Pic from here. |
Hari ini saya ikut buka puasa bersama di kantor tante saya, dilanjut ‘taraweh kecil-kecilan’ dengan makmum pria satu orang, dan makmum wanita beberapa orang. So, tidak ada ceramah hari ini. Tapi, saya ada cerita dari ceramah taraweh beberapa hari yang lalu.
Saya agak lupa konteks ceramahnya gimana (lah?), yang jelas saya menangkap kisah tentang layang-layang yang menurut saya patut dijadikan peringatan bagi semua orang.
Pernah tahu layang-layang dong? Atau sister adalah mantan alay (anak layangan)? :p
Lucunya, sore hari sebelum taraweh, saya sempat menyenandungkan lagu Layang-layang. Mungkin saya ada bakat cenayang, bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Halah.
Kuambil buluh sebatangKupotong sama panjangKuraut dan kutimbang dengan benangKujadikan layang-layang
Bermain berlariBermain layang-layangBerlari kubawa ke tanah lapangHatiku riang dan senang
Memang lagu ini terdengar gembira. Tapi kalau sister memperhatikan orang yang sedang bermain layang-layang, biasanya hampir semua akan terobsesi untuk menerbangkan layang-layangnya setinggi mungkin. Jarang saya tahu ada orang yang bilang “udah terbangnya rendahan aja.. engga usah tinggi-tinggi.”
Selain itu, layang-layang juga jadi ‘media’ untuk ‘menyombongkan diri’. Kalau bisa, layang-layang itu semakin mentereng semakin bagus. Biar semua orang memperhatikan, “wuih, layang-layang siapa itu?” Terakhir, ‘jeleknya’ dari permainan layang-layang, you win when you put others’ down. Semakin banyak layang-layang yang berhasil kamu putuskan, maka itu artinya kamu layak menjadi pemenang.
Kembali ke ceramah taraweh. Ustadz tersebut mengingatkan bahwa seiring keinginan manusia untuk terus naik tingkat di kehidupan duniawi ini, kemungkinan untuk ‘dijatuhkan’ lawan semakin besar pula. Kadang hal itu sudah di-arrange by default oleh Allah. Bahwa seseorang tidak bisa terus selalu berada diatas. Apalagi kalau ia menjadi sombong, kufur nikmat, dan lupa kalau semuanya itu tidak mungkin ia dapatkan tanpa bantuan dari Allah.
Lalu ketika layang-layang itu telah putus dari talinya, ‘kita’ terombang-ambing ditiup angin. Tanpa arah, tanpa tujuan. Hingga kemudian mendarat di tanah, dan diinjak oleh siapapun yang melewati.
Sebaliknya – hal ini tidak disampaikan oleh Ustadz, tapi saya terinspirasi – kadang kita kurang berhati-hati dalam melangkah sehingga harus memutus langkah seseorang. Bahkan mematikan apa yang ia miliki. Hanya untuk kemenangan kita seorang.
Saya yakin kompetisi seperti itu hanya terjadi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Kalau misal masalah shodaqoh sih, ngapain juga menyabotase amal orang lain? Tapi berapa banyak diantara kita, yang ingin menang sendiri, tanpa memperhitungkan bahwa kita sedang menyakiti orang lain?
Semoga sister bukan layang-layang yang memaksa terbang tinggi. Nikmatilah angin semilir, karena nanti jika tiba saatnya, insyaAllah kita akan mencapai ketinggian yang pantas dan tidak membahayakan siapapun :)
Salam,
Prima
Aahh, makasih kak Prim, tulisanmu kali ini mengingatkanku untuk lebih hidup dalam hidup :)
ReplyDeletenaiklah tanpa menjatuhkan orang lain.. gitu kali ya mbak
ReplyDelete