Sunday, February 18, 2018

Perjalanan Menuju Cahaya (Teaser)

“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Yusuf (12): 6)

Awal tahun 2018, saya ‘terpaksa’ menemui psikolog dan psikiater karena sudah tak sanggup menahan penderitaan. Long story short, saya didiagnosis mengidap ‘severe depressive episode without psychotic syndrom’, yaitu gangguan psikologis yang tidak keren pokoknya. Awalnya saya shock karena tidak menduga sama sekali; saya kira saya hanya stres biasa. Akan tetapi, berhubung saya menulis blog dan buku harian, belakangan saya menjadi sadar kalau gejala depresi sudah muncul sejak awal 2016. Meskipun demikian, fisik dan mental saya mampu menahannya sampai Agustus 2017. Saat itu saya kewalahan dengan berbagai keperluan yang harus saya urus setelah melalui ujian tesis.

Puncaknya, saya merasakan dorongan yang sangat kuat untuk bunuh diri pada tanggal 20 Agustus 2017 (kok tahu? Ya kan saya tulis di diary). Saya sudah menenggak dua tablet obat tidur, tapi urung meminum lebih banyak karena takut dosa kalau beneran meninggal. Keesokan pagi, betapa bersyukurnya saya masih diberi hidup – walaupun rasanya tetap enggan beranjak dari tempat tidur dan tidak ada energi untuk melakukan apapun. Sayangnya, tekanan sosial dan daftar aktivitas yang harus dipenuhi menahan saya dari mencari penyebab kejadian ini. Saya pun menjalani hari dengan tertatih-tatih sampai tahun 2017 berakhir.

Beberapa hari sesudah tahun baru, saya muntab. Tingkah laku saya semakin tak terkendali sehingga sahabat terdekat pun menyarankan agar saya memeriksakan diri. Saya menemui dokter umum sambil membawa buku harian saya; menjalani serangkaian tes bersama psikolog; lalu dirujuk ke dokter spesialis kejiwaan. Sungguh hati saya remuk, tetapi saya percaya ada hikmah di balik ini semua. Saya merasa ini adalah bagian dari ikhtiar saya untuk menjadi hamba yang lebih baik di mata Allah; sekaligus mengoptimalkan fungsi saya sebagai makhluk sosial.

Hari demi hari, saya mulai membaik. Namun begitu, tidak mudah bagi saya untuk mengakui hal ini pada awalnya. Saya takut teman-teman saya menjauhi saya, saya pun khawatir dengan penghakiman orang atas saya. Alhamdulillah teman-teman saya justru menjadi pendukung terbaik saya. Tidak ada satupun yang mencerca atau merendahkan saya. Pujian dan apresiasi malah datang bertubi-tubi, menguatkan hati saya untuk terus menjalani perawatan.

Lucunya, banyak orang – seperti followers saya di media sosial atau pembaca blog – yang tidak percaya kalau saya mengalami depresi. Mungkin sudah pembawaan saya yang sanguinis dan ekstrovert untuk tampak ceria, meski berjuta beban sebenarnya menggelayuti bahu saya. Di kelompok pergaulan manapun, saya memang dikenal sebagai badut yang bicara paling lantang dan tertawa paling keras. Sungguh tak ada yang akan menduga kalau saya kerap menangis hingga mengamuk kalau sedang sendiri.

Salah satu tanggapan dari teman yang cukup menggelitik saya untuk menuangkannya dalam bab ini adalah,
“But mbak Prima, how could you be depressed? Your life is perfect. You are beautiful, smart, and have such an amazing life. Imagine if you were me...”

Ini teman saya yang bilang lho ya, bukan saya. Hehe. Dia pun mengeluarkan unek-uneknya tentang permasalahan hidupnya sejak kecil sampai sekarang; sehingga dia menganggap dirinya lebih ‘pantas’ untuk mengidap depresi daripada saya. For your information, dalam sudut pandang medis, seringnya depresi tidak berhubungan dengan seberapa cantik/terkenal/kaya/relijius seseorang. Sejauh yang saya pahami, depresi adalah gabungan dari turunnya ketahanan mental, serta reaksi dari saraf-saraf di otak yang berkaitan dengan zat-zat/hormon tertentu dalam tubuh. Dengan demikian, seseorang yang depresi tidak dapat berpikir dengan jernih layaknya orang normal. Dalam kasus saya, obat-obatan dibutuhkan untuk menyeimbangkan zat-zat/hormon tersebut. Meningkatnya kekebalan fisik saya, insyaAllah akan berimbas positif pada kekukuhan psikologis saya. Tahu enggak, apa yang saya pikirkan selama proses penyembuhan? Maha Besar Allah yang menciptakan akal manusia untuk terus mengembangkan ilmu; ditambah dengan orang-orang tulus yang mau mengemban misi sebagai psikolog dan psikiater. Luar biasanya lagi, orang-orang yang menangani saya itu mampu menuntun saya untuk menerima kejadian ini dengan penuh keimanan. Semoga Allah berkenan memberkahi hidup mereka.
Kembali ke perkataan teman saya, saya pun tertawa saat mendengarnya. Saya menjawab, “you don’t know my life. I have endured more pain than any common people. I have been living under the cloud of negativity for too long until it becomes difficult for me to see the light. For the last five years, I have became the most insecure person in the world no matter how big my achievements are.”

Barangkali sister akan bertanya-tanya, apakah saya tidak cukup beribadah hingga harus jatuh terpuruk seperti ini? Sebenarnya, masalah-masalah yang terus berdatangan sungguh membuat saya lebih dekat dengan-Nya. Ada suatu masa lutut saya sampai melepuh karena terlalu banyak salat dan terlalu lama bersujud. Saya pun semakin sering menekuni Al-Qur’an dan terjemahannya. Dan saat itulah saya jatuh cinta kepada Nabi Yusuf a.s.

Konon cerita tentang ketampanannya sudah sering kita dengar, sementara kisah cintanya dengan Zulaikha juga santer dibagikan untuk menginspirasi kita agar menahan hawa nafsu. Namun bukan itu yang membuat saya takjub.
Yusuf a.s. mengalami banyak masalah dalam hidupnya. Tetapi ketika dia menoleh pada masa lalu kehidupannya, dia berkata, ‘Ah tidak, Allah Mahatahu apa yang sedang terjadi pada diriku selama ini, dan semua ini adalah kebijaksanaan-Nya.’ Subhanallah. (Nouman Ali Khan, 2016: 69)

Semua nabi dan rasul menghadapi ujiannya masing-masing. Akan tetapi, Yusuf telah menjalani kehidupan yang ‘sengsara’ sejak kecil, pun salah satu penyiksa terberatnya adalah kakak-kakaknya sendiri. Bayangkan kalau sister dibenci oleh saudara sister, diajak main ke suatu tempat terpencil dan ditinggal di sana. Betapa sakitnya hati ini.

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi". (Q.S. Yusuf (12): 15) 

Kemalangan Yusuf tak berhenti di situ. Memang ada sekelompok orang yang menyelamatkannya, tetapi ia malah dijual, untuk kemudian dibeli oleh penguasa Mesir.

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yusuf (12): 19) 

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (Q.S. Yusuf (12): 20) 


Apakah lalu hidupnya menjadi lebih baik? Ya, untuk sementara. Sebelum Zulaikha menggodanya dan menjadikannya sebagai sasaran fitnah. Yusuf tak gentar sedikit pun. Ia justru memilih untuk dipenjarakan!

“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".  (Q.S. Yusuf (12): 33) 

Saat di penjara inilah, Yusuf mulai menunjukkan kenabiannya dengan menafsirkan mimpi penghuni penjara lainnya. Sedihnya, ia ‘apes’ sekali lagi. Si narapidana yang berhasil keluar dari penjara, ternyata lupa menyebutkan perihal Yusuf kepada tuannya! MasyaAllah. Setelah beberapa tahun, barulah mantan napi itu teringat untuk ‘mempromosikan’ jasa Yusuf dalam menginterpretasi mimpi kepada sang raja. Maka Al Aziz pun mengangkat Yusuf sebagai bendaharawan negara. Fiuh, akhirnya...

“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu". Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (Q.S. Yusuf (12): 42)

“Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)". (Q.S. Yusuf (12): 45)

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Yusuf (12): 56)

Ternyata, perjalanan hidup Yusuf yang berliku tersebut membawanya kepada hadiah terbesar dari Allah: kemuliaan dunia-akhirat. Dan luar biasanya, ia begitu bersabar dalam menjalani ketetapan Allah, dan terus berprasangka baik kepada Allah. Coba kalau kita yang diuji oleh Allah seperti itu? Mungkin yaaa, ujung-ujungnya seperti saya, melambaikan bendera putih alias menyerah.
Pada bagian awal surah itu (surah Yusuf) sebelum masalah timbul, kita menoleh ke Allah dan menyebut-Nya sebagai Mahatahu dan Mahabijaksana. Lalu kita mempunyai harapan rencana besarnya bagi kita. Ketika masalah timbul, kita menyebut Allah sebagai Mahatahu dan Mahabijaksana karena apa pun yang terjadi itu adalah bagian dari pengetahuan dan kearifan Allah. Kita percaya pada-Nya. Dan ketika masalah kita teratasi, kita berpaling lagi pada Allah Swt. dan mengatakan bahwa Allah menolong kita. Kita bisa melihat peristiwa itu baik untuk keimanan kita. Dan hal itu juga baik dari sisi lain. Bahkan ketika kita tidak memahaminya, Allah Swt. mempunyai kebaikan untuk kita. Allah Swt. mempunyai sesuatu untukku. (Nouman Ali Khan, 2016: 75)

Suatu kali saat saya sedang berada dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menemui psikiater, saya melihat pelangi yang begitu indah di kejauhan. Sister tahu kan, kalau pelangi hanya dapat muncul sesudah hujan? Hidup seperti itu – cahaya hanya akan tampak sesudah gelap yang begitu pekat.

Maka saya pun mengucap syukur berkali-kali. Alhamdulillah, Allah masih berkehendak untuk memanggil saya mendekat dengan-Nya. Ia langsung ‘turun tangan’ untuk memberikan jalan keluar. Ia mengirimkan orang-orang baik untuk membantu saya memperbaiki diri. Ia memberikan keberanian bagi saya untuk membagikan cerita ini kepada sister, semata agar sister bisa mengambil pelajaran.

Dan tahukah sister, apa kearifan yang nilainya paling besar dari peristiwa ini? Saya jadi mengerti bahwa Allah masih sayang sama saya. Ia masih peduli akan saya, dan Ia percaya saya bisa naik level setelah ujian ini. He trust me, so why can’t I trust myself?

Ramadan kali ini, mari resapi makna ujian hidup yang diberikan oleh Allah. Yakinlah bahwa tak ada ujian tanpa ganjaran; sebagaimana tak ada penyakit tanpa obat. Allah sudah menjanjikan, dan memberikan contoh melalui kisah nabi-nabi. And now it depends on us, will we fight to pass the test? Bismillah. 

2 comments:

  1. Hai, Prima. Kok tiba-tiba aku nyampai ke sini ya? :)))
    Semoga kamu sekarang sudah baik-baik saja :)
    Peluk.

    ReplyDelete
  2. Semangat terus ya, Mbak Prima! :)

    Support you <3

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...