Tuesday, May 22, 2018

Refleksi Ramadan 1439 H: Standar Sukses Berpuasa Ramadan

“…bisa bantuin aku kasih link pencerahan rohani gitu....seriusnya....kok aku gak dapet asiknya Ramadhan.”

Setelah ber-basa basi singkat, Kak Didi, begitu saya memanggil perempuan itu, melontarkan pertanyaan yang sesungguhnya juga sedang menggelayuti pikiran saya. Wah, sepertinya dia belum baca buku saya (LOL) atau mengikuti akun Muslimah Sinau (hehe). Bercanda, Pemirsa. Saya pun bertanya balik bagaimana ibadahnya akhir-akhir ini. Dia katakan, dia baru saja bersuci dari menstruasi. Saya tanya lagi, apa ada masjid di dekat tempat tinggalnya. Ternyata oh ternyata, dia tinggal di Ubud. Waduh. *langsung menyiapkan mental* 

But seriously, although I have released a book that titled “Perjalanan Menuju Cahaya: Renungan Harian Ramadan untuk Muslimah Pembelajar” and I was sooooo happy to meet Ramadan again (I even did jingkrak-jingkrak on the first tarawih evening); I still feel that I haven’t optimized this Ramadan yet. Kabar buruknya, sudah hari ke-6. Kabar baiknya, baru hari ke-6 dan insya Allah masih ada 22-23 hari lagi untuk berjuang.

Nah, kebetulan khotbah tarawih malam ke-4 adalah tentang muhasabah diri alias evaluasi. Ustaz tersebut menyatakan, Muslim yang menjalani Ramadan ini gampangannya sedang berjalan (…menuju cahaya :p) menuju suatu tujuan. Ya ya ya, mungkin kita bahkan sudah hafal Surat Al-Baqarah ayat 183 di luar kepala, tapi sudahkah kita benar-benar memahami tujuan puasa itu sendiri?

‘Buat jadi manusia bertakwa, Prim.’  Yaaa, sekarang pertanyaannya sudah tahu apa itu takwa? Atau belum? Waiki, that’s why puasa bertahun-tahun tapi enggak berubah, gara-gara enggak tahu arah perjalanan ini. Istilahnya, Sister mau ke Jakarta, tahu banget Jakarta ada di bagian barat Pulau Jawa, tapi Sister malah bergerak ke arah timur. Enggak bakal nyampe. 

Maka simaklah dua penggalan Alquran berikut:

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, | (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. | dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 2-4)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, | (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. | Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Q.S. Ali ‘Imran (3): 133-135)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka ada beberapa standar kesuksesan Ramadan, yaitu:
1.    Semakin meningkatnya iman
2.    Semakin tegaknya salat
3.    Semakin murah hati dan dermawan
4.    Semakin banyak membaca dan mendalami Alquran
5.    Naik tingkat menjadi orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan yang tinggi dan sempurna)

Lalu bagaimana kita mengetahui apakah iman kita meningkat atau menurun? Di satu sisi ya lihat aja perilaku kita sehari-hari, terutama ke orang lain. Semakin nyenengin atau malah justru nyebelin? Di sisi lain, ya dalam diri ini menjadi semakin yakin bahwa malaikat mencatat amal perbuatan kita dan Allah senantiasa mengawasi. Jadi kalau mau berbuat dosa, tahan: Allah melihat kita. Itulah takwa.

So, setelah mengetahui makna ‘takwa’, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang harus dilakukan agar bulan Ramadan benar-benar menjadikan kita manusia bertakwa? *brb cek sontekan*

Loncat ke kajian yang saya datangi pada hari Minggu, Ustazah-nya mengatakan, “buatlah target Ramadan yang terukur, minimal ada 1 (satu) tambahan amal baru selama bulan ini, syukur-syukur dilanjutkan pada bulan berikutnya.” Saya pikir ada benarnya juga, karena kalau Ramadan sama aja kayak hari-hari biasa, inilah yang kemudian memunculkan perasaan ‘bosan’ seperti yang dialami oleh Kak Didi.

Saya secara pribadi berusaha mengevaluasi setiap harinya pada malam sebelum tidur. Dua hari pertama, saya merasa ngaji saya masih terlalu sedikit, dan alhamdulillah saya masih diberi kesempatan untuk menambahnya pada hari-hari berikutnya. Tapi sempat ya, agak malu sama orang-orang yang harus bekerja keras dan masih puasa juga. Misalnya kurir logistik, wah salut banget! Tanpa mereka, buku saya enggak akan sampai ke teman-teman pembeli, kan? Makanya, berhubung saya merasa sangat bersyukur karena tidak perlu commute untuk pergi ke tempat kerja, saya ‘balas dendam’ dengan memaksimalkan ibadah seperti salat sunah dan membaca Tafsir Muyassar selepas asar/tarawih. Hingga hari ini, saya ‘memaksa’ diri saya untuk melakukan salat sunah rawatib dengan lengkap + duha + tasbih + istikharah. Tahajudnya gimana, Prim? Uhm… saya masih susah bangun nih, jadi waktunya udah habis buat sahur, huweee… *nangis di pojokan*

Kesimpulannya, kalau masih ngerasa kurang excited sama Ramadan, ingat lagi tujuan kita puasa apa… Dan ingatlah bahwa kita belum tentu bisa bertemu dengan Ramadan tahun depan, menyelesaikan Ramadan tahun ini aja belum pasti… If this is your last day on Earth, what will you do to optimize Ramadan?

Salam,
Prima

Baca juga beberapa artikel yang saya temukan dari Productive Muslim:

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...