Thursday, February 22, 2018

Road to Success

Harus saya akui, yang membuat saya sangat tertekan beberapa waktu lalu adalah tekanan orangtua terhadap pencapaian saya. Mereka mengharapkan saya memiliki pekerjaan tetap, jabatan strategis, yang tentu berimplikasi terhadap penghasilan yang tinggi. Terlebih sesudah saya lulus S2, ekspektasi diri saya menjadi semakin meningkat. Teman-teman terdekat mengatakan sebenarnya kehidupan saya sudah cukup ‘sukses’, tetapi saya terlanjur menetapkan target yang teramat tinggi untuk diri saya sendiri. Saya pun sering membandingkan diri dengan orang lain, namun bukan seberapa kaya seseorang dibandingkan saya, melainkan lebih kepada kontribusi seseorang kepada lingkungannya. Saya sering merasa sangat ‘kecil’ dan belum membuat perubahan apa-apa untuk masyarakat luas, atau sederhananya belum membuat gebrakan agar kehidupan orang menjadi lebih baik.

Salah satu yang tampak dari usaha saya memenuhi pengharapan itu adalah pemahaman saya terhadap waktu. Terkadang saya menyesal jika satu hari terlewatkan begitu saja ‘tanpa berbuat apa-apa’, selain bekerja tentunya. Di sisi lain, orangtua saya bukan orang yang pandai menyampaikan apresiasi, sehingga saya menyibukkan diri pada bidang-bidang atau kelompok-kelompok yang sekiranya dapat menghargai saya. Makanya, pada masa awal depresi, saya merasa kelaparan terus-menerus. Kalau kata bos, saya ‘lapar’ penghargaan – tapi alhamdulillah, saya ‘mengenyangkan diri’ saya dengan tindakan positif.

Berhubung mental saya sedang lumayan ‘rawan’, saya pun berusaha menurunkan target tersebut sedikit demi sedikit. Saya juga banyak berbincang dengan teman-teman dan saudara; serta membaca buku biografi. Why biography? Karena di situ saya melihat perjalanan seseorang dari mulai ‘belum punya apa-apa’ hingga bisa menjadi seperti saat ini.
And you know what? There is no such thing called an instant success.

SEMUA ORANG, I repeat, SEMUA ORANG, mengalami masa-masa struggling financially; belum lagi kalau mereka juga masih mencari apa yang sesungguhnya ingin mereka lakukan (seperti saya). Salah satu sepupu saya yang berprofesi sebagai dokter gigi bercerita, sesudah menyandang gelar, ia tak butuh waktu lama untuk membuka praktik di sebuah rumah sakit. Pada bulan pertama dan kedua, ia tidak mendapatkan pasien satu pun. Alhamdulillah, pada bulan ketiga, ia mulai mendapatkan pasien: satu orang. Meskipun begitu, ia tetap datang ke rumah sakit setiap hari meskipun belum tentu ada pasien (dan pada masa itu ia sebenarnya bisa on call). Tahun berganti tahun, sekarang pasien sudah cukup mengenalnya dan jadwal praktiknya hampir selalu ramai.

Kedua teman saya yang lain, yang menurut saya sudah lumayan ‘enak hidupnya’, juga mengalami perjuangan tersendiri. 6-7 tahun yang lalu, mereka harus naik-turun angkot menuju kantor (karena belum ada GoJek). Berangkat pagi buta, sampai rumah paling cepat jam sembilan malam, begitu terus sampai akhir pekan. Sebagai ‘anak bawang’, mereka harus mau melakukan apapun yang diminta oleh atasan, tak peduli mereka tidak menikmati pekerjaan itu. Someone has to work to pay the bills. Beberapa tahun kemudian, posisi mereka sudah cukup senior sehingga bisa mendelegasikan tugas-tugas kepada bawahan.

Saya pun bercermin pada pengalaman hidup saya, yang sepertinya ‘enggak jelek-jelek amat’. Saat orang lain masih bingung mencari kerja, saya sudah punya pekerjaan dan beberapa proyek pribadi (yang mungkin saat ini belum menghasilkan uang, but who knows?). Banyak orang iri dengan pekerjaan saya yang bisa dikerjakan di rumah, dan walaupun saya pegawai kontrak, alhamdulillah saya sudah mendapatkan pekerjaan lain selepas kontrak dengan perusahaan ini berakhir. And guess what? InsyaAllah saya akan bekerja di..... B a l i! Woohoo.

Mungkin bagi saya ‘masalahnya’ adalah, back in 2014, saat saya seharusnya diangkat menjadi manajer, saya justru resign dan mengikuti World Muslimah Award; yang ternyata oh ternyata merupakan sebuah ajang yang gagal karena sampai hari ini pun saya belum menerima hadiah saya dan tidak ada kelanjutannya. Jika saja manusia boleh berandai-andai, sekiranya saya tetap bekerja di kantor tersebut, barangkali saya sudah bisa keluar negeri setiap tiga atau empat bulan sekali. FYI, gaji+bonus saya waktu itu hampir sama dengan gaji saya sekarang, bahkan bisa lebih tinggi kalau lagi banyak klien.

Nyesel sih enggak, tapi kadang suka nyesek mikirin itu. Hahahahaha. Di sisi lain, life keeps surprising me dan target saya yang lain yaitu selesai S2 maksimal 5 tahun sesudah S1 sudah tercapai (terlambat satu tahun sih, tapi lumayan lah...). Allahu akbar!

Everybody has his/her own battle and all we can do is work hard. Seorang teman saya pernah berkata, “kalau ada orang yang lebih kaya atau sukses daripada kamu, lihat jam berapa dia pulang dari kantor.” Maksudnya itu kiasan untuk menggambarkan yaaa orang itu gimana kerja kerasnya. Kecuali kalau dia kaya dari warisan, beda cerita. Hehe.

Untuk itu, saya punya dua contoh yang bisa sister pelajari. Pertama, kamu bisa baca bukunya Kak Teppy (Stephany Josephine) yang berjudul “The Freaky Teppy: Cerita Hidup Penuh Tawa Walau Luka-luka”. Saya sudah pernah menuliskan review bukunya di sini. Kalau kamu cek Instagram dan blog Kak Teppy, sekitar 2-3 tahun terakhir kakak cantik satu ini makin heboh traveling dan kerjaannya. Siapa belum pernah baca review Ayat-ayat Cinta 2-nya yang ngehe abis? :))) Luar biasanya, she is still as humble as I knew her first time. Melihat kak Teppy yang sekarang enggak akan bikin orang berpikir dulu dia pernah ‘miskin’ (pokoknya kalian kudu baca bukunya). Hehe.

Kedua, mas Ariev Rahman. Saya memang belum jadi travel blogger, tapi kalau saya lagi malas mengerjakan proyek-proyek pribadi saya, saya pasti teringat akan mas satu ini. Selain menjadi pekerja kantoran dan memiliki blog traveling yang heitsnya kanmaen; ia pun menjalankan bisnis travel bersama teman-temannya. Yang ada di pikiran saya, “ini masnya tidurnya berapa jam sehari yak?” But he is a true hardworker at heart, and I think you can learn a lot from him.

Barangkali tidak semua orang harus bekerja sekeras saya, atau Kak Teppy, atau Mas Ariev. Hanya saja buat kita yang tidak punya nama ‘Bakrie’ sebagai nama keluarga; rasanya kita kok masih harus kerja keras kalau mau ‘hidup enak’, hihi. Ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita kalau kita sendiri tidak berusaha.
"...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." Q.S. Ar-Ra'd (13): 11

And maybe as I have said, it’s not about how much you can get but how much you can contribute to the society.


Sabar, sabar, sabar. Dan tetap ikhtiar.

Lots of love,
Prima 

1 comment:

  1. Atau nama belakang 'Assegaf' atau 'Farasya' hahaha :)
    Semangat mbak Prima. Setiap orang punya jalan ceritanya masing-masingšŸ¤—

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...