Hari Senin kemarin, setelah sholat Idul Adha dan tidur (haha), saya terbangun dan ngecek beberapa pekerjaan. Tiba-tiba ada dorongan kuat untuk bersepeda dan saya mencoba jalanan yang cukup menantang: jalan terus ke Kaliurang Atas. Cuma kuat DUA kilometer brooo, mau gimana memang nanjak abis dan saya sudah lama tidak bersepeda. Dalam keadaan sampai rumah menggos-menggos itu, ngecek Twitter @NontonYK dan sedang ada kuis nonton gratis Ini Kisah Tiga Dara. Berhubung belum nonton, yaudah mari coba peruntungan, ternyata rezeki anak sholehah... Habis mandi, ngibrit ke Ambarrukmo Plaza, ketemu pula sama Kak Lionychan~ Thank you @SAFilms_ :))
Ini bukan pertama kali nonton film sendiri (walaupun bareng orang satu bioskop, kan pada dasarnya sendirian juga). Terakhir saya nonton sendiri itu film Rudy Habibie, ketawa sendiri ngeliat akting Coach Timo. Eh filmnya bagus banget lho. 3 Srikandi juga bagus, review-nya udah ditulis tapi belum kelar. Hehe. Kali ini nonton sama @NontonYK dan ternyata seru juga nonton ‘rame-rame’. Sebelah saya cowok, menang kuis juga. Dia sih iya-iya aja sama komentar saya tentang film-nya, semoga engga terganggu ya mas.
Dari awal Kak Liony sudah memperingatkan kalau film ini artistik banget, dan akan sedikit ‘mengganggu’ untuk orang-orang metropolitan. Mungkin karena saya engga ngerasa ‘orang kota’, jadi engga begitu paham sama omongan Kak Liony. Justru yang saya perhatikan sejak awal, film ini ‘Jakarta’ banget, walaupun setting-nya sendiri di Maumere. Kalau di film gitu, Maumere indaaaaaaaaaaaaaah banget. Padahal waktu saya kesana berpuluh tahun yang lalu (ceileh), kayaknya biasa aja *ditempeleng orang Maumere*
Ini bukan pertama kali nonton film sendiri (walaupun bareng orang satu bioskop, kan pada dasarnya sendirian juga). Terakhir saya nonton sendiri itu film Rudy Habibie, ketawa sendiri ngeliat akting Coach Timo. Eh filmnya bagus banget lho. 3 Srikandi juga bagus, review-nya udah ditulis tapi belum kelar. Hehe. Kali ini nonton sama @NontonYK dan ternyata seru juga nonton ‘rame-rame’. Sebelah saya cowok, menang kuis juga. Dia sih iya-iya aja sama komentar saya tentang film-nya, semoga engga terganggu ya mas.
Dari awal Kak Liony sudah memperingatkan kalau film ini artistik banget, dan akan sedikit ‘mengganggu’ untuk orang-orang metropolitan. Mungkin karena saya engga ngerasa ‘orang kota’, jadi engga begitu paham sama omongan Kak Liony. Justru yang saya perhatikan sejak awal, film ini ‘Jakarta’ banget, walaupun setting-nya sendiri di Maumere. Kalau di film gitu, Maumere indaaaaaaaaaaaaaah banget. Padahal waktu saya kesana berpuluh tahun yang lalu (ceileh), kayaknya biasa aja *ditempeleng orang Maumere*
Apa yang bikin saya ngerasa film ini ‘Jakarta’ banget? Atau setidaknya, ‘Bali’ banget. Ceritanya, Gendis (Shanty Paredes), Ella (Tara Basro), dan Bebe (Tatyana Akman) ngebantu ayah mereka untuk mengurusi boutique hotel milik keluarga. Spoiler dari awal, inti permasalahannya ada ketika si Yudha (Rio Dewanto) sebagai (something, Managing Director maybe?) dari chain hotel ternama mau menanamkan sahamnya ke hotel tersebut. Cuma buat saya pribadi, hotelnya itu ya gitu deh, Bali bangeeet. So vibrant, itu lho tipikal hotel-hotel yang instagramable. Bukan hotel kecil yang sepertinya benar-benar dikelola oleh keluarga. Stafnya lumayan banyak, dan kelihatannya juga kamarnya banyak (soalnya tamunya juga banyak). Kalau kamu memperhatikan, bangunan hotelnya juga cukup besar, not that typical so-called family hotel.
Selain itu, sepanjang film ini terasa sedikit kosong dari segi penceritaan. Pada dasarnya premis dari film ini adalah, Oma (Titiek Puspa) pindah dari Jakarta ke Maumere karena merasa khawatir akan cucu-cucunya yang masih single. Konon Gendis sebagai anak pertama terlalu fokus sama karirnya. And then saya pikir, selain kerja di hotel sebagai chef, Gendis punya karir lain. Ikut MasterChef, mungkin. Ternyata kesibukannya ‘cuma’ jadi chef di hotel itu ‘doang’. Memang sih dia part owner juga, tapi rasanya ya, rasanya lho, engga sesibuk itu. Kembali lagi ke logika: kalau hotelnya hotel keluarga dan tamunya engga banyak, terus kenapa dia masaaaaak terus (dan belanja sendiri ke pasar)? Ada asistennya juga kan.
Lalu ada Ella yang digambarkan sebagai orang yang ‘ngotot’ pingin menikah lebih dulu daripada Gendis. Terus ada sosok Bima (Reuben Elishama) sahabat yang mencintai Ella. Saya pikir awalnya mereka pacaran, makanya Ella pingin melangkahi Gendis. Eh ternyata engga. Ella ‘cuma’ ngerasa selalu jadi nomer dua daripada Gendis, sampai mencoba mendekati Yudha juga. Entah disitu Ella beneran suka sama Yudha, atau hanya merasa ingin berkompetisi dengan Gendis. Pada akhirnya, pekerjaan dia di hotel juga engga jelas, receptionist bukan, manager maybe, sementara dia engga pernah ke dapur. Jadi engga mungkin ngebandingin diri sendiri sama Gendis yang chef.
Bebe apalagi. Saya shock pas tahu dia hamil di akhir cerita, karena keseringan ‘les menenun’ sama pacarnya yang setengah Inggris-setengah Indonesia. Disini Oma kasih nasehat yang bagus banget. ‘Hargai dirimu’, Oma said so. Saya pun berpikir-pikir, kalaupun memang hal ini sudah ‘biasa’ di kalangan remaja Indonesia, hmmmmmmmmmmmmmmmmm saya kok masih kurang setuju ya. Waktu Bebe bilang ke pacarnya, dia engga mau dinikahi hanya karena dia hamil, itu kayak, “apa saya yang old-fashioned atau gimana?” Buat saya pribadi, hal itu bukan menunjukkan perempuan sebagai sosok yang mendobrak ikatan tradisi atau aturan yang ‘kolot’, melainkan menunjukkan how irresponsible she is as a person. As a 19 years old woman. As a lover. Ini bukan masalah saya muslimah atau gimana. Tapi saya percaya ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan ketidaksetujuan atas stigma perempuan yang melekat. Berprestasi kek, apa kek, bukannya bikin anak. Menurut saya lho.
Kalau ada yang membuat saya terhibur di sepanjang film, tarian dan lagu-lagu di film ini tidak cheesy. Saya malah menunggu-nunggu adegan musikalnya karena dari awal saja udah keren. Tidak terlalu banyak, tidak kurang, jadi terasa cukup. Shanty dan Titiek Puspa memang penyanyi sih, tapi secara mengejutkan Tara Basro dan Tatyana Akman bisa mengimbangi meski sedikit fals disana-sini.
Selain itu, costume designer film ini cerdas. Mungkin lho, mungkin dimiripin dengan film Tiga Dara yang tahun 1956, jadi kostumnya kombinasi vintage dan moderen. Sepertinya costume designer-nya nge-fans sama Song of Style dan Anastasia Siantar. #lho
***
Kembali lagi ke masalah Gendis, secara saya merasa film ini cukup mewakili apa yang saya (dan jutaan perempuan single lain diluar sana) rasakan. Memang saya baru 27 tahun, tapi kadang juga capeeeeek dengerin yang itu-itu lagi tentang menikah. Don’t you know that marriage, for some people, is not that easy? Nah di film ini, sayangnya engga diceritakan kenapa Gendis enggan menikah. Katanya sih, “takut gagal”, tapi kok waktu ketemu sama Yudha dan dideketin berapa hari doang sudah luluh? Bebe juga sempat bilang “engga semua cowok kayak mantanmu, Kak”, tapi engga disebutkan masalahnya sama mantan itu apa. Saya kan jadi bingung, somebody please enlighten me!
Nah, buat kamu yang penasaran kenapa sih ada perempuan yang betah melajang, dibawah ini ada beberapa alasan yang sebagiannya sudah sering saya ceritakan di blog ini:
- Because being single is so free!!!
- Karena menjadi single artinya bisa lebih percaya diri atas apapun yang terjadi dalam hidup. Saya pernah bilang ke seseorang yang mendekati saya, “saya benci merasa tergantung. Apalagi, saya merasa lebih pede ketika menyelesaikan masalah sendiri. Saya merasa kurang bisa mempercayai orang lain untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam hidup saya.”
- Karena jadi single itu enak. Perlu saya jelasin?
- Karena berpikir bahwa sosok suami ideal adalah Pangeran Dubai (ini saya).
- Karena masih harus menyelesaikan sekolah (ini saya juga).
- Karena merasa harus banyak belajar untuk memandang pernikahan dengan optimis, terutama untuk mencintai diri sendiri, terlebih karena ada ‘beban’ masalah keluarga (ini saya banget).
Pada akhirnya, being single is not the end of the world. Ini juga bukan aib yang memalukan atau penyakit yang harus diobati. It’s just another phase of life that we have to pass. Masalah berakhirnya kapan, ya silakan ditanyakan ke Yang Maha Kuasa. Most important it, embrace it and live life to the fullest!
Lots of love,
Prima
"Saya merasa kurang bisa mempercayai orang lain untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam hidup saya."
ReplyDeleteThat's it!
Ajari aku untuk percaya, Put.....
DeleteApapun alasannya yang penting bahagia, itu mungkin yah hehe
ReplyDeleteHidup ini pilihan Mbak. Mau nikah muda atau mau cari yang 'tepat' dulu ya itu pilihan. Toh semua yg jalani masing-masing. Cemunguuudd Kakak. Dapat cipok basah dari Kak Ghifa.
ReplyDeleteBukan masalah nikah muda atau mau cari yang 'tepat' dulu. Kalau bisa sih keduanya, pada usia muda dan dengan orang yang tepat. Tapi yang bikin garis takdir kan Allah :) ciyum balik yaaa.
Deleteiya, mau singel atau berpasangan itu pilihan, masalahnya kadang pilihan kita suak dinyinyirin orang lain padahal ini hidup2 kita
ReplyDeleteWkwkwkwk..itu enam poin aku semua :D
ReplyDeleteTermasuk Pangeran Dubai???????? Hmmm.
DeleteHaiii...saya pembaca baru blog kamu nih, banyakan sih jadi silent reader aja, but...kali ini mau ikutan komentar aahh...hehehe
ReplyDeleteUmur kita ga beda jauh, dan saya baru aja ulang tahun 2 hari yang lalu, like as always, selalu ketemu pertanyaan yang sama...kapan nikah?
Honestly, 4 poin diatas juga saya banget, as long as saya masih nyaman dengan keadaan sekarang, dan masih betah (banget) melajang, sampai kapan? gak tau. But, I'm happy. Itu yang paling penting kan. Thank you for sharing this btw, salam kenal :)
hayooo semangaatt mblo.. hehe
ReplyDeletePrim kudu nonton drakor another miss oh, sama buku si parasit lajang. hehe
ReplyDelete