Dulu, ketika saya hendak masuk kuliah (S1), saya hampir tidak memiliki pilihan kedua, karena satu-satunya jurusan kuliah yang saya masuki hanya Ilmu Komunikasi. Tapi engga mungkin kan, mendaftar tanpa ada pilihan kedua, pede banget. Di sebuah universitas swasta di Malang, yang sedianya menjadi pilihan nomer sekian bagi saya yang sedang menunggu pengumuman SPMB, saya membubuhkan jurusan Ilmu Pemerintahan sebagai pilihan kedua.
Lalu terjadilah dialog dibawah ini:
Lalu terjadilah dialog dibawah ini:
Ayah: “ngapain milih jurusan ini?”
Saya: “soalnya ayah engga ngebolehin aku milih jurusan Hukum.”
Ayah: “jangan ah, kerjaannya rawan dosa!”
Saya: “nah ya, kalau aku engga jadi wartawan, aku mau jadi orang yang ngerti tentang pemerintahan. Kalau mau mengubah (pemerintahan) Indonesia jadi lebih baik, kita harus berada didalamnya!”
Ayah: “gaya kamu!” *dijitak ayah*
Ternyata saya malah berkelana jauh dari pekerjaan yang saya inginkan pada awalnya. Maklum, waktu itu masih muda, masih makan idealisme. Sekarang, berhubung banyak tagihan yang harus dibayar, kerjaan apapun boleh deh (#lah). Waktu itu saya belum mengerti kalau ada yang namanya pembuat kebijakan. Tahu sedikit aja dari pelajaran IPS, tapi saya sudah gundah ngeliat Indonesia yang carut-marut. Saya merasa harus melakukan sesuatu, dan menurut saya, masuk ke dunia politik atau pemerintahan adalah solusinya.
Beberapa tahun kemudian, pada suatu pergolakan politik di Jawa Timur, saya dibuat jengkel oleh seorang anggota dewan yang bodohnya bukan main. Bodohnya kebangetan deh, saya sampai mikir, “dia ini sekolah engga, sih?” Memang bukan rahasia lagi kalau anggota dewan banyak yang bodoh, tapi baru kali ini saya berhubungan secara langsung dan barulah saya ngerasa... “pantas Indonesia engga maju, lah wakil rakyatnya begini.”
Saat itu, saya sampai maju ke dua orang kenalan mama dari partai yang berbeda. Ya, saya ingin jadi anggota dewan. Mewakili aspirasi anak muda, generasi yang akan mewarisi negara ini. Okelah kalau anggota dewan membuat keputusan yang salah, mereka tidak akan terlalu merasakan akibatnya. Paling sebentar lagi mereka lengser, atau meninggal (sorry... I just meant that they’re old). Tapi bagaimana dengan generasi penerus? Ditinggali hutang negara, kawasan RTH yang semakin sedikit, polusi udara yang semakin menggila karena terus-menerus mengimpor kendaraan pribadi.....I was sad. I was mad.
Namun, pada akhirnya kita semua tahu ada permainan dibalik itu semua. First thing they said after hearing me was, “kamu punya duit berapa?” Iya, karena mereka tahu untuk memenangkan kursi di dewan engga murah. Saya semakin sebal dan memutuskan untuk melupakan pengajuan saya. Saya janji akan menemukan cara lain untuk memperbaiki Indonesia.
***
Pada pilpres tahun 2014, banyak public figure mendorong Raditya Dika mengungkapkan kecenderungan politiknya. Tujuh JUTA followers Twitter-nya, dan mayoritas anak muda, Raditya Dika diharapkan bisa ‘membimbing’ mereka ke ‘jalan yang benar’. Namun, Raditya enggan, dan pada suatu talkshow di UGM, dia menjawab dengan santai, “buat gue, aspirasi politik itu rahasia. Gue memperhatikan, gue mengamati, tapi gue sudah komitmen untuk engga ikut didalamnya. Yang sekarang mau gue contohkan ke followers gue adalah jadi yang terbaik pada apapun pekerjaan lo. Lo harus bekerja dengan tulus, bekerja untuk kebaikan dan nilai moral yang tinggi. Kalau semua anak muda percaya diri dengan apa yang dia kerjakan, gue percaya akan ada perubahan di Indonesia.”
Entah kenapa saya pikir itu bullsh*t. Apalagi setelah tinggal serumah dengan tante yang dosen Magister Administrasi Publik, konsep ‘jadi yang terbaik di pekerjaanmu’, namun tanpa dukungan pembuat kebijakan, tetap akan susah. Ingat cerita Gloria yang hampir batal jadi Paskibraka karena ketidakjelasan peraturan kewarganegaraan di Indonesia? Atau mungkin sister pernah dengar kasus makanan bayi yang katanya tidak memiliki izin – dan ternyata bukan tidak memiliki, namun terhalang oleh proses perizinan usaha yang berbelit?
Sekarang mari kita kembali ke Jakarta, pusat segala permasalahan di negeri yang kita cintai ini. Dari dulu saya sering heran, yang namanya pilgub kan harusnya bahasan kedaerahan yak, ini kalau DKI lagi mau pilgub, yang rame satu Indonesia, hampir menyamai pilpres. I know it’s all about influence and impact. Yang terjadi di Jakarta, biasanya dampaknya sampai kemana-mana.
I don’t hate Ahok, saya hanya tahu sedikit hal tentangnya, dan saya merasa tidak pantas menghakimi apakah dia berhak maju lagi atau tidak. Namun, saya sedikit merasa malu dengan umat Islam yang selalu mencerca sesama umat Islam yang mendukung Ahok. Saling mencerca bukanlah solusi, harusnya sediakan calon pemimpin dari umat Islam yang kuat, bersih, dan siap untuk menandingi prestasi Ahok.
Perkara ternyata pasangan yang akan maju adalah Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylvianna Murni, jeng jeng jeng.
I wish I can say I disagree with this. Tidak ada yang salah ketika orang militer masuk ke politik. We had Wiranto and Prabowo before. Semakin kesini, saya semakin meyakini bahwa orang baik yang berkomitmen untuk mengubah kehidupan banyak orang harus diberi kesempatan. Namun, entah mengapa, saya punya feeling kuat atas dramatisasi pilihan ini. #cieh
Nachrowi (Ketua Umum DPD Partai Demokrat DKI Jakarta) mengatakan, dipilihnya Agus berdasarkan persetujuan dari empat partai koalisi. Meski tidak dikenal di dunia politik, menurut Nachrowi, popularitas Agus sudah dikenal melalui berbagai seminar yang pernah didatanginya selama ini.
Namun, Nachrowi mengakui, tim pemenangan Agus akan melakukan kerja keras untuk meningkatkan popularitas Agus dalam beberapa bulan ke depan.
"Elektabilitas modal awal, kami akan kerja keras setelah ini soal elektabilitas, tinggal diperkenalkan ke masyarakat Jakarta," kata dia. (kompas.com)
Hmmmmm, kalau cuma mikirin popularitas, kenapa juga bukan Raditya Dika, atau Awkarin yang sekarang lagi ngetop? *digetok*
Selain itu, jawaban mas Agus (((mas))) engga kalah diplomatis,
"Saya memiliki tujuan yang baik, jika Allah SWT mengijinkan dan masyarakat Jakarta memberikan kepercayaan bersama bu Sylviana saya bertekad dan akan bekerja sekuat tenaga untuk memperbaiki Jakarta," kata Agus.
"Sejatinya dari TNI pula saya belajar bahwa mengabdi untuk masyarakat tidak mengenal batas waktu dan tidak mengenal wilayah penugasan," kata dia. (kompas.com)
Hmmmmm, kok saya merasa jawaban ini persis seperti yang dijanjikan Jokowi dulu, bahwa dia engga akan meninggalkan Solo sebelum dia menyelesaikan masa pemerintahannya (yang pada akhirnya dia tinggalkan untuk jadi presiden).
Kalau memang mau mengabdi, kenapa hanya kepada masyarakat Jakarta ya? HMMMMM #tanyakenapa
After all, we just can wait and see. Seperti pesan Anies Baswedan,
Salam,
Prima
Iya ya Kak Prim, pilgub di Jakarta kayanya selalu bikin se-Indonesia gemezzz. Semoga pemimpin selanjutnya bisa memberi efek dan contoh yang oke untuk daerah lain ~~
ReplyDelete