Thursday, September 24, 2015

The 'Real' Javanese Family: When Gender Roles Do Matter

It was a new chapter of life ketika saya memutuskan pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studi. Berdasarkan beberapa pertimbangan, saya tinggal di rumah tante (adik ayah) yang tentu saja menuntut saya untuk belajar beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan keluarga beliau.

Ketika saya kecil dulu, tante masih single; sehingga meski saat itu tante sudah secara temporer tinggal di Jogja, setiap kali ke Jawa Timur, waktunya akan dihabiskan bersama saya dan seorang sepupu yang lebih muda tiga tahun dari saya. Kami sering bepergian bertiga, dan beliau sangat memahami seperti apa kepribadian saya.

Tapi hal ini berbeda ketika kami akhirnya tinggal bersama. Saya dan ibu saya, sudah terbiasa 'seenaknya', semua serba kompromi – dan di rumah keluarga besar ibu saya (meski sama-sama berasal dari Jawa Timur, tapi sedikit lebih 'moderen'), tidak ada perbedaan gender yang terlalu kentara. Pakde (kakak ibu) mencuci bajunya sendiri, dengan kedua belah tangannya. Ada pakde lain yang biasa menyapu dan mengepel rumah dengan asyiknya.

Sementara nenek (ibunya ayah dan tante) sangat tegas dalam mengatur pekerjaan rumah tangga. Laki-laki hampir bisa dipastikan tidak masuk dapur dan mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan rumah, termasuk baju kotor. Memang sih, di rumah tante, kami me-laundry-kan baju kami. Tapi untuk pekerjaan rumah, jangan harap bisa merepoti sepupu laki-laki (anak-anak tante).

Anak-anak tante bisa tidur selarut-larutnya, dan ketika esok harinya, ia bisa melakukan rutinitas pagi: sholat subuh, minum kopi, lalu nonton televisi. Saya? Setelah sholat subuh, membereskan dapur, membuang sampah, membantu memasak, baru kemudian mandi dan bersiap ke kampus. Tak peduli semalam harus begadang karena mengerjakan tugas. Apalagi kalau nenek datang, wah bisa jadi sebelum mandi saya harus menyapu rumah dan halaman.

Bukannya saya mengeluh, karena buat saya hal itu biasa saja. Kebersihan rumah merupakan tanggung jawab seisi rumah, mau laki-laki atau perempuan, kalau melihat lantai ruang keluarga kotor, ya ambillah sapu. Kalau melihat kaca jendela ruang tamu berdebu, ya ambillah lap. Bagi saya, kebersihan tidak mengenal perbedaan gender. Sedangkan bagi keluarga nenek, hal itu adalah tugas, kewajiban, pekerjaan – you name it – perempuan.

Hal ini masih satu bagian kecil dari yang namanya kesenjangan gender. Di rumah ibu saya, semua anak berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, yang penting itu passion-nya serta mampu menjalaninya. Di rumah ayah saya, nenek dan ayah sudah kalang kabut ketika salah satu sepupu perempuan memutuskan melanjutkan studi S3. Sayapun sempat kena getahnya. Nanti susah dapat jodoh, kata mereka. Lalu tidak lama sesudah mendapat approval riset dari profesornya, sepupu saya itu menikah dengan kakak tingkatnya. Ternyata kekhawatiran nenek dan ayah tidak terbukti. Meski mereka masih sering mengomel, melihat sepupu saya lebih sering berada di laboratorium daripada dapur.

Kedua budaya tersebut membentuk saya yang sekarang. Saya memilih untuk bersekolah lagi dan saya tahu di masa depan saya ingin bekerja di luar rumah; walaupun nenek dan ayah pasti tidak setuju. Saya mungkin belum siap menerima konsekuensi seperti tante saya: bekerja iya, ibu rumah tangga iya – tapi saya berharap, pasangan hidup saya dibesarkan dengan wawasan yang lebih terbuka. Minimal siap menyingsingkan lengan untuk mencuci piring setiap habis makan, dan menyirami tanaman di pekarangan. Oh, betapa bahagianya hidup saya nanti.

Lots of love,
Prima

Tuesday, September 15, 2015

Kota Pelajar: Kota Terbaik untuk Belajar di Indonesia

Pic from here.
Selamat pagi dari Perpustakaan Pusat UGM :)

Ya, saya, mewakili 7000-an mahasiswa baru UGM* saat ini, adalah satu dari pemuda(i) yang 'mengadu nasib' di kota pelajar, Yogyakarta. Meski saya pribadi merasa bahwa Yogyakarta lebih cocok untuk berlibur atau menghabiskan hari tua; tak ayal saya juga meyakini bahwa Yogyakarta memang pantas menyandang predikat sebagai kota pelajar.

Tahun 2003, saya datang ke kota ini – tidak sekadar untuk liburan bersama ayah atau mama seperti biasanya – tapi saya diterima untuk bersekolah di salah satu SMA paling bergengsi, SMA Muhammadiyah 1 (MUHI). Waktu itu ceritanya agak terpaksa karena mama bertugas di Semarang – tapi sayangnya saya tidak diterima di SMA negeri di Semarang. Salah sendiri, ga paham tentang perlakuan yang berbeda untuk calon murid dari kota lain (saya berasal dari Surabaya).
November lalu berkesempatan main ke SMA MUHI sebagai finalis World Muslimah Award :)

Saya pun ngekos di dekat sekolah, dan punya empat orang teman kos-kos-an yang seru abis. Saat itu, diluar sekolah (karena ga ada yang sekelas) kami berlima tidak terpisahkan. Selain itu, di kelas saya punya geng yang tak akan terlupakan. Di kelas saya, sekitar 60% berasal dari luar Jogja; kebanyakan anak gaul dan anak yang lebih hobi main daripada belajar, tapi tetap saja saya bisa berbaur dengan teman-teman dari dua 'dunia'. Buktinya, saat ini ada yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis jantung, ada juga spesialis lain tapi lupa apa. Ada juga yang sudah menyelesaikan S2 di bidang ilmu eksak dan sekarang menjadi dosen. Artinya, saya cukup pintar untuk bisa berteman dengan mereka :)))

Saya sempat sedih ketika harus kembali ke Surabaya saat naik kelas 2 SMA. Tapi waktu bergulir, dan sebelas tahun kemudian, saya kembali lagi ke kota ini dengan status yang sama: pelajar.

Buat saya, selain Malang, Yogyakarta memang kota yang sangat kondusif untuk belajar. Tidak banyak mall besar, tidak seperti Surabaya yang punya bejibun mall dan plaza. It's the place where you can find the best university in Indonesia (cieh) dan selain yu ji em (baca: UGM keminggris), universitas lain punya koleksi buku yang lengkap kap kap. Coba saja mengunjungi perpustakaan Universitas Atma Jaya di Babarsari. Tempatnya sangat nyaman, dan banyak kafe-kafe menarik di sekitar daerah Babarsari dan Seturan.

Urusan perut memang ga boleh dilupakan. Di Jogja, kamu bisa menemukan nasi kucing, yang kalau tidak salah sekarang harganya 1000-2000 untuk satu porsi nasi dengan potongan ikan teri – saya biasanya makan dua bungkus, cowok mungkin butuh tiga-empat bungkus. Tambahkan pula sate usus, sate telur puyuh, gorengan dan jangan lupa pesan es teh manis – mungkin kamu hanya perlu membayar sepuluh ribu rupiah. Atau kalau kamu baru saja terima uang beasiswa (...dari Yayasan Ayah Bunda :p), bolehlah sesekali menyambangi restoran mewah di hotel-hotel yang bertebaran di seantero kota Yogyakarta. Mereka sangat getol menawarkan paket-paket atau menu andalan seharga sekitar Rp. 100.000-200.000. Mahal? Masih lebih mahal nongkrong di kafe di mall di Jakarta, percayalah :)))

Perut kenyang, buku lengkap, udah gitu doang? Not yet. Berhubung kamu tinggal di kotanya pemuda, mari penuhi agenda dengan festival dan pentas seni. Dari mulai acara musik, kebudayaan kontemporer, sampai kegiatan olahraga. Paling mudah memang ikutan unit kegiatan mahasiswa di kampus, tapi kalau engga, edarkan pandangan aja. Banyak kok, komunitas atau event lintas kampus yang bisa kamu hadiri/ikuti/ramaikan. Anggap aja sambil menyelam, minum air. Siapa tau dapat jodoh networking #tetepyaprima

That's why saya merasa pekerjaan sehari-hari orang Jogja tidak akan jauh-jauh dari stakeholder (tsah...) sekolah dan kampus. Mahasiswa, guru/dosen, staf universitas, bapak/ibu kantin, bapak/ibu kos, hingga ojek dan armada angkutan umum mendapatkan berkah dari gencarnya promosi pendidikan di Yogyakarta.

Yang saya harapkan, semakin banyak kaum berpendidikan, semakin mereka bisa memberikan sumbangsih atau percontohan pada masyarakat sekitar. Malu kan, ngampus di kampus elit yang bayar SPP tujuh juta per semester, tapi masih buang sampah sembarangan? Ga asik dong, bawaannya buku diktat tebal dan paper-paper, tapi masih nyela antrian di ATM?

Yuk, tunjukkan kalau kita benar-benar manusia yang matang secara akal dan mental :)

Salam,
Prima

*tidak ditemukan data pasti angka jumlah mahasiswa UGM maupun mahasiswa baru (sarjana dan pascasarjana) yang diterima tahun ini. Angka ini merupakan perkiraan yang dikumpulkan dari beberapa sumber. 

Saturday, September 12, 2015

Bakso Gress: Asik Nge-Bakso di Jogja

Pic from here.


Sepanjang perjalanan hidup saya (#ceileh), saya pernah mendengar statement yang sangat pede tentang kuliner di beberapa kota. Misalnya: di Malang, ga ada bakso yang ga enak. Di Bandung, ga ada batagor yang ga enak. Bahkan batagor akang-akang yang jualan pakai rombong keliling. Percaya ga percaya, mungkin demikian juga di Jogja. Ga ada gudeg yang ga enak. Dari mulai rumah makan yang bertebaran di sepanjang jalan Wijilan, atau warung-warung kecil yang berjarak selemparan batu dari rumah; semuanya pandai meramu resep gudegnya masing-masing.

Masalahnya, saya ga suka makan gudeg. Mungkin karena menurut lidah saya yang Jawa Timur-an ini, gudeg terlalu manis dan 'aneh'. Bisa sih kalau makan sekali atau dua kali, tapi kalau dalam sebulan ketemu dua-tiga kali, aduh rasanya pingin garuk-garuk aspal. Apalagi, karena memang gudeg adalah kuliner khas Jogja, makanan ini sering banget muncul di event-event yang saya ikuti. Dari mulai seminar dimana saya menjadi pesertanya, sampai konferensi tingkat internasional tempat saya bertugas sebagai volunteer.

Nah, berhubung ngomongin gudeg Jogja sudah terlalu mainstream dan saya sendiri udah kebayang eneg-nya (buat penggemar gudeg, maaf yaaa); kali ini saya akan menceritakan tentang bakso terenak di Jogja.

Hah? Ga salah, prim?

Iya, saya sempat underestimate sama bakso-bakso di Jogja. Soalnya memang taste-nya jauh berbeda dengan bakso-bakso di Malang atau Surabaya. Dari mulai tekstur baksonya (halah halah) sampai kuahnya; awalnya saya sempat 'menolak' makan bakso. The thing is, satu-satunya makanan 'ringan' dekat rumah yang bisa saya temukan – selain warung gudeg - adalah mie ayam dan bakso asli Wonogiri.

Lama-lama saya jadi memperhatikan bahwa banyak juga ya warung mie ayam dan bakso asli Wonogiri di Jogja. Biasanya kuahnya kental, dan rasanya cukup pekat. Dan potongan ayamnya tetep manis yaaaaa, aduh aduh.

Selain mie ayam dan bakso asli Wonigiri, ada bakso lain yang menurut saya bisa 'dipertimbangkan'. Namanya Bakso Gress, dan salah satu stand-nya ada di kantin FISIPOL UGM – kampus saya. Pertama kali melihatnya, saya langsung jatuh cinta karena persiapannya lumayan higienis. Sempat kaget dengan harga siomay(basah)-nya yaitu Rp. 5.000/potong, tapi ternyata enak banget. Worthy! Thumbs up! Kuahnya juga segar, jadi meskipun harganya agak mahal dibandingkan makanan lain di kantin, tapi harganya menunjukkan kualitasnya. Cieh.

Sejauh ini, yang saya tahu, Bakso Gress juga ada di Mall Galeria dan food court dekat lampu merah Jalan Kaliurang/Kentungan. Tapi yang di Mall Galeria jelas lebih mahal dong, kan ada pajak tambahan. Jadi, kalau mau coba nge-bakso di Jogja, main aja ke kampus saya. Dan kalau ketemu saya, jangan lupa minta foto bareng ya! #KibasJilbab :)))

Salam kuliner,
Prima

Wednesday, September 9, 2015

Pasar Beringharjo: Sebuah Memori tentang Persahabatan


Melengkapi kekhawatiran akan jati diri saya sebenarnya, saya tidak begitu suka pergi ke pasar. Ya, setelah jelas-jelas terbukti tidak suka memasak dan selalu menciptakan masalah saat berada di dapur; saya juga tidak suka berbelanja. Jadi, sebenarnya saya ini perempuan bukan ya? *ngintip *eh

Seumur hidup saya, bisa dihitung berapa kali saya pergi ke pasar. Itupun hanya sekedar membeli apa yang perlu dibeli, lalu pulang. Kecuali Pasar Blauran Surabaya – dulu saya pernah suka menghabiskan waktu disana karena mereka punya koleksi buku lama dan warung-warung yang makanannya endang mbambang. Tapi itu dulu, akhir-akhir ini kalau mama saya mengajak ke Pasar Blauran, saya pasti cuma mau makan soto ayam dan es campur (the best of the world #lebay) terus pulang.

Kenapa kok segitunya sih, prim? Ya memang dari sononya saya ga suka belanja. Kalau ke mall pun bisa juga cuma satu, dua jam. Biar waktunya efektif dan ga ngabisin lebih banyak duit karena lapar mata. Haha. Selain itu, di mata saya, pasar masih identik dengan becek, bau, sampah bertebaran dimana-mana – ga asik deh pokoknya. Kayaknya sih, kecuali pasar moderen di Bumi Serpong Damai (BSD) yang pernah saya kunjungi beberapa tahun yang lalu.

Makanya, walaupun sudah bolak-balik ke Jogja untuk liburan – dan sekarang tinggal di Jogja, seingat saya, saya hanya pernah mengunjungi Pasar Beringharjo sebanyak tiga kali. Whaaat? TIGA? Iya, sekali bersama nenek, sekali bersama tante, dan sekali bersama Sunhyung Eonni (Korea) dan Nhung (Vietnam).

Untuk yang ketiga itu, saya masih ingat ceritanya – yang sering bikin saya senyum-senyum sendiri hingga sekarang. Awal tahun 2012, saya, Sunhyung Eonni, dan Nhung menghabiskan beberapa jam (yep, cuma 36 jam!) di Jogja karena keduanya akan segera kembali ke negara masing-masing. Setibanya di Jogja, kami ditraktir Yong Han Oppa (saat itu pesepakbola di Persiba Bantul) ke Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Sorenya, sebelum makan malam, kami mampir sebentar ke Mirota Batik. Disitulah Sunhyung Eonni dan Nhung terkesima dengan produk oleh-oleh yang lucu-lucu dan affordable. Kebetulan, Sunhyung Eonni baru saja mengunjungi Bali dan bercerita kalau disana harga barang tergolong mahal. Nhung apalagi, dia tidak ikut mengunjungi Bali dan belum membeli oleh-oleh untuk keluarganya. Maka, kami pun pulang dengan menenteng barang belanjaan.

Keesokan paginya, mereka berdua bertanya kepada saya, apa rencana saya. Saya katakan bahwa saya ingin mengajak mereka ke Benteng Vredeburg dan Kraton. Eh, saat kami di taksi melewati Malioboro, tiba-tiba Sunhyung melihat Mirota Batik dan merajuk agar kami kesana lagi. Setelah berdiskusi dengan cukup tegang (karena malamnya kami akan pulang ke Malang, masa ngabisin waktu dengan belanja lagi sih?), saya sarankan untuk pergi ke Pasar Beringharjo.

Mereka setuju – tapi saya sempat merutuki diri sendiri, lah saya kan ga suka ke pasar. Kudu gimana nih??? Ga mungkin juga saya membiarkan mereka pergi kesitu berdua aja. Sayapun menelepon seorang teman yang orang Jogja untuk menyusul kami.

Lima belas menit kemudian, mbak Frida namanya, datang dan 'menyelamatkan' saya. Ia menggandeng Sunhyung Eonni dan Nhung kedalam; dan mereka bertiga forgot me in no time. Apalagi mbak Frida jago nawar dalam bahasa Jawa halus – yang pastinya membuat mereka mendapat harga yang fantastis (busyet deh, kalau ga salah ada satu baju batik yang awalnya dihargai seratus sekian ribu, dan akhirnya dibayar Sunhyung Eonni tiga puluh ribu).

Saya masih ingat mata Sunhyung Eonni yang bersemangat sekali hari itu, ia menggamit mbak Frida berkeliling; sambil sesekali mengecek apa Nhung menginginkan sesuatu. Sedangkan saya? Duduk anteng makan es dawet di salah satu rombong di depan pasar. Lol.

Sekitar tiga jam kemudian, mereka keluar dari pasar dengan wajah kelaparan tapi puasss. Macem muka mahasiswa yang dapet IP 4,5 gitu #yaelah

Selesai? Belum. Karena mereka tetep keukeuh mau ke Mirota Batik lagi – dan alhamdulillah ada kafe di lantai paling atas, jadi kami makan siang sekalian. Sambil menunggu pesanan kami datang, Sunhyung Eonni dan Nhung saling memijati kaki. Saya dan mbak Frida tergelak.

Tiga tahun sesudah peristiwa ini (halah, peristiwa...), gantian Nhung menemani saya ke Ben Thanh Market di Ho Chi Minh untuk membeli oleh-oleh. Tidak perlu susah-susah menawar, kebanyakan penjual di Ben Thanh bisa berbicara dalam bahasa Melayu. Dan berapa lama waktu yang saya butuhkan? Tidak sampai satu jam.

Oleh karena itu, Pasar Beringharjo selalu bisa mencipta senyum di wajah saya saat melewatinya. Lebih dari sekedar apa yang dijual disana – tapi ada memori tentang persahabatan antar budaya, yang sampai sekarang masih kami jalani.

Anyway, bulan Agustus lalu, saya 'hampir' menemani mahasiswa Korea kesana lagi. Tapi beribu syukur, mereka batal masuk pasar dan sudah cukup senang berbelanja di sepanjang jalan Malioboro. Hahahahaha.

Well that's my story about Pasar, the center of people' hard work and passion (...about shopping :p).
What's yours? ;)

Love,
Prima 

*untuk melihat foto saya, Sunhyung Eonni, dan Nhung (bukan di Pasar Beringharjo sih...), read this post
**kalau ga mau lihat, gapapa juga sih. kali ada yang penasaran sama cantiknya saya Sunhyung Eonni :)))

Sunday, September 6, 2015

Lapangan GSP: Olahraga Beneran vs Cuci Mata

Pic from here.
Sebelum kita memasuki tema kedua di #30harikotakubercerita, yaitu ruang publik; let me tell you a thing or two about why I choose to write Yogyakarta instead of my hometown, Surabaya.

Awal November itu, saya tiba di Jogja dengan perasaan berbeda. Saya memang begitu bersemangat karena saya akan memasuki karantina World Muslimah Award 2014 dengan sekitar 20-an finalis lain dari berbagai negara. Tapi, sebagaimana telah saya kemukakan di salah satu sesi penjurian yang mengundang audiens umum – I burnt the bridge. There was no turning back for me. Menang atau kalah, saya tidak bisa 'pulang' ke Surabaya. Ya, untuk membuktikan 'keseriusan' saya pada ajang pemilihan muslimah berbakat tersebut, saya memutuskan untuk resign dari tempat kerja yang sudah sempat membuat saya punya tabungan selama 2,5 tahun. But I had no time to think about that. I just wanted to give my best, and I got Inspiring Muslimah award at the coronation night. Alhamdulillah.

Sesudah gegap gempita World Muslimah Award berakhir, kekhawatiran mulai merasuki diri saya. I have no job, my saving is only enough for perhaps two or three months, I got nothing to do. Worse, I only had some friends. Saya memang pernah bersekolah di Jogja selama satu tahun, tepatnya saat kelas 1 SMA, tapi saya pindah ketika kenaikan kelas. Untungnya, sebuah peristiwa yang disebut 'kebetulan' mempertemukan saya dengan tiga orang teman yang dulu pernah sekelas. Selain mereka, ada beberapa kenalan – yang tentunya punya kesibukannya masing-masing.

Desember 2014 hingga Januari 2015, saya hampir frustrasi karena saya terbiasa melakukan sesuatu. Meski saya tetap blogging, saya merasa...tidak berguna.

Tapi Allah masih sangat menyayangi saya. Ia mengizinkan saya untuk kembali bersekolah tanpa suatu halangan yang berarti, dan memberikan saya begitu banyak kesempatan untuk terus menambah teman-teman baru.

Bulan ini, hampir sebelas bulan saya tinggal di Jogja. Meski Jogja sudah jauh berbeda dengan ketika saya SMA dulu (dan terutama macetnya, Allahu Akbar! - tapi kita akan membahasnya nanti saat tema lalu lintas), setiap bulannya saya menemukan alasan-alasan baru yang membuat saya terus jatuh hati pada Jogja.

Salah satunya adalah ruang publik yang dimiliki oleh Jogja. Sejujurnya, saya sempat bingung mau menulis tentang apa. Surabaya punya Taman Bungkul dan Tunjungan Plaza (eh ini ruang publik bukan ya? :p), Malang punya Alun-Alun, dan Jakarta punya banyak taman yang lumayan cantik meski tetap aja gerah. Okay, Jogja juga punya alun-alun, tapi buat saya agak kurang menarik. Mungkin juga karena saya baru kesana sekali saat menemani teman dan suaminya yang mau mencoba tantangan beringin kembar di alun-alun selatan (atau Alkid nama kerennya, it stands for Alun-alun Kidul btw).

Sampai kemudian, seorang teman yang saya kenal lewat sebuah event bertanya di grup line kami: guys, temenku nanya nih, kalau mau jogging di GSP, jam berapa yang kira-kira banyak cewek cakepnya?

Hahahahahaha.

Jadi, yang namanya GSP alias Grha Sabha Permana sebenarnya adalah gedung yang sering dijadikan pusat pertemuan di Universitas Gadjah Mada; sedangkan lapangan didepan GSP kalau ga salah namanya adalah Lapangan Pancasila (ini kata tante saya yang mulai S1 sampai S3 kuliahnya di FEB UGM). Cuma, orang-orang sudah terbiasa menyebut lapangan ini sebagai lapangan GSP.

Waktu awal masuk kuliah, saya sempat kaget lho melihat begitu banyak orang berkumpul di GSP. Bukan, bukan lagi ngantri sembako. Tapi lagi ngantri jodoh :))) Ya kan, siapa tau waktu lagi jogging atau sepedaan tipis-tipis, ada yang bening di sebelah kita. Ngobrol sambil modus bisa kaliii. *prima ngajarin yang ga bener -_-

Biasanya sih keramaian akan dimulai sekitar jam empat sore sampai sekitar maghrib. Tapi kalau hari sabtu atau minggu, katanya pagi juga ramai.

Kok katanya???

Hehe, iya, saya belum pernah ngerasain berolahraga di GSP. Soalnya grogi, banyak yang ngeliatin. #errr

Nah, berhubung saya ga pernah kesana untuk sekedar jogging (ke UGM kalau ga buat ke perpus, ya kuliah lah), mohon maaf lahir bathin saya ga bisa kasih banyak tips. Tapi satu yang penting, sister harus bawa minum sendiri. Memang sih di gerbang selatan dekat pertigaan ke arah Fakultas Kedokteran Gigi ada rombong yang menjual minuman; tapi harganya tuh mahal banget. Saya pernah terpaksa membeli P*c*k H*r*m saat menunggu dijemput tante saya, dan harganya Rp. 6.000/botol. Hiks, sedihnya. Kalau dibeliin di Ind*m*r*t bisa dapet dua botol yes. Alternatifnya, kalau sister sudah cukup berolahraga, sister bisa ke food court di belakang Gelanggang/BNI, atau coba aja ke salah satu warung tenda yang berjejer di sepanjang Jakal. Menjelang malam, beberapa warung terlihat penuh sesak lho, apalagi kalau malam minggu.

So, bisa banget nih modusin cowok cakep yang lari-lari sama husky lucu-nya, “eh, aku lagi ulang tahun lho. Ikut aku dan temen-temen ngemil roti bakar disitu yuk.” (maap saya ga jago nggombal, saya jagonya tilawah Qur'an #ahseeek) Yaaa semacam gitu lah. Olahraga dapat, seru-seruan sama teman juga dapat.

Jadi, siapa yang mau ngatur janjian sama gengnya untuk berolahraga di GSP weekend depan? ;)

Salam olahraga,
Prima

Thursday, September 3, 2015

Kraton Yogyakarta: Ketika Nasionalisme Dipertanyakan

 
 
 


“Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa.”
Sultan Hamengkubuwono IX

Sebagai orang (ngaku-ngaku) Jawa, saya tertohok membaca kutipan diatas. Apalagi saya tidak belum pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, kok bisa sok-sok ngerasa bukan orang Jawa?

Kutipan diatas bisa sister temukan di sebuah ruangan yang didesain seperti ruang kerja pribadi Sultan, didalam kompleks Kraton Yogyakarta. Kraton ini merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; yang dibangun pada tahun 1756-1790 oleh Sultan Hamengkubuwono I*.

Setelah sekali mengunjunginya saat masih kecil sekali (bahkan hampir lupa kalau pernah kesana), secara random saya dan Steffy – sahabat petualang saya – memilih Keraton Jogja untuk tempat liburan kami hari minggu lalu. Random banget lah, dari yang rencana pingin ke pantai tiba-tiba menclok di Keraton gitu. Berkah dari ke-random-an itu adalah, kami berkesempatan melihat sisi lain dari Yogyakarta, atau bahkan Indonesia – dari sudut pandang seorang abdi dalem bernama Bapak Yaris (it's his real name, really).

Berawal dari terkesima-nya kami seusai menonton beberapa pertunjukan selama hampir dua jam (karawitan – latihan tari – wayang orang), angin sepoi-sepoi membuat kami mulai mengantuk. Tapi semangat jalan-jalan masih membara dong, secara baru jam12 siang, jadi instead of tidur di pendopo yang pewe itu, kami malah bikin vlog. Kalau Jebraw punya Jalan-Jalan, Men! - saya (dan Steffy&Ekky, teman yang menyusul kami ke Keraton) punya Jalan-Jalan, Neng! - atau Jalan-Jalan, Mbak! Asal bukan Jalan-Jalan, Cuk! #ups #MaapKelepasan #AslinyaMemangArekSuroboyo

Jadilah kami mengulang kegiatan 'thawaf' didalam kompleks Keraton. Ketika saya dan Ekky berada di ruang koleksi barang antik, Steffy – dengan keluwesannya – berhasil meluluhkan hati seorang abdi dalem untuk bercerita, dan ketika kami bergabung, Bapak yang sabar ini bersedia menjawab berbagai pertanyaan kami tentang Kraton dan budaya Jawa. Dibawah ini percakapan yang sempat saya abadikan dalam ingatan saya #tsah

Kami (K): Pak, kayaknya kami ga banyak dengar tour guide bicara dalam bahasa Inggris?
Pak Yaris (PY): Iya, sebenarnya turis yang paling banyak itu berasal dari Belanda. Tau tho kalau salah satu pangeran Jogja ada yang menjadi suami Ratu Wilhelmina dari Belanda?

Kami menggeleng.

PY: Oalah.. Piye tho, ga tau sejarah..

*melipir bersembunyi di balik pohon

PY: ..ada juga banyak turis dari Swedia. Dua itu yang paling banyak jumlahnya.

Kami manggut-manggut.

PY: Oh, yang banyak juga turis Jepang. Kraton ini kan nanti tutup jam dua siang. Habis itu, dibuka untuk tamu-tamu khusus dengan perjanjian. Turis-turis Jepang biasa kesini untuk keperluan pembelajaran atau penelitian tentang budaya.

Disini Steffy yang bersemangat mendengarnya – soalnya dia memang bekerja di semacam pusat informasi pariwisata Jepang.

PY: Mereka itu banyak yang kesini, mencari ketenangan. Mereka sangat menghargai tradisi Jawa karena spiritualitasnya, sesuatu yang sulit mereka temukan dalam kehidupan moderen seperti saat ini. Sama seperti kalian, anak muda contohnya, jaman sekarang ini sedikit yang tahu unggah-ungguh (sopan santun, terutama kepada yang lebih tua).. Apalagi yang ngerti budaya sendiri, wah makin jarang. Ada yang bisa nari ga ini? Kamu, kamu?

Lalu Steffy menimpali, dengan menceritakan bahwa sebuah pusat kebudayaan Jawa di Jakarta mematok harga Rp. 350.000/pertemuan untuk belajar tari jawa tradisional.

PY: Aduh, kalau kamu disini aja Bapak ajari. Gratis. Kalau maunya belajar karawitan, nanti diajari sama saudaranya Bapak. Dia sudah sering main sampai keluar negeri. Karena orang luar suka banget liat karawitan gitu. Kamu tau nduk, le. Seniman itu bisa jadi artis, jadi terkenal. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Itu ada di jiwa mereka. Tapi artis belum tentu seniman, belum tentu memahami apa yang menjadi jiwa pertunjukan – yang bisa membahagiakan yang lihat.

*mulai speechless

PY: Lihat tayangan televisi jaman sekarang, ah Bapak jadi sedih. Itu yang namanya hiburan? Padahal Bapak yakin, anak muda bisa buat lebih baik dari itu.

*nganga

Ketika Pak Yaris menutup pembicaraan, jam sudah menunjukkan pukul 13.40, dan sebentar lagi Kraton akan ditutup. Sementara Pak Yaris dan para abdi dalem akan terus berjaga hingga menyelesaikan shift 24 jam mereka keesokan hari.

Kami pulang dengan perasaan nano-nano.
Sebuah pekerjaan rumah yang berat menanti kami.
Mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa seberapa global pola pikir dan pergaulan kami, rumah tempat kami kembali hanya satu: Indonesia.
 
Salam,
Prima


*dikutip dari Buklet Destinasi Jogja Istimewa, diterbitkan oleh Dinas Pariwisata DIY.

Tuesday, September 1, 2015

5 Don't(s) Ketika Orang Tua Bercerai

Lagi rame banget ya, masalah perseteruan Aurel dan miminya. Tentu saja kita ga tau gimana duduk perkara sebenarnya, dan juga jangan sok tau terus komen-komen ga jelas gitu.. Apalagi di Instagram mereka, no no no! It's just, love can make us the stupidest person. Kalau ada yang bilang cinta itu buta, mungkin ini adalah salah satu contohnya. *salim sama Tante KD dan Om Raul*

Anyway, yang namanya perceraian itu dimana-mana pasti ga enak. Apalagi buat anak, yang udahlah ga bisa ngapa-ngapain, eeeh kena image buruk pula karena orangtuanya bercerai. Padahal anak-anak bisa apa kan ya?

Sebagai anak 'korban' perceraian, yang bisa kita lakukan sebenarnya banyak sekali, salah satunya adalah berdoa *digetok* Tapi beneran, kita ga pernah tahu kekuatan doa – karena siapa tahu, dengan panjangnya sujud dan khusyu'-nya ruku', Allah berkenan memberikan 'kesempatan kedua' untuk keluarga kita :)

Disamping berdoa, ada juga hal-hal yang perlu dihindari saat terjadi prahara dalam biduk rumah tangga orang tua kita (aish bahasa guweeeh), soalnya ketika perceraian itu terjadi, kita seringnya tidak berpikir dengan baik. Hal-hal dibawah ini akan memperburuk keadaan kita secara fisik maupun psikologis. What are those? Ini dia. 

1. DON'T ever think of smoking and alcohol beverages
Pada masa-masa seperti ini, akan sangat sulit bagi sister untuk berpikir jernih. Oleh karena itu, please please please jauhkan diri dari rokok dan alkohol. Mungkin sister akan merasa bahwa orang tua sister 'merusak masa depan sister', so jangan tergoda untuk turut merusak tubuh dan pikiran sister. Rokok dan alkohol itu enaknya cuma sebentar kok; tapi efeknya bisa jauh lebih buruk ketika keduanya menimbulkan kecanduan. Belum lagi, ga ada orang yang penampilannya jadi lebih baik karena rokok dan alkohol; yang ada sudah mata bengkak kebanyakan nangis, eh bau mulut dan bau badan pula. Kalau sister 'lemah' terhadap cokelat, es krim, cemilan; go for it. Makan sebanyak-banyaknya; jajan sesering mungkin. It's better to be fat than to be sick for this condition. 

2. DON'T get too close with your boyfriend
Don't yang kedua ini agak aneh ya? Bukannya pada situasi serba kalut, you will need someone to talk to? Tapi kembali lagi keatas, ketika sulit bagi sister untuk berpikir jernih, maka sister sedang mempertaruhkan hubungan sister – dengan siapapun yang berada di dekat sister. Sister akan kesulitan mengendalikan emosi dan kata-kata. Yang ada pinginnya marah-marah terus. Selain itu, ketika perceraian terjadi, akan sangat wajar jika sister kemudian apriori terhadap segala sesuatu bernama cinta dan romantisme. Anything that he does to make you feel better won't help.
Terakhir, sangat mungkin bahwa sister akan kehilangan kendali – dalam hal ini, ehem, sexual desire – mungkin sebenarnya bukan literally seksual tapi sesuatu yang mendorong sister mencari 'kehangatan'. Kalau pacar sister 'pandai memanfaatkan situasi', duh...saya ga berani membayangkannya. Naudzubillah. 

3. DON'T Talk to Your Family Members
Ketika perceraian sedang diproses dan masalahnya sedang hangat, setiap orang di keluarga sister (pakde, bude, nenek, kakek, dan lain-lain) akan memiliki pendapat yang berbeda-beda dan cenderung memihak. Why so? Because no one – I said, no one – experience what exactly happening. Kebanyakan dari mereka kan tidak tinggal dengan orang tua sister, ostomastis mereka hanya mendengar dan melihat dari luar. Ketika sister terlalu banyak menerima hal-hal yang kebenarannya patut dipertanyakan, saya khawatir sister tidak dapat memutuskan pendapat sendiri..

4. DON'T stay away from your siblings
Apapun posisi sister dalam keluarga, kakak atau adik sister pasti merasakan kepedihan yang sama. Ketika sister merasa kurang dapat memposisikan diri di antara ayah atau ibu, demikian juga dengan kakak dan adik sister. So hug them, tell them that you're sad and you all can facing this together. 

5. DON'T be mad with your mom/dad
Hal ini barangkali adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan. Tapi setelah bertahun-tahun, yakinlah, sister masih jauh lebih beruntung daripada sekian ribu anak yang bahkan tidak mengetahui siapa orang tua mereka – hanya semata karena mereka adalah anak yang tidak diinginkan. Kabar baiknya, ayah dan ibu sister pernah saling menyayangi; saling bahu-membahu bekerjasama; dan mereka berdua akan selalu berjuang untuk kebahagiaan sister, dengan cara apapun yang mereka anggap terbaik.

Maybe you'll understand it in 1-2 years. Maybe it'll takes forever.

Even me myself, still asking the same questions in more than 20 years: why my parent weren't meant to be? Why both of them won't meet again, even though it was for my graduation? Why do I have to choose where to celebrate Eid Fithr this year – because I can't be with both at the same time. Why? Why, Allah?

But to know that both of them, still here on earth: pay my tuition fee, wish me on my birthday, buy me the flight ticket when I want to travel to places, ask what I want to do with my career..... They are still fight for me, together – with their own way.

Now the best thing for me is, to see they are happy with their own choices. It makes me believe that one day, I can find my own happiness.  

And you can, too.

Hugs,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...