Friday, August 14, 2015

Bepergian Sendiri bagi Muslimah

Di antara semua ilmu agama yang saya ketahui (yang masih bagaikan remahan cookies ini), salah satu 'hukum' dalam agama yang sempat saya 'kritisi' adalah larangan perempuan bepergian tanpa mahram. Mari kita simak hadits dibawah ini:

"Tidaklah boleh seorang perempuan melakukan perjalanan sejauh sehari semalam  kecuali jika bersamanya mahram"  (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Awalnya, saya takut banget, ya Allah selama ini - dan selama engga tahu beberapa tahun kedepan nanti, rasa-rasanya saya 'terpaksa' akan bepergian sendiri terus. Apalagi, dari sejak kecil banget saya juga sudah terbiasa kemana-mana sendiri. Saya ingat, saat itu usia saya 9 tahun dan saya harus terbang ke Banjarmasin untuk menemui mama saya. Ketika saya tiba di bandara-pun, mama saya tidak menjemput saya karena ada suatu keperluan. Jadilah saya diantar oleh salah satu teman mama saya. Berhubung teman mama saya itu bekerja sebagai pengisi avtur pesawat, saya harus ikut beliau naik tangki avtur ke pos kantornya. Gileee, pengalaman warbiyasak! Sayang belum ada tongsis waktu itu #lhoh

Beberapa dari sister tahu bahwa ayah-ibu saya berpisah sejak saya berusia empat tahun. Sejak saat itu,  most of my kids time ditemani sopir dan pembantu (saya manggilnya dayang, haha). Ketika masuk SMP, meski ibu saya masih mengelola antar jemput sekolah, saya mulai merasakan naik angkutan umum, dan terkadang, sendiri. Waktu kelas 3 SMP, saya mengikuti World Scout Jamboree di Thailand, dan kesana, sendiri (bareng regu dan delegasi Indonesia yang lain siiih) – walau ibu saya bertugas sebagai staf, tetapi kami jarang bertemu.

Hingga saat ini, saya lebih suka bepergian tanpa terikat. Ga rempong, bisa bikin itinerary sendiri, dan ga perlu menyesuaikan diri sama banyak orang. Hanya saja ga cuma masalah traveling sendiri aja yang bikin saya khawatir dengan implikasi dari hadits diatas; tapi saya kan bersekolah di luar kota saat S1 (dan sekarang S2), dan masih kepingin banget kerja di luar negeri nantinya.

Nah, sekitar setahun yang lalu, saya menghadiri sebuah pengajian dan ustadzah-nya menyatakan beberapa pemikiran ulama yang dapat dijadikan acuan untuk kekhawatiran saya. Jadi, tentunya setiap hukum Allah dibuat dengan latar belakang yang idealnya adalah untuk menjaga dan memudahkan hidup hamba-Nya. Terlebih untuk perempuan, yang memang sangat dilindungi dan dihargai setinggi-tingginya. Ekstrimnya, perempuan ga usah keluar rumah deh, kalau ga perlu-perlu banget. 

Meski demikian, menurut ustadzah tersebut, ada dua faktor yang dapat digunakan sebagai 'antisipasi' dari hadits diatas, yaitu bebas dari fitnah, dan keamanan. Kita bahas satu-persatu ya.

1. Bebas dari Fitnah

Bahkan jika seorang perempuan berdiam di rumah dengan seseorang yang tidak 'patut', maka hal tersebut justru lebih rawan fitnah daripada ketika ia bepergian. Misalnya, di rumah tante saya, ada seorang yang membantu tante saya untuk mengatur perpustakaan rumah kami. Dia dilarang berada di rumah jika hanya dengan sepupu-sepupu lelaki saya. Why? Karena dia bukan anggota keluarga, jadi hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Sebaliknya, sebagai contoh, adik saya yang bersekolah di pesantren, tidak ada mahramnya disana, tapi insyaAllah orang-orang di pesantren dapat dipercaya. 

2. Keamanan
Konon, hadits diatas menggambarkan kisah perjalanan Ummu Aisyah yang harus bepergian dengan unta melintasi gurun pasir yang banyak perompak dan sebagainya. Maka, semisal perempuan bepergian dengan pesawat, menurut saya hal tersebut lebih aman daripada harus naik bis selama semalam. Ketika saya traveling ke Malaka, faktor keamanan saya dijamin oleh Tante Etty, teman mama, karena saya menginap disana; daripada saya menginap di hotel yang 'tidak jelas'. Demikian juga dengan ketika saya di Vietnam, faktor keamanan saya dijamin oleh Nhung. Meski tetap saja saya sempat 'terpeleset' ketika saya menginap di guest house 'aneh' di Phnom Penh, huhuhuhuhu.

Saya tidak bermaksud untuk mengabaikan hukum Allah untuk hal ini, tetapi saya tidak bisa membayangkan kalau saya tidak boleh keluar rumah tanpa mahram. Seingin-inginnya saya diantar ayah atau adik kandung laki-laki saya, toh hidup tidak mengizinkan saya tinggal serumah dengan mereka. Jadi, saya hanya bisa berusaha menjaga kedua hal diatas.

Terakhir (sebenarnya ini yang pertama sih), kepergian tersebut diniatkan untuk Allah. Bersekolah, bekerja, ber-silaturrahim – bahkan jalan-jalan pun punya tujuan untuk melihat kebesaran Allah dan menjadikan kita sebagai hamba yang bersyukur dan lebih patuh lagi kepada-Nya.

Cumaaa, se-hepi-hepinya pergi sendiri, memang lebih enak sih kalau kemana-mana ada yang nemenin, dan sudah sah/halal. Apalagi kalau dibayarin, dan orangnya ganteng, pula. #eh #kode :)))

Happy traveling, sister!

Salam,
Prima 

Bacaan lebih lanjut:

3 comments:

  1. ( tahun udah pergi sendiri ke luar pulau mbak??? Superrrr sekali!!!

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, rasanya seperti mendapat pencerahan (eaa)
    Selama ini saya juga khawatir akan larangan bepergian sendirian bagi perempuan, padahal rumah (orangtua) saya dan tempat kuliah terpisah pulau. Pada akhirnya saya juga sering kemana-mana sendirian

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...