Alhamdulillah I am finally back in Jogja!
As I have written, sebelum libur Lebaran, awalnya tidak ada keinginan untuk mudik. Namun kemarin hampir saja tidak kembali ke Jogja karena jatuh cinta untuk kali kedua pada kota kelahiran. Halah. Bohong besar. Yang benar, ketika berada di Malang itu rasanya hidup enaaaaak banget. Bangun-kerja-nongkrong sama teman-tidur. Cuacanya oke, pas buat tidur sampai pagi #lhah
Surabaya juga seru sih, dari dulu juga udah banyak event seru, tapi sekarang semakin banyak lagi. Sayang banget saya tidak mengetahui event UN Habitat dari jauh hari. Kalau berkesempatan iku jadi volunteer atau peserta kan bisa sekalian cari
Anyway, saya sempat mengunjungi Bali selama dua hari mulai Senin sampai tadi pagi. Ceritanya saya mengantar adik saya yang masuk STAN dan penempatan di Denpasar. Berhubung saya memang cukup sering ke Bali, ayah mengandalkan saya untuk menjadi guide. Yang mencengangkan, ayah memutuskan bahwa kami berempat (ayah, saya, adik laki-laki, dan adik perempuan) akan melintasi jalur darat alias bawa mobil *siapin koyo* Terakhir kali saya ke Bali dengan kereta Surabaya-Banyuwangi lanjut naik ferry dan bis ke Denpasar itu tahun 2013. Setelah dihitung-hitung, lebih efisien pergi ke Bali dengan pesawat sehingga saya ogah backpacking lagi di tahun-tahun berikutnya. Cuma karena mobilnya juga punya sendiri, berempat pula, jatuhnya lebih murah sooo kami berangkat hari minggu sore. Jangan bilang saya engga ngapa-ngapain karena saya tidak bisa menyetir. Saya jadi ‘kernet’ bok, dan baru bisa tidur selama 2 jam saat perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar.
But this time I won’t tell you about Bali. *penonton kecewa* Udah sering lah saya cerita tentang Bali, engga bosan? Apa? Engga? Saya juga engga akan bosan pergi ke Bali (kayaknya). Yuk, ke Bali. #eaaa
Saya sempat merasa bersalah ketika mengiyakan ajakan ke Bali karena saya merasa punya tanggungan tesis dan idealnya saya segera pulang ke Jogja. Hanya saja, Allah sudah menggariskan kepergian saya (ke Bali, bukan ke rahmatullah) karena ada sedikit permasalahan ‘teknis’ dengan dosen pembimbing tesis. Saya hampir tidak bisa mengingat kapan terakhir kali berlibur sama ayah, karena yeah~ I have to admit that I’m not member of keluarga inti. Sedih ya bok, mau pergi sama ayahnya aja kudu nyari waktu yang pas dan itu susah banget. Adik saya lalu mengingatkan bahwa sebelum ini, keluarga kami (ayah, istrinya, saya, dan tiga adik) pernah ke Bali dengan mobil sedan Estillo pada saat saya masih SMP. Waktu itu adik bungsu saya masih bisa saya pangku, sekarang mah jangan tanya, kalau saya jemput dia pakai sepeda motor aja saya bisa menggos-menggos. That time my dad’ financial was good enough. We stayed at a good hotel. Pokoknya gitu deh. Butuh belasan tahun untuk mengulang momen itu, that’s why I said okay and go with them.
Namun sekali lagi saya harus menggarisbawahi sebuah kesan yang saya rasakan. Mungkin sister bisa bilang saya sensitif, but if you’re in my shoes, you will feel the same. Adik saya yang laki-laki yang baru lulus SMA sudah bisa menyetir mobil dari Probolinggo hingga Banyuwangi. Adik saya yang perempuan, meski belum bisa menyetir mobil manual, tapi dia biasa mengemudikan mobil matic yang ada di Malang. Saya? Belum bisa menyetir. Dan kesalahan ini saya ‘timpakan’ kepada ayah saya because he never teach me. Saya ikut kursus menyetir, iya. Saya pernah menyetir mobil berkali-kali tapi tidak pernah lancar dan pede. Tapi semua keluarga paling tidak pernah bertanya sekali, mengapa saya tidak ‘mewarisi’ keahlian ayah saya dalam menyetir? It’s simple. My dad never teach me to drive.
It’s one silly example but it reminds me of one thing.
Beberapa hari yang lalu, saya, mama, dan adik saya yang satunya bersilaturrahim ke rumah pakde yang seorang dokter kandungan. Setelah sholat maghrib, pakde mendapat telepon untuk memimpin operasi caesar. Tiba-tiba pakde menoleh kepada saya dan bertanya, ‘mau lihat?’ ‘Apa, Pakde?’ ‘Operasi.’ ‘Operasi apa, Pakde?’ ‘Ya operasi caesar.’ Ha? Saya memang agak lemot karena kekenyangan, tapi ini caesar lho. Orang.melahirkan.caesar. Never in my mind I think of seeing a labor process right in front of my eyes. Saya pun tidak pernah memikirkan proses saya melahirkan nanti, soalnya kan ‘kejadiannya dibawah sana’. Lagipula saya bakal fokus sama mengejan dan rasa sakit, ngapain juga pakai mikir ‘eh sekarang prosesnya udah sampai mana?’ Gila lu ndro.
Jadi si ibu ini sudah bukaan lima, indikasi awal kelahiran bisa normal tapi ibunya sudah tidak tahan sama rasa sakit. Sebelum masuk ke ruang operasi, saya sempat mendengar ibu ini menjerit kesakitan (hasyemmm). Tangannya berontak dan mencakari para perawat yang ada di ruang operasi. Dokter spesialis anestesi didatangkan untuk ‘menjinakkan’ ibu ini.
Dokter, ‘Bu, tenang sedikit Bu. Ini kalau jarumnya patah di dalam tubuh Ibu, nanti repot lho Bu.’
*kabur*
Sayangnya sebelum saya sempat kabur, pakde saya menarik tangan saya dan memakaikan baju khusus-masker-penutup kepala. And then, there I was. Saya sedikit bisa bercermin di kaca ruang operasi, wondering will I ever be in this woman’s position? Saya juga sempat-sempatnya mikir, ‘ini kalau aku pingsan, malu-maluin dong ya.’ Hahahahaha.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Saya sudah berdiri dengan (pura-pura) tenang, tepat di depan kaki si ibu. Iya jadi saya bisa melihat sejak awal proses ketika ada semacam solder (?) ‘membelah’ perut sang ibu dan mengeluarkan asap (?). Darah pun mulai dihisap oleh sebuah alat, lalu pakde saya memasukkan tangannya untuk meraba-raba, dan voila, seorang bayi lelaki diambil, di-cengkiwing (ada yang tahu bahasa Indonesia-nya?), lalu diletakkan di perut bagian bawah sang ibu. Si bayi yang kelihatannya sangat aktif itu langsung menggapai langit hingga mencengkeram selang yang sedianya digunakan untuk menyedot air ketuban dari hidung dan mulutnya.
After then, I heard he cried for the first time. And I cried too. It was one of the most beautiful thing that I ever seen in my whole life and even words can’t explain. Pakde memotong ari-arinya, memperlihatkan si bayi kepada ibunya, dan memberikannya kepada perawat untuk dimandikan. Tahap terakhir, ketika Pakde ‘merapikan’ isi perut si ibu dan menjahit bekas operasi. Semua proses operasi caesar ini selesai dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Dan ternyata saya bisa bertahan hingga akhir operasi, hanya sedikit pusing saja karena bau obat-obatan yang menyengat.
Setelah keluar dari ruang operasi, kami sempat menengok si bayi lagi yang menjulurkan lidah, mungkin kehausan menunggu tetes air susu pertama. I whisper a pray for him to be a boy who makes his mother happy and goes to jannah, for her battle to deliver baby to earth.
Keharuan tidak berhenti disitu karena ketika kami menemui keluarga si ibu, sang nenek memeluk saya sambil menangis. It’s not her first grandchildren though, kelahiran cucu pertamanya juga ditangani oleh pakde saya beberapa tahun yang lalu. I can see how proud my uncle was. Later that night, he said that moment like this reminds him to be humble and down to earth because what he does is nothing but to put happiness in people’s face.
Sebelum kami kembali ke rumah pakde, pakde menyempatkan untuk menengok seorang ibu hamil yang sudah bukaan lima. That woman stay cool, padahal perutnya udah bergaris-garis (?) dan kata pakde memang bayinya sudah waktunya lahir. Tapi si ibu mencoba bertahan, pakde pun menyemangatinya untuk berjuang melahirkan secara normal. Oya disini saya tidak ingin menciptakan perdebatan antara ibu-ibu yang melahirkan normal atau caesar. Buat saya pribadi, ‘kekurangan’ operasi caesar ‘hanya’ terletak pada biayanya yang bisa 3-4 kali lipat. Tadi siang saya menjemput tante dari rumah sakit dan sempat ngecek kalau biaya operasi caesar minimal 16 juta. Rumah sakit elit juga sih. Pada akhirnya, latar belakang pilihan melahirkan itu beragam. Pakde saya hanya berpesan tidak boleh memaksakan diri karena obgyn yang baik akan memprioritaskan keselamatan keduanya diatas biaya, prestise, dan lain-lain. After all, you are a mother no matter how you deliver your baby. *kisses to all mothers*
Kembali ke cerita saya dengan ayah. Hvft, sabar ya ceritanya masih panjang.
Melihat ayah saya yang sangat akrab dengan adik saya, mengajarinya banyak hal sepanjang perjalanan dari Gresik ke Denpasar.....it makes me miss my mom.
Mama saya juga melahirkan saya dengan proses caesar, jadi engga pengaruh ya. Anak yang lahir caesar dan engga ASI eksklusif aja bisa jadi Miss World Muslimah (ah elah). Yaudah sik, bukan masalah itunya tapi banyak faktor lain. Waktu malam itu, sesudah melihat operasi caesar, I pay higher respect to my mom. I love her SO MUCH. Although I don’t always show it in the way she wants me to, and vice versa, you don’t have to question it.
Nah, sudah bukan rahasia lagi kalau saya selalu bersama mama saya dalam sebagian besar hidup saya. Suatu hari di masa kecil saya, saya tiba-tiba berubah dari si putri manja (karena anak tunggal dan punya pembantu+sopir dan cucu pertama dan pokoknya semua keinginan selalu dipenuhi) jadi anak yang mendadak dewasa. It was just like another normal morning, my mom drove me to school. Lalu mama meminggirkan mobil, dan pingsan! Saya menangis tapi masih cukup sadar untuk mencari bantuan. Orang baik ini mengantar mama ke kantornya dan mama ‘cuma’ mengidap tekanan darah rendah. Kejadiannya ada di ujung jalan Jemursari Surabaya, disitu ada penjual kambing untuk aqiqah/idul adha. Nah orang baik itu adalah si bapak penjual kambing. Barakallah Pak.
Saat itu saya hanya bisa bilang sama Allah, kalau mama masih terbangun, saya berjanji akan membantu mama sebisanya. Memang saya belum bisa menyetir mobil, dan hingga sekarang masih belum bisa (maaf ya Ma), tapi keesokan harinya saya langsung menyiapkan semua keperluan sekolah sendiri.
So if you ask why I can be this strong and independent, I owe it to my mom. All this life is not always easy and simple, and I still owe it to my mom. For her fighting spirit. For her battle for me and my sister. For she always said ‘engga, mama engga apa-apa. Kamu sekolah aja yang bener.’ For she (most of the time) proud of me with all things I can do and cannot.
Everything I am now, I owe it to my mom. Kalau dulu beliau menyerah dan gimana caranya saya tidak lahir ke dunia ini, you will not read this blog. And for everything that she has done, she never ask me to pay it back to her. She just asked me to chase my own happiness and move forward.
Last but not least, I know that nobody perfect. Mungkin sedikit klise kalau saya bilang tentang perempuan-perempuan yang menelantarkan anaknya. We never know why they do it. Tapi betul setelah saya melihat proses kelahiran caesar, saya jadi sering mengingatkan diri sendiri. One day, when I become a mother, I should have reminded myself that I’m the one took this choice. To have a baby. To settle down. No matter how much I will give to my kids, they owe me nothing. Just like my mom, I’d say, ‘go, discover the world, and when you tired, I will always be here waiting for you to come home.’
For all the mothers (and mothers-to-be),
Prima
first of all .. really nice to read this, good work prima
ReplyDeleteand the second one .. gue kagak gila .. kenapa sih semua orang pada demen amat bilang "gile lu ndro" padahal gue mah kagak gila ..
Maaas!!!!! Aku tidak menduga kamu akan baca karena ini kan panjang banget! Malu ah *tutup muka* Makasih ya, anyway itu masalahnya 'gile lu ndro' enak aja diomongin apalagi kalau diteriakin dengan sepenuh hati. Eh tapi situ yakin kagak gila? :p
Deletekombinasi antara lagi bosan-butuh bacaan-gak sengaja lihat postingan di sosmed, yawis woco wae.
ReplyDeletegila sih sama sepedaan doang tapi
oh gitu.. sering-sering bosan ya mas, biar sering mampir ke blog ini :))
ReplyDelete*berkaca-kaca*
ReplyDeleteHalo Kak Prima Dita :) Dari dulu suka sekali dengan tulisan-tulisan dalam blognya, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tinggal di jogja, salah satunya siapatau bisa bertemu dengan kak Prima. Hehe. Semoga kapan-kapan bisa meet up dan sharing ya, kak.
ReplyDeleteAku Nina :) Salam kenal, kak.