Kami baru
selesai sholat dzuhur saat Ibu mengingatkan bahwa hari ini akan ada acara buka
puasa bersama dengan sebuah komunitas. Jadi sekitar sejam lagi kami harus
mengantri mandi, berbaju rapi, sholat ashar berjamaah lalu berangkat ke mall tempat
buka puasa bersama tersebut diadakan. Aku membuka lemari dan memilih baju
dengan malas, sebenarnya aku lebih suka di rumah supaya selepas sholat tarawih
nanti bisa melatih tilawatil al-Qur’an-ku. Aku akan mewakili sekolahku ke
sebuah lomba MTQ dua minggu setelah idul fitri, dan aku harus mempersiapkan
diri.
Tentu saja aku sangat ingin menang. Jika
aku menang, mungkin gengnya Rika tidak akan mengolok-olokku lagi. Aku
memandangi lemariku yang berisi kemeja putih yang sudah mulai menguning, dan
rok biru yang sedikit kedodoran. Iya, ini semua sumbangan dari donatur. Dan ini
yang sering dipermasalahkan oleh Rika. Dasar jahat!
Aku mengeluarkan beberapa kerudung,
mematutnya dengan baju dan celana jins yang akan aku pakai sore ini. Kerudung
warna ungu, dan kemeja kotak-kotak warna ungu. Oke, cukup serasi. Aku siap
untuk sore ini.
Aku melihat Dinda tampak sumringah. Dia
adalah teman satu tempat tidur denganku, dia tidur di bagian atas, sedangkan
aku dibawahnya.
“Seneng banget, Din?”
“Iya mbak, kan biasanya makanannya enak.”
“Udah berapa
kali ya kita buka puasa bersama gini tahun ini?”
“Ini yang
keenam. Yang pertama kita makan mekdi, kedua ka ef si, ketiga-keempat restoran
tapi baguuus, oh waktu itu mbak ga ikut, lagi sakit. Kelima, mekdi lagi.
Hehehe.”
Dia
melanjutkan, “kalo bulan Ramadhan gini banyak orang tiba-tiba baik ya mbak.
Yang pertama itu kan kita dapat sangu 50ribu tiap orang.” Dia terkekeh.
Dinda benar.
Bulan Ramadhan bisa dibilang bulan perbaikan gizi untuk anak-anak panti asuhan
seperti kami. Bukannya sehari-hari tidak makan enak sih, rawon buatan ibu nomer
satu di dunia menurutku, tapi karena keterbatasan, ya biasanya sih kurang bisa
puas makannya. Apalagi yang sudah mulai SMP sepertiku, pasti memprioritaskan
adik-adik kami, contohnya Dinda yang baru naik kelas 3 SD.
Tapi.. sejak
mulai dewasa ini *halah* aku juga mulai kurang nyaman dengan acara-acara
seperti ini. Aku seperti menjadi badut di acara-acara tersebut. Mereka
mengundang kami, dengan harapan doa kami yang katanya makbul. Nanti di acara
itu akan ada games, lalu kami harus bermain, harus terlihat gembira dan senang
karena sudah diundang ke acara itu..
Padahal,
siapa sih yang tidak iri melihat orang-orang yang mengundang kami memegang HP,
atau kamera, atau kadang tampak mengutak-atik laptop saat mempersiapkan acara..
Terus baju mereka bagus-bagus sekali, dan mereka wangi, pasti parfum mereka
mahal.. Sedangkan aku harus
puas dengan bedak deodoran yang dibelikan ibu di warung dekat panti..
Seseorang menepuk bahuku. Kak Ranti,
salah satu pengurus panti yang baru saja masuk kuliah menanyaiku, “eh ngelamun?
Ayo antri mandi. Ntar ketinggalan lagi.”
Aku meringis dan beranjak menuju kamar
mandi.
Aku sedikit melirik kak Ranti. Dia juga
menghabiskan sepanjang hidupnya di sini, tapi jarang sekali dia terlihat
bersedih. Dia aktif di sekolah, ikut pramuka, klub bahasa Inggris, dan karena
nilainya selalu bagus, dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jurusan
Pendidikan. Cita-citanya menjadi guru. Mulia sekali kan..
Yah, mungkin
aku hanya perlu lebih bersyukur. Kalau orang-orang punya orang tua kandung, aku
juga punya Ibu Fatimah dan Pak Salim yang menyayangiku seperti anak sendiri.
Aku
tersenyum dan membisikkan doa, “Ya Allah, mudah-mudahan hari ini buka puasanya
ka ef si, lagi kepingin koka kola nih..”
No comments:
Post a Comment