Thursday, September 3, 2015

Kraton Yogyakarta: Ketika Nasionalisme Dipertanyakan

 
 
 


“Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa.”
Sultan Hamengkubuwono IX

Sebagai orang (ngaku-ngaku) Jawa, saya tertohok membaca kutipan diatas. Apalagi saya tidak belum pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, kok bisa sok-sok ngerasa bukan orang Jawa?

Kutipan diatas bisa sister temukan di sebuah ruangan yang didesain seperti ruang kerja pribadi Sultan, didalam kompleks Kraton Yogyakarta. Kraton ini merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; yang dibangun pada tahun 1756-1790 oleh Sultan Hamengkubuwono I*.

Setelah sekali mengunjunginya saat masih kecil sekali (bahkan hampir lupa kalau pernah kesana), secara random saya dan Steffy – sahabat petualang saya – memilih Keraton Jogja untuk tempat liburan kami hari minggu lalu. Random banget lah, dari yang rencana pingin ke pantai tiba-tiba menclok di Keraton gitu. Berkah dari ke-random-an itu adalah, kami berkesempatan melihat sisi lain dari Yogyakarta, atau bahkan Indonesia – dari sudut pandang seorang abdi dalem bernama Bapak Yaris (it's his real name, really).

Berawal dari terkesima-nya kami seusai menonton beberapa pertunjukan selama hampir dua jam (karawitan – latihan tari – wayang orang), angin sepoi-sepoi membuat kami mulai mengantuk. Tapi semangat jalan-jalan masih membara dong, secara baru jam12 siang, jadi instead of tidur di pendopo yang pewe itu, kami malah bikin vlog. Kalau Jebraw punya Jalan-Jalan, Men! - saya (dan Steffy&Ekky, teman yang menyusul kami ke Keraton) punya Jalan-Jalan, Neng! - atau Jalan-Jalan, Mbak! Asal bukan Jalan-Jalan, Cuk! #ups #MaapKelepasan #AslinyaMemangArekSuroboyo

Jadilah kami mengulang kegiatan 'thawaf' didalam kompleks Keraton. Ketika saya dan Ekky berada di ruang koleksi barang antik, Steffy – dengan keluwesannya – berhasil meluluhkan hati seorang abdi dalem untuk bercerita, dan ketika kami bergabung, Bapak yang sabar ini bersedia menjawab berbagai pertanyaan kami tentang Kraton dan budaya Jawa. Dibawah ini percakapan yang sempat saya abadikan dalam ingatan saya #tsah

Kami (K): Pak, kayaknya kami ga banyak dengar tour guide bicara dalam bahasa Inggris?
Pak Yaris (PY): Iya, sebenarnya turis yang paling banyak itu berasal dari Belanda. Tau tho kalau salah satu pangeran Jogja ada yang menjadi suami Ratu Wilhelmina dari Belanda?

Kami menggeleng.

PY: Oalah.. Piye tho, ga tau sejarah..

*melipir bersembunyi di balik pohon

PY: ..ada juga banyak turis dari Swedia. Dua itu yang paling banyak jumlahnya.

Kami manggut-manggut.

PY: Oh, yang banyak juga turis Jepang. Kraton ini kan nanti tutup jam dua siang. Habis itu, dibuka untuk tamu-tamu khusus dengan perjanjian. Turis-turis Jepang biasa kesini untuk keperluan pembelajaran atau penelitian tentang budaya.

Disini Steffy yang bersemangat mendengarnya – soalnya dia memang bekerja di semacam pusat informasi pariwisata Jepang.

PY: Mereka itu banyak yang kesini, mencari ketenangan. Mereka sangat menghargai tradisi Jawa karena spiritualitasnya, sesuatu yang sulit mereka temukan dalam kehidupan moderen seperti saat ini. Sama seperti kalian, anak muda contohnya, jaman sekarang ini sedikit yang tahu unggah-ungguh (sopan santun, terutama kepada yang lebih tua).. Apalagi yang ngerti budaya sendiri, wah makin jarang. Ada yang bisa nari ga ini? Kamu, kamu?

Lalu Steffy menimpali, dengan menceritakan bahwa sebuah pusat kebudayaan Jawa di Jakarta mematok harga Rp. 350.000/pertemuan untuk belajar tari jawa tradisional.

PY: Aduh, kalau kamu disini aja Bapak ajari. Gratis. Kalau maunya belajar karawitan, nanti diajari sama saudaranya Bapak. Dia sudah sering main sampai keluar negeri. Karena orang luar suka banget liat karawitan gitu. Kamu tau nduk, le. Seniman itu bisa jadi artis, jadi terkenal. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Itu ada di jiwa mereka. Tapi artis belum tentu seniman, belum tentu memahami apa yang menjadi jiwa pertunjukan – yang bisa membahagiakan yang lihat.

*mulai speechless

PY: Lihat tayangan televisi jaman sekarang, ah Bapak jadi sedih. Itu yang namanya hiburan? Padahal Bapak yakin, anak muda bisa buat lebih baik dari itu.

*nganga

Ketika Pak Yaris menutup pembicaraan, jam sudah menunjukkan pukul 13.40, dan sebentar lagi Kraton akan ditutup. Sementara Pak Yaris dan para abdi dalem akan terus berjaga hingga menyelesaikan shift 24 jam mereka keesokan hari.

Kami pulang dengan perasaan nano-nano.
Sebuah pekerjaan rumah yang berat menanti kami.
Mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa seberapa global pola pikir dan pergaulan kami, rumah tempat kami kembali hanya satu: Indonesia.
 
Salam,
Prima


*dikutip dari Buklet Destinasi Jogja Istimewa, diterbitkan oleh Dinas Pariwisata DIY.

1 comment:

  1. Mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa seberapa global pola pikir dan pergaulan kami, rumah tempat kami kembali hanya satu: Indonesia.

    :)))

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...