Thursday, June 28, 2018

Tentang Menjadi Istri (Bagian Satu)

Menikah dan punya anak itu BUKAN prestasi/pencapaian. Menikah dan punya anak itu pilihan; dan menikah-tidak menikah | punya anak-tidak punya anak punya konsekuensinya masing-masing. Dan ingatlah, bahwa apa yang menurut kita benar dan baik, belum tentu demikian halnya dengan pandangan orang lain.

Rasanya sulit untuk tidak emosional dalam menuliskan hal ini, karena begitu banyaknya penghakiman yang menuju kepada saya. “Ya kan kamu belum menikah, bisa ngomong gitu… Coba deh menikah, nanti pasti pandanganmu berbeda.” Well, to be honest, saya agak ‘senang’ karena belum menikah, karena saya bisa lebih banyak belajar dan berusaha membuat keputusan dengan matang.

“Halah itu kan pembenaran aja buat menghibur diri sendiri…”  Tuh kan salah lagi, memang maha benar netijen dengan segala firmannya. Eh maap saya juga netijen. But really, saya hampir enggak pernah nyinyirin pasangan menikah, kenapa banyak yang nyinyirin pilihan hidup saya untuk menjadi single (at least sampai ketemu orang yang tepat)? Plis jangan cuma nyinyir, bawain calon suami baru boleh nyinyir. Btw, saya maunya calon suami yang seperti Sheikh Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al-Maktoum ya, enggak bisa kurang. Heuheu.

Anyway, blog post ini jadi semacam klarifikasi setelah status Facebook saya yang cukup kontroversial. Status tersebut mempertanyakan sebuah situasi yang sering kita jumpai bahkan pada masa modern seperti saat ini. 

Seorang lelaki yang ingin menikah, mencari istri yang ‘akan memprioritaskan keluarga dan anak’.

Sementara seorang perempuan yang ingin menikah, mencari suami yang ‘menghargai dirinya dengan segala karakteristiknya (termasuk impian-impiannya).’ 

While they try to communicate, lelaki dengan mudahnya menjustifikasi bahwa perempuan yang tidak bercita-cita menjadi ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak solehah. Sementara si perempuan bingung, memangnya lelaki ini sesoleh apa sampai berharap bisa mendapatkan perempuan solehah luar dalam depan belakang atas bawah?

Berdasarkan komentar-komentar yang masuk pada status saya tersebut, saya melihat ada kecenderungan: sebagian kecil perempuan – yang pikirannya sudah dimajukan oleh zaman dan pendidikan – tidak senang menyerah dengan batasan-batasan patrarki (‘perempuan itu 3M: manak, masak, macak’); sementara sebagian besar laki-laki merasa tugasnya sebagai suami berhenti pada memberikan nafkah. Titik.

Mari kita mundur sejenak pada pola pikir yang ditanamkan oleh kebanyakan orangtua (kita). Perempuan berharap dinikahi untuk dibahagiakan; dan laki-laki berharap mereka akan dilayani dalam sebuah pernikahan. Seiring berjalannya waktu, suami lupa membahagiakan istri berarti mendengar ceritanya, memberikan waktu yang cukup, mengajaknya bepergian, dan mengungkapkan rasa sayang; dan istri lupa melayani suami pada aspek emosional dan intelektualitas. Mohon maaf, bahkan mungkin istri ‘lupa’ melayani suami di tempat tidur karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan rumah dan anak-anak; dan suami pun ‘lupa’ bahwa kelelahan istri ini sedikit-banyak disebabkan oleh andil dirinya.
Seorang rekan kerja di kantor saya dulu, adalah salah satu contoh lelaki paling brengsek yang pernah saya tahu. Dia bekerja, oke. Bangun tidur anak sudah rapi, dia antarkan ke rumah mertuanya, pulang kerja makanan sudah siap, sesudah makan malam dia pun nonton TV. Istrinya bekerja, oke. Bangun lebih pagi karena harus memasak sarapan dan bekal makan siang suaminya, sembari menyiapkan anaknya. Pulang kerja lebih cepat daripada suaminya, setibanya di rumah dia akan masak makan malam, mencuci piring, kemudian mencuci baju. Akhir pekan, si suami akan nongkrong dengan teman-temannya; dan istri harus menyetrika lanjut membersihkan rumah. Dan ketika saya memprotesnya, si lelaki mengatakan, “istriku mau kok melakukannya, kok kamu yang ribut?”

Janc*k, he is right. Perempuannya mau-mau aja kok jadi keset, kok saya yang enggak terima.

It leads me to a principle, that if I get married one day, I am gonna bring it to the table BEFORE we even say “I love you”. Sekali lagi, semua ada konsekuensinya. Mungkin kalau saya menerima jadi perempuan yang ‘biasa-biasa’ saja seperti istrinya rekan kerja saya itu, saya sudah menikah sejak beberapa tahun yang lalu. But I am still single, and I realize every minute of my life that it is because of my choice.

I really wish most men will realize that at the end of the day, it is women who always sacrifice more. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang – setidaknya – selalu memberikan kebutuhannya (dan bahkan keinginannya), perempuan harus mau ‘tercerabut’ dan mengikuti suaminya. Ia harus bersedia mengubur mimpi-mimpinya demi mendampingi suaminya. Ia harus merelakan badannya yang semlohay untuk jadi nggelambyar dimana-mana demi memiliki anak. Pun ia harus setegar karang saat lingkungan mempertanyakan caranya merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.

Benar, ganjarannya surga. Tapi egoiskah saya, ketika saya berupaya ‘menyadarkan’ calon pasangan bahwa tugas-tugas saya sebagai perempuan itu – bukanlah kewajiban, melainkan bukti cinta saya kepadanya? Tak patutkah saya meminta sedikit penghargaan? Salahkah saya merasa sakit hati jika mendengar lelaki mengatakan, “ya itu sudah kodratnya perempuan: mengurus rumah, membuat anak dan membesarkannya”? Apakah saya dianggap sebagai makhluk tanpa otak dan perasaan?

Yuk ah, belajar untuk lebih menghargai perempuan, terlebih yang sudah jadi istriMU, ibunya anak-anakMU, pasanganMU, teman tidurMU, pendamping hidupMU, pendukung terbesarMU. Ask her what she really wants, today!

Hugs to all strong women out there,
Prima

2 comments:

  1. bener banget kak.

    anyway di jaman maju kayak gini sih harusnya gak banyak lagi pria patriarki. kalo masih ada yang kayak gitu, tandanya dia bodoh. gak banyak belajar dan bergaul. jangan sampe deh dapetin pasangan kayak gitu.

    banyak hal yang harus dikomunikasikan sebelum nikah, salah satunya soal prinsip diri. kalo dia gak mau nerima, mending cari yang lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nyatanya masih banyak kan Pin.. mungkin karena ego mereka enggak mau tersaingi oleh istri.. iya makanya aku milih untuk diskusikan hal ini sebelum nerima/nolak.

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...