Showing posts with label #ThePrimTrip. Show all posts
Showing posts with label #ThePrimTrip. Show all posts

Saturday, January 4, 2020

Book Review: Traveling Aja Dulu! - Olivia Dianina


Website Traveling Aja Dulu!: https://www.travelingajadulu.com/

It’s funny to see the way universe works to make your dream comes true. Ketika saya menerima buku Traveling Aja Dulu! dari Olivia Dianina, saya punya banyak pemikiran skeptis di benak saya. Sudah lima tahun sejak terakhir kali saya menjejak terminal keberangkatan internasional di bandara. Paspor saya yang hampir memasuki masa kadaluwarsa tergeletak menyedihkan di dalam sebuah tas bersamaan dengan dokumen-dokumen berharga lainnya. Sebentar lagi saya harus bersiap untuk membuat paspor baru meskipun juga belum tahu hendak kemana, kapan, dengan siapa, berbuat apa, dan sebagainya.

Satu bulan kemudian, saya duduk di seat 38B pesawat KLM menuju Singapura. Untuk merayakan tahun baru bersama bos dan rekan kerja (yang baru). 

As crazy and cliche as it sounds, dream CAN comes true. 

Satu hal yang membuat saya semakin merinding saat menuliskan blog post ini adalah, untuk melakukan perjalanan ke Singapura kemarin, saya tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali! Sebagaimana cerita Olivia yang kebanyakan perjalanannya di-cover oleh studi dan pekerjaan, saya jadi semakin yakin untuk bermimpi, bermimpi, bermimpi setinggi mungkin - dan izinkan Tuhan membimbing kita menuju jalan untuk mewujudkan mimpi tersebut. 

Saya mengenal Olivia di sebuah event bertajuk Nomads for Change di Ubud. Sejak pertama berjabat tangan, saya tahu kami akan berteman baik. Sosoknya yang inspiratif, penuh semangat dan optimisme, membuat saya betah berlama-lama berdiskusi dengannya. Dari mulai gelora asmara yang jenaka, hingga isu-isu sosial yang membuat hidup lebih bermakna. 

Maka saya berbangga ketika ia memilih saya untuk membaca bukunya yang memuat segala pengalaman traveling-nya. Belakangan saya tahu dari buku ini, bahwa Olivia mendapatkan empat beasiswa luar negeri dari mulai kuliah kuliah S-2 di Australia, hingga kursus tentang kebudayaan dan lingkungan di Jepang. Dengan demikian, apa yang ia bagikan di buku ini lebih dari sekadar tentang senang-senang. 

Itulah sebabnya saya memilih jalur edukasi sebagai kendaraan awal agar bisa traveling ke luar negeri. Dengan jalur itu, saya tidak perlu keluar modal besar dan bisa sejalan dengan harapan orangtua. Bonusnya, saya bisa ikut kegiatan yang akan membantu karier saya di masa depan. Berkat konferensi-lah saya bisa traveling ke luar negeri untuk pertama kali. 

Gara-gara baca buku ini, saya jadi ingat kalau pertama kali saya ke luar negeri juga bukan karena jalan-jalan semata. Tahun 2002, saya mengikuti World Scout Jamboree di Thailand, mewakili Provinsi Jawa Timur. Sepulang dari sana, saya ikut tour group untuk menyambangi Kuala Lumpur dan Singapura. Baru 16 tahun kemudian, saya bisa mengunjungi Singapura lagi (kalau Kuala Lumpur terakhir tahun 2014). 

Thursday, December 29, 2016

Liburan Akhir Tahun di Bali? Pertimbangkan Ulang Kalau Mau ke Bali Zoo

 
Alkisah saya mau kasih judul “engga usah ke Bali Zoo daripada buang-buang uang” tapi kok terlalu provokatif ya. Lagipula pada dasarnya saya tetap menikmati Bali Zoo kok. Cuma.....begini ceritanya. 

Hari Jum’at tanggal 25 November, penerbangan saya dari Bali ke Yogyakarta dijadwalkan pukul 18.00, jadi saya masih punya waktu untuk mengunjungi satu tempat di pagi hari. Tadinya saya pingin kerja di Little Talks Ubud, punya Kak Erma dan Bli Gustra. Tapi yaaa, masa Ubud lagi, Ubud lagi. No I will not feel bored to visit Ubud for million times, masalahnya agak bingung kalau ngojek ke Ubud itu lumayan jauh ye kan. Galau antara mau kemana, masa udah sampai Bali engga kemana-mana (((engga kemana-mana))). Malamnya saya browsing dan tanya ke teman-teman orang Bali tentang Bali Safari Marine Park. Saya juga sempat mempertimbangkan Bali Bird Park tapi kok kayaknya isinya cuma burung (oh ya, ada reptil juga), sementara saya sendiri memang suka banget mengunjungi kebun binatang #guiltypleasure  

Kebanyakan teman bilang mendingan ke Bali Safari, hanya saja masalah berikutnya ada di keterbatasan waktu. Takutnya keasyikan di Bali Safari terus lupa pulang, hehehe. Kemudian saya melihat di Twitter Bali Zoo lagi ada promo mahasiswa/pelajar Rp 98ribu untuk berdua, wow murah anet. Saya telepon ke Customer Service untuk menanyakan apa harus mahasiswa/pelajar Bali, katanya sih engga, mahasiswa mana aja boleh. Ternyata saya lihat lagi belakangan, sudah ada tulisannya hanya berlaku untuk mahasiswa/pelajar Bali. Sayangnya adik saya yang sedang kuliah di Politeknik STAN Denpasar engga bisa pergi karena ada kelas (“dik, mbok bolos aja... mosok tega kamu sama mbakmu...”). Alhamdulillah Andina Titra, salah satu penulis Trivia yang juga tim saya, sedang luang. Jadilah saya ngajakin dia, sekalian berkenalan lebih jauh dan mengevaluasi pekerjaan kami #ujungujungnyakerja

Sebelum masuk ke pengalaman saya, dibawah ini saya sadur beberapa review dari para blogger yang sudah pernah ke Bali Zoo. 

We loved Bali Zoo so much and would recommend this place to be listed on your Bali with Kids itinerary. – Tesyas Blog [November, 2012]

Di Bali Zoo, kita akan disuguhi beragam hewan yang sebetulnya sama saja dengan Kebun Binatang Ragunan atau Kebun Binatang Bandung. – The Alvianto [Mei, 2015] 

Kalo dari kami sih, untuk yang budgetnya terbatas, boleh lah ke Bali Zoo tapi bawa lunch sendiri aja. Itu kan areanya ga gitu besar, jadi bisa keluar dulu, makan di mobil terus masuk lagi kalo mau — walaupun kyy sih setengah hari juga udah selesai. – Smell Like Home [Maret, 2016]

Ada kesamaan dari ketiga blogger diatas, yaitu semuanya ibu-ibu beranak, yang mungkin review-nya itu sangat bergantung pada pengalaman anak-anak mereka. Sementara saya, jangankan anak, partner beranak aja belum ada. Terpaksa deh ngajak coworker. Hadeh, miris amat yak. *lalu pelukan sama Andin*

Saturday, December 3, 2016

Pengalaman Menginap di Hotel 'Angker' di Bali

 
 
 

Allahu akbar, sudah Desember!!!
November kemarin saya hanya menulis.....1 post. Keterlaluan sekaleee, padahal di sisi lain, saya juga tidak menulis satupun post di ZettaMedia. Tesis? Jangan tanya! :(((

Kadang saya merasa, “sebenarnya seharian aku tuh ngapain aja?” Banyak sih yang dikerjakan, tiba-tiba saja sudah malam dan kelelahan. Secara spesifik, dua minggu yang lalu, saya berjibaku dengan evaluasi pekerjaan – tanpa terasa saya sudah 10 bulan kembali bekerja full time. Woohoo. Lalu saya (dan seantero staf kantor) mengadakan annual meeting di Bali. Woohoo kedua.

Luar biasa ya, zaman sekarang ini namanya pekerjaan bisa remote dan tidak harus dilakukan di kantor yang sama. Saya dari Jogja, manajemen dari Jakarta, dan divisi IT/Teknologi dari Surabaya bertemu di bandara. Saya tiba pertama kali, sambil celingukan karena di antara semua orang itu, hanya Gita, project manager, yang pernah saya temui. Sementara Kak Ollie sudah di Ubud. Untungnya saya tidak perlu pegang kertas bertuliskan “Zetta Media” karena mengenali mereka (atau mereka mengenali saya) cukup mudah. Cari saja yang berkaos ZettaMedia. #yaelah #pleasedeh

Anyway, even though every memory in Bali was really meaningful, tapi ada satu yang tidak akan terlupa. Yaitu...saya nginep di kamar bekas tempat kejadian orang bunuh diri.

Begini ceritanya.

Saturday, May 28, 2016

Happiness Project: Traveling vs House

Dua hari kelewat engga nulis Happiness Project lagi, tapi super alhamdulillah perasaan saya sudah jauuuh lebih baik. Yang namanya sh*t happens lah ya, namanya juga hidup. Tapi saya harus selalu ingat kalau badai pasti berlalu. Jadi engga usah dipikirin berat-berat, hidup tanpa cobaan itu bagaikan makan pizza tanpa topping keju #lhah #mentangmentanglagimakanpizza 

Satu pengumuman penting, setelah sekian lama engga bikin project, insyaAllah saya akan mengadakan #1Hari1BukuIslami selama bulan Ramadhan. Cara ‘main’-nya hampir sama kayak #1Hari1Masjid dulu, jadi kamu harus kirim tulisan + foto bukunya ke email saya: primadita1088 at gmail dot com dengan subject: #1Hari1BukuIslami. Nanti tulisanmu akan saya post di blog ini, dan saya link ke blogmu. Ada hadiah dari The Little Red Lady dan hadiah hiburan yang menanti. Jadi, segera daftarkan dirimu ya. Tentang buku islami, engga harus ada embel-embel islami dengan ayat-ayat Al-Qur’an kok. Yang penting ada nilai-nilai islami yang diekspos di buku tersebut. Nilai islami seperti apa? Banyak! Ketepatan waktu, berbakti pada orangtua, menjaga cinta tanpa khalwat hingga halal, dan sebagainya. Untuk format tulisannya, please read some samples here.

Anyway, tentang alasan saya bahagia dua hari ini agak sedikit berlawanan. Yang pertama, saya tiba-tiba rindu traveling karena kemarin ngebaca blog-nya The Bucket List Family. Keluarganya sedikit mengingatkan saya dengan keluarganya Irfan Bachdim, dengan bapak yang (mantan) pemain sepak bola dan ibu yang seksi abisss. Tapi bedanya, keluarga satu ini membawa kedua anaknya traveling alias berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Saya langsung mencelos, kapan terakhir kali traveling? Hiks. 

Kabar ‘buruk’-nya, kepergian saya ke Bali adalah Oktober tahun lalu. Memang sih saya sempat ke Malang di awal tahun, Jakarta di bulan Februari, dan Semarang bulan lalu; tapi buat saya itu bukan traveling #lhaterusapaprim

Kabar baiknya, meskipun ketiga kota tersebut engga masuk hitungan traveling ‘yang sebenarnya’ buat saya, saya juga harus bersyukur karena saya bisa traveling plus-plus. Seperti waktu saya ke Semarang, saya menjadi moderator untuk sebuah seminar bertajuk Boost Your Career to the World Stage yang diselenggarakan oleh Universitas Dian Nuswantoro. Bukan hanya bertemu dengan teman lama, Gigih dan Vega, saya juga ‘ditraktir’ menginap di AllStay Hotel yang bagus banget. Apalagi ketika tahu pembicaranya adalah Bu Janet DeNeefe dan Bu Niluh Djelantik, saya engga pakai mikir langsung setuju. Haha. 

Ki-ka: saya, Bu Niluh, Dewi (anak Bu Janet), Bu Janet

Nah, terus hubungannya dengan kebahagiaan apa? Because I love traveling so much, more when it gives me a meaningful experience. Saya rindu melakukan perjalanan tanpa ‘membawa beban’. Soalnya, sebagai mahasiswa S2, jelas gelar mahasiswa ini adalah ‘beban’ yang harus segera diletakkan a.k.a HARUS LULUS TEPAT WAKTU! Tapi kamu pasti pernah dengar peribahasa ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.’ Nah, saya sering bilang ke diri sendiri, ‘you are doing traveling, prima. To a destination called Master Degree.’ Mudah-mudahan periode bersakit-sakit ini segera selesai, jadi saya bisa merencanakan pergi ke Korea dengan hati (lebih) tenang.

Hal lainnya yang ingin saya share adalah, tadi siang saya nonton Charlie Luxton's Homes by the Sea di NatGeo People dan tambah mencelos. Sadly to say, I do dream of traveling around the world but I prefer to have a house. Engga harus besar mentereng kayak kastil, sebuah apartemen tipe studio pun bakal bikin saya happy. Nasib dari sononya memang anak rumahan banget. Bisa sih berhari-hari ‘tinggal’ di rumah orang atau hostel gitu, tapi engga ada yang mengalahkan perasaan being comfortable at home, right? Tapi sayapun seringnya kurang begitu happy di rumah orangtua soalnya engga punya privacy, hehe. Makanya saya pingin segera lulus S2 and have my own space. 

So, what is the moral story of my post today? Bahwa impian dan tujuan hidup bisa jadi alasan kebahagiaan. Tanpa impian, kamu bisa jadi luntang-lantung. Mau ngapain hari ini? Life has no meaning unless you have something to be chased. Saya percaya saya bisa mendapatkan keduanya: traveling dan tempat tinggal. Maybe it’s not today, but I will do my best to have them both. Dan selama proses mewujudkan keduanya, saya memutuskan untuk menjalaninya dengan bahagia. 

Kisses,
Prima

Thursday, February 18, 2016

Membuat Paspor di Kantor Imigrasi Malang

Alhamdulillah, paspor baru saya sudah di tangan ayah. Lho kok? Iya, soalnya waktu itu saya ga sempat ambil, jadi saya percayakan paspor saya diambilkan oleh ayah. Cuma ada sedikit masalah nih. Berhubung saya kadang melakukan perjalanan spontan, sekarang agak-agak repot karena beliau pasti tanya-tanya saya mau kemana, sama siapa, berbuat apa. Yolandaaa #eaaa

Sembari saya merencanakan bagaimana meminta paspor saya ke ayah saya (karena saya sedang menulis tesis dan tidak berpenghasilan tetap, beliau bakal tanya juga, “hah kamu mau ke luar negeri dapet duit dari mana?” Haha); saya ingin menceritakan proses pembuatan paspor yang saya jalani kemarin.

FYI, ini adalah paspor ketiga saya. ENGGA, SAYA GA SETAJIR ITU KOK. FYI kedua, paspor pertama saya cuma saya pakai satu kali saja, tapi itupun langsung tiga negara *ditiban pesawat karena congkak* Soalnya nih, paspor Indonesia cuma berlaku 5 (lima) tahun saja. Jadi, dengan frekuensi pergi keluar negeri yang cuma sekali setahun, pastinya bukunya ga akan penuh. Kecuali kalau saya travel blogger macem mas Ariev Rahman, atau fashion blogger macem Anastasia Siantar, atau desainer sekaliber Dian Pelangi; ya lain ceritanya. 
Tampak depan Kantor Imigrasi Malang. Pic from here.

Balik ke paspor saya. Kali ini saya memutuskan untuk bikin di Kantor Imigrasi Malang seperti paspor kedua dahulu. Selain karena saya ga punya banyak waktu saat liburan di Surabaya, ternyata saya punya teman dan saudara yang bekerja di Kantor Imigrasi Malang. Sekalian silaturrahim gitu maksudnya, hehehe. Setelah saya perhatikan, kedua kantor imigrasi di Surabaya memang kurang strategis lokasinya. Jauuuh banget dari rumah saya. Sedangkan kantor imigrasi di Malang masih bisa dijangkau dengan angkutan umum (letaknya dekat dengan terminal Arjosari) dan bahkan bisa jalan kaki dari rumah sakit tempat saya menunggui bude saya.

Saya juga mencoba membuat paspor secara online. Yang ada di bayangan saya sih, semuanya akan lebih cepat. Kalau dulu, saya harus ke kantor imigrasi tiga kali, dan kesemuanya harus pagi-pagi buta; saya pikir kali ini ga akan begitu. Ternyata, saya malah ngalamin bolak-balik karena saya ga punya printer di rumah. Tahapannya begini:

1. Melakukan proses pendaftaran disini 
2. Nge-print 'Bukti Pengantar ke Bank'
3. Melakukan pembayaran di BNI
4. Melakukan proses konfirmasi kedatangan lewat website, sebagaimana dipandu lewat email (dan ini beberapa kali gagal, kayaknya server-nya lagi down)
5. Nge-print 'Tanda Terima Permohonan', beserta 'Formulir Surat Perjalanan Republik Indonesia'-nya
6. Mendatangi kantor imigrasi untuk foto
7. Mengambil paspor, antara 3-4 hari sesudah foto

Iya sih, untuk pendaftar online ada antrian tersendiri, tapi rasanya sih ga terlalu jauh berbeda. Tapi yang pasti, sister harus bolak-balik nge-print. Berdasarkan pengalaman saya, BNI dan kantor imigrasi ga akan memproses aplikasi kita kalau hanya menunjukkan surat itu di handphone, harus ada bukti cetak

Disamping itu, yang berbeda kali ini, saya ga pakai akte kelahiran, tapi pakai ijazah S1. Tadinya saya sempat deg-degan karena waktu googling ada yang bilang ijazah S1 ga bisa dipakai karena tidak ada nama orang tua, tapi mungkin karena saya sudah pernah punya paspor jadi diloloskan. Kenapa saya ga pakai akte kelahiran? Soalnya akte saya ada di Surabaya sih, hihi. Buat sister yang mau aman, mending pakai akte kelahiran; dan buat yang sudah menikah, ada baiknya buku nikah juga dibawa – meski ga wajib kalau Kartu Keluarga dan KTP sister sudah di-update.

Biaya yang saya bayarkan adalah Rp. 360.000, sedangkan saya kurang tahu untuk paspor yang biasa. Oya, make sure kita bikin yang 48 halaman ya, soalnya yang 24 halaman hanya untuk tenaga kerja Indonesia. Waktu itu saya sempat dongkol ketika salah satu petugas kantor imigrasi bilang, “ya bikin yang 48 halaman mbak, jangan yang 24 (halaman), itu kan buat TKW. Mbak TKW?” Saya jawab aja, “wah kalaupun saya bukan TKW, saya kan wanita Pak. Lagi juga kenapa kalau TKW?” Sebenernya pingin saya lanjutin, 'halah Paaak, Bapak juga banyak duit karena kita punya banyak TKW yang bikin paspor', untung saya lagi kalem hari itu. Lol.

Satu yang bikin saya sedikit kaget, ternyata hampir semua orang yang datang dan mau memproses pembuatan paspor, harus memeriksakan berkas-berkasnya di ruang informasi. Saya bilang hampir karena saya ga tahu apa semua orang melewati proses itu, cuma sepertinya sih harus karena dengan demikian kita bisa dapat map untuk berkas-berkas kita [maap maap informasinya kurang jelas]. Sebagaimana yang dijelaskan oleh teman saya, proses pengecekan berkas adalah untuk menghindari adanya orang-orang yang sudah mengantri lama untuk pengajuan paspor, ternyata tidak membawa berkas-berkas yang dibutuhkan. Dan memang ada buuuanyak orang yang ga membawa berkas karena ga paham; meski ada juga yang setelah dijelaskan tetap ngeyel pingin bikin paspor hari itu juga. Saya ga tahu saya berharap ada petugas yang lebih sabar atau lebih tegas untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, hmmm. Saya juga sempat agak bingung karena saya harus mengisi ulang formulir pengajuan paspor, padahal saya membawa print-an formulir pengajuan online. Kata teman saya, saya ga seharusnya mengisi formulir lagi kok, mungkin petugasnya lelah, hvft.

Tapi yang jelas, saya senang mengurus paspor di Kantor Imigrasi Malang. Petugasnya helpful (lebih tepatnya teman saya..... lol) dan tempatnya nyaman (sayang lahan parkirnya terbatas – tapi ini juga terjadi di Surabaya sih). Kemarin waktu saya kesana, toiletnya sedang direnovasi. Tapi saya yakin sebentar lagi akan jadi lebih bagus. So, kalau saya nanti bikin paspor lagi lima tahun dari sekarang, I'll definitely be back to this office (sambil berharap saat itu sudah ada one day service :)).

For the love of traveling,
Prima

Thursday, February 4, 2016

Panduan Berwisata ke Batu (Bagian Dua)

 
 
 
 
 
 
 

Baca dulu dong, biar nyambung ;)

Sampai sekarang, saya masih ngerasa agak-agak 'lho kok bisa ya cepet gitu?' Padahal percayalah, saya menikmati setiap tempat dengan tenang. Memang sih saya ga nyobain semua atraksi atau wahana yang tersedia, apalagi saya juga ga begitu suka main. Tapi saya juga ga jalan cepet-cepet gitu, normal dan wajar layaknya wisatawan yang sedang berlibur deh pokoknya. Dari pengalaman saya, ada beberapa hal yang perlu sister perhatikan:

1. Museum Tubuh IS worth to visit
Meski saya datang di hari kerja, ternyata cukup banyak rombongan yang kesana, kebanyakan dari sekolah kesehatan. Mbak-mbak/mas-mas guide-nya pinter dan ramah; terus tempatnya cocok banget untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan rasa sayang sama tubuh sendiri. Hayuk ah prim, lebih rajin lagi untuk jaga kesehatan. Oya, sebenarnya alat peraganya banyak yang kelihatan 'murah', tapi karena pengelolanya sudah terpercaya, jadi keadaannya bersih dan lumayan lengkap. Semoga kedepannya lebih atraktif (saya sempat ngobrol sama mbak/mas guide tentang beberapa unit yang terlalu sedikit penjelasannya), dan tetap terjaga kelengkapannya.

2. Batu Secret Zoo (BSZ) vs Eco Green Park (EGP)
Sebelum kemarin itu, saya terakhir mengunjungi BSZ pada tahun 2011, dan EGP pada tahun 2013. Pertimbangan saya mengunjungi BSZ instead of EGP karena ya saya pingin lihat binatang. Menurut saya, BSZ dua kali lebih besar dan lebih menarik daripada EGP, tapi mungkin EGP juga akan menghibur untuk anak-anak dan remaja; atau buat sister yang suka foto-foto. Tips: kunjungi salah satu saja dalam satu hari, terutama karena tiket BSZ termasuk tiket Museum Satwa. Mau dua-duanya? Siap-siap bayar e-bike deh.....

3. Harga Makanan dan Minuman di BSZ
BSZ punya kolam renang yang lumayan gede dan bagus (tapi buat anak-anak sih..), jadi mungkin karena itu, banyak juga orang tua yang berusaha menyelundupkan rantang. Big no no lho ya! saya sendiri cuma bawa minum, dan memutuskan makan siang di dalam BSZ. Baksonya enak kok, standar lah, Rp. 15.000, plus air mineral 600 ml seharga Rp. 5.000. Saya juga sempat beli Milo di booth Milo, harganya Rp. 8.000. Sistem makan di food court BSZ adalah beli kartu, pilih deposit Rp. 50.000 supaya sisa saldonya dikembalikan semua. Selain itu banyak gerai es krim dan pop mie (Rp. 10.000) bertebaran, jadi ga perlu takut kelaparan. Di luar BSZ juga banyak food truck, dan ada CFC.

4. Masukkan Biaya Foto dengan Hewan/Memberi Makan Hewan ke Anggaran
Rata-rata foto bareng hewan (burung rangkong, anak macan, kuda poni, dan lain-lain) berbayar Rp. 5.000/hewan/foto. Tapi pihak BSZ juga memfotokan dengan kamera mereka – yang jelas lebih bagus hasilnya. saya ambil soft copy aja, Rp. 20.000/foto. Lumayan buat kenang-kenangan. Untuk memberi makan hewan, saya melakukannya saat Safari Farm, jadi bisa ngasih makan rusa, kuda, bison (?), dan lain-lain. Dengan Rp. 10.000 dapat satu cup potongan wortel. Oya, tenang saja, hewan-hewan itu ga mengandalkan makanan dari kita saja kok (ya kali...), jadi kalaupun sister ga mau membeli makanannya, ya gapapa juga sih. Tetap seru kok mengikuti Safari Farm (tapi siap-siap antri ya). 

5. Museum Angkut is So Expensive
Kemarin saya bayar Rp. 80.000 untuk tiket masuk weekend, plus bayar Rp. 30.000 untuk kamera digital (only free for phone camera). Memang kalau mau puas, harus sabar ngantri foto di spot-spot yang pasti ramai dengan pengunjung-pengunjung yang lain. Kan museumnya bukan punya sampeyan.. Tapi tetap aja menurut saya segitu itu mahal banget, 'cuma' buat foto-foto doang, haha. Kecuali kalau sister memang passionate banget sama alat transportasi dan sejarahnya. Kata sahabat saya, harga tiket masuknya digunakan untuk perawatan mobil-mobil yang sepertinya sih asli (bukan replika). But still, wisatawan kere protes..... Lol.

6. Ngapain ke Selecta?

Biasanya orang ke Selecta itu berenang (tujuan nomer satu), tapi saya baru ngeh kalau kedalaman kolamnya 3 dan 4 meter. Jadi ya bukan berenang untuk 'lucu-lucuan', dan untuk anak-anak ada kolamnya sendiri. Waktu saya kesana kemarin, kolam anak-anaknya penuh kayak cendol. Terus, di Selecta ada hotel dan restoran – yang biasanya juga rame dengan event-nya orang. Jadi kalau kamu malu berenang dilihatin orang, kamu bisa foto-foto di kebun bunganya (tujuan nomer dua). Sedikit lebih baik daripada kebun amarylis di Jogja karena bunganya lebih banyak dan beragam, tapi kalau weekend juga...yang ada foto sama orang, bukan sama bunga. So, pertimbangkan baik-baik deh kalau mau ke Selecta.

7. Ada Apa di Coban Rondo?
Sebenarnya yang saya tahu dari dulu Coban Rondo itu air terjun, tapi saya udah lama banget ga kesana, sementara kemarin Ifa ga kepingin kesana. Jadi kami cuma ngeliat labirin gara-gara tergoda postingan anak gaul Instagram (...), terus main sama rusa di taman di belakang labirin. Selain itu ada juga ATV, panahan, memetik strawberry, dan wahana permainan anak-anak.

Wah, saya ga nyangka kalau postingan tentang kota Batu 'aja' bisa sepanjang ini. Sesekali menggunakan mindset 'traveler' aka turis ternyata sukses membuat saya melihat sisi lain dari kota yang sehari-harinya sudah terlampau 'biasa' untuk saya. Jadi pingin eksplorasi Surabaya, deh. Maybe next time ;) Semoga postingan ini berguna buat sister yang sedang berencana untuk berlibur ke Batu, and see you at the next #ThePrimTrip post!

Salam My Trip My Adventure (#eaaa),
Prima

*I didn't take pictures on the second day, banyakan difoto sama Ifa mumpung dese ada DSLR #eaaa

Tuesday, February 2, 2016

Doraemon and the Story that Lasts Forever

 
 
 
 
 
 
 

Tahun 2015 lalu, saya berkesempatan menonton Ramayana Theater di Candi Prambanan dua kali. Yang pertama bareng Rotaract saat Asia Pacific Regional Rotaract Conference (APRRC), dan yang kedua bareng Stamford American International School (SAIM) Singapore saat experiential project bersama JUMP! Foundation. Saya ga bakal cerita banyak tentang pagelaran-nya karena kisahnya sendiri masih membingungkan untuk saya – but it is worth to watch though, the dance is really really beautiful. Nah, di kali kedua saya menonton Ramayana Theater, Frank, salah satu fasilitator JUMP! bertanya, apa sih yang membuat cerita seperti Ramayana dikenang sepanjang masa? Bagaimana dengan hidupmu? Apakah dirimu pantas untuk dikenang oleh orang-orang di sekitarmu? Kalau iya, bagus – dan kalau tidak, apa yang harus dilakukan? Kalimat-kalimat itu terus berada di benak saya, dan saya menunggu waktu yang tepat untuk menceritakannya kepada sister.

Hari Jum'at lalu, saya mengunjungi Doraemon Expo bersama sepupu saya, Intan. (tungguin vlognya ya! #tetep). Doraemon Expo ini adalah pameran 100 alat-alat Doraemon – kalau ga salah, (patung) Doraemon-nya juga berjumlah 100 biji, walau saya baru sempat menghitung sampai 60-an. GEMES banget sih, pingin bawa pulang 1 pleaseee.

Kebetulan saya pakai Debit BCA, jadi saya mendapat promo Buy 1 Get 1 Free. Dengan harga Rp. 99.000 (Rp. 90.000 plus PPN 10%), saya dapat tiket yang berlaku untuk dua orang. Ini hanya berlaku untuk weekday ya; kalau weekend promo BCA tetap ada, tapi cuma diskon 20%. Saya merekomendasikan sister datang, kalau: 1) sister punya BCA (dan punya saldo yang cukup di rekeningnya/kartu kredit lagi ga limit.....); 2) datang saat weekday jadi lumayan sepi; 3) sister memang nge-fans abis dengan cerita-cerita Doraemon. Sebenarnya saya pribadi lebih nge-fans dengan Hello Kitty, tapi secara Hello Kitty sendiri komiknya ga booming banget, jadi saya gatau apakah kalau saya datang ke pameran serupa tapi Hello Kitty akan lebih happy. Oya, di Doraemon Expo ada penjualan merchandise asli Doraemon; harganya beragam, dari yang masih bisa terbeli sampai ga logis (ini berlaku untuk bed cover/bedding sheet yang harganya jutaan).

Terus, hubungannya Doraemon dengan perkataan Frank diatas tadi apa?

Saya cukup kaget ketika secara umum, saya banyak memahami kegunaan alat-alat Doraemon yang dipajang pada pameran itu. Beberapa dari alat-alat itu, saya bahkan mengingat dimana atau gimana ceritanya di komik. Entah saya yang memang sangat ter-expose dengan Doraemon (halo kegiatan rutin Minggu pagi saat masih anak-anak), atau memang Fujiko F. Fujio-nya pinter banget untuk bikin sesuatu yang easily memorized.

Saya jadi meng-introspeksi diri sendiri, apa ya, yang orang-orang ingat dari saya? Bagaimana mereka memiliki kesan terhadap seorang Primadita Rahma Ekida? Is it good or bad memories they have with me? Is it fun or sad stories they remember from me? Dan apakah saya masih mampu (dan punya waktu) untuk mengubahnya menjadi lebih positif?

Mungkin menurut sister, ah hal itu ga penting. Kan kita tidak bisa mengontrol pendapat orang terhadap kita. Betul, betul sekali. Jangankan saya yang butiran debu, Doraemon which we are talking about in this post, bisa aja punya haters – atau paling engga, ada orang-orang yang barangkali 'iya, tahu kalau Doraemon exist in this world but so what? I prefer Marvel comics.' Ya gapapa juga, selera orang beda-beda. Tapi maksud saya, kalau kita memang selama ini (berusaha) jadi orang baik, idealnya kebanyakan orang juga berpikir hal demikian. Jika ternyata sejauh ini kebaikan kita diterima dengan interpretasi yang kurang baik, ya itu tadi, kita harus introspeksi diri.

There are some humans who always bring positive energy, dan karena itu kehadiran mereka selalu dinantikan. Sebaliknya, ada juga manusia-manusia yang baru muncul bau-baunya aja, orang-orang udah antipati. Kita pasti punya teman yang masuk kategori pertama atau kedua. Sementara teman kategori pertama nyenengin banget; teman kategori kedua itu bisa-bisa kita sumpahin, 'udah jelek, hidup pula.' Hahaha. So what about us? Find out about it and make a change if needed ;)

For the love of Doraemon,
Prima

*100 Doraemon Secret Gadgets Expo ada di Grand City Surabaya, sampai tanggal 14 Februari 2016.

Thursday, January 28, 2016

Panduan Berwisata ke Batu (Bagian Satu)


Sebentar, saya sedikit merasa aneh menulis ini. Kok aneh? Ya pokoknya aneh banget, soalnya yang ada di pikiran saya itu yang namanya piknik, berlibur, atau traveling itu kudu yang jauh.. Lah ini, hometown saya sendiri, kota dimana saya menghabiskan empat setengah tahun pacaran menimba ilmu (ya ga tepat di kota ini juga, tapi geser sedikit..). Menurut saya sih, ga ada yang menarik untuk dituliskan, hahaha. Sayangnya, hasrat ingin refreshing tapi belum bisa ke Sinjapo atau Bangkok membuat saya harus puas dengan ngubek-ubek daerah yang bisa dijangkau tanpa paspor. Yup, I'm gonna talking about Batu!

Saya sendiri sudah sejak awal Desember berencana pulang kampung, apalagi mendengar Irvina mau liburan di Malang/Batu juga, kayaknya seru deh pergi sama dia. Apa daya, tante dan nenek pergi umroh dan baru pulang menjelang akhir tahun, jadi sekalian deh nyelesaiin UAS biar liburannya lebih tenang. Maafkan saya, Pina! Hiks. Oya, dia juga udah nge-blog tentang perjalanannya ke Malang dan Batu, heboh abis.

Perjalanan saya sedikit berbeda dari Pina, soalnya saya gagal merayu adik tersayang untuk ikut ke Batu, terus karena ada halangan, saya ga bisa nginep di Batu. Untungnya, ada teman lain dari Jogja, namanya Ifa, dan jadilah saya bertualang ke Batu dua kali. Seperti ini gambarannya:

Hari pertama: Rabu, 20 Januari 2016
07:00 Berangkat dari rumah, diantar ayah sampai ke Jatim Park 1
08:00 Tiba di Museum Tubuh, beli tiket terusan Museum Tubuh + Batu Secret Zoo
10:20 Keluar dari Museum Tubuh, nunggu shuttle ke Batu Secret Zoo (gratis)
11:00 Masuk Batu Secret Zoo
15:30 Keluar Batu Secret Zoo, istirahat dan sholat
16:00 Masuk Museum Satwa
17:00 Keluar Museum Satwa, naik ojek ke terminal Batu, lanjut angkot ungu
18:00 Sampai di terminal Landungsari, naik ADL (angkot ke arah stasiun Malang Kota Baru)
19:00 Tiba di rumah dengan selamat

Anggaran hari pertama

Hari kedua: Minggu, 24 Januari 2016
08:00 Berangkat dari rumah, ambil motor di persewaan
08:15 Jemput Ifa di Universitas Brawijaya
09:15 Tiba di Labirin Coban Rondo (lho kok cepat? Entahlah...)
10:45 Keluar dari Coban Rondo, menuju Selecta (perjalanan sekitar 40 menit)
12:00 Cuma setengah jam di Selecta, soalnya ramenya masyaAllah! Keluar, makan di daerah Alun-alun
13:00 Masuk Museum Angkut
15:00 Keluar Museum Angkut
15:30 Nongkrong cantik di Ria Djenaka, Beji
16:30 Nge-drop Ifa di Universitas Brawijaya
17:00 Tiba di rumah dengan selamat

Anggaran hari kedua


Sekian dulu deh, buat itinerary dan anggaran-nya, cerita lebih lanjut di bagian dua yaaa~

Wednesday, December 23, 2015

At the End of the Journey

Januari 2012

Aku memandangi kamar berukuran 3 x 3 yang kini tampak lapang. Disinilah, selama empat tahun lamanya, aku 'tinggal' dan mencari arti hidup yang lain. Meski sejujurnya, dari sejak awal aku tidak pernah berencana untuk tinggal secara permanen disini. Empat tahun yang lalu, aku hanya ingin pergi........jauh. Berkelana. Hidup mandiri. Tapi aku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku terdampar di kota yang hanya berjarak 90 kilometer dari kota kelahiranku. Di kota ini, ayahku juga memiliki rumah, tapi berhubung pendirianku sudah teguh, aku memutuskan untuk nge-kos.

Ya, aku empat tahun yang lalu, adalah anak yang (sok) dewasa, yang muak dengan segala apa yang terjadi di rumahku; aku hampir setiap hari bertengkar dengan ibuku. Barangkali aku juga bosan dengan lingkungan pergaulanku yang penuh hura-hura. Belum lagi nasib buruk menimpaku: aku tidak lulus ujian nasional SMA. Aku lelah, aku hilang arah, dan aku merasa perlu menyepi agar dapat menata masa depanku dengan tenang.
Alasan utamaku pergi ke Ubud adalah agar aku dapat menghindari suatu acara yang akan membuatku berhadapan dengan orang-orang yang menyakiti hatiku, salah satunya adalah suamiku sendiri. Alasan keduaku adalah untuk berpikir dan mengetahui apa yang harus aku lakukan selanjutnya. (Crossroads in Ubud, halaman 3)
'Perjalanan' itu, yang kemudian membuka mataku akan suatu jalan kehidupan yang lain. Persahabatan sejati, jatuh cinta dan patah hati, perjuangan menemukan passion...semua terjadi di kota Malang. 

***
Confidence is power. Dan menjadi cantik adalah salah satu jalan ke sana. Namun, at the end of the day, kenyamanan dan kebahagiaan ada pada saat kita bisa menjadi diri sendiri. (How to Love Yourself, halaman 76)
“Ay, dulu tuh perasaan waktu awal-awal kita kenal, kamu tuh selalu pakai baju yang modis. Terus lumayan sering dandan. Sekarang kok udah jarang sih?”
Aku tergelak menanggapi perkataan pacarku [sekarang mantan, dan dia sudah menikah sebulan yang lalu, CONGRATULATION! (tulus lho ini ngucapinnya, lol)]. Aku berkaca pada cermin di ruang kecil di 'kantor' Unit Kegiatan Mahasiswa FORMASI (Forum Mahasiswa Studi Bahasa Inggris), tempat kami pertama kali bertemu, dan kemudian menjadi anggota. Aku menggumamkan pembelaanku. Aku harus mengakui perkataannya ada benarnya. Ketika SMA, dengan teman-temanku yang kebanyakan model dan anak orang kaya, setidaknya aku terlatih mengenakan pakaian yang appropriate. Aku bahkan pernah masuk majalah remaja ketika menghadiri acara off-air mereka di sebuah mall. 


Tapi waktu berselang, teman-teman kuliahku di Malang lebih beragam. Kebanyakan lebih sederhana. Lebih alami. Dan ternyata yang sederhana dan alami lebih nyaman bagiku. Selamat tinggal rok mini, selamat datang celana jeans dan kaos belel (...dan hal ini tetap bertahan hingga aku menjadi penyiar radio di tahun kedua kuliah. Aku pernah pergi kerja dengan celana training dan kaos gombor, padahal ternyata aku harus meng-interview grup penyanyi. Untunglah aku punya cukup waktu untuk meminjam baju dari teman yang kosnya dekat dengan radioku).

***

Handphone-ku bergetar, sopirku mengirim sms, “oi, ayo brgkt.”
Aku sedikit gusar, nanti aku harus meminta mamaku untuk mengingatkan agar dia lebih sopan. Aku menuruni anak tangga, berpamitan dengan ibu kosku sekali lagi, dan menaiki mobil. Aku duduk di sebelah sopir karena kabin tengah dan belakang dijejali barang-barangku. Kadang aku heran, empat tahun dan aku mengumpulkan begitu banyak barang. Belum lagi barang-barangku yang sudah aku kirim ke rumah dengan kargo minggu lalu, dan ada lagi yang aku titipkan kepada omku yang akan pergi ke Surabaya beberapa hari lagi. 


Belum setengah jam perjalanan, handphone-ku bergetar lagi.
“Yaaah, udah brgkt ya? Aku baru sampe kosmu. Maaf bgt aku telat, tp pokoknya jgn lupa kapan2 main ke Mlg lg.”
Mayu. Si sahabatku yang memang hobi terlambat (kuliah, kerja kelompok, nonton bareng – mottonya adalah 'kalau bisa terlambat, kenapa harus tepat waktu?' Haha.) ternyata mau memberikan kejutan perpisahan untukku. Sayang sekali aku harus segera berangkat agar tidak terlalu malam tiba di Surabaya. Untung saja kemarin lusa kami sudah sempat makan malam bersama, dimana dia memberiku sebuah notebook yang katanya, “untuk mendukung hobi menulis-mu, prim.”
Aku tersenyum. Kata-katanya begitu mulus tanpa modus. Memang soulmate tidak harus berarti romantis. Bisa saja artinya pertemanan yang manis. (The Alley of Marrakech, halaman 111)
Tidak lama kemudian, sopirku mengarahkan mobil ke SPBU. Aku mengambil uang dari dompet, dan sedikit tercenung. Aku teringat bahwa dompet yang sudah sedikit pudar warnanya ini, adalah hadiah terakhir dari pacar – iyaaa, mantan, hadeh.
Pengalaman sudah mengajarkanku untuk selalu setia pada diri sendiri. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan orang yang mempunyai nilai-nilai hidup yang berbeda. Sudah saatnya aku melepaskan Peter, membiarkannya pergi bersama harapan-harapan yang sudah terlanjur kutumpukkan di punggungnya. Tak ada pilihan lain, kami harus mengemas semua memori dan mulai pindah hati. (Pindah Hati di Alexandria, halaman 150)
Setelah 3,5 tahun bersama, kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan pada saat kami memulai penulisan skripsi. Kalau saja kami masih berpacaran, kami pasti akan menghadiri wisuda bersama. Setelahnya, kami akan mengadakan makan siang bersama, dengan orangtuaKU dan orangtuaNYA. Aku sempat berpikir, mungkin saat itu akan menjadi waktu yang tepat untuk mendiskusikan kelanjutan hubungan kami. 

Tapi ternyata, Tuhan tidak mengizinkan hal itu terjadi. Tanda-tanda perpisahan sebenarnya sudah tercium sejak hubungan kami mencapai tahun kedua. Sembari kuliah, aku semakin aktif di kegiatan ekstrakurikuler dan bekerja part-time. Ujung-ujungnya, dia rajin mencari alasan untuk membuatku merasa bersalah. Yang tidak bisa bertemu dengannya-lah, yang memprioritaskan kegiatan dan teman-temanku daripada dia-lah, dan kemudian yang terakhir, dia menduga aku sudah 'berubah'. Aku tidak menyayanginya lagi, melainkan lebih memperhatikan laki-laki yang lebih dewasa, sudah bekerja, dan terlihat punya masa depan yang cerah. Aku kesal karena merasa ruang gerakku menjadi sempit, dan aku langsung setuju ketika ia mengatakan kami harus putus.

***

Ketika adzan isya' berkumandang, kami sudah dua pertiga perjalanan. Aku bisa melihat tanggul lumpur Lapindo disamping kananku. Alhamdulillah, jalanan tidak terlalu macet. Aku tersenyum, mengingat satu momen saat aku melakukan perjalanan dari Surabaya ke Malang beberapa bulan yang lalu. Aku tidak sendirian, aku sedang bersama rombongan Persema Malang, klub sepak bola yang aku teliti untuk skripsiku. Mereka baru saja menang besar pada pertandingan di Surabaya, dan karena kebetulan aku juga hendak kembali ke Malang setelah menonton mereka, mereka mengajakku ikut di bis mereka. Waktu itu, kami terjebak macet panjang disini. Di sela-sela menonton film, aku menemukan diriku curhat kepada beberapa pemain perihal putusnya hubunganku dengan pacar-(MANTAN, Ya Tuhan, prima)-ku. Aku lupa judul film yang kami tonton, tapi aku ingat kata-kata Mamoun, si pemain Nigeria: “prima, you deserve to be with someone who support your growth, and happy to see you improving yourself. You need a strong man who doesn't feel insecure with your achievements.”

 
Malamnya, ketika kami tiba di Malang, HSM, si pemain Korea, mengantarkan aku ke kos. Sebelum aku turun, ia berkata dengan bahasa Indonesia yang patah-patah, “Oppa tidak mengerti kamu bicara apa, tapi Oppa tahu kamu putus sama boyfriend kamu. Selama Oppa disini, Oppa tidak mau lihat kamu sedih. Kalau kamu ingat boyfriend, jangan nangis, telepon Oppa, nanti kita makan.” Lalu ia mengacak-acak jilbabku, membuatku sedikit merajuk – sambil tertawa tentunya.
Funny how life shows us the path to love, when we open ourselves to new experiences.(Last Dance in New York City, halaman 168)
***

Pukul 20.00, setelah 2 jam perjalanan, akhirnya aku bisa melihat mamaku menyambutku di teras rumah. Aku memeluknya dengan erat, hampir menangis karena 'perjalanan'-ku selama empat tahun ini mengajarkan kepadaku banyak hal, termasuk arti 'rumah'. Sejauh-jauhnya aku pergi, aku akan selalu pulang ke rumah. Tempat dimana orang-orangnya mencintaiku dengan sepenuh hati, meski terkadang dengan cara yang tidak aku mengerti.
Aku belajar bahwa, at the end of the day, kebahagiaan bukan berada di suatu tempat, bukan juga berada di tangan orang lain, tetapi kebahagiaan itu ada di dalam diri sendiri. Jika kita tidak bahagia kala sendiri, maka kita tidak akan bahagia saat bersama orang lain. Jika kita tidak bahagia di sini, maka kita tidak akan bahagia di sana, meskipun tempatnya begitu indah. (The Colors of Love in Istanbul, halaman 128)

“Ma, kakak pulang..”
“Iya, kak. Alhamdulillah.”

Mama sudah menyiapkan nasi goreng untuk aku dan sopirku, yang langsung aku makan dengan lahap.

“Ma, Mama duduk sini dong. Mama udah makan? Kok ga makan sama kakak dan om Yono?”
“Mama udah makan, sebentar mama mau ambil sesuatu ke kamu. Ini, hadiah kelulusanmu.”

Mamaku mengangsurkan sebuah amplop.

Tiket pesawat! Ke Kuala Lumpur, Malaysia! Sesudah sepuluh tahun lamanya aku tidak bepergian keluar negeri. Aku menciumi pipi mamaku dan berterima-kasih dengan sorak sorai bergembira.

“Aduh, aduh. Bau nasi goreeeeng. Ya mama cuma bisa kasih hadiah ini, walaupun perginya masih bulan depan. Kamu nanti liburan seminggu disana, ga sama mama, tapi akan ada teman mama yang siap nganter kamu kemana-mana...”

Suara Mama tidak lagi terdengar. Aku sibuk membayangkan Petronas Twin Towers, Merdeka Square, Kompleks Putrajaya... Aku harus browsing dan mencari tempat-tempat wisata baru.

Aku siap untuk perjalanan berikutnya! 


Lots of love,
Prima


-- kutipan-kutipan diatas diambil dari buku Passport to Happiness: 11 Kota 11 Cerita Mencari Cinta. Terima kasih Kak Ollie yang telah menginspirasi-ku untuk terus menjelajah dan menemukan makna cinta. Below is an additional quote that makes me believe in myself more. 'Til I meet 'him', I will not settle down :)

Bonus:
Meskipun belum tentu mudah, probabilitas untuk bertemu pasangan hidup berikutnya menjadi lebih tinggi saat kita membuka batas-batas geografis. Dan tak hanya sekadar pasangan hidup. Aku adalah salah satu dari sedikit orang yang percaya bahwa we can have it all, kita bisa mendapatkan pasangan berkualitas yang segalanya sesuai dengan yang kita inginkan. Mulai dari kualitas fisik, kapasitas otak, hingga chemistry dalam hubungan. I repeat: we can have it all. (Di bab apa, dan halaman berapa? You have to read it by yourself to find out ;))

Pic from Gagas Media

Thursday, November 19, 2015

Jogging di Campuhan

 
 
Photo courtesy of Gracia Ardiati.





Sejak kembali dari Bali, saya memutuskan untuk jogging setiap pagi. Alasannya, saya merasa sangat lelah dan tidak bugar, jadi saya pikir berolahraga akan mengembalikan kebugaran saya. Alhamdulillah, setelah dua minggu, saya ingin sekali bisa melanjutkannya secara rutin. Saya juga berharap bisa terus meningkatkan durasi dan mengombinasikan rute perjalanan supaya tidak bosan.

Ngomong-ngomong tentang jogging, waktu di Bali kemarin saya sempat mengunjungi Gunung Lebah, atau biasa dikenal orang dengan sebutan Bukit Campuhan. Yang pertama, saya pergi dengan Volunteers Coordinator yang juga roommate saya, Mutia. Yang kedua, saya pergi dengan beberapa teman volunteers dan seorang peserta. Pinginnya sih bisa kesana lebih sering, tapi kebetulan tempat saya menginap cukup jauh, jadi susah kalau mau bolak-balik dan harus standby di kantor sebelum pukul 08.30.

How to get there? Kalau sister datang dari timur, sebelum jembatan/Warung Murni, ada Warwick Ibah di kanan jalan. Masuk kesitu, dan kalau sister membawa motor, ada lahan kosong di belakang Mini Market. Di jalan tersebut ada sebuah SMA, tapi sebaiknya tidak parkir disana; karena bisa saja saat kembali, parkirannya sudah penuh, dan pastinya merepotkan kalau sister mau pulang.

Kemudian, pilih jalan di samping kanan jembatan, melewati bagian samping pura, dan sister akan menemukan jalan setapak. Ikuti saja jalan di sebelah sungai itu, nanti sister akan menemukan belokan ke kiri, lalu ke kanan, and then welcome to Campuhan :)

Pada saat saya di Bali, matahari terbit sekitar pukul enam WITA. Jadi kami jogging sekitar pukul setengah tujuh sampai setengah delapan. Menurut saya, jam segitu sudah cukup panas, tapi ketika kami pulang, Campuhan malah semakin ramai. Saya sempat bertemu dengan seorang bapak-bapak tour guide yang juga sedang jogging, beliau bilang bule lebih suka ke Campuhan pada pukul sembilan. Kalau warga lokal malah lebih senang nongkrong di Campuhan pada sore hari, apalagi yang muda-mudi. 'Banyak yang pacaran, mbak. Sampai kita kewalahan ngusirnya', ujar Pak Wayan. Oya, bukit tersebut sebenarnya adalah salah satu tempat suci di Ubud, jadi sudah sepatutnya untuk kita berperilaku yang baik ya.

Kelebihan dari Campuhan adalah, adanya tempat sampah yang disediakan, jadi ga perlu galau kalau mau bawa bayi minuman, you can simply put it in the trash bin. Tentang jarak, sebelum masuk Campuhan, ada plang penunjuk kafe, tapi saya sendiri tidak begitu memperhatikan lokasi kafenya. Katanya sih, kalau kita sampai ke kafe tersebut, artinya kita sudah menempuh jarak sejauh dua kilometer. Lalu, kalau kita jalan terus, jalan itu akan berujung di Jalan Sanggingan, dan jaraknya ke Warwick Ibah bisa sekitar enam atau tujuh kilometer. That's why kebanyakan orang lebih suka kembali lewat Campuhan lagi.

Uniknya, ada tradisi tidak tertulis di Campuhan, yaitu sister harus menyapa orang-orang yang papasan dengan sister. Tadinya saya kaget waktu disapa 'hi', 'morning', atau 'pagi' oleh orang-orang yang saya temui, tapi saya mengalaminya dengan semua orang; so at the next time, I do that and teach the volunteers who went with me. Senang deh bisa bikin orang tersenyum di pagi hari. Apalagi kalau bisa ngobrol dan minta nomer hape-nya si bule ganteng yang hobi jogging bertelanjang dada..... #eaaa  

'Aturan' lainnya di Campuhan sama saja dengan jogging dimanapun: lakukan pemanasan terlebih dahulu. Kalau sister jarang berolahraga, pelan-pelan saja, karena di awal jalannya memang nanjak abis. But make sure to take a lot of pictures, because the view is really beautiful!

Happy jogging,
Prima

Thursday, September 3, 2015

Kraton Yogyakarta: Ketika Nasionalisme Dipertanyakan

 
 
 


“Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa.”
Sultan Hamengkubuwono IX

Sebagai orang (ngaku-ngaku) Jawa, saya tertohok membaca kutipan diatas. Apalagi saya tidak belum pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, kok bisa sok-sok ngerasa bukan orang Jawa?

Kutipan diatas bisa sister temukan di sebuah ruangan yang didesain seperti ruang kerja pribadi Sultan, didalam kompleks Kraton Yogyakarta. Kraton ini merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; yang dibangun pada tahun 1756-1790 oleh Sultan Hamengkubuwono I*.

Setelah sekali mengunjunginya saat masih kecil sekali (bahkan hampir lupa kalau pernah kesana), secara random saya dan Steffy – sahabat petualang saya – memilih Keraton Jogja untuk tempat liburan kami hari minggu lalu. Random banget lah, dari yang rencana pingin ke pantai tiba-tiba menclok di Keraton gitu. Berkah dari ke-random-an itu adalah, kami berkesempatan melihat sisi lain dari Yogyakarta, atau bahkan Indonesia – dari sudut pandang seorang abdi dalem bernama Bapak Yaris (it's his real name, really).

Berawal dari terkesima-nya kami seusai menonton beberapa pertunjukan selama hampir dua jam (karawitan – latihan tari – wayang orang), angin sepoi-sepoi membuat kami mulai mengantuk. Tapi semangat jalan-jalan masih membara dong, secara baru jam12 siang, jadi instead of tidur di pendopo yang pewe itu, kami malah bikin vlog. Kalau Jebraw punya Jalan-Jalan, Men! - saya (dan Steffy&Ekky, teman yang menyusul kami ke Keraton) punya Jalan-Jalan, Neng! - atau Jalan-Jalan, Mbak! Asal bukan Jalan-Jalan, Cuk! #ups #MaapKelepasan #AslinyaMemangArekSuroboyo

Jadilah kami mengulang kegiatan 'thawaf' didalam kompleks Keraton. Ketika saya dan Ekky berada di ruang koleksi barang antik, Steffy – dengan keluwesannya – berhasil meluluhkan hati seorang abdi dalem untuk bercerita, dan ketika kami bergabung, Bapak yang sabar ini bersedia menjawab berbagai pertanyaan kami tentang Kraton dan budaya Jawa. Dibawah ini percakapan yang sempat saya abadikan dalam ingatan saya #tsah

Kami (K): Pak, kayaknya kami ga banyak dengar tour guide bicara dalam bahasa Inggris?
Pak Yaris (PY): Iya, sebenarnya turis yang paling banyak itu berasal dari Belanda. Tau tho kalau salah satu pangeran Jogja ada yang menjadi suami Ratu Wilhelmina dari Belanda?

Kami menggeleng.

PY: Oalah.. Piye tho, ga tau sejarah..

*melipir bersembunyi di balik pohon

PY: ..ada juga banyak turis dari Swedia. Dua itu yang paling banyak jumlahnya.

Kami manggut-manggut.

PY: Oh, yang banyak juga turis Jepang. Kraton ini kan nanti tutup jam dua siang. Habis itu, dibuka untuk tamu-tamu khusus dengan perjanjian. Turis-turis Jepang biasa kesini untuk keperluan pembelajaran atau penelitian tentang budaya.

Disini Steffy yang bersemangat mendengarnya – soalnya dia memang bekerja di semacam pusat informasi pariwisata Jepang.

PY: Mereka itu banyak yang kesini, mencari ketenangan. Mereka sangat menghargai tradisi Jawa karena spiritualitasnya, sesuatu yang sulit mereka temukan dalam kehidupan moderen seperti saat ini. Sama seperti kalian, anak muda contohnya, jaman sekarang ini sedikit yang tahu unggah-ungguh (sopan santun, terutama kepada yang lebih tua).. Apalagi yang ngerti budaya sendiri, wah makin jarang. Ada yang bisa nari ga ini? Kamu, kamu?

Lalu Steffy menimpali, dengan menceritakan bahwa sebuah pusat kebudayaan Jawa di Jakarta mematok harga Rp. 350.000/pertemuan untuk belajar tari jawa tradisional.

PY: Aduh, kalau kamu disini aja Bapak ajari. Gratis. Kalau maunya belajar karawitan, nanti diajari sama saudaranya Bapak. Dia sudah sering main sampai keluar negeri. Karena orang luar suka banget liat karawitan gitu. Kamu tau nduk, le. Seniman itu bisa jadi artis, jadi terkenal. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Itu ada di jiwa mereka. Tapi artis belum tentu seniman, belum tentu memahami apa yang menjadi jiwa pertunjukan – yang bisa membahagiakan yang lihat.

*mulai speechless

PY: Lihat tayangan televisi jaman sekarang, ah Bapak jadi sedih. Itu yang namanya hiburan? Padahal Bapak yakin, anak muda bisa buat lebih baik dari itu.

*nganga

Ketika Pak Yaris menutup pembicaraan, jam sudah menunjukkan pukul 13.40, dan sebentar lagi Kraton akan ditutup. Sementara Pak Yaris dan para abdi dalem akan terus berjaga hingga menyelesaikan shift 24 jam mereka keesokan hari.

Kami pulang dengan perasaan nano-nano.
Sebuah pekerjaan rumah yang berat menanti kami.
Mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa seberapa global pola pikir dan pergaulan kami, rumah tempat kami kembali hanya satu: Indonesia.
 
Salam,
Prima


*dikutip dari Buklet Destinasi Jogja Istimewa, diterbitkan oleh Dinas Pariwisata DIY.

Friday, August 14, 2015

Bepergian Sendiri bagi Muslimah

Di antara semua ilmu agama yang saya ketahui (yang masih bagaikan remahan cookies ini), salah satu 'hukum' dalam agama yang sempat saya 'kritisi' adalah larangan perempuan bepergian tanpa mahram. Mari kita simak hadits dibawah ini:

"Tidaklah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan sejauh sehari semalam  kecuali jika bersamanya mahram"  (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Awalnya, saya takut banget, ya Allah selama ini - dan selama engga tahu beberapa tahun kedepan nanti, rasa-rasanya saya 'terpaksa' akan bepergian sendiri terus. Apalagi, dari sejak kecil banget saya juga sudah terbiasa kemana-mana sendiri. Saya ingat, saat itu usia saya 9 tahun dan saya harus terbang ke Banjarmasin untuk menemui mama saya. Ketika saya tiba di bandara-pun, mama saya tidak menjemput saya karena ada suatu keperluan. Jadilah saya diantar oleh salah satu teman mama saya. Berhubung teman mama saya itu bekerja sebagai pengisi avtur pesawat, saya harus ikut beliau naik tangki avtur ke pos kantornya. Gileee, pengalaman warbiyasak! Sayang belum ada tongsis waktu itu #lhoh

Beberapa dari sister tahu bahwa ayah-ibu saya berpisah sejak saya berusia empat tahun. Sejak saat itu,  most of my kids time ditemani sopir dan pembantu (saya manggilnya dayang, haha). Ketika masuk SMP, meski ibu saya masih mengelola antar jemput sekolah, saya mulai merasakan naik angkutan umum, dan terkadang, sendiri. Waktu kelas 3 SMP, saya mengikuti World Scout Jamboree di Thailand, dan kesana, sendiri (bareng regu dan delegasi Indonesia yang lain siiih) – walau ibu saya bertugas sebagai staf, tetapi kami jarang bertemu.

Hingga saat ini, saya lebih suka bepergian tanpa terikat. Ga rempong, bisa bikin itinerary sendiri, dan ga perlu menyesuaikan diri sama banyak orang. Hanya saja ga cuma masalah traveling sendiri aja yang bikin saya khawatir dengan implikasi dari hadits diatas; tapi saya kan bersekolah di luar kota saat S1 (dan sekarang S2), dan masih kepingin banget kerja di luar negeri nantinya.

Nah, sekitar setahun yang lalu, saya menghadiri sebuah pengajian dan ustadzah-nya menyatakan beberapa pemikiran ulama yang dapat dijadikan acuan untuk kekhawatiran saya. Jadi, tentunya setiap hukum Allah dibuat dengan latar belakang yang idealnya adalah untuk menjaga dan memudahkan hidup hamba-Nya. Terlebih untuk perempuan, yang memang sangat dilindungi dan dihargai setinggi-tingginya. Ekstrimnya, perempuan ga usah keluar rumah deh, kalau ga perlu-perlu banget. 

Meski demikian, menurut ustadzah tersebut, ada dua faktor yang dapat digunakan sebagai 'antisipasi' dari hadits diatas, yaitu bebas dari fitnah, dan keamanan. Kita bahas satu-persatu ya.

1. Bebas dari Fitnah

Bahkan jika seorang perempuan berdiam di rumah dengan seseorang yang tidak 'patut', maka hal tersebut justru lebih rawan fitnah daripada ketika ia bepergian. Misalnya, di rumah tante saya, ada seorang yang membantu tante saya untuk mengatur perpustakaan rumah kami. Dia dilarang berada di rumah jika hanya dengan sepupu-sepupu lelaki saya. Why? Karena dia bukan anggota keluarga, jadi hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Sebaliknya, sebagai contoh, adik saya yang bersekolah di pesantren, tidak ada mahramnya disana, tapi insyaAllah orang-orang di pesantren dapat dipercaya. 

2. Keamanan
Konon, hadits diatas menggambarkan kisah perjalanan Ummu Aisyah yang harus bepergian dengan unta melintasi gurun pasir yang banyak perompak dan sebagainya. Maka, semisal perempuan bepergian dengan pesawat, menurut saya hal tersebut lebih aman daripada harus naik bis selama semalam. Ketika saya traveling ke Malaka, faktor keamanan saya dijamin oleh Tante Etty, teman mama, karena saya menginap disana; daripada saya menginap di hotel yang 'tidak jelas'. Demikian juga dengan ketika saya di Vietnam, faktor keamanan saya dijamin oleh Nhung. Meski tetap saja saya sempat 'terpeleset' ketika saya menginap di guest house 'aneh' di Phnom Penh, huhuhuhuhu.

Saya tidak bermaksud untuk mengabaikan hukum Allah untuk hal ini, tetapi saya tidak bisa membayangkan kalau saya tidak boleh keluar rumah tanpa mahram. Seingin-inginnya saya diantar ayah atau adik kandung laki-laki saya, toh hidup tidak mengizinkan saya tinggal serumah dengan mereka. Jadi, saya hanya bisa berusaha menjaga kedua hal diatas.

Terakhir (sebenarnya ini yang pertama sih), kepergian tersebut diniatkan untuk Allah. Bersekolah, bekerja, ber-silaturrahim – bahkan jalan-jalan pun punya tujuan untuk melihat kebesaran Allah dan menjadikan kita sebagai hamba yang bersyukur dan lebih patuh lagi kepada-Nya.

Cumaaa, se-hepi-hepinya pergi sendiri, memang lebih enak sih kalau kemana-mana ada yang nemenin, dan sudah sah/halal. Apalagi kalau dibayarin, dan orangnya ganteng, pula. #eh #kode :)))

Happy traveling, sister!

Salam,
Prima 

Bacaan lebih lanjut:

Thursday, August 13, 2015

How To Be a Good Roommate


After hosting Hanseo University' students last two weeks, I became a volunteer on an Asia Pacific-level event last weekend. Actually, I was registered nowhere; I thought I will be the member of Registration Team following the first briefing, but at the final briefing I didn't find my name anywhere. So then, I decided to stay with the Registration Team – and it was the right decision knowing that the table can be sooooo busy when the participants arrived.

As I found that administering data can be so overwhelming, my duty was preparing the ID Cards and goodie bags. But one time, the committee who worked at the Room Arrangement need to leave her desk for a while. Because I had no still position, I filled her position and helped to arrange the room for participants – until the next day.

Turns out, it was one of the most tiring job in the committee. Funny thing, I got a lot of awkward situation because I also managed the complaints from participants. Most of the problems are..... the roommate. So, usually the problem started with “I couldn't stand it, my roommate is dirty/sloppy/messy/not friendly/a/b/c/etc.” Thankfully, I got no one said, “my roommate snores.” How could I help with that?????

Looking back to my experiences, I stayed at my friend' apartment in Ho Chi Minh. I also slept at a female dorm consists of six persons in Phnom Penh, Cambodia. When I become the finalist of World Muslimah Award 2014, I had four roommates in Bogor; and then Dina Tokio was lucky enough to have me as her roommate in Yogyakarta. Lol. Dina never had any roommate in her life, and she said – alhamdulillah – I was a great roommate. Last but not least, here in Yogyakarta, I have a roommate at my aunt's home.

Being a good roommate is everyone's responsibility as it's everyone's expectation. When we travel, we want to sleep well so we can maximize our day time. We also don't want to have trouble with our roommate, and then have a feeling of risking our stuffs when we leave the room. Also, it's very important to keep the bathroom clean, because yeah...it's just important after all. So, I would like to give you some tips on how to become an awesome roommate.

1. Claim Your Space
Dina had a HUGE suitcase because she travels to Indonesia one week before the World Muslimah Award. She also doing her own make up, so she has a lot of stuffs. Compared with me, I brought some books (and that's why she called me 'geek'). So then, we divided our room as west and east. I used the shelves at the west side of our room, and she can use the table at the east side. We even use this rule for the cupboard. With this way, there was none of my goods slipped in hers, vice versa. Anyway, without this rule, another finalist got a problem with her legging lost somewhere in her roommate' suitcase.  

2. Keep Your Voice Down
When I was in Phnom Penh, I was just arrived at 11PM. Luckily, my roommates was just ready to go to the party – so I didn't make any problem for them. But, they did make noisy sounds when they got back at 3AM. They even prepared for their departure at 6AM, so I stayed awake until they leave. Cry cry. This kind of problem surely can't be avoided, but we can do some things, such as: if you want to make a phone call at late night, you can do the call outside the room; use headset if you want to listen to music before sleeping; well, you name it.  

3. Don't Take Too Much Time in the Bathroom
I did have a roommate who shower too long, she even sang in the bathroom while we have to ready soon. Oh God, it's torturing actually. There was one time when I join a tour in KL, and the tour guide said: 'you can do the make up while you wait for your roommate in the bathroom; and then you can take shower from neck to the bottom.' Everyone was laugh at that time, but I know it's true. Luckily, I take a bath fast, so I can assure you I'm a good roommate, LOL. 

4. Always, always, always Keep the Cleanliness of Your Room
The thing is, I know that some persons think that the room will be cleaned by the cleaning service in the morning. It's a big no no, because once you don't keep clean, people will think that's how your personality is. You might also have a roommate who is clean-freak, so just try to respect to each other by making sure that your space is neat enough.

5. Be Nice
Perhaps some of you just don't really comfortable in having stranger as roommate. But some greetings like 'good morning', 'thanks', and 'have a nice dream' can be a beginning for the next conversation. If they give positive response, just continue with simple questions, such as, 'how was your sleep?'; 'have you seen the swimming pool? It's beautiful!'; 'the bathroom is really good' (– Dina said it to me actually :p). Hopefully, it breaks the ice between you and your roommate.

Aside of some rules above, I usually give some private 'space' for my roommates. I never touch my roommate's stuffs without asking. I also don't talk to them if they seem tired or using their mobile phones. Knowing I talk a lot, I hold myself much because we do want some silence and quiet times.

So, don't be nervous to have stranger as roommate at the next time you travel. You might 'lose' some; but trust me, if you see it positively, you can also gain unforgettable experiences – it's a chance for you to uncover some intercultural-related lessons. 

Have a nice trip!

Lots of love,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...