Beberapa
hari yang lalu, ketika saya sedang berhalangan, saya melonjak dari
tempat tidur saat mendengar kicau burung. It means, matahari sudah
terbit dan ternyata...sudah jam enam! Bukan sok-sok kebiasaan sih,
hehe. Hari itu saya sudah merencanakan jogging (nunduk liat perut),
tapi berhubung sudah kesiangan (alesan), saya balik tidur lagi.
Hahaha.
Siangnya, saya merenung. Saya rindu tahajud, saya rindu waktu berbincang dengan Allah.....
Lalu saya tersadar satu hal..
Kok saya ga rindu sholat Subuh?
#jengjeng
Beberapa waktu lalu, saat bertemu dengan adik saya yang manis, Rhosa, dia mengatakan, “Aku sih pernah denger ya mbak, katanya perlu sesekali 'meninggalkan' yang sunnah agar kita tahu bahwa itu 'hanya' sunnah.”
Tolong ini jangan dikonfrontasi yes. Sebagai dua manusia biasa, saya dan Rhosa kemudian mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan pendapat diatas.
Begini, menurut saya, yang namanya amalan sunnah itu akan berfungsi sebagai pemberat timbangan amal kita nanti di hari perhitungan. Misalnya, sholat sunnah dan puasa sunnah.
Berhubung namanya juga sunnah, patut diusahakan selama yang wajib sudah terpegang. Meski, tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa yang sunnah dapat dijadikan latihan untuk yang wajib. Misalnya, seperti saya pernah bilang, saya (sayangnya) masih sangat-sangat lemah untuk puasa sunnah. Tapi, ibu saya meminta saya sungguh-sungguh berusaha untuk puasa Senin-Kamis sejak dua bulan sebelum Ramadhan agar terbiasa. Di sisi lain, saya berteguh hati hanya akan berpuasa Syawal setelah hutang puasa bulan Ramadhan saya lunas. Jadi, (insyaAllah) pengetahuan saya berimbang lah ya..
Hanya saja, ayah saya pun sering melihat kelompok yang kurang sempurna pengetahuannya malah jomplang untuk masalah wajib dan sunnah ini..
Bayar hutang vs sedekah?
Menafkahi istri vs menyantuni orang tua (terlebih ketika orang tua masih mampu)?
Dan banyak contoh lain.. Yang memang bedanya agak-agak tipis..
Setelah saya konfirmasi ke Ustadz Imron – ustadz yang sering mengisi kajian Hijabee Surabaya – beliau merekomendasikan catatan dibawah ini..
Seorang ulama besar, Al-Hafidzh Ibnu Hajar berkata:
Sebagian Ulama besar mengatakan : “Barangsiapa yang menyibukkan dengan perkara wajib (hingga melewatkan) perkara sunnah, maka dia ma’dzur (dapat dimaafkan). Barangsiapa disibukkan oleh perkara sunnah, hingga melupakan perkara wajib, orang tersebut telah tertipu.” (Fathul Baari’ 11/343)
Nah, kalau menurut saya, idealnya keduanya jalan berdampingan. Yang wajib semakin khusyu', dan yang sunnah juga diperbaiki. Selama niatnya lillahi ta'ala, insyaAllah kita tidak akan terbebani :)
Salam,
Prima
Siangnya, saya merenung. Saya rindu tahajud, saya rindu waktu berbincang dengan Allah.....
Lalu saya tersadar satu hal..
Kok saya ga rindu sholat Subuh?
#jengjeng
Beberapa waktu lalu, saat bertemu dengan adik saya yang manis, Rhosa, dia mengatakan, “Aku sih pernah denger ya mbak, katanya perlu sesekali 'meninggalkan' yang sunnah agar kita tahu bahwa itu 'hanya' sunnah.”
Tolong ini jangan dikonfrontasi yes. Sebagai dua manusia biasa, saya dan Rhosa kemudian mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan pendapat diatas.
Begini, menurut saya, yang namanya amalan sunnah itu akan berfungsi sebagai pemberat timbangan amal kita nanti di hari perhitungan. Misalnya, sholat sunnah dan puasa sunnah.
Berhubung namanya juga sunnah, patut diusahakan selama yang wajib sudah terpegang. Meski, tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa yang sunnah dapat dijadikan latihan untuk yang wajib. Misalnya, seperti saya pernah bilang, saya (sayangnya) masih sangat-sangat lemah untuk puasa sunnah. Tapi, ibu saya meminta saya sungguh-sungguh berusaha untuk puasa Senin-Kamis sejak dua bulan sebelum Ramadhan agar terbiasa. Di sisi lain, saya berteguh hati hanya akan berpuasa Syawal setelah hutang puasa bulan Ramadhan saya lunas. Jadi, (insyaAllah) pengetahuan saya berimbang lah ya..
Hanya saja, ayah saya pun sering melihat kelompok yang kurang sempurna pengetahuannya malah jomplang untuk masalah wajib dan sunnah ini..
Bayar hutang vs sedekah?
Menafkahi istri vs menyantuni orang tua (terlebih ketika orang tua masih mampu)?
Dan banyak contoh lain.. Yang memang bedanya agak-agak tipis..
Setelah saya konfirmasi ke Ustadz Imron – ustadz yang sering mengisi kajian Hijabee Surabaya – beliau merekomendasikan catatan dibawah ini..
Seorang ulama besar, Al-Hafidzh Ibnu Hajar berkata:
Sebagian Ulama besar mengatakan : “Barangsiapa yang menyibukkan dengan perkara wajib (hingga melewatkan) perkara sunnah, maka dia ma’dzur (dapat dimaafkan). Barangsiapa disibukkan oleh perkara sunnah, hingga melupakan perkara wajib, orang tersebut telah tertipu.” (Fathul Baari’ 11/343)
Nah, kalau menurut saya, idealnya keduanya jalan berdampingan. Yang wajib semakin khusyu', dan yang sunnah juga diperbaiki. Selama niatnya lillahi ta'ala, insyaAllah kita tidak akan terbebani :)
Salam,
Prima
Aih yang mau dadah di panggung.. Sukses mbak priiiimmmm.... Impian sudah di pelupuk mata. I always support u
ReplyDeletembak Nunuuu, mudah2an dadah-dadah kemenangan ya, bukan dadah-dadah eliminasi. Hihi. makasih doanyaaa :*
DeleteKadang aku ngrasa kalo sholat sunnah (dhuha atau tahajud) malah bisa lebih khusyu' daripada waktu sholat wajib. apa itu juga tanda2 aku 'tertipu' krn menganggap sholat sunnah 'hanya' sbg sebuah kebiasaan ya mbak? :(
ReplyDeletejustru karena kita menganggap sholat wajib itu sebagai sebuah kewajiban semata.. padahal harusnya yg sholat wajib jadi kebutuhan..
Deleteada loh yang niat puasa wajib dicampur niat puasa sunah. Padahal gak boleh keduanya dalam menjamak niat puasa. Kan gak ada puasa jamak. Yang saya tahu hal jamak-menjamak ya, hanya shalat saja. Itupun karena "darurat"
ReplyDeleteitu ga boleh dong.. yg boleh kan sunnah + sunnah. misal puasa syawal tapi hari senin/kamis. hmmm.
Delete