Wednesday, September 9, 2015

Pasar Beringharjo: Sebuah Memori tentang Persahabatan


Melengkapi kekhawatiran akan jati diri saya sebenarnya, saya tidak begitu suka pergi ke pasar. Ya, setelah jelas-jelas terbukti tidak suka memasak dan selalu menciptakan masalah saat berada di dapur; saya juga tidak suka berbelanja. Jadi, sebenarnya saya ini perempuan bukan ya? *ngintip *eh

Seumur hidup saya, bisa dihitung berapa kali saya pergi ke pasar. Itupun hanya sekedar membeli apa yang perlu dibeli, lalu pulang. Kecuali Pasar Blauran Surabaya – dulu saya pernah suka menghabiskan waktu disana karena mereka punya koleksi buku lama dan warung-warung yang makanannya endang mbambang. Tapi itu dulu, akhir-akhir ini kalau mama saya mengajak ke Pasar Blauran, saya pasti cuma mau makan soto ayam dan es campur (the best of the world #lebay) terus pulang.

Kenapa kok segitunya sih, prim? Ya memang dari sononya saya ga suka belanja. Kalau ke mall pun bisa juga cuma satu, dua jam. Biar waktunya efektif dan ga ngabisin lebih banyak duit karena lapar mata. Haha. Selain itu, di mata saya, pasar masih identik dengan becek, bau, sampah bertebaran dimana-mana – ga asik deh pokoknya. Kayaknya sih, kecuali pasar moderen di Bumi Serpong Damai (BSD) yang pernah saya kunjungi beberapa tahun yang lalu.

Makanya, walaupun sudah bolak-balik ke Jogja untuk liburan – dan sekarang tinggal di Jogja, seingat saya, saya hanya pernah mengunjungi Pasar Beringharjo sebanyak tiga kali. Whaaat? TIGA? Iya, sekali bersama nenek, sekali bersama tante, dan sekali bersama Sunhyung Eonni (Korea) dan Nhung (Vietnam).

Untuk yang ketiga itu, saya masih ingat ceritanya – yang sering bikin saya senyum-senyum sendiri hingga sekarang. Awal tahun 2012, saya, Sunhyung Eonni, dan Nhung menghabiskan beberapa jam (yep, cuma 36 jam!) di Jogja karena keduanya akan segera kembali ke negara masing-masing. Setibanya di Jogja, kami ditraktir Yong Han Oppa (saat itu pesepakbola di Persiba Bantul) ke Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Sorenya, sebelum makan malam, kami mampir sebentar ke Mirota Batik. Disitulah Sunhyung Eonni dan Nhung terkesima dengan produk oleh-oleh yang lucu-lucu dan affordable. Kebetulan, Sunhyung Eonni baru saja mengunjungi Bali dan bercerita kalau disana harga barang tergolong mahal. Nhung apalagi, dia tidak ikut mengunjungi Bali dan belum membeli oleh-oleh untuk keluarganya. Maka, kami pun pulang dengan menenteng barang belanjaan.

Keesokan paginya, mereka berdua bertanya kepada saya, apa rencana saya. Saya katakan bahwa saya ingin mengajak mereka ke Benteng Vredeburg dan Kraton. Eh, saat kami di taksi melewati Malioboro, tiba-tiba Sunhyung melihat Mirota Batik dan merajuk agar kami kesana lagi. Setelah berdiskusi dengan cukup tegang (karena malamnya kami akan pulang ke Malang, masa ngabisin waktu dengan belanja lagi sih?), saya sarankan untuk pergi ke Pasar Beringharjo.

Mereka setuju – tapi saya sempat merutuki diri sendiri, lah saya kan ga suka ke pasar. Kudu gimana nih??? Ga mungkin juga saya membiarkan mereka pergi kesitu berdua aja. Sayapun menelepon seorang teman yang orang Jogja untuk menyusul kami.

Lima belas menit kemudian, mbak Frida namanya, datang dan 'menyelamatkan' saya. Ia menggandeng Sunhyung Eonni dan Nhung kedalam; dan mereka bertiga forgot me in no time. Apalagi mbak Frida jago nawar dalam bahasa Jawa halus – yang pastinya membuat mereka mendapat harga yang fantastis (busyet deh, kalau ga salah ada satu baju batik yang awalnya dihargai seratus sekian ribu, dan akhirnya dibayar Sunhyung Eonni tiga puluh ribu).

Saya masih ingat mata Sunhyung Eonni yang bersemangat sekali hari itu, ia menggamit mbak Frida berkeliling; sambil sesekali mengecek apa Nhung menginginkan sesuatu. Sedangkan saya? Duduk anteng makan es dawet di salah satu rombong di depan pasar. Lol.

Sekitar tiga jam kemudian, mereka keluar dari pasar dengan wajah kelaparan tapi puasss. Macem muka mahasiswa yang dapet IP 4,5 gitu #yaelah

Selesai? Belum. Karena mereka tetep keukeuh mau ke Mirota Batik lagi – dan alhamdulillah ada kafe di lantai paling atas, jadi kami makan siang sekalian. Sambil menunggu pesanan kami datang, Sunhyung Eonni dan Nhung saling memijati kaki. Saya dan mbak Frida tergelak.

Tiga tahun sesudah peristiwa ini (halah, peristiwa...), gantian Nhung menemani saya ke Ben Thanh Market di Ho Chi Minh untuk membeli oleh-oleh. Tidak perlu susah-susah menawar, kebanyakan penjual di Ben Thanh bisa berbicara dalam bahasa Melayu. Dan berapa lama waktu yang saya butuhkan? Tidak sampai satu jam.

Oleh karena itu, Pasar Beringharjo selalu bisa mencipta senyum di wajah saya saat melewatinya. Lebih dari sekedar apa yang dijual disana – tapi ada memori tentang persahabatan antar budaya, yang sampai sekarang masih kami jalani.

Anyway, bulan Agustus lalu, saya 'hampir' menemani mahasiswa Korea kesana lagi. Tapi beribu syukur, mereka batal masuk pasar dan sudah cukup senang berbelanja di sepanjang jalan Malioboro. Hahahahaha.

Well that's my story about Pasar, the center of people' hard work and passion (...about shopping :p).
What's yours? ;)

Love,
Prima 

*untuk melihat foto saya, Sunhyung Eonni, dan Nhung (bukan di Pasar Beringharjo sih...), read this post
**kalau ga mau lihat, gapapa juga sih. kali ada yang penasaran sama cantiknya saya Sunhyung Eonni :)))

1 comment:

  1. Aku udah berkali-kali ke Jogja tapi cuma lewat dan jajan aja depan pasar ini :D
    by the way salam kenal :)

    http://www.piazakiyah.com

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...