I just had a tired week as I keep tying myself to my comfort zone. I participated in an event on Monday ‘til Wednesday while still trying to manage my workload. Engga, saya engga mengeluh, bahkan ketika seorang teman sekelas sudah ujian tesis minggu ini. It means she finished her study in less than four years! Congrats, Vivi sayang! Saya jadi teringat waktu saya menghadiri seminar proposal skripsi salah satu teman baik saya semasa kuliah S1, pada masa itu kami masih semester 7. Saya baru saja menyelesaikan ujian laporan magang, dan engga lama kemudian, si teman baik sudah sarjana. I was like, “wow”, tapi Allah menakdirkan saya baru lulus setahun kemudian.
Semua orang punya waktunya masing-masing. Ini bukan menjustifikasi excuse saya untuk tidak segera melanjutkan tesis. I have priorities. Everybody has. Jadi kalau saat ini prioritas saya bukan tesis, saya sangat paham dan sadar akan segala konsekuensinya (termasuk bayar SPP lagi, LOL).
Sister juga tahu sebuah ‘badai’ baru saja menghantam keluarga besar kami. I was exhausted mentally. I want to do everything I could to defend mas Ario, tapi pada akhirnya saya tahu ada hal-hal yang cukup diketahui oleh keluarga kami (dan teman-teman dekat yang cukup peduli untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya menelan mentah-mentah kabar A B C dari televisi).
Kembali ke refleksi kegiatan saya hari senin-rabu, saya berkesempatan untuk mengikuti SOPREMA (Sociopreneur Muda Indonesia) 2016 yang diselenggarakan oleh FISIPOL UGM. Menarik banget deh, ikutan acara seperti ini bikin saya jadi lebih optimis dengan Indonesia. ‘Ternyata’ masih banyak banget generasi muda yang engga alay dan hanya mikirin eksistensi di media sosial. Mereka benar-benar berkomitmen untuk mengatasi permasalahan sosial (yaaa, seperti apa yang saya lakukan dengan GandengTangan dan ZettaMedia gitu #cieh). Kerennya lagi, Kemenpora mendukung penuh acara ini dengan cara mendatangkan semua peserta kompetisi (SEMUA peserta, bukan hanya finalis atau pemenang). Coba dihitung + 90 tim [x] 2-3 orang/tim [x] tiket pesawat Garuda Indonesia PP, mulai dari Aceh sampai Ambon...ditambah menginap 3 malam di hotel bintang tiga. Thumbs up, Kemenpora! Walaupun gede juga sih anggarannya, tapi masih ‘ikhlas’ deh duit rakyat ‘dibuang’ untuk mendukung kemajuan kewirausahaan sosial di Indonesia – daripada dipakai studi banding, ye kan?
Sudah beberapa minggu terakhir ini, saya, sepupu, dan tante terlibat dalam diskusi ‘panas’ tentang pekerja vs pengusaha. Ketika saya lulus S1, saya PINGIN BANGET jadi pengusaha, tapi saya sadar diri...Kalau saya engga kerja, keluarga saya makan apa? Hehehe. Engga segitunya juga. Intinya waktu itu begitu lulus, saya dapat modal (atau bisa dibilang uang bulanan terakhir) dari ayah saya sebesar dua juta rupiah untuk hidup sampai dapat pekerjaan. Gila? Nope! Saya jadi termotivasi untuk segera bekerja dan menghidupi diri saya. Kalau akhirnya bisa bayar listrik rumah, speedy, sekolahnya adik; ya anggap aja kayak saya ngekos dan ngeluarin uang buat makan sehari-hari. Secara tinggal di rumah kan makannya gratis~~~
Sembari bekerja, saya menyempatkan diri membuat muslimah clothing label, kalau sekarang sih istilahnya baju syar’i gitu. Saya bikin bisnis itu semata buat memenuhi kebutuhan diri akan baju gamis yang moderen, anggun, dan tetap longgar. Made by order pula. Akan tetapi, saat itu saya tidak memiliki ketekunan dan komitmen yang kuat untuk mensukseskan bisnis tersebut. Bisa ditebak, bisnis itu harus ditutup dalam waktu kurang dari setahun.
Saya pun kembali kerja, kerja, dan kerja (udah kayak slogannya Jokowi). Begitu masuk S2, saya sempat ‘tergoda’ untuk berbisnis lagi. Sudah ngobrol ngalor ngidul sama banyak orang, terus saya mundur deh. Saya tahu saya belum siap berkomitmen. And then, I ended up working for people (again).
Saya pribadi merasa ada banyak sekali manfaat dari bekerja – or what you call ‘ikut orang’. Saya terbiasa untuk disiplin. Saya terlatih untuk menunjukkan produktivitas dan usaha maksimal agar bisa naik pangkat/gaji. Saya mendapatkan banyak ilmu dari bos-bos (dan mantan bos) saya. Saya pun belajar untuk di evaluasi, dan memperhatikan sebuah ‘standar’ yang mana akan berguna bagi saya jika suatu hari nanti saya harus mempekerjakan orang. Right now I have recruited people to be in my team, and it is HARD! Menunjukkan sisi ketegasan sekaligus mengembangkan pribadi seseorang, sebagaimana yang bos-bos saya lakukan kepada saya itu susah banget.
Saat-saat inilah saya sadar bahwa kewirausahaan bukan hanya sebuah profesi yang digambarkan dengan menjadi pengusaha atau pebisnis. It’s a mindset. Hal inilah yang kamu tunjukkan saat kamu merepresentasikan perusahaan tempatmu bekerja, karena kamu merasa memiliki. Karena kamu tahu, ketika kamu melayani pelanggan dengan buruk, ada kemungkinan mereka engga akan pakai jasa kantormu lagi. Kamu tidak ingin itu terjadi, bukan semata karena takut dipecat, tapi karena kamu ingin menjadi bagian dari sebuah brand yang bertumbuh.
And that’s why it seems like my destiny to always join startup companies – not an established one. I want to participate in building something meaningful. Saya percaya diri atas apa yang sedang saya kerjakan, dan saya tidak memberi ruang pada pikiran saya untuk hal-hal yang negatif. Saya berusaha selalu berafirmasi positif (terutama terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat saya bekerja), karena bagaimanapun juga, Allah menuruti persangkaan hamba-Nya.
Nah, kalau kamu sekarang masih sering galau tentang apa yang ingin kamu lakukan di masa depanmu. Atau bahkan masih ragu tentang pekerjaan yang sedang kamu jalani saat ini. You should apply to this awesome program.
Semua orang punya waktunya masing-masing. Ini bukan menjustifikasi excuse saya untuk tidak segera melanjutkan tesis. I have priorities. Everybody has. Jadi kalau saat ini prioritas saya bukan tesis, saya sangat paham dan sadar akan segala konsekuensinya (termasuk bayar SPP lagi, LOL).
Sister juga tahu sebuah ‘badai’ baru saja menghantam keluarga besar kami. I was exhausted mentally. I want to do everything I could to defend mas Ario, tapi pada akhirnya saya tahu ada hal-hal yang cukup diketahui oleh keluarga kami (dan teman-teman dekat yang cukup peduli untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya menelan mentah-mentah kabar A B C dari televisi).
Kembali ke refleksi kegiatan saya hari senin-rabu, saya berkesempatan untuk mengikuti SOPREMA (Sociopreneur Muda Indonesia) 2016 yang diselenggarakan oleh FISIPOL UGM. Menarik banget deh, ikutan acara seperti ini bikin saya jadi lebih optimis dengan Indonesia. ‘Ternyata’ masih banyak banget generasi muda yang engga alay dan hanya mikirin eksistensi di media sosial. Mereka benar-benar berkomitmen untuk mengatasi permasalahan sosial (yaaa, seperti apa yang saya lakukan dengan GandengTangan dan ZettaMedia gitu #cieh). Kerennya lagi, Kemenpora mendukung penuh acara ini dengan cara mendatangkan semua peserta kompetisi (SEMUA peserta, bukan hanya finalis atau pemenang). Coba dihitung + 90 tim [x] 2-3 orang/tim [x] tiket pesawat Garuda Indonesia PP, mulai dari Aceh sampai Ambon...ditambah menginap 3 malam di hotel bintang tiga. Thumbs up, Kemenpora! Walaupun gede juga sih anggarannya, tapi masih ‘ikhlas’ deh duit rakyat ‘dibuang’ untuk mendukung kemajuan kewirausahaan sosial di Indonesia – daripada dipakai studi banding, ye kan?
Sudah beberapa minggu terakhir ini, saya, sepupu, dan tante terlibat dalam diskusi ‘panas’ tentang pekerja vs pengusaha. Ketika saya lulus S1, saya PINGIN BANGET jadi pengusaha, tapi saya sadar diri...Kalau saya engga kerja, keluarga saya makan apa? Hehehe. Engga segitunya juga. Intinya waktu itu begitu lulus, saya dapat modal (atau bisa dibilang uang bulanan terakhir) dari ayah saya sebesar dua juta rupiah untuk hidup sampai dapat pekerjaan. Gila? Nope! Saya jadi termotivasi untuk segera bekerja dan menghidupi diri saya. Kalau akhirnya bisa bayar listrik rumah, speedy, sekolahnya adik; ya anggap aja kayak saya ngekos dan ngeluarin uang buat makan sehari-hari. Secara tinggal di rumah kan makannya gratis~~~
Sembari bekerja, saya menyempatkan diri membuat muslimah clothing label, kalau sekarang sih istilahnya baju syar’i gitu. Saya bikin bisnis itu semata buat memenuhi kebutuhan diri akan baju gamis yang moderen, anggun, dan tetap longgar. Made by order pula. Akan tetapi, saat itu saya tidak memiliki ketekunan dan komitmen yang kuat untuk mensukseskan bisnis tersebut. Bisa ditebak, bisnis itu harus ditutup dalam waktu kurang dari setahun.
Saya pun kembali kerja, kerja, dan kerja (udah kayak slogannya Jokowi). Begitu masuk S2, saya sempat ‘tergoda’ untuk berbisnis lagi. Sudah ngobrol ngalor ngidul sama banyak orang, terus saya mundur deh. Saya tahu saya belum siap berkomitmen. And then, I ended up working for people (again).
Saya pribadi merasa ada banyak sekali manfaat dari bekerja – or what you call ‘ikut orang’. Saya terbiasa untuk disiplin. Saya terlatih untuk menunjukkan produktivitas dan usaha maksimal agar bisa naik pangkat/gaji. Saya mendapatkan banyak ilmu dari bos-bos (dan mantan bos) saya. Saya pun belajar untuk di evaluasi, dan memperhatikan sebuah ‘standar’ yang mana akan berguna bagi saya jika suatu hari nanti saya harus mempekerjakan orang. Right now I have recruited people to be in my team, and it is HARD! Menunjukkan sisi ketegasan sekaligus mengembangkan pribadi seseorang, sebagaimana yang bos-bos saya lakukan kepada saya itu susah banget.
Saat-saat inilah saya sadar bahwa kewirausahaan bukan hanya sebuah profesi yang digambarkan dengan menjadi pengusaha atau pebisnis. It’s a mindset. Hal inilah yang kamu tunjukkan saat kamu merepresentasikan perusahaan tempatmu bekerja, karena kamu merasa memiliki. Karena kamu tahu, ketika kamu melayani pelanggan dengan buruk, ada kemungkinan mereka engga akan pakai jasa kantormu lagi. Kamu tidak ingin itu terjadi, bukan semata karena takut dipecat, tapi karena kamu ingin menjadi bagian dari sebuah brand yang bertumbuh.
And that’s why it seems like my destiny to always join startup companies – not an established one. I want to participate in building something meaningful. Saya percaya diri atas apa yang sedang saya kerjakan, dan saya tidak memberi ruang pada pikiran saya untuk hal-hal yang negatif. Saya berusaha selalu berafirmasi positif (terutama terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat saya bekerja), karena bagaimanapun juga, Allah menuruti persangkaan hamba-Nya.
Nah, kalau kamu sekarang masih sering galau tentang apa yang ingin kamu lakukan di masa depanmu. Atau bahkan masih ragu tentang pekerjaan yang sedang kamu jalani saat ini. You should apply to this awesome program.
Open Recruitment Now!
Negeri ini tak butuh penonton, tapi butuh anak-anak muda yang berani melakukan inovasi dan menciptakan perubahan nyata.
Sudah siapkah kamu menjadi bagian dari perubahan dunia? Ayo jadi bagian dari program mentorship paling bergengsi bersama Prof. Rhenald Kasali di Rumah Perubahan.
Rumah Perubahan membuka Program #RKMentee 2017, dengan Living The Experiences di Rumah Perubahan, para calon RK Mentee akan merasakan atmosfer mentorship langsung bersama Prof. Rhenald Kasali dengan berbagai challenges yang diberikan.
Pendaftaran dibuka 29 Agustus 2016 - 19 September 2016 via bit.ly/RKMentee2017
Contact Person:
0896-5273-7892 (Enje)
0812-5038-8090 (Yudhi)
Sayang banget saya sudah lebih dari 25 tahun (yah, ketahuan deh). Kalau saja saya masih 22 (seperti Taylor Swift), saya pasti daftar. Buat kamu yang pingin tanya-tanya lebih lanjut, selain bisa dibaca disini, silakan menghubungi teman saya yang saat ini sedang menjalani proses sebagai RKmentee: Hestia Istivani (@hzboy).
Salam perubahan,
Prima
No comments:
Post a Comment