yang telah diberikan oleh Allah. Selain itu, buat saya hijab itu wujud perlindungan,harkat dan martabat, hingga penghargaan untuk diri sendiri. Makanya kalau saya pribadi, bete kalau ada yang lihat teman berhijab tapi uwel-uwelan, (maaf) bau apek, jilboobs juga termasuk, pokoknya engga asik dilihat dan didekati deh. Perkara berhijab itu untuk dilihat Allah saja, iya saya setuju, makanya berhijab yang baik mbak, kan situ mau memberikan yang terbaik untuk Allah. Itu sih yang saya pikirkan, meskipun saya juga masih sering berpakaian seadanya (adanya itu yang di lemari, kecuali kalau punya closet kayak Kardashian ya beda cerita).

Hijab came naturally for me. Saya mengenakan hijab sejak di bangku sekolah dasar, tapi ketika saya remaja saya sempat bosan dan buka-tutup macem portal perumahan. Baca lagi deh tulisan ini tentang how and why I decided to wear it permanently. Only somehow with that long journey and process, I still find it challenging day by day. That’s why I think it will be good for me to write some kind of guidelines buat kamu yang sedang merencanakan untuk berhijab atau baru-baru ini berhijab, let see apa saja yang harus kamu persiapkan:

1. Niat
At this point, I personally will say that whatever your motivation to wear hijab, that’s good enough. Mau sister berhijab karena Dian Pelangi tampak keren alias karena fashion; karena mau menikah dan diminta oleh calon suami; habis pulang umroh dan rasanya aneh kalau tidak mengenakannya. All you can say! Semua itu tidak salah untuk saat ini, namun saya percaya akan jauh lebih baik untuk sister mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an berkenaan dengan hijab. Pada dasarnya, there is nothing wrong to try being a better person in the eyes of Allah. Semua ibadah yang kita lakukan juga awalnya ‘dipaksakan’, seperti waktu kita kecil masih suka malas sholat subuh terus harus digendong dan dibantu untuk wudhu. Perlahan kita belajar kalau sholat itu bukan hanya kewajiban tapi juga kebutuhan so, banyak-banyak belajar ya.
Yang kedua, untuk masalah niat, kalau ada yang bertanya tentang kenapa kamu berhijab, tidak perlu dijawab panjang lebar. Buat kamu yang baru saja berhijab, I know that this question might be a bit overwhelming. Kayak kalau ditanya ‘eh kamu kenapa menikah sama suamimu?’ Jawabannya bisa panjang, yang kadang menyenangkan buat dijawab, kadang juga bikin capek sendiri kalau jelasin berkali-kali. Jawab saja karena Allah, meskipun dibaliknya ada alasan-alasan lain yang pribadi. Toh, this is about you and your creator, so be relax and smile.

2. Jenis kain untuk khimar (kerudung)
Sebelum kamu akhirnya berhijab dan membeli selusin khimar, cobalah untuk menjajal berbagai macam kerudung, dari mulai kain paris, ceruti, dan sebagainya. I’m not an expert here, saya paling sering pakai paris segi empat soalnya murah dan masih pakai motor kemana-mana. Mungkin kalau jarang beraktivitas yang berkeringat (dan punya duit) bakal nyoba pakai hijab satin dari Hijabellove (harganya Rp. 250.000/piece). 
 
contoh penggunaan kerudung segi empat, tapi yang ini bukan paris

Masalah dalaman juga harus kamu pastikan yang mana yang cocok buatmu. Akhir-akhir ini saya pakai semacam bandana renda gitu, harganya murceee tapi agak sakit di kepala, hiks. Kalau lagi acara formal dan rambut sudah kering sepenuhnya, saya bisa pakai inner yang biasa disebut antem atau ninja tapi saya engga pernah pakai cepol soalnya aneh aja. Memang paling baik pakai inner ini (antem atau ninja) tapi leher saya sempat mengalami iritasi, sepertinya harus beli yang kualitasnya lebih baik atau 100% katun. Cuma harganya bisa sekitar Rp. 50.000-75.000 buat inner doang, hedeh khimar paris aja 15ribu. Wakakaka #ogahrugi #ataumemangpelit 
contoh inner yang lumayan saya suka, tapi yang ini harganya Rp. 150.000 (...)

Jangan lupa punya bergo juga, jadi misalnya kamu harus beli sesuatu di warung, atau jogging dan berolahraga, pakai khimar paris bakal agak ribet.
Intinya sih, pengetahuan dan pemahaman tentang khimar yang kamu pilih itu juga akan berhubungan dengan bentuk mukamu, kegiatanmu, warna yang cocok untuk warna kulitmu, dan lain-lain. Kesannya jadinya berhijab itu rempong dan mahal dong? Tidak juga. Menurut saya, ketika kamu merasa nyaman dengan khimar-mu, berhijab akan lebih nyaman sehingga hari ke hari kamu tidak merasa terpaksa saat mengenakannya. Buat kamu first-timer, sebaiknya tidak langsung belanja dalam jumlah yang sangat banyak, beli saja beberapa lembar khimar. Sambil jalan kamu akan menemukan khimar seperti apa yang paling pas untukmu, dan kamu bisa memperbanyak koleksimu. Ingat untuk menyumbangkan khimar yang sudah tidak kamu pakai (dengan syarat, masih bagus) ke saudara-saudaramu yang kurang beruntung.

3. Persiapan pakaian
Manset, outerwear, dan legging adalah sahabat hijaber, terutama yang masih punya banyak baju lengan pendek atau terbuka, atau rok/celana yang panjangnya agak tanggung. Lagi-lagi dengan syarat baju tersebut tidak ketat di badan, tidak menerawang, dan tidak sulit untuk dipadu-padankan. Misalnya jangan maksa memakai rok mini + legging, ini agak gimana gitu ya. Sama dengan khimar, jangan tergoda untuk membeli banyak baju saat baru berhijab karena bisa jadi gamis panjang atau baju-baju menjuntai malah nganggur di lemari. Seiring berjalannya waktu, kamu akan tahu baju seperti apa yang cocok untuk kamu kenakan sehari-hari. Contohnya saya yang pernah belajar berhijab syar’i. For now, saya kembali berkendara dengan motor manual jadi agak ribet kalau mau pakai rok yang panjang dan berpotongan lurus. Celana panjang + atasan selutut, serta midi dress (yang panjangnya kira-kira sebetis) + legging jadi andalan saya. Seperti saya bilang, selama masih memenuhi standar minimal berpakaian modest, kamu bisa mengenakannya sambil pelan-pelan memperbanyak koleksi pakaianmu.  
contoh penggunaan manset, seperti saya di foto atas, saya hanya pakai manset lho, tapi ulurkan/panjangkan khimar sister agar menutupi dada ya.
4. Perawatan Rambut
Hal ini penting banget banget! Dua masalah rambut untuk yang berhijab adalah rontok dan ketombe. Waktu SMA saya masih jarang berhijab terus suatu waktu saya lamaaa pakai hijab terus (hahaha), kemudian teman lelaki saya ada yang bilang, “prim, rambutmu sekarang botak? Kok kerudungan terus?” Ternyata kakaknya yang berhijab mengalami masalah itu! Saya sudah berkali-kali ganti shampoo dan sejauh ini, saya paling cocok dengan yang saya pakai sekarang. Masalah utama saya saat ini adalah gerah dan kadang agak gatal, tapi alhamdulillah engga sampai berketombe. Saya pakai PinkUp Sweet n’ Glow Moisturising Shampoo by Kaaral untuk sehari-hari, dan Head & Shoulders Cool Menthol kalau sesudah berolahraga. Seminggu sekali saya pakai Makarizo Hair Energy Fibertherapy Creambath Aloe & Melon Extract dan Mustika Ratu Hair Tonic Penyubur Rambut. Pastinya saya sangat menghindari berhijab saat rambut masih basah. Tips dari Jessica Simpson (lah, dia kan engga berhijab -_-) kalau rambut sister sedang agak lepek tapi engga sempat keramas, pakai saja bedak bayi yang ditaburkan di akar rambut. Selain itu, sebisa mungkin kalau sedang di rumah, jangan mengikat rambut. Ini yang bikin rambut mudah rapuh dan akhirnya rontok. Kalau ada yang mau ‘berkorban’, ya potong pendek saja biar engga ribet dan pastinya lebih sehat untuk rambut dan kepala. Oya, kain khimar dan dalaman juga sangat berpengaruh, jadi make sure kamu pakai khimar yang berkualitas baik dan sesuai dengan aktivitasmu. 

5. Lingkaran Pergaulan
Selain hal-hal yang bersifat fisik, tentu sister harus mempersiapkan mental. Namanya cobaan di awal berhijab pasti ada aja, pujian yang melambungkan diri juga masuk kategori ujian lho. Kalau ada yang bilang sister lebih cantik dengan hijab, khawatirnya sister bakalan selfie terus-menerus, hehe. Katakan saja ‘alhamdulillah, semoga akhlaknya juga ikutan semakin cantik.’ Nah gimana kalau cobaannya berbentuk teman-teman yang menjauh? Mungkin sister harus pikir-pikir untuk tetap bertahan dengan mereka. Teman yang baik akan mendukung perubahan positif sister, sebagaimana sister insyaAllah akan melakukan hal yang sama. Jaga hubungan baik sebatas muamalah (hubungan antar manusia yang saling membantu), tapi tidak perlu mengkonfrontasi dan menunjukkan perbedaan sister. Engga harus melakukan yang... ‘eh sorry ya sekarang gue lebih baik dari elo soalnya gue berhijab.’ No need to do that. Yang lebih penting adalah sister menemukan orang-orang yang mendukung sister dan mendoakan agar sister istiqomah dalam berhijab, seperti saya :)) 

Saya ingin mengatakan bahwa berhijab itu mudah, it really is. Saya percaya bahwa ketika sister ingin lebih dekat dengan Allah, Allah tidak akan mempersulit. Setan sih yang akan menggoda, tapi ya sekali lagi semua orang yang ingin ‘naik kelas’ harus menghadapi ujian terlebih dulu. Semoga post ini membantu, dan kalau sister mau curhat, saya tunggu di primadita1088 at gmail dot com

Hugs,
Prima              

*pics by Zalora but no sponsor for this post

Wednesday, July 27, 2016

Everything I Am Now, I Owe It To My Mother

Alhamdulillah I am finally back in Jogja!

As I have written, sebelum libur Lebaran, awalnya tidak ada keinginan untuk mudik. Namun kemarin hampir saja tidak kembali ke Jogja karena jatuh cinta untuk kali kedua pada kota kelahiran. Halah. Bohong besar. Yang benar, ketika berada di Malang itu rasanya hidup enaaaaak banget. Bangun-kerja-nongkrong sama teman-tidur. Cuacanya oke, pas buat tidur sampai pagi #lhah 

Surabaya juga seru sih, dari dulu juga udah banyak event seru, tapi sekarang semakin banyak lagi. Sayang banget saya tidak mengetahui event UN Habitat dari jauh hari. Kalau berkesempatan iku jadi volunteer atau peserta kan bisa sekalian cari jodoh ilmu baru. Cuma panasnyaaaaa engga tahan. Mana saya ini tidak terlalu suka berada di ruangan ber-AC. Tapi kayaknya impossible banget tinggal di Surabaya tanpa punya AC di semua ruangan di rumah.

Anyway, saya sempat mengunjungi Bali selama dua hari mulai Senin sampai tadi pagi. Ceritanya saya mengantar adik saya yang masuk STAN dan penempatan di Denpasar. Berhubung saya memang cukup sering ke Bali, ayah mengandalkan saya untuk menjadi guide. Yang mencengangkan, ayah memutuskan bahwa kami berempat (ayah, saya, adik laki-laki, dan adik perempuan) akan melintasi jalur darat alias bawa mobil *siapin koyo* Terakhir kali saya ke Bali dengan kereta Surabaya-Banyuwangi lanjut naik ferry dan bis ke Denpasar itu tahun 2013. Setelah dihitung-hitung, lebih efisien pergi ke Bali dengan pesawat sehingga saya ogah backpacking lagi di tahun-tahun berikutnya. Cuma karena mobilnya juga punya sendiri, berempat pula, jatuhnya lebih murah sooo kami berangkat hari minggu sore. Jangan bilang saya engga ngapa-ngapain karena saya tidak bisa menyetir. Saya jadi ‘kernet’ bok, dan baru bisa tidur selama 2 jam saat perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar.

But this time I won’t tell you about Bali. *penonton kecewa* Udah sering lah saya cerita tentang Bali, engga bosan? Apa? Engga? Saya juga engga akan bosan pergi ke Bali (kayaknya). Yuk, ke Bali. #eaaa

Saya sempat merasa bersalah ketika mengiyakan ajakan ke Bali karena saya merasa punya tanggungan tesis dan idealnya saya segera pulang ke Jogja. Hanya saja, Allah sudah menggariskan kepergian saya (ke Bali, bukan ke rahmatullah) karena ada sedikit permasalahan ‘teknis’ dengan dosen pembimbing tesis. Saya hampir tidak bisa mengingat kapan terakhir kali berlibur sama ayah, karena yeah~ I have to admit that I’m not member of keluarga inti. Sedih ya bok, mau pergi sama ayahnya aja kudu nyari waktu yang pas dan itu susah banget. Adik saya lalu mengingatkan bahwa sebelum ini, keluarga kami (ayah, istrinya, saya, dan tiga adik) pernah ke Bali dengan mobil sedan Estillo pada saat saya masih SMP. Waktu itu adik bungsu saya masih bisa saya pangku, sekarang mah jangan tanya, kalau saya jemput dia pakai sepeda motor aja saya bisa menggos-menggos. That time my dad’ financial was good enough. We stayed at a good hotel. Pokoknya gitu deh. Butuh belasan tahun untuk mengulang momen itu, that’s why I said okay and go with them. 

Namun sekali lagi saya harus menggarisbawahi sebuah kesan yang saya rasakan. Mungkin sister bisa bilang saya sensitif, but if you’re in my shoes, you will feel the same. Adik saya yang laki-laki yang baru lulus SMA sudah bisa menyetir mobil dari Probolinggo hingga Banyuwangi. Adik saya yang perempuan, meski belum bisa menyetir mobil manual, tapi dia biasa mengemudikan mobil matic yang ada di Malang. Saya? Belum bisa menyetir. Dan kesalahan ini saya ‘timpakan’ kepada ayah saya because he never teach me. Saya ikut kursus menyetir, iya. Saya pernah menyetir mobil berkali-kali tapi tidak pernah lancar dan pede. Tapi semua keluarga paling tidak pernah bertanya sekali, mengapa saya tidak ‘mewarisi’ keahlian ayah saya dalam menyetir? It’s simple. My dad never teach me to drive. 

It’s one silly example but it reminds me of one thing. 

Friday, July 22, 2016

Tabungan Akhirat

Alhamdulillah, sudah lebih dari setahun saya bergabung dengan KUTUB (Komunitas Tahajud Berantai). Mungkin sister bisa baca cerita awalnya disini. Dulu saya tidak berpikir bahwa saya akan bertahan lama di KUTUB. Kadang masih terasa aneh sih, harus laporan sesudah sholat. Tapi beneran membantu konsistensi lho, meskipun ada faktor ‘kalau engga sholat, bakalan malu sama teman-teman segrup.’ Hahaha. 

Selain itu, Ramadhan yang lalu juga jadi momentum saya untuk memperbanyak ibadah. Jadi beberapa minggu sebelum Ramadhan, I was challenged by a good friend of mine. Jilbaber syar’i gitu. Kalau saya main ke kosnya, dia pasti lagi ngaji sementara saya baca novel atau nonton film di laptop. Lama-lama dalam hati ngerasa sungkan sama dia, kok dia udah latian aja sementara Ramadhan kan masih lama. Oya, sebelumnya saya belum pernah khatam Al-Qur’an dalam satu bulan Ramadhan ya. Terus saya cek Al-Qur’an saya, kurang berapa juz sebelum mulai juz 1 lagi. Aduh, kok masih banyak pula. Sementara biasanya kalau mau program mengkhatamkan Al-Qur’an selama Ramadhan itu, baiknya dimulai dari juz 1. Jadilah saya ngebut khatamin tanggungan saya itu. 

And then, bulan Ramadhan kemarin alhamdulillah saya bisa khatam dalam waktu 20 hari. Pas tanya ke ayah, beliau khatam dua kali! Bahkan ada teman ayah yang khatam lima kali! MasyaAllah. Yang bikin saya agak tertohok, ayah bilang “kamu sih enak, bacaannya sudah bagus. Coba berapa lama yang kamu butuhkan untuk menyelesaikan satu juz? Ayah kan bacanya pelan-pelan.” Yes, honestly I only need around one hour to finish one juz.

Namun, saya sempat tiba-tiba berpikir kemarin, ‘ngapain sih ngebut baca banyak-banyak gitu kalau pada akhirnya ‘engga mendapatkan apa-apa.’’ Hampir sama nih, dengan jungkir balik tahajud tiap hari kalau belum sesuai dengan tuntunan dan khusyu’ pun masih jauh karena lebih sering liyer-liyer pas udah rakaat ke-berapa gitu. Will it be worthy?

Wallahu a’lam. Tapi izinkan saya membela diri. Saya percaya betapa sedikitpun amal yang manusia lakukan, insyaAllah tetap akan dihitung dan dilipatgandakan oleh Allah.

Disamping itu, saya meyakini kalau pada dasarnya manusia itu makhluk pembelajar. Kalau sudah bisa baca Al-Qur’an beberapa ayat setiap hari, perlahan akan terdorong untuk meningkatkannya semakin banyak lagi. Sesudah itu, memperbaiki bacaan, membaca terjemahan, dan syukur-syukur kalau bisa hafal. (Meskipun ada juga faktor hidayah, tapi sekali lagi saya juga percaya bahwa hidayah itu harus dikejar dan diusahakan) Sayang sekali target Ramadhan kemarin untuk ikut les baca Al-Qur’an (supaya semakin merdu) tidak tercapai karena terlambat daftar. 

Anyway, saya pernah ngobrol serius sama adik sepupu saya. Intinya adalah dia maunya beribadah dengan rutin nanti saja kalau sudah lebih tua.. Saya pun teringat omongan ayah saya lagi. “Nduk, kamu itu enak, dari kecil udah ngerti sholat, sekarang udah sebesar ini alhamdulillah ibadah sunnah udah rutin. Ayah ini baru mulai (ngerti agama) umur 50an.. Kalau ayah dipanggil Allah umur 60an, cuma punya tabungan 10 tahun. Kamu pasti tabungannya lebih banyak daripada ayah.”

Itu dia! Tabungan! 

Berapa banyak dari manusia yang getol menabung dan berinvestasi sana-sini untuk masa depan yang lebih terjamin, tapi melupakan kehidupan sesudah mati? 

Sebagaimana saya yang waktu masuk S1 membuka tabungan pendidikan yang saya ambil ketika lulus (tadinya buat persiapan S2 sih..), saya pun harus membuat tabungan akhirat sebanyak-banyaknya! Nanti, pada hari penarikan tabungan a.k.a hari perhitungan, tentulah saya akan menyesal jika mendapati tabungan amal yang sedikit jumlahnya. Apalagi saya tidak bisa kembali lagi ke dunia untuk menambal tabungan tersebut, kan?

Jangan pernah tinggalkan sholat karena ada jutaan manusia di dalam kubur yang ingin dihidupkan kembali hanya untuk bersujud kepada Allah.

Memang saya tidak bisa menjamin bisa terus beribadah seperti ini sampai akhir menutup mata. Mungkin suatu hari kesibukan saya akan membuat saya kesulitan untuk mengerjakan ibadah sunnah, misalnya sebagai ibu yang harus menjaga dan mengasuh anak. Namun sebenarnya, saya pun masih terganjal beberapa hal seperti kekhusyukan sholat, membaca Al-Qur’an dengan lebih tartil dan memahami maknanya, serta niat puasa yang masih engga jelas. Semoga saya diberi kesempatan untuk memperbaikinya sesegera mungkin. Kadang iman juga masih naik-turun, kadang suka malas bangun padahal mata udah melek di sepertiga malam terakhir. Makanya 'obatnya' adalah memperbanyak baca doa: 

"Rabbana la tuzigh qulubana ba'da idz-hadaitana wa hablana min ladunka rahmah, innaka antal wahhab."
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami & karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisiMu, Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi."
Buat sister yang sedang berjuang dalam ibadahnya, semangat ya! Mudah-mudahan kita bisa terus istiqomah dan masuk di dalam barisan Rasulullah di padang mahsyar. 

Salam,
Prima

Thursday, July 21, 2016

Drama Awkarin dan Generasi Muda Masa Kini

Akhirnya gue nulis tentang ini juga karena gue prihatin sama generasi muda masa kini. Tadinya gue ga sengaja ngeliat nama awkarin di timeline Twitter gue. Secara malam ini gue ada Twittalk sama @SurabayaYouth ngomongin blogging, gue jadi kudu nge-tweet satu-dua tweet dan merhatiin Twitter biar ga gagap sama apa yang lagi jadi trending topic. And then, banyak yang menyebut nama awkarin dan semacam histeris gitu. Gue jadi agak ragu sama following gue dan merencanakan unfollow orang-orang yang ‘ga jelas’, abis sekarang timeline Twitter gue jadi kayak infotainment. Tapi itu ntar aja, sesudah gue unfriend orang-orang alay di Facebook. Duh kerjaan ‘bersih-bersih’ medsos gue banyak banget yak. 

Nah gue juga pada dasarnya kan pembantu dekan Akademi Kepoisme Indonesia (rektornya Cibilicious dan dekannya Titasya – siapakah mereka, pokoknya kalau lo mau tau hosip terbaru paling uptodate, tanya aja ke mereka #lah), jadi akhirnya gue menelusuri siapa si awkarin ini. Pikir gue seenggaknya bisa jadi bahan tulisan, kalau ga di media tempat gue kerja, ya disini. Ini jadinya ngajakin kepo berjamaah ya, apa kabar pahala puasa Syawal gue. Hiks. Tapi gue mau lo-lo pada ngambil pelajaran aja. 

Awkarin ini secara garis besar kreatif. Representasi anak gaul Instagram yang mikir abis gimana caranya bikin Instagram-nya keren, and I have to admit she does it well. Ternyata dese anak YouTube dan ask.fm juga tapi pas gue ikutin di ask.fm-nya gue pusing karena gue ga ngerti apa yang dia omongin. Gatau apa ini faktor usia atau gue keponya kurang lama (baru dua hari, ada temen yang udah kepoin dia dari tahun 2014, masyaAllah itu kepo atau S2 #yaelah). 

Intinya adalah si awkarin ini #goals anak muda jaman sekarang. Dan gue ga tau kerennya dia dimanaaa – atau jangan jangan gue sirik nih? Okelah keeksisan dia di Instagram dan YouTube bikin dia udah punya penghasilan berjuta-juta, katanya sih udah punya rumah dan mobil mewah pula. Ah gue cuma butiran upil dibandingkan dia. Tapi terus pas gue tanya ke adik-adik gue yang relatif seumuran sama Karin, mereka cerita banyak hal tentang Karin dan rasanya gue pingin getok-getok meja saking keselnya. 

Wednesday, July 20, 2016

Surat untuk Anakku (2)

Assalamu’alaikum.

Hai anakku, apa kabar?

Tak terasa sudah hampir dua tahun berlalu sejak surat yang pertama, dan kita belum juga bertemu. Mungkin memang Allah merasa ibu belum pantas untuk mendampingimu, akan tetapi ibu juga mencapai banyak hal lain yang ingin ibu ceritakan kali ini. 

Saat ini, ibu sedang berada di Jawa Timur dalam waktu yang cukup lama. Beberapa waktu yang lalu, ibu sempat berdebat dengan nenek tante karena ibu tidak ingin pulang saat Lebaran. Tidak ada alasan khusus yang mendasari, ibu hanya sedikit bosan. Tadinya, ibu berencana untuk menjadi volunteer di desa terpencil. Tapi kalau hanya untuk seminggu-dua minggu rasanya waktunya kurang. Sehingga dengan bersungut-sungut, ibu tetap pulang ke rumah nenek. Tanpa pernah menyangka kalau liburan ini harus diperpanjang hingga berminggu-minggu berikutnya. 

Satu yang pasti, ibu bersyukur bisa ikut menemani tantemu dan ommu masuk universitas. Mengenang masa-masa dimana ibu pun pernah berjuang untuk mendapatkan titel sarjana. Dari sejak seleksi masuk hingga skripsi ibu bisa diakui di tingkat Asia saat ini. 

Oya, ibu sekarang sudah S2. You must be proud of me, like I will be proud of you no matter what. Dua tahun yang lalu, ibu masih bingung mau melanjutkan sekolah atau mencari tantangan pekerjaan yang lebih tinggi. Ibu masih sangat menyenangi pekerjaan ibu, tapi kamu tahu sendiri kan, nenek rewel sekali saat itu. Sembari menunggu kesempatan yang lebih baik, ternyata ibu menjadi finalis World Muslimah Award 2014. Ibu juga tidak pernah menyangka kok, dan meskipun ibu tidak mendapatkan hadiah apapun (setidaknya hingga detik ibu menulis surat ini), ibu tetap senang karena banyak pengalaman dan teman baru. Suatu hari nanti ibu akan mengajakmu ke Iran, berkenalan dengan Aunty Samaneh yang suaranya lantang sekali. Atau ke Trinidad Tobago, disana ada Aunty Naballah yang karir fashion blog-nya bisa disandingkan dengan Anastasia Siantar. 

Namun ibu harus membayar mahal untuk itu. Bos meminta ibu mengundurkan diri karena beliau mengira ibu akan semakin sibuk jika memenangkan kompetisi itu. Tidak, ibu tidak dendam sama sekali, justru berterimakasih pada beliau. Bagaimanapun juga, beliau mengajarkan banyak hal kepada ibu dan salah satunya adalah fokus mengejar impian meski harus keluar dari zona nyaman. 

Pengangguran, ibu lontang-lantung di Yogyakarta hingga ‘terpaksa’ mendaftar S2 di UGM. Iya betul, kamu tahu ibu punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Saat itu ibu juga mendaftar beasiswa di Brunei Darussalam, dibantu oleh Tante Fanny dan Om Danu. Tapi mungkin belum menjadi rezeki ibu, dan di kemudian hari, ibu malah mendapat beasiswa di Tokyo Foundation. Alhamdulillah, ibu tidak perlu menambah hutang pada nenek tante. 

Itulah hidup, nak. Kadang langkahmu terhenti di suatu waktu, karena Allah sedang menyimpan hal lain yang lebih besar untukmu. Bukannya ibu tidak ingin bertemu denganmu secepatnya, tentu ibu tetap mengusahakan hal itu. Hanya saja, Allah lebih tahu siapa yang akan menjadi ayahmu kelak. Kalau ibu maunya kamu punya nama titik titik bin Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al-Maktoum sih, cuma sampai sekarang ibu juga tidak tahu gimana cara mewujudkannya. Jadi ibu realistis saja deh, siapa tahu ayahmu tidak kalah keren darinya (dan sepertinya begitu, buktinya ibu mau ‘membuatmu’ dengannya). 

Tuesday, July 19, 2016

I Know That We are Different, That's Why We are Actually Same

Perkenalan pertama saya dengan perbedaan adalah ketika saya duduk di bangku TK. Suatu waktu, saya ikut mama saya ke rumah koleganya yang sedang merayakan natal. Sebenarnya kami tidak kesana untuk ikut perayaan natal, tapi tak ayal saya ikut mendapatkan hadiah: boneka Minnie Mouse dengan kostum natal lengkap dengan bando tanduk rusa. Dimana ya, boneka itu sekarang? Pulangnya saya bertanya kepada mama tentang perayaan natal. Rasa penasaran itu lebih didasari keinginan untuk memiliki my own christmas tree. Saya lupa jawaban mama waktu itu, I might be too little to understand and forget it fast. 

Selang beberapa waktu, saya berkenalan dengan anak dari teman ayah saya. Kalau tidak salah namanya Kristin. She was my only friend when I visit my dad in Banjarmasin, so sometimes I stay at her house. Setelah beberapa kali, saya baru sadar bahwa keluarganya menyediakan makanan yang berbeda untuk saya dan Kristin. Ibunya juga kerap membangunkan saya untuk sholat subuh, namun mereka tidak melakukannya. 

Kemudian saya masuk ke sekolah Islam dan ‘tiba-tiba’ saja semua terasa seragam. Selama tahun-tahun itu, saya jarang sekali melihat perbedaan. Secara saya sekolah full day dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore, dan sabtu ada kegiatan ekstrakurikuler, saya pikir waktu itu semua orang sama. Selain itu saya juga berpikir kalau Islam itu satu, ya Islam.

Baru ketika saya menginjakkan kaki di bangku SMP, saya mengenal Muhammadiyah dan NU. Lucu juga karena ada teman yang SD-nya di sekolah NU terus masuk SMP dan SMA Muhammadiyah. Dasarnya memang saya kritis, saya bertanya kepada mama apa bedanya Muhammadiyah dan NU. Apakah ada gerakan Islam yang lain, dan sebagainya. Oya, di sekolah juga diajarkan kok sejarah pergerakan Muhammadiyah so I was quite aware at that time, but don’t ask me now ‘cause I already forget it. Nonton film Sang Pencerah aja deh #lah

Pada penghujung SMP, saya mengikuti World Scout Jamboree di Thailand and it was my first interaction with the world. Saya akhirnya melihat sendiri perbedaan warna kulit, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya. Bukannya saya tidak tahu kalau Indonesia juga terdiri dari 17,000 pulau endebre endebre, tapi kalau begitu berada di situasi internasional kan beda gitu lhoh. Yang membuat saya syok saat itu bukan hanya problematika antar budaya dimana beda negara beda gaya penyelesaian konfliknya, tapi pada malam terakhir jambore, saya mendapat hadiah tak terlupakan dari seorang teman laki-laki berkebangsaan Inggris: a hug. Oh my God, I feel like I was a sinner.

Sejak saat itu, saya banyak mendapatkan pengalaman dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda-beda, and somehow that what inspired me making #differentisbeautiful label last year. Teman-teman yang paling dekat dengan saya saat ini bukan hanya yang islamnya serius banget, tapi banyak juga yang beragam keyakinannya dan tentu saja sudut pandangnya. 

Then why I think it is important to be discussed now? Karena kemarin saya baru menceramahi adik saya panjang lebar tentang indahnya perbedaan. Ceritanya adik saya ini kan lulusan pondok pesantren, terus waktu registrasi di kampus ketahuan sedikit berdebat tentang madzhab-madzhab gitu. Apalah saya ini pengetahuannya cetek sekali masalah begituan, tapi saya suruh dia duduk dan dengar penjelasan saya. Saya kesal kalau dia harus membuat perpecahan hanya karena masalah begitu doang, sementara kita ini hidup di negara yang majemuk dan saling membutuhkan satu sama lain.

Saya katakan kepadanya bahwa selama ini saya mampu mempertahankan persahabatan saya dengan mereka yang kristen, katolik, tak beragama, orang Korea, orang Inggris, orang Kamerun, orang India, orang Iran, dan seterusnya bukan dengan cara menyatakan perbedaan. I realize that we are different so then why we should sweat about it? Sekarang tujuan kita bersahabat, bekerjasama, berkolaborasi itu apa? Cari saja persamaan dari kita and we can work together. 

Saya hanya dapat mengandalkan hidayah dari Allah agar tidak tergerus pergaulan, tapi bahkan saya pun percaya dakwah itu bukannya yang memberikan garis pembatas antara saya dan kamu. Saya yang berhijab dan kamu yang tidak. Saya yang begini dan kamu yang begitu. Justru dakwah itu menengahi, membuat nyaman, mengizinkan mereka bertanya, dan memberikan suri teladan. Masalah hasil akhir itu kembali lagi ke hidayah dari Allah. 

Ekstrimnya saya sampai bilang ke adik saya, you can’t get married if you keep looking for differences. Lah gimana anak kembar yang sejak lahir udah kemana-mana bareng saja masih bisa berbeda, apalagi pasangan yang dibesarkan dengan pola asuh yang berbeda.

Saya jadi ingat Communication Accommodation Theory yang menyatakan, "When people interact they adjust their speech, their vocal patterns and their gestures, to accommodate to others." Teori ini tidak hanya berlaku pada situasi komunikasi antar budaya tapi juga antar pribadi. Misalnya sister ngomong sama adiknya sister yang masih SMP, pasti beda dengan sister ngomong sama orangtua. Why so? Karena sister punya tujuan yang berbeda saat berkomunikasi. Kalau sister ngomong sama adik, kepinginnya kelihatan kalau punya pengetahuan lebih banyak, nah ostomastis suara dan gestur juga berubah.  

Here goes the same way with communicating the differences. If you want the relationship long lasts, you will do ‘convergence’. Menyesuaikan dengan lawan bicara. Sebaliknya, kalau kamu ingin mencapai tujuan pribadi tertentu, kamu akan memperbedakan bagaimana kamu berkomunikasi dengan lawan bicaramu. 

Sooo~ di kehidupan nyata, ada banyak hal yang tidak perlu kamu sikapi dengan ketus dan sinis hanya karena perbedaan. You will soon understand that being majority doesn’t mean you can press others. Menarik melihat perbedaan yang semarak di Indonesia, seperti Gong Xi Fa Cai yang dirayakan sejak zaman Presiden Gus Dur. After all, “It is not our differences that divide us. It is our inability to recognize, accept, and celebrate those differences.” ― Audre Lorde 

Lots of love,
Prima

Monday, July 18, 2016

From Dolly With Love

Siapa bilang awal minggu bukan waktu yang tepat untuk ngomongin cinta? After all, you love your job so you keep going to the office although you have to get through the traffic jam. Atau sister ‘hanya’ bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, tetap kan artinya sister mencintai diri dan keluarga sister. Semangat bekerja ya! Karena ada dosa-dosa yang hanya bisa ‘ditebus’ dengan bekerja dan mencari nafkah.

Anyway, I love romance movies. I grew up with Just My Luck, Maid in Manhattan, 13 Going on 30, The Notebook, the list can be long. Lalu saya pikir kalau adegan romantis itu hanya terjadi di film karena ada penulis naskah dan sutradara yang pintar dan berpengalaman (atau sebaliknya, baperan).

Tapi bayangkan saja dua adegan ini. 

Sister lagi jenuh banget sama tugas kuliah, terus tiba-tiba kekasih sister telepon. He said he is already downstairs/in front of your house, and he just want some minutes of you. Meski kesal karena konsentrasi terganggu, sister turun dan menemukan dia sudah membawakan makanan kesukaan sister (dalam kasus saya, pizza). Karena bulan sedang bersinar dengan terangnya, he took you dancing in the moonlight! As if it couldn’t be more perfect, the dance soundtrack was Close To You by Carpenter which he sang himself. 

Adegan selanjutnya. Seseorang yang sister sayangi sedang berulangtahun, dan sister bela-belain pergi ke kota tempat dia bekerja. Lalu sister bersekongkol sama teman-temannya untuk membuat kejutan. Dia sih malu-malu, but at the end of the day, he look at you in the eyes and said, ‘terima kasih sudah membuatku bahagia.’

Those two scenes happened in my life, a very long time ago (yaaah, ketahuan deh kalau jomblonya udah akut).

Sunday, July 17, 2016

Menulis Itu...

Sebelum saya menulis tentang cinta-cintaan (lagi), rasanya ini waktu yang tepat untuk menulis tentang menulis. Sejak semakin banyak orang tahu saya bekerja untuk media online, semakin banyak juga yang mengutarakan keinginannya untuk belajar menulis ke saya. Setidaknya bertanya, gimana caranya menulis sesuatu yang menginspirasi, menggerakkan, atau apalah itu. Well, to be honest, saya tidak punya rahasianya. Seorang Ria Miranda pernah ditanya apakah ada suatu cara untuk membuat pakaian rancangannya menjadi booming, and she said she doesn’t know it! 

So I guess there is this one thing for sure: someone good in what she/he does doesn’t stop trying.

Tentu bakat bisa jadi sangat membantu. Misalnya Adele engga bakal jadi penyanyi setenar sekarang kalau suaranya seperti saya, walaupun jungkir balik les vokal sama Elfa Secioria (lah). 

Saya dulu belajar main piano dari umur enam sampai sebelas, but deep inside my heart I know it’s not something that I want to do for the rest of my life. Sebaliknya, saya punya teman yang di sela-sela kuliah kedokteran masih mampu main piano DAN belajar gitar DAN megang saxophone di band-nya. 

Ketika SD, saya sering mengikuti olimpiade matematika tapi ujung-ujungnya saya pikir ‘aduh, ngapain sih malu-maluin sekolah kalau kalah terus?’ Sementara teman kelompok belajar saya hanya perlu setengah dari waktu saya untuk bisa menguasai sebuah rumus. And there I was, cheering him below the stage ‘cause he always win.

Writing came naturally for me. Awalnya mama memberlakukan ‘tugas’ menulis buku harian agar bisa mengurangi hobi saya nonton TV. Dari buku harian, mama yang ibu bekerja dan ayah yang bekerja di luar kota bisa melihat perkembangan saya. And I liked it, beyond my piano course. Sebelum Rangga jadi idaman para perempuan karena puisinya, saya sudah lebih dulu melanglang buana dari satu lomba ke lomba yang lain untuk menulis dan membaca puisi. Saya bertemu dengan Taufik Ismail. Saya menerima piagam penghargaan dari Ibu Ainun Habibie. Semua karena menulis. 

Salah saya waktu itu, menulis itu bukan aktivitas yang keren. Teman-teman bilang saya cupu karena sering mojok di perpustakaan. Saya jadi bulan-bulanan di pelajaran olahraga karena tidak cekatan saat main kasti atau basket. I put myself too much in writing, not knowing that something is trending and followed by many cool kids.

And I want to be that cool kid. Maka ketika SMP saya masuk OSIS. Ikut klub bahasa Inggris. Nulis? Apa itu nulis? Padahal kalau dipikir-pikir sekarang, justru kesenangan saya akan menulis itu sangat membantu saya menjadi pemimpin yang baik. Bagaimana bisa saya menggerakkan massa (lebay...) kalau bukan lewat pidato yang saya tulis sendiri?

Long story short, you see me now. With this blog that have running for almost three years. Sebenarnya dulu saya punya tumblr dan menulis di blog lain sejak 2010. Jadi saya sudah menulis selama enam tahun. If someone said, you have to do 10,000 hours practice to have a specific skill, then I’m halfway to it. It took me my age to finally understand that writing is a skill that can be a blessing for myself and the entire universe. Jadi ingat Malala yang dapat Nobel Perdamaian karena berjuang mendapatkan pendidikan yang layak untuk perempuan di negaranya. She started it from a blog!

But I won’t tell you a lie. Tentu saja ada keringat, darah, dan air mata dibaliknya. Kalau Malala kembali jadi contoh, tahu kan bagaimana it almost costs her life just because she holds on to what she believes.

Hampir sama dengan balerina yang harus merelakan kakinya buruk rupa, atau gitaris yang jarinya bujel karena terus berlatih. Saya yakin Taylor Swift punya tim manicure kheuseus untuk menjaga kukunya tetap lentik. Kakinya aja diasuransikan senilai x milyar. #salahfokus


Pertama kali saya belajar menulis untuk ikut lomba, tangan saya sampai mati rasa karena zaman dulu kan belum ada komputer dan email. Saya menulis essay sepanjang delapan halaman folio bergaris, dan tulisan saya harus bagus. Now I am grateful for not giving up. Tapi waktu itu, huaaaaa, rasanya pingin lari ke lapangan. Biar deh jadi bully di tim kasti. Dear Ustadzah Tunik, I can not thank you enough for being truly patient to me.

Satu lagi. Never ever say that writing is just writing. Kerjaan kamu kan cuma menulis... Saya lempar kursi lho. Menulis itu engga ujug-ujug duduk, menulis, jadi tulisan. Menulis itu butuh banyak membaca. Dan yang saya bilang banyak itu buuuuuanyak beneran. You can’t write if you don’t read or observe. You have to know that what you write is based on fact. You need to see how public see this matter. 

You can’t write if you don’t listen. The voice inside your head. The real meaning of a conversation.

Last, you can’t write if you don’t have a reason. Ask yourself why it is important for you to write. Why it has to be this specific topic. Why it has to be now, not tomorrow or other days. Why you’re the one who has to write it, not somebody else. 

Bahkan ketika saya menulis untuk pekerjaan, saya tahu pasti alasan saya menulis artikel tersebut. 

Barangkali sama dengan Taylor Swift (#eaaa #lagilagi) yang menyanyi sebagai sarana curhat tentang pacar atau mantan pacarnya, but to make it as career she needs more than that. Kembali lagi ke awal blog post ini, that’s probably the reason I haven’t published a book yet. Latihan menulis saya belum sampai ke level menerbitkan buku. But just because I like it, and enjoy it, I will keep writing.

What about you?

Lots of love,
Prima

Tuesday, July 12, 2016

Love and Commitment

In my dad' 21 years of marriage, I learned that love gives strength in bad times while commitment gives limitation in good times.

When I tried to put myself in my stepmother' shoes, I was doubtful myself can handle it. We might not have lovely relationship like Ashanty-Aurel, but all I have for her is huge respect. She has proved that she is always be there for my dad. And even better because she doesn't like talking (yeah, unlike me), action really speak louder than words.

My dad's works have been upside down in ways no one can imagine. But there she is, stand still like a rock. My dad rarely share stories but when he does, he always complimented her. I almost wish to be like her, her patience and her understanding inspire me. Funny thing is, I also see romance is in the air whenever they are together. They laugh for jokes that I can’t comprehend. They talk about many things I don’t know (in my defense it’s because I don’t live with them). True that many problem arise and sometimes situation become a little bit intense. But at the end of the day, they seek for ways to forget and solve the problem together.  

I also have seen how my dad always prioritize family above everything. When he has something, it’s the kids who got more. His ‘extracurricular’ activities are go to mosque and recite Qur’an which I really grateful. To see him, I feel pity on husbands who cheat on their wives just because they have so-called a lot of money. You don’t know how it can break your wife’s heart in pieces, knowing that someone who is always in her prayer do that and still coming home like nothing happen.

Until some years ago, I still wonder why it’s not my mother who is beside my dad. Why it has to be somebody else. But perhaps, its’ just the way that Allah wants me to learn. Finally.   
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...