Tuesday, September 15, 2015

Kota Pelajar: Kota Terbaik untuk Belajar di Indonesia

Pic from here.
Selamat pagi dari Perpustakaan Pusat UGM :)

Ya, saya, mewakili 7000-an mahasiswa baru UGM* saat ini, adalah satu dari pemuda(i) yang 'mengadu nasib' di kota pelajar, Yogyakarta. Meski saya pribadi merasa bahwa Yogyakarta lebih cocok untuk berlibur atau menghabiskan hari tua; tak ayal saya juga meyakini bahwa Yogyakarta memang pantas menyandang predikat sebagai kota pelajar.

Tahun 2003, saya datang ke kota ini – tidak sekadar untuk liburan bersama ayah atau mama seperti biasanya – tapi saya diterima untuk bersekolah di salah satu SMA paling bergengsi, SMA Muhammadiyah 1 (MUHI). Waktu itu ceritanya agak terpaksa karena mama bertugas di Semarang – tapi sayangnya saya tidak diterima di SMA negeri di Semarang. Salah sendiri, ga paham tentang perlakuan yang berbeda untuk calon murid dari kota lain (saya berasal dari Surabaya).
November lalu berkesempatan main ke SMA MUHI sebagai finalis World Muslimah Award :)

Saya pun ngekos di dekat sekolah, dan punya empat orang teman kos-kos-an yang seru abis. Saat itu, diluar sekolah (karena ga ada yang sekelas) kami berlima tidak terpisahkan. Selain itu, di kelas saya punya geng yang tak akan terlupakan. Di kelas saya, sekitar 60% berasal dari luar Jogja; kebanyakan anak gaul dan anak yang lebih hobi main daripada belajar, tapi tetap saja saya bisa berbaur dengan teman-teman dari dua 'dunia'. Buktinya, saat ini ada yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis jantung, ada juga spesialis lain tapi lupa apa. Ada juga yang sudah menyelesaikan S2 di bidang ilmu eksak dan sekarang menjadi dosen. Artinya, saya cukup pintar untuk bisa berteman dengan mereka :)))

Saya sempat sedih ketika harus kembali ke Surabaya saat naik kelas 2 SMA. Tapi waktu bergulir, dan sebelas tahun kemudian, saya kembali lagi ke kota ini dengan status yang sama: pelajar.

Buat saya, selain Malang, Yogyakarta memang kota yang sangat kondusif untuk belajar. Tidak banyak mall besar, tidak seperti Surabaya yang punya bejibun mall dan plaza. It's the place where you can find the best university in Indonesia (cieh) dan selain yu ji em (baca: UGM keminggris), universitas lain punya koleksi buku yang lengkap kap kap. Coba saja mengunjungi perpustakaan Universitas Atma Jaya di Babarsari. Tempatnya sangat nyaman, dan banyak kafe-kafe menarik di sekitar daerah Babarsari dan Seturan.

Urusan perut memang ga boleh dilupakan. Di Jogja, kamu bisa menemukan nasi kucing, yang kalau tidak salah sekarang harganya 1000-2000 untuk satu porsi nasi dengan potongan ikan teri – saya biasanya makan dua bungkus, cowok mungkin butuh tiga-empat bungkus. Tambahkan pula sate usus, sate telur puyuh, gorengan dan jangan lupa pesan es teh manis – mungkin kamu hanya perlu membayar sepuluh ribu rupiah. Atau kalau kamu baru saja terima uang beasiswa (...dari Yayasan Ayah Bunda :p), bolehlah sesekali menyambangi restoran mewah di hotel-hotel yang bertebaran di seantero kota Yogyakarta. Mereka sangat getol menawarkan paket-paket atau menu andalan seharga sekitar Rp. 100.000-200.000. Mahal? Masih lebih mahal nongkrong di kafe di mall di Jakarta, percayalah :)))

Perut kenyang, buku lengkap, udah gitu doang? Not yet. Berhubung kamu tinggal di kotanya pemuda, mari penuhi agenda dengan festival dan pentas seni. Dari mulai acara musik, kebudayaan kontemporer, sampai kegiatan olahraga. Paling mudah memang ikutan unit kegiatan mahasiswa di kampus, tapi kalau engga, edarkan pandangan aja. Banyak kok, komunitas atau event lintas kampus yang bisa kamu hadiri/ikuti/ramaikan. Anggap aja sambil menyelam, minum air. Siapa tau dapat jodoh networking #tetepyaprima

That's why saya merasa pekerjaan sehari-hari orang Jogja tidak akan jauh-jauh dari stakeholder (tsah...) sekolah dan kampus. Mahasiswa, guru/dosen, staf universitas, bapak/ibu kantin, bapak/ibu kos, hingga ojek dan armada angkutan umum mendapatkan berkah dari gencarnya promosi pendidikan di Yogyakarta.

Yang saya harapkan, semakin banyak kaum berpendidikan, semakin mereka bisa memberikan sumbangsih atau percontohan pada masyarakat sekitar. Malu kan, ngampus di kampus elit yang bayar SPP tujuh juta per semester, tapi masih buang sampah sembarangan? Ga asik dong, bawaannya buku diktat tebal dan paper-paper, tapi masih nyela antrian di ATM?

Yuk, tunjukkan kalau kita benar-benar manusia yang matang secara akal dan mental :)

Salam,
Prima

*tidak ditemukan data pasti angka jumlah mahasiswa UGM maupun mahasiswa baru (sarjana dan pascasarjana) yang diterima tahun ini. Angka ini merupakan perkiraan yang dikumpulkan dari beberapa sumber. 

1 comment:

  1. Waaa mbak prima dulu pernah sekolah di MUHI? Tahun-tahun segitu saya sering main-main ke sana lho mbak. Bapak saya kebetulan ngajar di sana hihi

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...