Pic from here. |
Kalau saya membuka post ini dengan menuliskan, ‘engga kerasa ya, sudah sembilan hari terlewati”, pasti terdengar sangat klise. Buat saya pribadi, tadi ini baru taraweh ke-4, jadi masih tergolong ‘pemanasan’. Seharian badan masih lemas banget padahal kerjaan cuma ngeliatin laptop. Menjelang ashar baru bisa ‘berkicau’. Begitu adzan maghrib, rasanya mau makan semua yang terhidang di meja. Yaelah, kayak puasa anak TK aja, prim..
Ngomongin tentang taraweh, sister pasti tidak pernah melupakan yang namanya catatan khutbah taraweh. Iya, yang tiap hari harus minta tanda tangan ustadz/takmir, terus dikumpul ke wali kelas untuk dicek. Dulu saya termasuk rajin dan catatannya paling lengkap. Cuma kalau sudah menjelang hari raya, apalagi sudah mudik ke rumah nenek, jadi malas mencatat khutbah karena disampaikan dalam bahasa Jawa. Berasa aneh aja tiap kalimat harus nanya, “Ti, artinya apa?” Yang ada malah dapat tambahan ceramah dari nenek mengenai pentingnya belajar bahasa Jawa.
Then I think, why don’t I do it again now? Sejak saya nge-blog tahun 2013, saya memang sudah sering memasukkan cerita-cerita yang saya dapat dari khutbah yang saya dengar atau pengajian yang saya hadiri. Tapi untuk bulan yang sangat spesial ini – yang insyaAllah setiap harinya saya akan mendapatkan siraman rohani – kan sayang kalau tidak didokumentasikan. Semoga catatan ini berguna suatu waktu nanti kalau iman saya sedang turun.
So, refleksi Ramadhan hari ini adalah...masalah rezeki. Ustadz yang hari ini memberikan ceramah, suaranya mirip Profesor Snape! Berat, ngomongnya lambat-lambat, setiap kata diberi penekanan. Saya hampir nungguin dia ngomong ‘avada kedavra’. LOL.
Sebenarnya beliau tidak membahas masalah rezeki. Yang beliau sampaikan justru tiga amal yang paling dicintai Allah, yaitu berderma, ‘menjalin hubungan’ dengan Al-Qur’an, dan qiyamul lail alias sholat Tahajud. Amal yang pertama sempat membuat saya tertohok, saat beliau mengatakan tentang nilai dari ‘beramal saat lapang dan saat sempit.’ Jadi beramal tidak harus menunggu kaya. Sedikit juga boleh, asal rutin, konsisten, dan ikhlas. Duh, sedih banget dengernya; secara sejak hari pertama Ramadhan, saya belum mengeluarkan sepeserpun untuk shodaqoh. Memalukan? Banget! Memang saya ada alasan yang tidak perlu diceritakan disini, tapi rasanya ada beban menghimpit di dada. Saya hanya bisa banyak mengucap istighfar dan berdoa semoga segera ada rezeki yang bisa digunakan untuk ber-shodaqoh.
Selain tentang amal, saya juga terkesan dengan kemampuan masjid tempat saya ber-taraweh dalam menyiapkan 300-400 pax takjil setiap harinya. Saya dengar Masjid Jogokariyan yang dipimpin oleh Ustadz Salim A. Fillah menyediakan 1200 piring untuk makanan buka puasa selama bulan Ramadhan. Ngaku deh, siapa diantara sister yang tergabung dalam geng PPT (Para Pencari Takjil)? :p
Beberapa tahun terakhir, saya hampir tidak pernah mengejar takjil gratis meskipun berencana menghabiskan maghrib di suatu masjid. Selain karena malas antri, saya pernah menolak pemberian takjil karena saya merasa masih mampu membeli. Sementara di masjid itu ada banyak sekali orang yang sedang mengantri – dan menurut saya lebih membutuhkan. Tapi pernah juga sih, bela-belain antri makanan buka puasa di sebuah masjid karena hari itu menunya ayam goreng crispy dari sebuah merek franchise terkenal (#eaaa).
Bukannya saya ingin menyombongkan diri, tapi dibalik itu justru ada cerita yang sangat menyedihkan.
Ketika usia saya sekitar 9-an tahun, adik saya baru lahir, dan mama saya yang sedang proses resign dari kantornya, sehingga tidak punya banyak uang untuk membeli makanan. Yang mama prioritaskan tentu susu formula untuk adik saya (ibu-ibu yang anti sufor engga usah protes). Jadilah setiap maghrib, saya ‘dikirim’ ke tempat sholat dekat rumah untuk mengambilkan makanan untuk saya dan mama saya. Itulah satu-satunya harapan kami untuk makan yang lumayan enak, untuk kemudian makan apapun yang kami miliki saat sahur.
Waktu itu, perumahan kami belum punya masjid atau mushola, jadi kegiatan sholat maghrib dan taraweh dilakukan di sebuah rumah yang dibuka oleh pemiliknya. Jemaahnya juga engga banyak, mungkin sekitar 50-an orang. Nah, sister tentu familiar dengan sistem rolling yang ditetapkan oleh masjid di perumahan kan? Keluarga saya pun kebagian, dan kami kalang kabut karena tidak punya uang. Salah satu ‘solusi’ saat itu, kalau saya mengambil takjil dan makanan berbuka, kan ada air mineral-nya tuh, tidak boleh saya minum. Air mineral gelas itu kami simpan! Satu demi satu.
Kami pun minta jadwal kami ditunda dan ditukar dengan rumah lain, sampai menjelang hari terakhir Ramadhan. Kami ‘terpaksa’ harus menyiapkan takjil dan makanan berbuka. Allah Maha Besar. Hari itu kami punya kelebihan rezeki untuk memenuhi kewajiban kami. Air mineral-nya pun memanfaatkan ‘tabungan’ saya selama beberapa minggu sebelumnya. Yang luar biasa, orangnya yang datang hanya sekitar 20-an, jadi anggaran kami mencukupi, dan kami tidak perlu menambah air mineral. Lucu juga ketika diingat, saya datang membawa kardus berisi air mineral gelas yang tidak sama mereknya.
Sekarang, saya menulis ini sambil mengunyah pepaya dan kacang atom (tidak bersamaan juga sih). Tadi saya berbuka dengan minuman nutrisi tinggi protein dan susu. Ada es dawet juga. Lalu tante saya memasakkan teriyaki dan sayur kacang panjang. Ya Allah, alhamdulillah, alhamdulillah.
That’s why saya sempat bilang ke teman saya, hakikat puasanya orang yang mampu sebenarnya ‘hanya’ pindah jam makan saja. Yang biasanya tiga kali makan bebas, saat bulan Ramadhan hanya makan saat sahur dan buka (dan habis taraweh, seperti saya). Makanya, sudah sepatutnya kita menciptakan target melebihi sekadar bisa menahan lapar dan haus. Ada banyak hal yang patut kita syukuri – dan sebaliknya, kita perjuangkan. Tentu satu yang paling utama, sempurnanya islam, yang insyaAllah bisa kita dapatkan melalui puasa Ramadhan.
Semoga kita bisa ketemu lagi besok ya, sister. Kalau sister mau ‘menyumbangkan’ refleksi sister disini, I will be very happy. Just mail me at primadita1088 at gmail dot com.
Salam,
Prima
wow... baru tau ttg cerita masa kecil mbak prim yg itu... Masya Allah...
ReplyDelete