Akhirnya saya kembali ke Malang setelah menghabiskan seminggu di Jogja, dua hari di Bandung, dan seminggu di Jakarta. Capek ye kan ngikutin kegiatan saya? Well, banyak orang yang punya kegiatan lebih padat daripada saya dan mereka fine-fine aja. Makanya saya bilang sama diri sendiri, ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari keseharian dan mindset saya. Terutama karena saya sedang mencoba untuk lebih positif dalam memandang kehidupan.
Saya pribadi belum merasa mampu untuk membagikan kisah depresi saya di blog karena ceritanya perlu diatur sedemikian rupa, dalam artian biar runtut dan mudah dipahami oleh sister. Saya juga lagi mikir bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya agar sister enggak semakin bertanya-tanya, “jadi masalahnya apa?” Hehe. Akan tetapi, berhubung saya sudah lama menulis blog, saya jadi tahu kalau depresi ini akumulasi dari masalah-masalah yang telah lalu. Mungkin sejak tahun 2016, atau tahun 2014, atau mungkin juga jauuuh sebelumnya. But one thing I know, setiap tahunnya selalu ada turning point yang membuat saya kembali optimis karena ada harapan baru. Atau barangkali harapan itu ada di situ-situ terus, hanya mata batin saya tertutup oleh kabut permasalahan yang lebih saya fokuskan.
Intinya... I have been living under the cloud of negativity for too long until it becomes difficult for me to see the light.
Hampir sama dengan perjalanan saya ke Jakarta. Minggu lalu adalah kali ketiga saya menghabiskan waktu cukup lama di Jakarta (dalam kurun waktu tahun 2017-2018). Biasanya saya ke Jakarta maksimal tiga hari; misal menghadiri seminar, interview kerja, dan sebagainya. Bahkan saya pernah ke Jakarta dalam hitungan belasan jam karena saya enggak pernah mau berlama-lama di Jakarta.
April 2017, saya ‘terpaksa’ stay di Jakarta lebih dari seminggu karena kebanyakan informan tesis saya berdomisili di Jakarta. Tadinya saya mau menuangkan pengalaman tersebut melalui blog post berjudul “My Thesis, My Adventure” tapi tesisnya keburu kelar. Hahahahaha. November 2017, saya ke Jakarta lagi untuk mengikuti training di kantor, koordinasi pekerjaan, dan ketemu beberapa orang yang potensial jadi kolega kerja. Sempat agak sedih karena rencana proyek yang dibicarakan saat itu belum ada yang goal sampai sekarang. Tapi percaya aja kalau Allah masih meminta saya untuk terus ikhtiar, alhamdulillah.
Dari pengalaman beberapa kali ke Jakarta tersebut, saya merasa semakin tahu bagaimana cara ‘menaklukkan’ Jakarta. Meskipun saya masih berpikir seribu kali kalau harus beneran kerja di Jakarta, tapi setidaknya saya jauh lebih siap daripada bertahun-tahun yang lalu. Pandangan saya terhadap Jakarta lambat laun berubah seiring bertambahnya frekuensi saya datang ke kota ini. That’s why saya pingin share tips-tips dari sayayang sok tau untuk sister yang kebetulan harus pindah ke Jakarta. Yuk simak.
1. Know Your Purpose
Layaknya lulusan S1 pada umumnya, dulu saya menargetkan untuk bisa bekerja di korporasi dengan harapan mendapatkan gaji tinggi dan tunjangan besar. Jakarta menjadi pilihan pertama karena disanalah pusat operasional perusahaan. Setelah berkali-kali gagal dalam melamar pekerjaan dan tes ini-itu, saya pun pulang ke Surabaya dan bekerja di sebuah start-up. Saya tidak menyesalinya karena toh itu sudah berlalu. Namun begitu, baru-baru ini saya mencoba melamar pekerjaan di Jakarta lagi dan to be honest, saya sempat kaget ketika mendapat tawaran gaji yang cukup mengenaskan. Saya bingung karena saya ini lulusan S2 dengan pengalaman kerja sekitar 3,5 tahun tapi gaji yang diberikan hanya sedikit di atas UMR Jakarta. Saya berulang kali cross-check ke teman-teman yang sudah tinggal di Jakarta duluan, atau yang bekerja sebagai HR, dan mereka menyatakan gaji segitu tidak cukup untuk tinggal di Jakarta. Bisa sih kalau ngirit, tapi nanti saya bahas di poin yang lain.
Maka dari itu, sebelum berangkat ke Jakarta, kamu harus menyakinkan diri tentang tujuanmu. Reality speaks, enggak semua orang bisa dapat gaji yang langsung gede meskipun sudah bekerja di korporasi di Jakarta, tapi barangkali kamu punya tujuan lain. Yang paling memungkinkan menurut saya, kejar networking seluas-luasnya karena ini jauh lebih tinggi nilainya daripada gaji . Untuk masalah gaji yaaaaa, setidaknya kamu bisa hidup layak dan ‘tidak memaksakan diri’, if you know what I mean.
2. Invest on Place to Stay
Setelah seharian yang melelahkan di tempat kerja, all you need is a nice place to sleep. Betul? Makanya jangan pelit sama kosan. Cari tempat yang dekat dengan kantor (kalau bisa jalan kaki), pencahayaan dan sirkulasi udaranya bagus, lingkungannya tidak terlalu berisik, dan aman. Kriteria lain yang mungkin bisa kamu terapkan untuk menghemat pengeluaran adalah, cari kosan yang ada space untuk mencuci dan menyetrika baju. Laundry mahal cyin. Malah menurut saya, mending waktu yang ada dipakai nyuci baju daripada masak. Kalau kamu beruntung, masih bisa dapat makanan murah-enak di kantin kantor. Saya aja ngerasain makan siang 12ribu udah dapat sayur dan lauk. Tapi saya belum pernah dapat laundry murah-meriah, hiks.
Kabar buruknya, kosan yang ‘sempurna’ bisa jadi mahal; dan kosan yang biasa aja tapi harganya terjangkau bisa jadi ada di gang-gang sempit nan nyelempit. Menurut saya, kalau kamu ‘berinvestasi’ sekitar 20-30% dari gaji untuk tempat tinggal, itu masih wajar. Apalagi kalau kamu enggak perlu mengeluarkan biaya transportasi kalau mau ke kantor, itu udah bikin kamu enggak perlu stres menghadapi kemacetan setiap pagi dan sore hari. And yes, as I have said, you need a comfortable place to recharge your energy.
3. Pay Attention to What You Eat
Selain berinvestasi pada tempat tinggal, please make sure you invest on your health. Salah satunya tentu saja dari makanan. Harga buah mungkin lebih mahal daripada gorengan, tapi kalau jatuh sakit di perantauan, rasanya lebih miris lagi (saya udah pernah ngalamin, haha). Apalagi di kantor saya, orangnya pada hobi ngemil. Kayaknya makanan enggak habis-habis, dan jadi tergoda buat jajan terus. Makanya saya menenggak Vitamin C & E, dan suplemen serat. Kalau perlu ditambah Vitamin A juga, terutama karena kita jaman sekarang harus ngeliatin komputer setiap hari. Saya pribadi masih suka minum susu, tapi sudah mulai mengurangi minuman manis lainnya karena apaaaaa.. Konsumsi gula berlebihan, ditambah aktivitas tubuh yang enggak terlalu aktif, bisa memunculkan diabetes. Memperhatikan makanan juga berarti memperhatikan anggarannya, karena sekali makan di mall/kafe bisa mahal banget. Cukuplah sekali seminggu atau sekali sebulan, mending uangnya ditabung buat beli tiket kereta/pesawat untuk mudik.
4. Save First, Spend Later
Pay the bills, check. Menyiapkan anggaran untuk makan dan transportasi sebulan, check. Lalu apa? Prioritaskan menabung sebelum nongkrong atau belanja. Saya amat sangat paham kalau sister merasa pantas menghadiahi diri sendiri dengan barang atau makan enak setelah bekerja sangat keras. Jangankan di Jakarta, tinggal di kota lain pun saya begitu. But the problem is, everything in Jakarta might be little too expensive for what we actually deserve. Dan sayang juga kan kalau usaha kita selama ini tidak membuahkan hasil yang ‘kelihatan’. Jadi jangan ngerasa sungkan sama teman jika minggu ini kita harus menolak ajakan mereka untuk nonton konser; because yes, there are so many entertainment stuffs in Jakarta and maybe you feel like a ‘kampungan’ to turn down the offers.
5. Have Extracurricular Activities
Living in Jakarta can be so lonely, I assure you. Kamu enggak punya saudara atau kerabat yang tinggal di Jakarta; dan enggak dekat juga sama teman kantor; rasanya bingung mau ngapain sepulang kerja. Belum lagi kalau akhir pekan datang. Ketika kesepian melanda, pasti pingin nangis dan ujung-ujungnya menyerah. Enaknya tinggal di Jakarta, ada beragam kegiatan positif yang bisa kamu pilih untuk mengisi waktu luangmu. Coba cek Instagram @maubelajarapa, ada workshop dan komunitas yang bisa kamu ikuti. Kamu penggemar olahraga? Grup olahraga apapun ada di Jakarta, bahkan yang judul olahraganya lari ‘doang’, komunitasnya bisa berjumlah ratusan. Dari mulai trail run, long distancerelationship run, emak-emak run (ngaco), dan masih banyak lagi. Tapi ingat ya, prioritas pertamamu di Jakarta adalah bekerja dan kamu harus mengatur waktumu dengan baik. Jangan sampai akhir pekan malah kamu jejali dengan kegiatan sampai kecapekan. Tipikal orang Jakarta nih, Sabtu digunakan untuk bergaul atau apapun yang enggak bisa mereka lakukan pada weekday; lalu Minggu digunakan untuk bobok seharian.
6. Manage Your Expectation
Biar dikata kamu udah bekerja di perusahaan mentereng dan punya banyak kenalan, tapi tetap saha hidup di Jakarta adalah sumber dari ketidakpastian. Saya kasih contoh sederhana: kemacetan. You just never know when it will suddenly appear between your to-do list. Tentu ada jam-jam yang bisa diprediksi, tapi entah kenapa, kadang adaaaaa aja yang malang melintang antara kita dan appointment yang sudah kita buat. Sudah tak terhitung berapa kali janjian saya dan teman harus batal karena terjadi situasi yang tidak diharapkan. Terima kejadian tersebut dengan santai dan jangan kecewa. Jangan pula berkecil hati karena itu artinya kita harus belajar mengusahakan yang lebih baik pada kesempatan lain. Mungkin mengganti tempat ketemuan; atau mengubah moda transportasi untuk mencapai suatu daerah. Untungnya, Jakarta punya TransJakarta, Commuter Line, dan angkot/bus yang bisa kamu manfaatkan. Install aplikasi Trafi deh (I am not endorsed, btw :p), it is so useful!
7. Be Grateful
Buat sister yang baru mencoba hidup di Jakarta, here’s the saddest truth: Jakarta enggak (selalu) seperti apa yang tampak di post Instagram para selebgram. You don’t do nongkrong syantik everytime with perfect clothes and on-point make up. YOU WORK VERY VERY VERY HARD EVERY DAMN DAY! Mereka, para fashion/beauty influencer itu, juga kerja keras setiap saat, tapi mungkin enggak kelihatan aja oleh kita. I do realized most people in Jakarta wake up before 4AM, start to go to their office at 6AM, work until late, back home at 9-10PM, and have to repeat it again tomorrow. Bahkan pemandangan orang-orang yang harus melakukan dua pekerjaan (seperti kerja di kantor pada pagi hari dan ngojek pada malam hari), itu BIASA. Jadi, kalau kamu sudah dapat pekerjaan yang lumayan enak, SYUKURI. Kalau kamu udah enggak kuat di Jakarta, ya mending pulang aja daripada tiap hari mengeluh. Jakarta itu keras, dan orang-orang yang tinggal di sini bermental baja. What about you?
Pada akhirnya, hidup itu pilihan dan hingga detik ini saya masih memilih untuk tidak tinggal di Jakarta secara permanen. Saya sangat mengagumi mental orang Jakarta, dan saya punya perasaan yang berkecamuk setiap kali pulang dari Jakarta. Tak henti-hentinya saya bersyukur karena saya punya teman-teman dan saudara yang mengasihi saya selama saya di Jakarta, and they make my life easier. But at the end of the day, it is still challenging for me to have a high-quality life in Jakarta because I feel tired all the time. Mungkin suatu hari nanti jika sudah tidak ada pilihan lain, saya akan menerima kenyataan dan pindah ke Jakarta sambil mengaplikasikan tips-tips di atas. Buat kamu yang ngebaca post ini, boleh banget menambahkan tips lain berdasarkan pengalamanmu. Saya tunggu di komen ya! :)
Love,
Prima
Saya pribadi belum merasa mampu untuk membagikan kisah depresi saya di blog karena ceritanya perlu diatur sedemikian rupa, dalam artian biar runtut dan mudah dipahami oleh sister. Saya juga lagi mikir bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya agar sister enggak semakin bertanya-tanya, “jadi masalahnya apa?” Hehe. Akan tetapi, berhubung saya sudah lama menulis blog, saya jadi tahu kalau depresi ini akumulasi dari masalah-masalah yang telah lalu. Mungkin sejak tahun 2016, atau tahun 2014, atau mungkin juga jauuuh sebelumnya. But one thing I know, setiap tahunnya selalu ada turning point yang membuat saya kembali optimis karena ada harapan baru. Atau barangkali harapan itu ada di situ-situ terus, hanya mata batin saya tertutup oleh kabut permasalahan yang lebih saya fokuskan.
Intinya... I have been living under the cloud of negativity for too long until it becomes difficult for me to see the light.
Hampir sama dengan perjalanan saya ke Jakarta. Minggu lalu adalah kali ketiga saya menghabiskan waktu cukup lama di Jakarta (dalam kurun waktu tahun 2017-2018). Biasanya saya ke Jakarta maksimal tiga hari; misal menghadiri seminar, interview kerja, dan sebagainya. Bahkan saya pernah ke Jakarta dalam hitungan belasan jam karena saya enggak pernah mau berlama-lama di Jakarta.
April 2017, saya ‘terpaksa’ stay di Jakarta lebih dari seminggu karena kebanyakan informan tesis saya berdomisili di Jakarta. Tadinya saya mau menuangkan pengalaman tersebut melalui blog post berjudul “My Thesis, My Adventure” tapi tesisnya keburu kelar. Hahahahaha. November 2017, saya ke Jakarta lagi untuk mengikuti training di kantor, koordinasi pekerjaan, dan ketemu beberapa orang yang potensial jadi kolega kerja. Sempat agak sedih karena rencana proyek yang dibicarakan saat itu belum ada yang goal sampai sekarang. Tapi percaya aja kalau Allah masih meminta saya untuk terus ikhtiar, alhamdulillah.
Dari pengalaman beberapa kali ke Jakarta tersebut, saya merasa semakin tahu bagaimana cara ‘menaklukkan’ Jakarta. Meskipun saya masih berpikir seribu kali kalau harus beneran kerja di Jakarta, tapi setidaknya saya jauh lebih siap daripada bertahun-tahun yang lalu. Pandangan saya terhadap Jakarta lambat laun berubah seiring bertambahnya frekuensi saya datang ke kota ini. That’s why saya pingin share tips-tips dari saya
1. Know Your Purpose
Layaknya lulusan S1 pada umumnya, dulu saya menargetkan untuk bisa bekerja di korporasi dengan harapan mendapatkan gaji tinggi dan tunjangan besar. Jakarta menjadi pilihan pertama karena disanalah pusat operasional perusahaan. Setelah berkali-kali gagal dalam melamar pekerjaan dan tes ini-itu, saya pun pulang ke Surabaya dan bekerja di sebuah start-up. Saya tidak menyesalinya karena toh itu sudah berlalu. Namun begitu, baru-baru ini saya mencoba melamar pekerjaan di Jakarta lagi dan to be honest, saya sempat kaget ketika mendapat tawaran gaji yang cukup mengenaskan. Saya bingung karena saya ini lulusan S2 dengan pengalaman kerja sekitar 3,5 tahun tapi gaji yang diberikan hanya sedikit di atas UMR Jakarta. Saya berulang kali cross-check ke teman-teman yang sudah tinggal di Jakarta duluan, atau yang bekerja sebagai HR, dan mereka menyatakan gaji segitu tidak cukup untuk tinggal di Jakarta. Bisa sih kalau ngirit, tapi nanti saya bahas di poin yang lain.
Maka dari itu, sebelum berangkat ke Jakarta, kamu harus menyakinkan diri tentang tujuanmu. Reality speaks, enggak semua orang bisa dapat gaji yang langsung gede meskipun sudah bekerja di korporasi di Jakarta, tapi barangkali kamu punya tujuan lain. Yang paling memungkinkan menurut saya, kejar networking seluas-luasnya karena ini jauh lebih tinggi nilainya daripada gaji . Untuk masalah gaji yaaaaa, setidaknya kamu bisa hidup layak dan ‘tidak memaksakan diri’, if you know what I mean.
2. Invest on Place to Stay
Setelah seharian yang melelahkan di tempat kerja, all you need is a nice place to sleep. Betul? Makanya jangan pelit sama kosan. Cari tempat yang dekat dengan kantor (kalau bisa jalan kaki), pencahayaan dan sirkulasi udaranya bagus, lingkungannya tidak terlalu berisik, dan aman. Kriteria lain yang mungkin bisa kamu terapkan untuk menghemat pengeluaran adalah, cari kosan yang ada space untuk mencuci dan menyetrika baju. Laundry mahal cyin. Malah menurut saya, mending waktu yang ada dipakai nyuci baju daripada masak. Kalau kamu beruntung, masih bisa dapat makanan murah-enak di kantin kantor. Saya aja ngerasain makan siang 12ribu udah dapat sayur dan lauk. Tapi saya belum pernah dapat laundry murah-meriah, hiks.
Kabar buruknya, kosan yang ‘sempurna’ bisa jadi mahal; dan kosan yang biasa aja tapi harganya terjangkau bisa jadi ada di gang-gang sempit nan nyelempit. Menurut saya, kalau kamu ‘berinvestasi’ sekitar 20-30% dari gaji untuk tempat tinggal, itu masih wajar. Apalagi kalau kamu enggak perlu mengeluarkan biaya transportasi kalau mau ke kantor, itu udah bikin kamu enggak perlu stres menghadapi kemacetan setiap pagi dan sore hari. And yes, as I have said, you need a comfortable place to recharge your energy.
3. Pay Attention to What You Eat
Selain berinvestasi pada tempat tinggal, please make sure you invest on your health. Salah satunya tentu saja dari makanan. Harga buah mungkin lebih mahal daripada gorengan, tapi kalau jatuh sakit di perantauan, rasanya lebih miris lagi (saya udah pernah ngalamin, haha). Apalagi di kantor saya, orangnya pada hobi ngemil. Kayaknya makanan enggak habis-habis, dan jadi tergoda buat jajan terus. Makanya saya menenggak Vitamin C & E, dan suplemen serat. Kalau perlu ditambah Vitamin A juga, terutama karena kita jaman sekarang harus ngeliatin komputer setiap hari. Saya pribadi masih suka minum susu, tapi sudah mulai mengurangi minuman manis lainnya karena apaaaaa.. Konsumsi gula berlebihan, ditambah aktivitas tubuh yang enggak terlalu aktif, bisa memunculkan diabetes. Memperhatikan makanan juga berarti memperhatikan anggarannya, karena sekali makan di mall/kafe bisa mahal banget. Cukuplah sekali seminggu atau sekali sebulan, mending uangnya ditabung buat beli tiket kereta/pesawat untuk mudik.
4. Save First, Spend Later
Pay the bills, check. Menyiapkan anggaran untuk makan dan transportasi sebulan, check. Lalu apa? Prioritaskan menabung sebelum nongkrong atau belanja. Saya amat sangat paham kalau sister merasa pantas menghadiahi diri sendiri dengan barang atau makan enak setelah bekerja sangat keras. Jangankan di Jakarta, tinggal di kota lain pun saya begitu. But the problem is, everything in Jakarta might be little too expensive for what we actually deserve. Dan sayang juga kan kalau usaha kita selama ini tidak membuahkan hasil yang ‘kelihatan’. Jadi jangan ngerasa sungkan sama teman jika minggu ini kita harus menolak ajakan mereka untuk nonton konser; because yes, there are so many entertainment stuffs in Jakarta and maybe you feel like a ‘kampungan’ to turn down the offers.
5. Have Extracurricular Activities
Living in Jakarta can be so lonely, I assure you. Kamu enggak punya saudara atau kerabat yang tinggal di Jakarta; dan enggak dekat juga sama teman kantor; rasanya bingung mau ngapain sepulang kerja. Belum lagi kalau akhir pekan datang. Ketika kesepian melanda, pasti pingin nangis dan ujung-ujungnya menyerah. Enaknya tinggal di Jakarta, ada beragam kegiatan positif yang bisa kamu pilih untuk mengisi waktu luangmu. Coba cek Instagram @maubelajarapa, ada workshop dan komunitas yang bisa kamu ikuti. Kamu penggemar olahraga? Grup olahraga apapun ada di Jakarta, bahkan yang judul olahraganya lari ‘doang’, komunitasnya bisa berjumlah ratusan. Dari mulai trail run, long distance
6. Manage Your Expectation
Biar dikata kamu udah bekerja di perusahaan mentereng dan punya banyak kenalan, tapi tetap saha hidup di Jakarta adalah sumber dari ketidakpastian. Saya kasih contoh sederhana: kemacetan. You just never know when it will suddenly appear between your to-do list. Tentu ada jam-jam yang bisa diprediksi, tapi entah kenapa, kadang adaaaaa aja yang malang melintang antara kita dan appointment yang sudah kita buat. Sudah tak terhitung berapa kali janjian saya dan teman harus batal karena terjadi situasi yang tidak diharapkan. Terima kejadian tersebut dengan santai dan jangan kecewa. Jangan pula berkecil hati karena itu artinya kita harus belajar mengusahakan yang lebih baik pada kesempatan lain. Mungkin mengganti tempat ketemuan; atau mengubah moda transportasi untuk mencapai suatu daerah. Untungnya, Jakarta punya TransJakarta, Commuter Line, dan angkot/bus yang bisa kamu manfaatkan. Install aplikasi Trafi deh (I am not endorsed, btw :p), it is so useful!
7. Be Grateful
Buat sister yang baru mencoba hidup di Jakarta, here’s the saddest truth: Jakarta enggak (selalu) seperti apa yang tampak di post Instagram para selebgram. You don’t do nongkrong syantik everytime with perfect clothes and on-point make up. YOU WORK VERY VERY VERY HARD EVERY DAMN DAY! Mereka, para fashion/beauty influencer itu, juga kerja keras setiap saat, tapi mungkin enggak kelihatan aja oleh kita. I do realized most people in Jakarta wake up before 4AM, start to go to their office at 6AM, work until late, back home at 9-10PM, and have to repeat it again tomorrow. Bahkan pemandangan orang-orang yang harus melakukan dua pekerjaan (seperti kerja di kantor pada pagi hari dan ngojek pada malam hari), itu BIASA. Jadi, kalau kamu sudah dapat pekerjaan yang lumayan enak, SYUKURI. Kalau kamu udah enggak kuat di Jakarta, ya mending pulang aja daripada tiap hari mengeluh. Jakarta itu keras, dan orang-orang yang tinggal di sini bermental baja. What about you?
Pada akhirnya, hidup itu pilihan dan hingga detik ini saya masih memilih untuk tidak tinggal di Jakarta secara permanen. Saya sangat mengagumi mental orang Jakarta, dan saya punya perasaan yang berkecamuk setiap kali pulang dari Jakarta. Tak henti-hentinya saya bersyukur karena saya punya teman-teman dan saudara yang mengasihi saya selama saya di Jakarta, and they make my life easier. But at the end of the day, it is still challenging for me to have a high-quality life in Jakarta because I feel tired all the time. Mungkin suatu hari nanti jika sudah tidak ada pilihan lain, saya akan menerima kenyataan dan pindah ke Jakarta sambil mengaplikasikan tips-tips di atas. Buat kamu yang ngebaca post ini, boleh banget menambahkan tips lain berdasarkan pengalamanmu. Saya tunggu di komen ya! :)
Love,
Prima
Aku sudah nyaman tinggal di Surabaya XD
ReplyDeleteTapi tips ini masih relevan (banget) untukku sekali pun nggak tinggal di Jakarta :D
Those are what I exactly feels as anak rantauan in Jakarta. Nice post!
ReplyDelete