Tuesday, August 7, 2018

Surat untuk Anakku (3)

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Anakku tersayang,

Apa kabar?

Ibu belum terlambat kan, menulis surat untukmu? Atau kamu sudah menunggu-nunggu surat dari ibu? Memang sebenarnya tidak ada hari spesial pada bulan Juli dan Agustus, tapi ibu hanya mengacu pada surat pertama yang ibu kirim pada tanggal 11 Agustus 2014. Entah apa yang terjadi 2 tahun yang lalu, surat kedua ibu kirim lebih cepat. Tadinya ibu berharap tidak perlu menulis surat untukmu tahun ini, tapi qadarullah kita belum bertemu juga. Hmmm, setidaknya ibu masih bisa menyapamu lewat surat ini, sembari menguatkan teman-teman dan saudara/i ibu yang juga belum dititipi amanah anak oleh Allah.

Ya, ya, ya. Ibu tahu kamu pasti sudah mengintip, kalau beberapa hari yang lalu ibu menulis surat yang lumayan panjang untukmu. Tapi setelah ibu baca lagi, surat itu sarat kesedihan. Ibu tidak suka nada bicara seperti itu, seolah-olah ibu sedang ‘memarahi’ Allah atas kegagalan usaha ibu untuk menebusmu. Ibu yakin ibu belum gagal, Nak. Ibu mungkin hanya sedang mengambil jalan memutar. 

Ibu jadi ingat, saat ibu masih kecil, ibu, nenek, dan sopir melakukan road trip ke Jakarta (dulu kami sering melakukannya). Lalu ibu berkata kepada Pak Sopir, “Pak, aku lebih suka kita lewat jalan tol. Lebih cepat dan enggak macet.” Tapi nenek menyanggah, “kalau lewat jalan tol terus, Pak Sopir bisa mengantuk karena jalannya lurus-lurus saja. Sesekali harus lewat jalan biasa agar kita juga bisa melihat pemandangan berbeda.”

Waktu itu ibu tidak paham perkataan nenek, tapi lama kelamaan ibu sadar, tak peduli seberapa jauh jalan yang harus kita lewati, jika Allah sudah menakdirkan maka kita akan tiba di tempat tujuan.

Seperti keadaan ibu saat ini. Ibu sedang berdomisili di Bali, membantu penyelenggaraan Ubud Writers & Readers Festival 2018 – setelah tiga kali menjadi relawan. Ketika ibu melakukan hipnoterapi karena didiagnosis depresi awal tahun ini, ibu membayangkan Ubud sebagai tempat yang paling membahagiakan. Dan disinilah ibu sekarang, mengurusi data-data international speakers, sambil tetap mengerjakan pekerjaan dari kantor Jakarta.

Oh ya, maaf ya, ibu sempat putus asa menghadapi hidup ini. Ibu sempat hilang harapan akan kamu, ayahmu, bahkan diri ibu sendiri. Akan tetapi, ibu belajar untuk menjadi hamba yang lebih bersyukur, Nak. Hamba yang berupaya memahami bahwa Allah tidak hendak menghukum ibu. Allah justru menyayangi ibu dengan menghindarkan ibu dari ketetapan-ketetapan yang tidak mendekatkan ibu denganNya.

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman (31): 22)

Pengobatan dan perawatan selama depresi itu justru mendorong ibu untuk lebih berbaik sangka kepada Allah. Ibu pun berhasil menerbitkan buku tentang perjalanan spiritual ibu, judulnya Perjalanan Menuju Cahaya. Apa, kamu ingin mengganti namamu menjadi Cahaya? Baik, nanti ibu diskusikan dengan ayahmu ya.

Anakku tersayang,

Percaya pada ibu, percaya pada Allah. Kalau hingga hari ini kita belum berjumpa – dan bahkan ibu pun belum berjumpa dengan ayahmu – pasti ada rahasia yang indah. Allah memberi kesempatan ibu berbaikan dengan kakekmu setelah sekian lama berseteru; Allah menggugah ibu untuk mendampingi lebih banyak orang mewujudkan karyanya melalui Muslimah Sinau (iyaaa, kamu tahu sendiri ini mimpi ibu dari beberapa waktu yang lalu); Allah memberi kekuatan ibu untuk menjadi pengajar Alquran. Semuanya berasal dari Allah, Nak. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Nah, sekarang waktunya ibu pulang kantor dan bersiap salat magrib. Ibu akan terus doakan kita dan ayahmu – siapapun ia, semoga Allah pilih seseorang yang menuntun kita ke surga ya Nak; dan semoga Allah mampukan ibu untuk jadi pendamping yang menguatkannya dunia-akhirat.

Love you as always,
Ibu

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...