It was a new chapter of life ketika saya memutuskan pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studi. Berdasarkan beberapa pertimbangan, saya tinggal di rumah tante (adik ayah) yang tentu saja menuntut saya untuk belajar beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan keluarga beliau.
Ketika saya kecil dulu, tante masih single; sehingga meski saat itu tante sudah secara temporer tinggal di Jogja, setiap kali ke Jawa Timur, waktunya akan dihabiskan bersama saya dan seorang sepupu yang lebih muda tiga tahun dari saya. Kami sering bepergian bertiga, dan beliau sangat memahami seperti apa kepribadian saya.
Tapi hal ini berbeda ketika kami akhirnya tinggal bersama. Saya dan ibu saya, sudah terbiasa 'seenaknya', semua serba kompromi – dan di rumah keluarga besar ibu saya (meski sama-sama berasal dari Jawa Timur, tapi sedikit lebih 'moderen'), tidak ada perbedaan gender yang terlalu kentara. Pakde (kakak ibu) mencuci bajunya sendiri, dengan kedua belah tangannya. Ada pakde lain yang biasa menyapu dan mengepel rumah dengan asyiknya.
Sementara nenek (ibunya ayah dan tante) sangat tegas dalam mengatur pekerjaan rumah tangga. Laki-laki hampir bisa dipastikan tidak masuk dapur dan mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan rumah, termasuk baju kotor. Memang sih, di rumah tante, kami me-laundry-kan baju kami. Tapi untuk pekerjaan rumah, jangan harap bisa merepoti sepupu laki-laki (anak-anak tante).
Anak-anak tante bisa tidur selarut-larutnya, dan ketika esok harinya, ia bisa melakukan rutinitas pagi: sholat subuh, minum kopi, lalu nonton televisi. Saya? Setelah sholat subuh, membereskan dapur, membuang sampah, membantu memasak, baru kemudian mandi dan bersiap ke kampus. Tak peduli semalam harus begadang karena mengerjakan tugas. Apalagi kalau nenek datang, wah bisa jadi sebelum mandi saya harus menyapu rumah dan halaman.
Bukannya saya mengeluh, karena buat saya hal itu biasa saja. Kebersihan rumah merupakan tanggung jawab seisi rumah, mau laki-laki atau perempuan, kalau melihat lantai ruang keluarga kotor, ya ambillah sapu. Kalau melihat kaca jendela ruang tamu berdebu, ya ambillah lap. Bagi saya, kebersihan tidak mengenal perbedaan gender. Sedangkan bagi keluarga nenek, hal itu adalah tugas, kewajiban, pekerjaan – you name it – perempuan.
Hal ini masih satu bagian kecil dari yang namanya kesenjangan gender. Di rumah ibu saya, semua anak berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, yang penting itu passion-nya serta mampu menjalaninya. Di rumah ayah saya, nenek dan ayah sudah kalang kabut ketika salah satu sepupu perempuan memutuskan melanjutkan studi S3. Sayapun sempat kena getahnya. Nanti susah dapat jodoh, kata mereka. Lalu tidak lama sesudah mendapat approval riset dari profesornya, sepupu saya itu menikah dengan kakak tingkatnya. Ternyata kekhawatiran nenek dan ayah tidak terbukti. Meski mereka masih sering mengomel, melihat sepupu saya lebih sering berada di laboratorium daripada dapur.
Kedua budaya tersebut membentuk saya yang sekarang. Saya memilih untuk bersekolah lagi dan saya tahu di masa depan saya ingin bekerja di luar rumah; walaupun nenek dan ayah pasti tidak setuju. Saya mungkin belum siap menerima konsekuensi seperti tante saya: bekerja iya, ibu rumah tangga iya – tapi saya berharap, pasangan hidup saya dibesarkan dengan wawasan yang lebih terbuka. Minimal siap menyingsingkan lengan untuk mencuci piring setiap habis makan, dan menyirami tanaman di pekarangan. Oh, betapa bahagianya hidup saya nanti.
Lots of love,
Prima
Ketika saya kecil dulu, tante masih single; sehingga meski saat itu tante sudah secara temporer tinggal di Jogja, setiap kali ke Jawa Timur, waktunya akan dihabiskan bersama saya dan seorang sepupu yang lebih muda tiga tahun dari saya. Kami sering bepergian bertiga, dan beliau sangat memahami seperti apa kepribadian saya.
Tapi hal ini berbeda ketika kami akhirnya tinggal bersama. Saya dan ibu saya, sudah terbiasa 'seenaknya', semua serba kompromi – dan di rumah keluarga besar ibu saya (meski sama-sama berasal dari Jawa Timur, tapi sedikit lebih 'moderen'), tidak ada perbedaan gender yang terlalu kentara. Pakde (kakak ibu) mencuci bajunya sendiri, dengan kedua belah tangannya. Ada pakde lain yang biasa menyapu dan mengepel rumah dengan asyiknya.
Sementara nenek (ibunya ayah dan tante) sangat tegas dalam mengatur pekerjaan rumah tangga. Laki-laki hampir bisa dipastikan tidak masuk dapur dan mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan rumah, termasuk baju kotor. Memang sih, di rumah tante, kami me-laundry-kan baju kami. Tapi untuk pekerjaan rumah, jangan harap bisa merepoti sepupu laki-laki (anak-anak tante).
Anak-anak tante bisa tidur selarut-larutnya, dan ketika esok harinya, ia bisa melakukan rutinitas pagi: sholat subuh, minum kopi, lalu nonton televisi. Saya? Setelah sholat subuh, membereskan dapur, membuang sampah, membantu memasak, baru kemudian mandi dan bersiap ke kampus. Tak peduli semalam harus begadang karena mengerjakan tugas. Apalagi kalau nenek datang, wah bisa jadi sebelum mandi saya harus menyapu rumah dan halaman.
Bukannya saya mengeluh, karena buat saya hal itu biasa saja. Kebersihan rumah merupakan tanggung jawab seisi rumah, mau laki-laki atau perempuan, kalau melihat lantai ruang keluarga kotor, ya ambillah sapu. Kalau melihat kaca jendela ruang tamu berdebu, ya ambillah lap. Bagi saya, kebersihan tidak mengenal perbedaan gender. Sedangkan bagi keluarga nenek, hal itu adalah tugas, kewajiban, pekerjaan – you name it – perempuan.
Hal ini masih satu bagian kecil dari yang namanya kesenjangan gender. Di rumah ibu saya, semua anak berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, yang penting itu passion-nya serta mampu menjalaninya. Di rumah ayah saya, nenek dan ayah sudah kalang kabut ketika salah satu sepupu perempuan memutuskan melanjutkan studi S3. Sayapun sempat kena getahnya. Nanti susah dapat jodoh, kata mereka. Lalu tidak lama sesudah mendapat approval riset dari profesornya, sepupu saya itu menikah dengan kakak tingkatnya. Ternyata kekhawatiran nenek dan ayah tidak terbukti. Meski mereka masih sering mengomel, melihat sepupu saya lebih sering berada di laboratorium daripada dapur.
Kedua budaya tersebut membentuk saya yang sekarang. Saya memilih untuk bersekolah lagi dan saya tahu di masa depan saya ingin bekerja di luar rumah; walaupun nenek dan ayah pasti tidak setuju. Saya mungkin belum siap menerima konsekuensi seperti tante saya: bekerja iya, ibu rumah tangga iya – tapi saya berharap, pasangan hidup saya dibesarkan dengan wawasan yang lebih terbuka. Minimal siap menyingsingkan lengan untuk mencuci piring setiap habis makan, dan menyirami tanaman di pekarangan. Oh, betapa bahagianya hidup saya nanti.
Lots of love,
Prima
Aih setuju kak Prim. Bukan mau ngeluh, tapi emang bagusnya sih kerjain kerjaan rumah bareng. Bagi tugas. Biar sama-sama happy. Ada yang bilang sih, happy wife, happy life xD
ReplyDeleteKeluarga kakak ipar aku juga begitu, perempuan yang mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, padahal mereka bukan orang Jawa, orang Minang. Sementara keluarga aku yang Jawa malah cowok-cowoknya juga kerjain pekerjaan rumah tangga.
ReplyDelete