Kemarin pagi, saya mendadak harus pergi ke ATM, mengambil uang untuk bayar SPP (ya Allah, sedih kaleeeee). Saat keluar dari mini market, saya melihat seorang ibu dengan dua anak perempuannya – yang satu masih TK, dan adiknya masih balita. Lucu sekali melihat tingkah mereka yang begitu aktif. Hampir saja ibu mereka kewalahan.
Kadang, ketika hal-hal seperti ini terjadi, saya bisa merasakan seorang anak kecil memanggil saya ‘mommy’. Memeluk saya dengan erat, merajuk saat saya menolak membelikannya permen, namun tetiba mengatakan ‘mommy, I love you’ di akhir hari. Iya, si anak bakal saya ajak ngomong bahasa Inggris dari kecil soalnya bapaknya bule. Engga usah didebat, diaminin aja. Hehe.
Life isn’t easy for a 28-year old Indonesian woman. Dimana kebanyakan sahabat, rekan kerja, teman kuliah, sampai tetangga pun melepas masa lajang dan memiliki anak. Don’t get me wrong. I am so happy for them. I hope I will never ever judged them for how they treat their babies because after all, it’s not mine.
Namun sering juga saya berpikir, apa mungkin Allah melihat saya belum siap? Di sisi lain, positive thinking-nya adalah, Allah ingin saya mencapai sesuatu terlebih dahulu. Yang lebih besar, belum tentu. Lulus kuliah dalam empat semester aja saya gagal, mau mikirin perdamaian dunia. Heeehhh, nanti dulu.
Saat-saat seperti ini, I look up to one of my best friend. Saya pernah bertanya apakah dia iri dengan pencapaian saya, dia bilang iya. Sementara dia terus-menerus berbagi cerita tentang bagaimana suaminya sangat romantis. Lalu sekarang dia sedang menunggu kelahiran bayinya sambil membaca buku-buku parenting. Hampir tiga tahun pertemanan kami, dia sudah berubah begitu banyak. Sedangkan saya merasa ‘masih di sini-sini aja’.
Beberapa waktu yang lalu, saya mulai membayangkan seorang lelaki ini yang akan menjadi bapaknya anak-anak saya. Engga, saya belum cinta sama dia, ketemu aja belum pernah. Saya hanya berpikir demikian karena saya rasa orangnya asyik. Iya, pemikiran saya cetek banget. Tapi itu semua terjadi sebelum kami kemudian bertengkar hebat dan...entahlah.
To be honest, pertengkaran saya waktu itu didominasi perasaan saya yang engga karuan karena lagi PMS. Saya jadi marah-marah sama diri sendiri. Saya jadi benci menjadi perempuan. Kenapa saya harus merasakan penderitaan ini setiap bulan? Tahu sendiri kan, saat PMS, you can’t control what you say. Yang ada di pikiran apa, yang keluar dari mulut apa. Makanya saya sering lebih memilih mendekam sendiri di rumah biar engga kesenggol sama orang-orang. Although I know it’s not a solution karena biasanya justru bisa makin galau dan berpotensi untuk bunuh diri.
Lucunya, si lelaki ini sempat memberikan sebuah pernyataan yang hampir saja terdengar simpatik. Dia bilang gini, “makanya Allah selalu kasih perempuan waktu istirahat setiap bulan. Allah berikan ‘pekerjaan’ yang fokus kepada hal-hal yang sesuai dengan fitrah perempuan. Misal mengasuh anak, karena bagaimanapun karakter anak itu nurun dari ibunya.”
Sister kan engga tahu konteks pembicaraan kami, tapi pada akhirnya kami bertengkar karena cara dia mengatakan ini mengisyaratkan seolah-olah perempuan itu lemah banget. Padahal – saya merasa pekerjaan mengasuh anak itu sama sekali bukan pekerjaan ‘remeh’, tapi justru lebih besar daripada itu. Saya sadar bahwa ‘memiliki anak’ mungkin bukan tujuan semua perempuan di muka bumi ini. Namun saya kemudian sadar, bahwa apapun yang perempuan lakukan, it’s to raise a better generation.
Ya, menjadi (calon) ibu bukan hanya tentang belajar dari buku. Tapi juga tentang menjadi perempuan yang kuat, cerdas, mandiri, sabar – namun tetap menghargai dan menghormati pasangan.
And I learned it from you, dear Ocha. Terima kasih telah memberikan aku berbagai pelajaran hidup untuk menjadi perempuan yang seutuhnya – terlepas dari apapun statusku sekarang. Terima kasih telah membersamaiku dalam nasehat, doa, dan cerita-cerita konyol. Maaf, untuk sementara waktu aku belum bisa menuliskan pengalamanku dengan si mas bule di blogku seperti kamu minta :))) You will be a great mother, and always remember to keep being a good wife for your mas. He is lucky to have you and vice versa – so you have to show him ever single day that you are grateful to have him.
Lots of love,
Prima
***Tulisan-tulisan Ocha bisa dibaca disini.
Kadang, ketika hal-hal seperti ini terjadi, saya bisa merasakan seorang anak kecil memanggil saya ‘mommy’. Memeluk saya dengan erat, merajuk saat saya menolak membelikannya permen, namun tetiba mengatakan ‘mommy, I love you’ di akhir hari. Iya, si anak bakal saya ajak ngomong bahasa Inggris dari kecil soalnya bapaknya bule. Engga usah didebat, diaminin aja. Hehe.
Life isn’t easy for a 28-year old Indonesian woman. Dimana kebanyakan sahabat, rekan kerja, teman kuliah, sampai tetangga pun melepas masa lajang dan memiliki anak. Don’t get me wrong. I am so happy for them. I hope I will never ever judged them for how they treat their babies because after all, it’s not mine.
Namun sering juga saya berpikir, apa mungkin Allah melihat saya belum siap? Di sisi lain, positive thinking-nya adalah, Allah ingin saya mencapai sesuatu terlebih dahulu. Yang lebih besar, belum tentu. Lulus kuliah dalam empat semester aja saya gagal, mau mikirin perdamaian dunia. Heeehhh, nanti dulu.
Saat-saat seperti ini, I look up to one of my best friend. Saya pernah bertanya apakah dia iri dengan pencapaian saya, dia bilang iya. Sementara dia terus-menerus berbagi cerita tentang bagaimana suaminya sangat romantis. Lalu sekarang dia sedang menunggu kelahiran bayinya sambil membaca buku-buku parenting. Hampir tiga tahun pertemanan kami, dia sudah berubah begitu banyak. Sedangkan saya merasa ‘masih di sini-sini aja’.
Beberapa waktu yang lalu, saya mulai membayangkan seorang lelaki ini yang akan menjadi bapaknya anak-anak saya. Engga, saya belum cinta sama dia, ketemu aja belum pernah. Saya hanya berpikir demikian karena saya rasa orangnya asyik. Iya, pemikiran saya cetek banget. Tapi itu semua terjadi sebelum kami kemudian bertengkar hebat dan...entahlah.
To be honest, pertengkaran saya waktu itu didominasi perasaan saya yang engga karuan karena lagi PMS. Saya jadi marah-marah sama diri sendiri. Saya jadi benci menjadi perempuan. Kenapa saya harus merasakan penderitaan ini setiap bulan? Tahu sendiri kan, saat PMS, you can’t control what you say. Yang ada di pikiran apa, yang keluar dari mulut apa. Makanya saya sering lebih memilih mendekam sendiri di rumah biar engga kesenggol sama orang-orang. Although I know it’s not a solution karena biasanya justru bisa makin galau dan berpotensi untuk bunuh diri.
Lucunya, si lelaki ini sempat memberikan sebuah pernyataan yang hampir saja terdengar simpatik. Dia bilang gini, “makanya Allah selalu kasih perempuan waktu istirahat setiap bulan. Allah berikan ‘pekerjaan’ yang fokus kepada hal-hal yang sesuai dengan fitrah perempuan. Misal mengasuh anak, karena bagaimanapun karakter anak itu nurun dari ibunya.”
Sister kan engga tahu konteks pembicaraan kami, tapi pada akhirnya kami bertengkar karena cara dia mengatakan ini mengisyaratkan seolah-olah perempuan itu lemah banget. Padahal – saya merasa pekerjaan mengasuh anak itu sama sekali bukan pekerjaan ‘remeh’, tapi justru lebih besar daripada itu. Saya sadar bahwa ‘memiliki anak’ mungkin bukan tujuan semua perempuan di muka bumi ini. Namun saya kemudian sadar, bahwa apapun yang perempuan lakukan, it’s to raise a better generation.
Ya, menjadi (calon) ibu bukan hanya tentang belajar dari buku. Tapi juga tentang menjadi perempuan yang kuat, cerdas, mandiri, sabar – namun tetap menghargai dan menghormati pasangan.
And I learned it from you, dear Ocha. Terima kasih telah memberikan aku berbagai pelajaran hidup untuk menjadi perempuan yang seutuhnya – terlepas dari apapun statusku sekarang. Terima kasih telah membersamaiku dalam nasehat, doa, dan cerita-cerita konyol. Maaf, untuk sementara waktu aku belum bisa menuliskan pengalamanku dengan si mas bule di blogku seperti kamu minta :))) You will be a great mother, and always remember to keep being a good wife for your mas. He is lucky to have you and vice versa – so you have to show him ever single day that you are grateful to have him.
Lots of love,
Prima
***Tulisan-tulisan Ocha bisa dibaca disini.
Yg paling bikin aku iri dr diri mbak prim adalah mbak prim yg bs casciscus di depan publik dg pede, sementara aku sll panas dingin dan belepotan kalo ngomong
ReplyDeleteaku juga masih panas dingin kok, hihihi.
DeleteKak Prim, i can feel you. *peluk. Aku yang 23 aja udah direcokin soal nikah, padahaaaal yaaaaa .. emang urusan datangnya jodoh bisa kita atur suka-suka? Nyahhaa *elus dada. Tapi pas kemudian ngobrol sama temen yang baru aja selesai lamaran dan dia bilang iri sama aku yang bisa bebas kerja dan mencapai apa pun yang aku mau karena masih single, aku kemudian mikir kalo orang memang terobsesi memiliki yg gak dia punya. Aku malah iri lihat dia yg udah punya partner sehidup semati.
ReplyDeleteiri terus, iri lagi. padahal seharusnya kita menikmati aja apa yang ada sekarang ya.
DeleteAku yang nikah di usia 22 tahun dan punya anak di usia 23 tahun hanya mau bilang Mbak, dinikmati saja apa yang ada saat ini. Karena setiap fase kehidupan pasti punya cerita dan pembelajarannya. Kalau ditanya iri nggak sma Mbak Prima, iyalah, Mbak Prima mah kereeeeen banget. Bisa menclok sana sini *eh capung kali ya* Tapi aku yakin Mbak Prima juga iri sama aku yang seusia ini sudah gendong Kak Ghifa. Hihi. Hidup itu wang sinawang ya. Yang penting enjoy.
ReplyDelete(((menclok sana sini)))
Deletemakasih mbak! ;)
Hihi, kt samaan mba. Sama2 lahir di tahun 1989 dan belum nikah *eh. Ya gimana jalan hidup orang beda2, yg jelas i never regret anything in life :)
ReplyDeleteInsya Allah semua ada saat terbaiknya hihi