Mumpung masih bulan Januari, kalau saya ngucapin Happy (Belated) New Year, kira-kira gimana? *digetok pembaca* Tahun baru ini pun saya batal ngerayain, padahal tadinya sudah sempat merencanakan untuk pesta barbekyu sama teman-teman di Solo. Setelah dua kali usaha ngantri tiket Prameks enggak dapat juga, udah mikir mau go-show...ternyata tanggal 31 Desember pagi, ayah saya harus dilarikan ke rumah sakit karena asam uratnya kumat. Panik banget, karena saya jarang melihat ayah saya kesakitan seperti itu, dan sakitnya beneran pula (lah gimana). Saking parahnya, ayah saya harus disuntik supaya cepat sembuh.....dan beberapa jam setelah kembali ke rumah, mukanya bengkak karena alergi obat. Mau nangisss, akhirnya saya muter-muter buat nyari obat alternatif yang bisa dibeli tanpa resep dokter. Mana sambil ngehindarin macet juga. Maghrib saya sampai rumah, ayah minum obat pengganti, dan alhamdulillah keadaannya lebih baik esok paginya.
Tanggal 1 Januari pun terlewati dengan agak hampa, dan enggak sampai satu minggu, gantian saya yang harus ke rumah sakit. Kali ini saya dirujuk oleh dokter umum dan psikolog ke dokter spesialis jiwa di Rumah Sakit Akademik UGM karena mengidap “severe depressive episode without psychotic syndrom.” ‘Penyakit’ apa itu? Nanti saya ceritakan di post terpisah kalau sudah siap ya. Yang jelas, ini adalah gangguan mental yang enggak keren sama sekali. But as I said on my Instagram post, pasti ada alasan kenapa Allah menganugerahkan hal ini kepada saya. Even when I knew that Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ‘dirayakan’ pada hari ulang tahun saya, saya ngerasa gimanaaa gitu. Hanya saja, ini ada hubungannya dengan film yang saya tonton akhir pekan lalu.
I am actually not a fans of Ernest Prakasa, saya lebih menggemari tulisan istrinya, Meira Anastasia. Kalau enggak salah, beberapa tahun yang lalu saya sering membaca blognya (tapi lupa alamatnya apa). Terus saya lupa juga siapa yang merekomendasikan film Susah Sinyal. Pas baca sinopsisnya, langsung kepikiran ngajak mama dan adik buat nonton karena kami lagi butuh bonding time. Sempat mengusulkan untuk nonton bareng tante, roommate, dan sepupu; tapi tante mah sibuknya kanmaen. Nonton pun tinggal wacana, hiks hiks.
Susah Sinyal merupakan film tentang Ellen (Adinia Wirasti), seorang single mother yang bekerja sebagai pengacara; dan anak perempuannya, Kiara (Aurora Ribero). Ceritanya, Ellen ‘mendadak’ harus PDKT sama Kiara karena ibunya meninggal, sementara selama ini Kiara memang sangat dekat dengan omanya itu. Waktu di awal film digambarkan kedekatan antara Kiara dengan omanya, saya dan mama langsung manggut-manggut secara saya sangat dekat dengan nenek saya. Saya pernah menceritakan hal ini di review film Moana. Bedanya, karena nenek saya adalah ibu dari ayah, jadi mama enggak dekat dengan nenek. Yang ada mereka malah sering berantem waktu saya kecil, karena saya selalu nangis kejer kalau dipaksa pulang dari rumah nenek. Sekarang sih hubungan mereka sudah lumayan baik. Mama pernah ngebeliin nenek seperangkat teko, gelas, dan mangkok T*pperware; maksud mama buat dipakai waktu Hari Raya Idul Fitri, eh malah nenek ngerasa sayang dan disimpan di lemari pajangan. Hihihi.
Balik ke film ini. Diceritakan bahwa Kiara ini selebgram yang punya suara bagus, sehingga impiannya adalah untuk tembus The Next Voice Indonesia. Dia juga vlogger, jadi dia sering meng-upload videonya (tapi di film ini diceritain cuma dua video aja) dan punya banyak subscriber. Kalau saya se-rajin itu bikin vlog, bukan enggak mungkin saya juga akan nge-vlog bareng nenek saya, hoho.
Selepas masa berkabung, Ellen langsung disibukkan dengan kasus perceraian pasangan artis Cassandra-Marco (diperankan oleh Gisella dan Gading Marten yang juga pasangan...ini apa enggak takut ya, naudzubillahi min dzalik). Berhubung Ellen baru mendirikan law firm-nya sendiri, Iwan (Ernest Prakasa) menyarankan untuk menerima kasus ini. Disini momen merinding kedua, karena my mom felt like she went back to her divorce case. Mama sempat nyeletuk tentang momen sidang perceraiannya dengan ayah saya, yang langsung saya jawab “sssttt” KAN MALU YAK, kalau gebetan denger kan ga enak (lah padahal gebetan lagi dimana dah).
Saya sendiri enggak ingat pernah dihadirkan di sidang perceraian karena maybe saya terlalu kecil saat itu (umur 4 tahun), but yeah when I saw Darren in the movie, I do understand it won’t be easy. Jangankan yang masih kecil atau remaja, sampai sekarang aja saya angkat tangan kalau disuruh milih ikut ayah atau mama. Thank God sekarang udah enggak perlu milih; saya justru bersyukur punya dua keluarga dan dua rumah.
Put aside Cassandra-Marco yang sidangnya dimenangkan oleh... “seseorang yang menurut hakim, bisa memberikan lebih banyak waktu untuk Darren” (guess who?), mari kembali ke Ellen dan Kiara. Status selebgram yang disandang oleh Kiara, membuatnya sering main Instagram saat di kelas. Maka dari itu, Bu Sondang (atau Bu Sondakh?), guru Kiara yang juga pemimpin ekstrakurikuler paduan suara, tak sengaja merusakkan handphone Kiara ketika hendak menghukumnya. Ellen pun dipanggil di sekolah, lalu terjadi dialog yang sangat bagus ini (CMIIW).
Bu Guru BK : Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibu Anda.
Ellen : Terima kasih Bu, lalu Kiara gimana Bu?
Bu Guru BK : Sebelum membahas Kiara, saya mau tanya perasaan Bu Ellen gimana?
Kalau kata teman saya, Titasya, kadang-kadang kita terlalu memperhatikan orang lain sampai lupa mikirin diri sendiri. That’s why I think Ellen juga ‘lupa’ nanya ke diri sendiri tentang kesedihannya. Ya gile aja itu ibunya yang meninggal lho, kayaknya dia enggak sedih-sedih amat. Nah di sini, Bu Guru BK punya andil untuk menyuruh Ellen dan Kiara berlibur untuk saling mengakrabkan diri dan mengurangi perasaan sedih karena kehilangan Sang Oma.
Sumba pun dipilih karena Kiara nge-fans sama Andien. Momen merinding berikutnya pun terjadi karena mama, saya, dan adik, sudah pernah liburan ke Flores (walaupun Sumba dan Flores beda, tapi teuteup ajaaa, sama-sama di Nusa Tenggara Timur #ngeles). Waktu itu kami tinggal selama hampir tiga minggu di rumah keluarganya tetangga kami; bersilaturrahim dengan sahabat mama yang ditugaskan di Maumere, dan tak lupa mengunjungi Danau Kelimutu. Hal yang paling saya ingat adalah perjalanan dengan kapal laut yang ENGGAK AKAN PERNAH SAYA ULANGI KALAU ENGGAK KEFEFET. Tapi gatau lagi ya, itu kan jaman tahun 2000-2001, mungkin sekarang kapalnya sudah jauh lebih bagus. Hmmm. Tiba-tiba kepikiran, kapan terakhir kali kami liburan bareng? Kayaknya udah lamaaaaa.
Berhubung setengah film ini bercerita tentang momen mereka di Sumba, film ini jadi menghibur sekali karena ada si Yos dan Melky. Oh ya, film ini bertabur komedian, makanya dialognya juga cerdas dan jenaka. Coba perhatikan candaan yang mereka lontarkan tentang kasus kriminal penculikan dan pembunuhan turis ketika menjemput Ellen dan Kiara. Pas banget! :))) Atau waktu si Yos (atau Melky?) yang bilang kalau kartu SIM yang ada sinyalnya di Sumba namanya kartu Hoki, sinyalnya pun tergantung ‘hoki’. Hehehe. Tapi tetep enggak ada yang ngalahin gantengnya Abe (Refal Hady), jadi inget mas dokter, ehem.
Cumaaa disinilah cerita agak mulai aneh karena kelihatannya Ellen dan Kiara itu enggak ngapa-ngapain bareng. ‘Tiba-tiba’ aja mereka dekat hanya karena Ellen menemukan tempat yang ada sinyalnya. Saya pikir seharusnya mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama, atau bertengkar dua-tiga kali terlebih dulu sebelum berbaikan. But still, pemandangan indah Sumba dan alur yang relate banget dengan apa yang sedang saya alami, menghapus pikiran negatif saya tentang hole dari film ini. After all, tak ada gading yang tak retak (#halah).
At the end, perdebatan Ellen dan Kiara yang terjadi sesudah Ellen batal menghadiri audisi Kiara, juga sangat bagus. You know what, kadang orangtua yang bercerai hanya ingin menutup rapat kisah buruk itu agar dapat melangkah maju. Akan tetapi, namanya anak-anak, mereka (dan saya pun) kadang ‘sok bijak’ ingin mengetahui semuanya agar bisa belajar dan memperbaiki diri. Dan pada waktu-waktu krusial itulah, tanpa sadar orangtua dan anak saling menjauh.....tanpa tahu bagaimana mendekatkan diri lagi.
Sudah bertahun-tahun saya membubuhkan resolusi “membuka hati untuk orangtua”. Saya selalu berdoa kepada Allah agar hati saya dilembutkan dan bisa menerima bahwa orangtua saya hanyalah manusia yang tak sempurna. Saya pun dilahirkan ke dunia bukan untuk membetulkan kesalahan mereka, melainkan untuk menjalani takdir saya sendiri. Inilah yang sedang saya upayakan untuk lakukan – setiap harinya, setiap detiknya.
In conclusion, film Susah Sinyal ini bergenre keluarga, dan pas ditonton oleh orangtua yang punya anak remaja yang lagi bandel-bandelnya. Enggak harus berlibur jauh kok untuk bonding, bikin peraturan “simpan hp masing-masing saat waktu makan malam” saja sudah jelas akan membantu. Awalnya mungkin akan canggung, but we never know if we don’t try, right?
Terima kasih Ernest dan Meira atas filmnya yang apik, dan semoga kamu berkenan mendoakan agar situasi saya (dan orangtua saya) segera membaik seperti yang saya harapkan.
Lots of love,
Prima
Ahh,, kukira liat trairlernya ngga ada unsur familynya mbak,nggak taunya, kisahnya ttg family, hheee
ReplyDeleteAku ga tau ttg keluarga dr bapak, dan ga prnah tau bpk dimana, huhuuu
jadi baper aja baca postingan ini mbak, huhuu
TFS buat reviewnya yah mbakk...
Iyaak benerrr.. bonding dengan hal yang simple aja dulu. Seperti nggak megang hp saat ada orangtua di sekitar kita. Ini juga jadi PR aku sih Prim, buat ada komunikasi yang lancar sama orangtua.
ReplyDeleteBelum sempat nonton, tp kalau liat iklannya di TV bagian di Sumbanya kayaknya lucu. Kayaknya saya perlu ajak papa saya liburan ke tempat yang susah sinyal juga nih... beliau main hp-nya ngelebihin saya bookk hahaha
ReplyDeletethx reviewnya ya :)