[DISCLAIMER: 1) Mari kita berbicara tentang FILM secara objektif. Kalau kita ngomongin perkara Ahok begini-begitu, Hanum begini-begitu, pastilah tidak ada habisnya. Akan tetapi, jika kita melihat hanya pada produk film, dengan begitu banyak orang yang bekerja di baliknya, yuk hargai karya anak bangsa! | 2) Saya membeli tiket dengan uang saya sendiri dan saya menonton kedua film atas keinginan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.]
Hari Sabtu, 10 November 2018 saya ke Denpasar karena hendak mengajar ngaji. Berhubung saya memang berencana berangkat pagi (menghindari kepanasan di jalan) dan jadwal saya mengajar adalah pukul 16.30, saya berpikir… “nonton di bioskop ah.” Dan seperti biasa, berhubung saya jomblo, saya pun nonton sendiri. #ngenesamatprim
Jujur, pilihan pertama adalah A Man Called Ahok – justru karena saya mendapatkan broadcast message di WhatsApp tentang betapa film Hanum & Rangga mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan, sementara Ahok di dunia nyata kan bercerai. Saya enggak paham mengapa orang mau membandingkan film dan pribadi, sementara pada akhirnya toh Hanum Rais dalam tweet atau komentar di Instagram-nya menyatakan, karakter Hanum di film itu bukan dirinya, melainkan sebuah tokoh yang terinspirasi dari apa yang dia alami. Lagipula, dalam hal perceraian Ahok, rasa-rasanya kok bukan Ahok yang salah ya. Hmmm. Maka dari itu, saya ingin menonton kedua film dan membandingkannya secara seimbang. Sayangnya, Hanum & Rangga hanya diputar di Park 23, sedangkan saya waktu itu sedang berada di Level 21. Tapi karena sudah diniatkan, ya sudah saya ngebut ke Park 23.
Qadarullah, setelah selesai menonton Hanum & Rangga, saya dikabari bahwa murid saya mendadak sakit. Jadi saya pun segera kembali ke Level 21 untuk ‘bernapas’ dan mencerna film yang baru saja saya tonton. Selepas salat magrib, saya pun memasuki bioskop untuk menonton A Man Called Ahok. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, silakan simak review saya untuk kedua film berikut.
Opening: Film Hanum & Rangga dibuka dengan clip kejadian 9/11 yang membuat saya nganga --- memang enggak ada isu lain yang lebih baru atau update ya? Kebijakan Trump, kisah-kisah islamophobia yang masih marak di berbagai belahan dunia, dan sebagainya. Lalu adegan loncat ke dialog Hanum, Azima, Rangga dan Philipus (di telepon) yang menyatakan betapa Hanum sangat berjasa dalam memberitakan kebenaran. WAIKI masalahnya saya kan enggak baca bukunya atau nonton film sebelumnya. Saya langsung terdiam sejenak dan berdoa agar ada penjelasan di belakang-belakangnya tentang siapa Azima dan siapa Philipus (…dan ternyata enggak ada -_-).
Sementara itu, film Ahok dibuka dengan dramatis: rekaman suara Ahok saat membacakan pidato pada hari dimana ada demonstrasi di markas Brimob tempatnya ditahan. Saya sempat berharap bahwa film ini akan memasukkan hal-hal ‘kontroversial’ berkenaan dengan penahanan Ahok, sehingga saya berusaha lebih konsentrasi dalam menonton (…dan ternyata enggak ada juga -_-).
Nilai-nilai Kekeluargaan: To my surprise, film Ahok sangat mengedepankan nilai-nilai ini, lebih daripada film Hanum. Bahkan saya merasa film Ahok seharusnya diberi judul “A Man Called Tauke (Papanya Ahok)”, hehehe. Soalnya kita dibuat memahami mengapa Ahok melakukan apa yang ia lakukan selama ia berbisnis atau memerintah. Sementara film Hanum terlalu fokus pada Hanum dan impiannya. Rasanya, penonton membutuhkan beberapa adegan atau dialog yang menggambarkan hubungan Hanum & Rangga dengan lebih baik. Mungkin bagaimana mereka dulu bertemu, kekaguman Rangga atas kegigihan Hanum, atau sebaliknya bagaimana Rangga selalu berusaha membantu Hanum (itu kalau saya baca dari buku berjudul I Am Sarahza). Pada film Hanum & Rangga, penonton seolah-olah dipaksakan untuk memahami bahwa Rangga sedang S3 di Eropa (whyyyyy mereka harus menyebut ‘Vienna’ instead of ‘Wina’???) tapi mereka sedang berada di Amerika Serikat, karena….. entahlah.
Hari Sabtu, 10 November 2018 saya ke Denpasar karena hendak mengajar ngaji. Berhubung saya memang berencana berangkat pagi (menghindari kepanasan di jalan) dan jadwal saya mengajar adalah pukul 16.30, saya berpikir… “nonton di bioskop ah.” Dan seperti biasa, berhubung saya jomblo, saya pun nonton sendiri. #ngenesamatprim
Jujur, pilihan pertama adalah A Man Called Ahok – justru karena saya mendapatkan broadcast message di WhatsApp tentang betapa film Hanum & Rangga mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan, sementara Ahok di dunia nyata kan bercerai. Saya enggak paham mengapa orang mau membandingkan film dan pribadi, sementara pada akhirnya toh Hanum Rais dalam tweet atau komentar di Instagram-nya menyatakan, karakter Hanum di film itu bukan dirinya, melainkan sebuah tokoh yang terinspirasi dari apa yang dia alami. Lagipula, dalam hal perceraian Ahok, rasa-rasanya kok bukan Ahok yang salah ya. Hmmm. Maka dari itu, saya ingin menonton kedua film dan membandingkannya secara seimbang. Sayangnya, Hanum & Rangga hanya diputar di Park 23, sedangkan saya waktu itu sedang berada di Level 21. Tapi karena sudah diniatkan, ya sudah saya ngebut ke Park 23.
Qadarullah, setelah selesai menonton Hanum & Rangga, saya dikabari bahwa murid saya mendadak sakit. Jadi saya pun segera kembali ke Level 21 untuk ‘bernapas’ dan mencerna film yang baru saja saya tonton. Selepas salat magrib, saya pun memasuki bioskop untuk menonton A Man Called Ahok. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, silakan simak review saya untuk kedua film berikut.
Opening: Film Hanum & Rangga dibuka dengan clip kejadian 9/11 yang membuat saya nganga --- memang enggak ada isu lain yang lebih baru atau update ya? Kebijakan Trump, kisah-kisah islamophobia yang masih marak di berbagai belahan dunia, dan sebagainya. Lalu adegan loncat ke dialog Hanum, Azima, Rangga dan Philipus (di telepon) yang menyatakan betapa Hanum sangat berjasa dalam memberitakan kebenaran. WAIKI masalahnya saya kan enggak baca bukunya atau nonton film sebelumnya. Saya langsung terdiam sejenak dan berdoa agar ada penjelasan di belakang-belakangnya tentang siapa Azima dan siapa Philipus (…dan ternyata enggak ada -_-).
Sementara itu, film Ahok dibuka dengan dramatis: rekaman suara Ahok saat membacakan pidato pada hari dimana ada demonstrasi di markas Brimob tempatnya ditahan. Saya sempat berharap bahwa film ini akan memasukkan hal-hal ‘kontroversial’ berkenaan dengan penahanan Ahok, sehingga saya berusaha lebih konsentrasi dalam menonton (…dan ternyata enggak ada juga -_-).
Nilai-nilai Kekeluargaan: To my surprise, film Ahok sangat mengedepankan nilai-nilai ini, lebih daripada film Hanum. Bahkan saya merasa film Ahok seharusnya diberi judul “A Man Called Tauke (Papanya Ahok)”, hehehe. Soalnya kita dibuat memahami mengapa Ahok melakukan apa yang ia lakukan selama ia berbisnis atau memerintah. Sementara film Hanum terlalu fokus pada Hanum dan impiannya. Rasanya, penonton membutuhkan beberapa adegan atau dialog yang menggambarkan hubungan Hanum & Rangga dengan lebih baik. Mungkin bagaimana mereka dulu bertemu, kekaguman Rangga atas kegigihan Hanum, atau sebaliknya bagaimana Rangga selalu berusaha membantu Hanum (itu kalau saya baca dari buku berjudul I Am Sarahza). Pada film Hanum & Rangga, penonton seolah-olah dipaksakan untuk memahami bahwa Rangga sedang S3 di Eropa (whyyyyy mereka harus menyebut ‘Vienna’ instead of ‘Wina’???) tapi mereka sedang berada di Amerika Serikat, karena….. entahlah.
Tentang Pekerjaan dan Impian: Penonton Hanum & Rangga dianggap dapat menerima dengan legowo tentang pertaruhan karier Hanum – yang anehnya, berangkat sebagai jurnalis (“semua orang membaca tulisanmu!”) lalu ujug-ujug jadi reporter TV. Memang zaman now jurnalis dituntut bisa semuanya, tapi kayaknya enggak begini amat deh. Pada nonton “The Devil Wears Prada” kan? Itu si Andy, karakter utamanya, dari majalah pindah ke koran, masih make sense. Selain itu, sekali lagi tidak ada dialog di antara Hanum dan Rangga tentang betapa berartinya keseimbangan antara impian Hanum dan kuliah Rangga. Maksudnya begini, kalau saya jadi Rangga, saya akan bilang ke Hanum, “tolong kamu tolak tawaran dari GNTV dan kamu boleh melamar magang di televisi di Wina, supaya kita bisa tetap bersama.” Ya tapi kalau ceritanya begini, filmnya kelar sis. Ehe ehe ehe. Selanjutnya, Hanum mengecewakan penonton dua kali. Pertama, saat dia tetap menerima bonus dan melanjutkan masa magang. Kedua, saat program yang dia buat enggak lebih baik daripada program yang disarankan oleh Andy Cooper. Okelah itu so-called social experiment atau bisa disebut prank, tapi yang dikesankan baik malah orang-orang non-muslim. Seharusnya kebalikannya, misal ada orang non-muslim yang butuh bantuan, lalu dibantu oleh orang muslim. Gituuu.
Tenang, film Ahok enggak lebih ‘aneh’. Saat papanya bertanya apa yang hendak Ahok lakukan sesudah S2, Ahok menjawab, “Ahok mau bisnis tambang timah, Pa! Sudah ada investor.” Kwangkwangkwang, ini anak kagak ngarti ape, itu bisnisnya papanya kan hampir bangkrut. Kalau saya jadi papanya, ya saya jitak lah itu Ahok. Setelah itu, dia berpindah haluan menjadi wakil rakyat secara cepat sekali. Almost made me feel like, jangan-jangan Ahok mikir, “wah enel uga kata bokap w, bisnis tambang susah maju, w ganti kerjaan aja deh.” Bukan, bukan (hanya) karena tambang enggak profit tapi Ahok tampak seperti ‘anggang-anggang’. Ngerti ga? Ini idiom yang dipakai orang Jawa untuk menggambarkan orang yang berdiri di atas air, enggak ajek/mantap gitu lho. Terus, perdebatan antara papanya Ahok (dan Ahok) dengan orang pemda itu kurang clear. Itu kan disuruh menyuap untuk dapat proyek ya, tapi nyatanya bisnis papanya Ahok tetap baik-baik saja sampai bertahun-tahun.
Nilai-nilai keislaman: Waduh duh duh, kalau bahas ini bisa-bisa saya disambit para pemirsa nih. Tapi coba bandingkan film Hanum & Rangga dengan Ayat-ayat Cinta 2 deh. Sampai saya nge-tweet, karena saya memang suuzan bahwa Hanum & Rangga tidak salat subuh. Lah begimana, pas Rangga bangun, Hanum sudah berangkat kerja dan sudah memasakkan Indomie. Sementara pada adegan yang lain, pas Hanum bangun, Rangga sudah berada di pesawat. Lalu Rangga salat di pesawat… mungkin salat duha, atau salat zuhur? HMMM. Keberadaan Sam juga sangat mengganggu hati nurani saya karena ini katanya film Islam tapi kok ada karakter (maaf) bencong? Dan tiba-tiba Sam mengaku berubah menjadi ‘real man’ di akhir film, padahal sepersekian detik sebelumnya (pada adegan yang sama), ia melecehkan Philipus dengan kata-kata manis manjanya. Kayaknya masih mending dibuat adegan Sam atau Philipus masuk Islam deh…
Film Ahok sendiri mengajarkan beberapa nilai-nilai yang sebenarnya ada dalam Islam tapi sudah banyak dilupakan oleh sebagian besar umat Muslim Indonesia. Salah satunya, “berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah, sahih). Yang lain enggak usah dijelaskan di sini, nanti saya dikomentari ‘auto liberal’ kan repot. Hihi.
TAPI, kedua film mengisyaratkan pelajaran yang sama tentang rezeki. Pada akhirnya, Rangga mengatakan, “rezeki bisa dicari di mana saja.” Thanks to this statement, saya semakin yakin mengambil break dari pekerjaan untuk melakukan sesuatu yang besar sekali untuk saya pribadi. Apakah itu? Follow Instagram saya ajjjjjaaaaa. :p
ENDING: Film Ahok buat saya jelas anti klimaks, karena sudah baik-baik dikisahkan dia jadi Gubernur DKI Jakarta, tiba-tiba adegan berpindah ke penjara. Sepertinya film ini bermaksud membangun simpati untuk Ahok, tapi kurang ‘masuk’ sih. Kalau mau bikin orang ‘wow’ sama pencapaian Ahok, rasanya bisa dilakukan dengan fokus menunjukkan keberhasilannya. Misalnya, waktu Ahok jadi anggota DPRD, dia kan menolak uang perjalanan dinas dan bermaksud mengalihkannya ke dana pendidikan. Tapi terus sudah, done. Macem ngegambarin bahwa jadi pejabat itu goal – the end of his destinations.
Film Hanum & Rangga juga serupa. Saya kira akan ada adegan Hanum membukukan pengalamannya (!!!) atau membuat programnya sendiri melalui YouTube (ah, ini juga aneh di tengah-tengah film karena si Andy berbangga dengan YouTube viewers yang didapatkan dari acaranya Hanum – jadi mereka sebenarnya mengejar rating atau views?). It was a so-so ending, enggak happy atau berkesan.
Pemeran: Sorry to say, ini adalah hal paling genting yang membuat salah satu film jadi lebih mentereng daripada film lainnya. Pada film Hanum & Rangga, saya hanya melihat Rio Dewanto dan Acha Septriasa; sementara pada film Ahok, saya sampai lupa kalau itu Denny Sumargo!!! Para pemeran di film Hanum & Rangga sangat kentara sekali dibayar untuk berakting, sedangkan pemeran di film Ahok seperti menunjukkan, “aku mau main di film ini bahkan walaupun enggak dibayar!” It came from the heart and I can’t lie to you, I am sorry...
Kesimpulan: I have to admit that “A Man Called Ahok” is closer to my heart. Gagasan mencintai bangsa dan perasaan keterwakilan warga Indonesia keturunan China membuat film ini sulit dikalahkan oleh film “Hanum & Rangga” yang alih-alih ingin ‘berdakwah’ ternyata jatuh pada kisah klise pasangan yang ‘belum dewasa’ dan mudah sekali cemburu satu sama lain. Saya rasa produser dan penulis skenario enggan menggarap isu ‘mempromosikan kebaikan Islam’ secara mendalam. Film “Hanum & Rangga” jadi berkutat pada kisah romansa belaka, dengan bumbu ‘mimpi’ tinggal di luar negeri – yang kurang relate untuk kebanyakan rakyat kita. Sebaliknya, film “A Man Called Ahok” menjadi representasi situasi ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia yang meskipun naik-turun, tetap bergotong-royong dan saling membantu.
At the end of the day, sekali lagi saya ingatkan, mari kita menghargai para pembuat film yang sudah bersusah payah menghadirkan sebuah karya yang bermutu. Jelas kedua film jauuuuuh lebih baik daripada film-film hantu atau you know… Saya sungguh berdoa dan berharap suatu hari nanti beneran ada film ‘dakwah’ yang bagus, membanggakan, dan bisa ditonton oleh semua lapisan masyarakat. Saya percaya kita – muslim/muslimah muda – BISA, selama enggak kepentok sama hal-hal bersifat emosional (sedikit-sedikit ngambek dan menyalahkan lawan atas kegagalan kita); dan memfokuskan energi pada hal-hal yang lebih urgent, seperti kemaslahatan umat.
Salam,
Prima
Harus banget disebutkan ya klo Mba' Prima jomblo? 😅😅
ReplyDeleteTo announce people that they stil able to date her..heeaaakk
DeleteUlasannya bagus, walaupun saya belum sempat nonton kedua film diatas, semoga bisa membantu saya lebih memahami nanti pas nonton...saya suka gaya penyampaiannya ulasannya...semangat berkarya terus
ReplyDelete