Minggu pagi menjelang siang, saya baru saja menyelesaikan pekerjaan di Grha Sabha Permana. Saya duduk-duduk di parkiran mobil sambil mengamati orang-orang yang sedang jogging. “I should have done it (jogging) more often,” pikir saya. Sedikit menyesal karena baru sadar kalau jogging di GSP sepertinya sangat menyenangkan...apalagi kalau ada temannya. YEEE. Realizing that it’s been more than one month since the last time I visited gym, I feel so unhealthy. I feel sooooo fat (kerasa dari celana panjang yang sudah susah dikancing -_-). But more than that, I feel so unhappy.
Seharusnya saya bersyukur karena sudah mendapatkan pekerjaan bahkan sebelum resmi lulus dari Universitas Gadjah Mada. Seharusnya saya bersyukur karena orangtua saya sangat mempedulikan masa depan saya – dengan caranya masing-masing. Seharusnya saya bersyukur karena dijauhkan dari lelaki(-lelaki) yang mungkin memang tidak pantas bersanding dengan saya (more stories on that later...).
But I feel so empty inside.
Saya sering nggerundel sendiri karena saya merasa bisa mendapatkan hal-hal yang lebih baik dari apa yang saya miliki saat ini. Dorongan dari orang-orang di sekitar saya mulai menjadi beban dan tekanan batin – yang bukannya membuat saya maju, malah justru membuat saya ingin lepas dan bebas.
Bersamaan dengan air mata yang hampir menetes, gerimis datang. Saya bergegas mengambil motor dan beranjak pulang. Dan dalam perjalanan pulang, saya menemukan pemandangan yang miris. Pertama, saat ada sepasang orang tua yang menjual keranjang dari bambu, yang biasanya dipakai buat meletakkan baju kotor itu lho. Mereka bergandengan tangan dan setengah berlari mencari tempat berteduh. Kedua, seseorang yang membawa kostum badut boneka, berusaha melindungi portable tape dari derasnya hujan. Mungkin dia menggunakan alat tersebut untuk mencari nafkah.
Sontak tangis saya pecah. Penderitaan yang saya rasakan bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka, dan jutaan orang lain yang lebih tidak beruntung. Saya lulusan S2...yang mana kesempatan untuk mengenyam (dan menyelesaikan) pendidikan tinggi itu sendiri adalah suatu berkah yang tak ternilai harganya. Sementara saya masih bisa pulang ke rumah yang nyaman, bagaimana dengan mereka?
Sorenya, sepupu saya bertanya apakah memang mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan sesulit itu? Terlebih dengan gelar S2 yang baru saja saya dapatkan. Saya tak bisa langsung menjawab, tapi kemudian saya berpikir, mungkin hanya belum waktunya saja. Dulu ketika saya lulus S1, saya menunggu dua bulan sebelum akhirnya mendapat pekerjaan. Alhamdulillah, saya bertahan pada pekerjaan itu hingga dua tahun-an, sebelum hengkang untuk mengikuti World Muslimah Award 2014.
To be honest, looking for a decent job these days indeed become more difficult than five years ago. Saingannya semakin banyak, dan kadang perusahaan engga ‘logis’ dalam menetapkan kriteria pelamar. Misalnya, pengalaman kerja minimal 5 tahun dan maksimal usia 25 tahun, plus harus cum laude pula. Gimana caraaaaa.
Akan tetapi, saya beneran harus banyak bersyukur karena sejak mulai kuliah S2, saya hampir selalu memiliki pekerjaan dan itu berasal dari networking – bukan melamar dari nol banget. And if now I have to start applying again, surely that will be all okay. Namanya ikhtiar kan tsaaay.
That’s why tiba-tiba ‘bersyukur tanpa tapi’ muncul di pikiran saya bak lampu yang menyala (‘eureka!’). Berapa banyak dari kita – bahkan saya sendiri – yang suka berkata, “bersyukur sih, tapi.....” Padahal yang namanya bersyukur ya bersyukur aja. Allah sendiri sudah menjamin, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu...” (Q.S.Ibrahim (14): 7).
Bersyukur dan bersabar, ikhtiar dan tawakkal... jangan pernah terlepas salah satunya. Buat saya pribadi yang (mungkin) sudah punya jejaring yang cukup luas, saya tetap melamar pekerjaan kesana kemari kok. Because maybe a great job has waited for me somewhere. I just need to go out and try to reach it... even if it has to be step by step.
Malam itu saya berangkat tidur dengan perasaan lebih tenang daripada biasanya. Saya berusaha mengurangi pertanyaan ‘what about tomorrow?’, tapi mengucap banyak hamdalah karena saya diizinkan berada pada titik ini. My life is not perfect, and it might never be, but most important thing, I can finally see the light.
Lots of love,
Prima
Seharusnya saya bersyukur karena sudah mendapatkan pekerjaan bahkan sebelum resmi lulus dari Universitas Gadjah Mada. Seharusnya saya bersyukur karena orangtua saya sangat mempedulikan masa depan saya – dengan caranya masing-masing. Seharusnya saya bersyukur karena dijauhkan dari lelaki(-lelaki) yang mungkin memang tidak pantas bersanding dengan saya (more stories on that later...).
But I feel so empty inside.
Saya sering nggerundel sendiri karena saya merasa bisa mendapatkan hal-hal yang lebih baik dari apa yang saya miliki saat ini. Dorongan dari orang-orang di sekitar saya mulai menjadi beban dan tekanan batin – yang bukannya membuat saya maju, malah justru membuat saya ingin lepas dan bebas.
Bersamaan dengan air mata yang hampir menetes, gerimis datang. Saya bergegas mengambil motor dan beranjak pulang. Dan dalam perjalanan pulang, saya menemukan pemandangan yang miris. Pertama, saat ada sepasang orang tua yang menjual keranjang dari bambu, yang biasanya dipakai buat meletakkan baju kotor itu lho. Mereka bergandengan tangan dan setengah berlari mencari tempat berteduh. Kedua, seseorang yang membawa kostum badut boneka, berusaha melindungi portable tape dari derasnya hujan. Mungkin dia menggunakan alat tersebut untuk mencari nafkah.
Sontak tangis saya pecah. Penderitaan yang saya rasakan bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka, dan jutaan orang lain yang lebih tidak beruntung. Saya lulusan S2...yang mana kesempatan untuk mengenyam (dan menyelesaikan) pendidikan tinggi itu sendiri adalah suatu berkah yang tak ternilai harganya. Sementara saya masih bisa pulang ke rumah yang nyaman, bagaimana dengan mereka?
Sorenya, sepupu saya bertanya apakah memang mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan sesulit itu? Terlebih dengan gelar S2 yang baru saja saya dapatkan. Saya tak bisa langsung menjawab, tapi kemudian saya berpikir, mungkin hanya belum waktunya saja. Dulu ketika saya lulus S1, saya menunggu dua bulan sebelum akhirnya mendapat pekerjaan. Alhamdulillah, saya bertahan pada pekerjaan itu hingga dua tahun-an, sebelum hengkang untuk mengikuti World Muslimah Award 2014.
To be honest, looking for a decent job these days indeed become more difficult than five years ago. Saingannya semakin banyak, dan kadang perusahaan engga ‘logis’ dalam menetapkan kriteria pelamar. Misalnya, pengalaman kerja minimal 5 tahun dan maksimal usia 25 tahun, plus harus cum laude pula. Gimana caraaaaa.
Akan tetapi, saya beneran harus banyak bersyukur karena sejak mulai kuliah S2, saya hampir selalu memiliki pekerjaan dan itu berasal dari networking – bukan melamar dari nol banget. And if now I have to start applying again, surely that will be all okay. Namanya ikhtiar kan tsaaay.
That’s why tiba-tiba ‘bersyukur tanpa tapi’ muncul di pikiran saya bak lampu yang menyala (‘eureka!’). Berapa banyak dari kita – bahkan saya sendiri – yang suka berkata, “bersyukur sih, tapi.....” Padahal yang namanya bersyukur ya bersyukur aja. Allah sendiri sudah menjamin, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu...” (Q.S.Ibrahim (14): 7).
Bersyukur dan bersabar, ikhtiar dan tawakkal... jangan pernah terlepas salah satunya. Buat saya pribadi yang (mungkin) sudah punya jejaring yang cukup luas, saya tetap melamar pekerjaan kesana kemari kok. Because maybe a great job has waited for me somewhere. I just need to go out and try to reach it... even if it has to be step by step.
Malam itu saya berangkat tidur dengan perasaan lebih tenang daripada biasanya. Saya berusaha mengurangi pertanyaan ‘what about tomorrow?’, tapi mengucap banyak hamdalah karena saya diizinkan berada pada titik ini. My life is not perfect, and it might never be, but most important thing, I can finally see the light.
Lots of love,
Prima
Semangattt mbak prim sayang :*
ReplyDeleteYey, akhirnya nulis lagi :)
ReplyDelete