Dengan Bu Adita, photo by Telkomsel Runners |
Dengan Pak Imam, photo by David |
Dengan Pak Jumhardani |
Dengan Kak Carla |
Dengan Playon Jogja (nasib difoto banyak kamera sekaligus :p) |
Akhir pekan yang lalu merupakan akhir pekan yang emosional bagi saya. Terharu, bangga, bahagia – bercampur jadi satu. Ya, saya menjadi relawan di NusantaRun Chapter 5. Buat sister yang follow Instagram saya mungkin sempat melihat perjalanannya melalui Insta-story. Yang belum, tenang! Sudah saya simpan di ‘sorot’ di bio saya. Luar biasa ya Instagram, buat saya yang hobi update lewat Insta-story tapi jarang nge-post di feed, fitur ini sangat membantu sekali, hihi.
Nah, gegara pada nonton Insta-story, banyak pertanyaan yang masuk ke DM atau Whatsapp. “Mbak prima kok tumben ikutan acara olahraga?” adalah pertanyaan pertama yang banyak muncul. Uhm, let me explain a bit. Sezuzurnya saya jaman kecil itu hobi banget berenang. Berhubung ada kolam renang di kantor mama, saya bisa berenang lima kali seminggu. Sampai mama ngedatangin instruktur khusus buat melatih saya, dan saya hampir jadi atlet. Waktu masuk SD, saya bersekolah di sekolah Islam dan jadi malu buat menunjukkan aurat. Cieh, belum balig aja udah ngerti lho. Saya pun mengubur keinginan jadi atlet renang. Cumaaa berhubung waktu itu saya sering di-bully, ditolak terus pas masuk tim kasti (bahkan jadi sasaran lemparan bola supaya saya takut) atau tim basket, makanya saya lebih sering menghabiskan hari di perpustakaan.
Bertahun-tahun kemudian, proses penulisan skripsi ‘menjerumuskan’ saya ke dunia sepak bola. Ceritanya dosen pembimbing skripsi saya bilang kalau saya enggak cocok menulis tentang per-teori-an, terus disuruh cari objek penelitian yang praktis. Saya ditugaskan untuk menulis sesuatu – yang tidak hanya menambah khazanah ilmu komunikasi, tapi juga bermanfaat untuk masyarakat. Ya semua naskah akademik itu pasti berguna, but you know what I mean, right? Nah, berhubung saya enggak pingin sendirian waktu skripsi, saya pun ikutan teman nulis skripsi tentang klub sepak bola di Malang. Hehehe.
Nah, gegara pada nonton Insta-story, banyak pertanyaan yang masuk ke DM atau Whatsapp. “Mbak prima kok tumben ikutan acara olahraga?” adalah pertanyaan pertama yang banyak muncul. Uhm, let me explain a bit. Sezuzurnya saya jaman kecil itu hobi banget berenang. Berhubung ada kolam renang di kantor mama, saya bisa berenang lima kali seminggu. Sampai mama ngedatangin instruktur khusus buat melatih saya, dan saya hampir jadi atlet. Waktu masuk SD, saya bersekolah di sekolah Islam dan jadi malu buat menunjukkan aurat. Cieh, belum balig aja udah ngerti lho. Saya pun mengubur keinginan jadi atlet renang. Cumaaa berhubung waktu itu saya sering di-bully, ditolak terus pas masuk tim kasti (bahkan jadi sasaran lemparan bola supaya saya takut) atau tim basket, makanya saya lebih sering menghabiskan hari di perpustakaan.
Bertahun-tahun kemudian, proses penulisan skripsi ‘menjerumuskan’ saya ke dunia sepak bola. Ceritanya dosen pembimbing skripsi saya bilang kalau saya enggak cocok menulis tentang per-teori-an, terus disuruh cari objek penelitian yang praktis. Saya ditugaskan untuk menulis sesuatu – yang tidak hanya menambah khazanah ilmu komunikasi, tapi juga bermanfaat untuk masyarakat. Ya semua naskah akademik itu pasti berguna, but you know what I mean, right? Nah, berhubung saya enggak pingin sendirian waktu skripsi, saya pun ikutan teman nulis skripsi tentang klub sepak bola di Malang. Hehehe.
Eventually, I fell in love with human behavior. How people interact and use messages to obtain things in life, it mesmerizes me... But, why sport? For me, sport is life. You compete, you collaborate, you win or lose, you get prize or you keep practicing. Until the referee blows the whistle – or until you reach the finish line.
You just don’t give up in sport.
Agak berbeda ketika saya memasuki masa penulisan tesis. Setelah mengawali kuliah dengan dana dari sponsor (Yayasan Bibi Baik Hati), lalu dapat beasiswa selama dua semester, saya tahu saya harus membiayai studi saya sendiri selepas masa beasiswa berakhir. Maka saya berpikir apapun topik tesis saya, yang penting CEPET KELAR. Saya pun mengambil obyek penelitian yang dekat dengan saya, yaitu sebuah proyek berbasis teknologi finansial yang sedang saya kerjakan. Ternyata setelah saya ajukan ke dosen pembimbing, beliau merasa objek ini kurang ‘meyakinkan’ (sampai nilai Proposal Tesis saya jeblok, hiks). Bersyukur saya punya kesempatan bertemu dengan Alfatih Timur, CEO Kitabisa.com. Saya pun langsung menodongnya dengan mengatakan, “aku pingin nulis tesis tentang Kitabisa, tapi enggak tahu harus milih campaign yang mana.”
Sebelum ketemu Bang Timmy, saya sudah sempat sudah sempat browsing sih. Kepikiran buat ambil campaign NusantaRun karena to be honest ada Bu Adita Irawati, yang saya dampingi waktu seminar kelas saya akhir 2015. Padahal setelah dipikir lagi sekarang, ya ampun saya pede abis, secara beliau Vice President Corporate Communication Telkomsel, mestinya tahu kalau beliau sibuk banget. Hahaha. Tapi mungkin sudah jodohnya, Bang Timmy pun meminta saya ngubek-ngubek NusantaRun karena ada hal-hal yang bikin dia penasaran.
Balik ke Insta-story. Hal kedua yang paling banyak ditanyakan kepada saya adalah, “apa itu NusantaRun?” Sumpah ini kayak saya jelasin ke dosen pembimbing tesis, LOL. Soalnya saya sampai bikin gambar oret-oretan gitu, padahal tahu sendiri saya enggak bisa ngegambar. Dosen pun semakin bingung. Ha!
Jadi NusantaRun ini sederhananya kegiatan lari amal. Pada event lari amal yang ‘konvensional’, sejumlah pelari akan berlari sejauh x km untuk ‘menarik’ sponsor. CMIIW – semakin banyak pelari yang ikut, dan semakin jauh jaraknya, akan semakin banyak dana yang dikucurkan karena branding sponsor akan semakin naik juga (ini kenape kata ‘semakin’ ada empat yak #editoralert). Sponsor tersebut akan mendanai program yang telah ditetapkan.
Tapi NusantaRun berbeda. NusantaRun mengharuskan para pelari sekaligus menjadi penggalang dana. It doesn’t matter where you get the donation from, but you have to collect certain amount of fund before the deadline. ‘Gilanya’, NusantaRun merupakan kegiatan lari kategori ultra, artinya jarak yang ditempuh lebih jauh dari 42km.
NusantaRun Chapter 1 yang diadakan pada tahun 2013 menempuh jarak sekitar 53,5km, yaitu dari Jakarta ke Bogor; dengan 53 orang pelari yang ikut; dan berhasil mengumpulkan donasi sebanyak Rp. 137juta. Pada kali pertama ini, pelari yang ikut merupakan teman-teman dari Jurian Andika dan Christopher Tobing, pendiri NusantaRun. Tanpa diduga, tahun berikutnya semakin banyak yang kepingin ikut dan jumlah donasi yang terkumpul pun jadi berlipat ganda.
Setelah tiga kali diadakan, penggalangan dana pada NusantaRun Chapter 4 dilakukan melalui Kitabisa.com. Selain supaya lebih praktis dan transparan, Kitabisa pun sedang ‘naik pamor’ sebagai salah satu sarana orang berdonasi. Siapa di antara sister yang sudah pernah mendanai campaign di Kitabisa? Angkat tangan~
Long story short, saya menyelesaikan tesis saya dalam waktu kurang lebih enam bulan. Saya sih ngerasa tesis saya cukup bagus, hanya... saya kan ngumpulin data lewat wawancara doang. Feel-nya kurang dapet gituuu. Saya pun kecewa ketika tahu nilai tesis saya ‘cuma’ A/B. Tapi protes juga enggak mungkin. Yawes saya berharap bisa mengobati kekecewaan ini dengan cara menjadi relawan di NusantaRun berikutnya.
Di samping berniat membalas budi (bayangin ya, itu SEMUA informan saya baiknya Allahu Akbar, enggak ketulungan – bukan hanya lancar jaya, tapi saya juga ditraktir); misi saya berangkat ke NusantaRun Chapter 5 adalah untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri, kalau mereka beneran lari :))) Lebih gilanya lagi, kali ini mereka lari sejauh 127,9km dari Purwokerto ke Dieng. Memang jaraknya NR (singkatan NusantaRun) Chapter 4 itu 145km, tapi kali ini mereka kudu melewati tanjakan dan menghalau udara dingin. Enggak kebayang kan? Sama!
Saya pun apply sebagai volunteer untuk checkpoint crew karena saya enggak mungkin mendaftar sebagai fotografer/videografer; apalagi sebagai tim medis atau cyclist (...). Sepedaan dari rumah ke Jakal Atas aja ngos-ngosan, hiks. Sempat merengek ke Bang Jurian untuk jadi tim humas, tapi teman pelari menyarankan untuk tetep jaga checkpoint aja. Do I regret it? Not at all! Saya malah happy karena bisa jaga CP7 bareng Playon Jogja dan Magelang Runners di Taman Fatmawati Wonosobo.
Para pelari start dari Alun-alun Purwokerto pada Jumat, 15 Desember 2017, pukul 22.00. Di sini saya ketemu lima orang informan saya yang semuanya full course (jadi mereka harus lari 127,9km): Bu Adita Irawati, Kak Carla Felany, Munsif, Pak Jumhardani, dan Pak Imam Santosa. Saya bilang ke mereka kalau saya jaga CP7 which is actually really far from the start line (KM 92), hehehe. Merinding banget waktu lihat proses pemberangkatan mereka, sementara saya kemudian nunggu pagi sambil bobok ayam di pendopo alun-alun (did you guys experience the earthquake? Me too!).
Sabtu pagi, saya kebagian tugas memastikan para pelari half course yang berangkat dari alun-alun keangkut semua. Lima mobil Elf pun beriringan menuju CP5 yang berlokasi di Kantor Bupati Banjarnegara. It was my first crying moment as I saw the runners run under the blazing sun. Huaaah, rasanya pingin ngangkut semua pelari itu di mobil yang saya naiki. Lha terus mereka enggak jadi lari dong, hihi.
Sesampainya di CP5, kami koordinasi sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke CP-CP yang harus kami jaga. Berhubung petugas CP6 yang bernama Vania dan Nissa sudah berangkat duluan pada malam harinya, maka para volunteer langsung menuju CP7-10. Oya, rumah neneknya Nissa di dekat Stasiun Purwokerto sempat jadi tempat peristirahatan bagi para volunteer sebelum mulai briefing.
Saya dan Mbak Codot (iya itu nama panggilannya) diturunkan di Taman Fatmawati Wonosobo dimana sudah ada manteman Playon Jogja dan Magelang Runners yang ‘dipimpin’ oleh Mas Alex. CP ini warbiyasak sekali karena enggak ada toilet atau listrik yang memadai. Kacrut banget deh pokoknya. Saya yakin Mas Alex sebenarnya bonek karena dese banyak melakukan hal-hal nekat demi memberikan pelayanan terbaik bagi para pelari. #ahzek
Menjelang pukul 1 siang, pelari pertama datang. Saya sampai kaget karena beliau cuepet banget; pelari kedua aja baru tiba sekitar dua jam kemudian. Sebagai tim timing, saya bagi tugas dengan Mbak Codot. Dia pegang pelari half course dan saya pegang pelari full course. Tugasnya yaaa... nyatet timing mereka masuk dan keluar CP. Berhubung pelari half course baru start dari CP5, mereka masih lumayan segar bugar; sedangkan untuk pelari full course, CP7 berarti 75% dari total jarak yang harus ditempuh. Makanya menjelang maghrib masih ada sekitar 50-an pelari yang belum datang. Saya pun deg-deg-an dan sempat meminta Bang Topher untuk memperpanjang Cut Off Time (COT). Alhamdulillah kami enggak harus melakukannya karena hal ini tentu akan berdampak pada COT CP berikutnya. Pelari terakhir masuk ke CP saya pada pukul 20.20 (COT CP7 pukul 20.30) dan dia pun harus langsung check out untuk mengejar COT di CP8. Here comes my second crying moment when I finally greeted and hugged my thesis informants after they ran for 92km. Saya lupa-lupa ingat urutannya gimana, tapi yang jelas enggak ada yang bisa ngalahin perasaan leganya saya saat melihat mereka masih sehat wal afiat. Kecuali satu orang yang memutuskan untuk DNF (Did Not Finish) karena cedera, empat orang informan tesis saya lanjut ke CP berikutnya. MasyaAllah.
Setelah tutup CP, saya dan Mbak Codot beranjak ke CP8 dimana saya sempat mandi air dingin (huhu) dan tidur selama satu jam. Sekitar pukul 00.30, saya dibangunkan untuk di-drop di CP10 yang merupakan CP terakhir. Meskipun sempat melayani beberapa pelari seperti mengambilkan mereka minum dan sebagainya, rasa kantuk membuat saya menggelar sleeping bag dan tidur sekadarnya sampai azan subuh berkumandang.
Pukul 08.00 CP terakhir ini ditutup dan kami meluncur ke finish line. Selama menunggu Sysy, volunteer yang ngejagain CP10, mandi dan beberes, saya ngobrol dengan mamanya Bang Jurian. I can see that she is really proud of what her son is doing, ya eyalah masa ada gitu orangtua yang enggak bangga kalau anaknya bisa bikin acara sosial segede NusantaRun. Saya banyak belajar ilmu parenting dari beliau dan salah satunya adalah, just don’t be demanding. Anak boleh dimotivasi, didorong, diberikan contoh yang baik; tapi jangan dituntut dan jangan selalu ‘disuapi’. Biarkan anak mencari solusi atas permasalahannya sendiri, dan selama mereka masih on track, let them do it.
Di jalan menuju finish line, lagi-lagi saya menangis (nangis mulu, prim) ketika melihat Pak Imam menjadi pelari kedua terakhir. Hampir saya turun dari mobil untuk mendampingi beliau, tapi saya pikir kalau saya kecapekan ntar malah ngerepotin. Eh sekitar dua kilometer sebelum finish, ada Kak Carla. Huaaaaa. Ini yang bikin saya bertekad untuk latihan lari dan meningkatkan endurance. I wish I can accompany them in NusantaRun Chapter 6. Now that I see them running myself, I want to be with them although maybe I haven’t been able to run that far. Buat David dan Mas Indra Playon Jogja, janji yo ngelatih aku ben kemis bengi.
Pada akhirnya, keempat informan tesis saya bisa menyelesaikan tantangan sejauh 127,9km dalam panas-dingin-hujan-kabut... and I don’t think I can’t thank them enough to show me how to be a better person. Gini deh, buat sister yang udah lupa cerita saya sepanjang lebih dari 1700 kata di atas, please make sure you are focusing on the last paragraph below.
Para pelari NR5 mengubah cara pandang saya tentang ‘menjadi #OrangBaik’ karena mereka lari tanpa mengharapkan APAPUN. There was no medal, no podium, NO WINNER, no prize... Enggak ada semua hal yang biasanya mereka dapatkan di race lari lainnya. Mereka BERSEDIA lari sejauh itu sebagai bentuk tanggungjawab kepada para donatur. Mereka buktikan kalau mereka mau melawan ego mereka (mengejar kepentingan pribadi) demi membantu misi pendidikan yang diusung oleh NusantaRun. Pihak yayasan pun enggak kalah kerja kerasnya, dan berdasarkan yang saya ketahui dari masa penelitian, mereka menekan biaya operasional agar berapapun donasi yang dihasilkan dapat sepenuhnya dilimpahkan kepada campaign. Makanya acara ini dapat banyak dukungan dari komunitas lari atau pendidikan. Salah satu (eh dua)nya ya, Playon Jogja dan Magelang Runners. Last but not least, when you believe that you are doing something right, don’t be afraid. One day you’ll get the support that you need, insyaAllah. So, I’ll see you at the next blog post? ;)
Salam olahraga,
Prima
Baguuss tulisannya, thx yaa ❤️
ReplyDelete