Tuesday, September 10, 2013

The Empty Mosque


Syawal is already finished, may our prayers during Ramadhan and Syawal will be accepted and we can meet Ramadhan again next year. Amin.

Seiring dengan berakhirnya Syawal, dan kita kembali ke aktivitas seperti biasa, masjid pun kembali sepi. Semalam waktu saya mendampingi ibu saya sholat isya’ di masjid dekat rumah (saya sedang berhalangan), mama saya adalah satu-satunya jamaah wanita (!).

Saya jadi teringat obrolan saya dengan office mates saya sebelum Ramadhan.

Semua orang tahu, kalau semangat muslim-muslimah Indonesia ini cepat panas, tapi cepat untuk mendingin lagi. Lihatlah tarawih di minggu-minggu pertama, masjid bisa penuh, bahkan sampai keluar masjid. Tapi mulai minggu ketiga, berangsur-angsur shaf-nya semakin maju…maju…maju…hingga tersisa 2-3 shaf saja (masih untung, kadang ada yang tinggal 2-3 makmum aja)

Saya pun demikian, kalau saya mungkin kebetulan ‘didukung’ dengan jarak rumah-kantor yang cukup jauh. Jadi ‘terpaksa’ saya harus sholat tarawih di masjid di dekat kantor supaya tidak ketinggalan atau malah jadi melewatkan sholat tarawih karena sampai rumah sudah lelah dan ngantuk. Tapi minggu keempat Ramadhan, kantor saya sudah libur, dan biasanya kita sudah disibukkan dengan mudik atau keperluan Hari Raya – yang sebenarnya tidak lebih penting daripada puasa itu sendiri, ya kan?

Kembali ke diskusi makan siang bersama office mates, saya tiba-tiba teringat satu impian saya, yang menjadi titipan dari kakek saya kepada ayah saya. Di depan rumah nenek saya di Gunung Kawi, Malang; berpuluh tahun silam kakek saya mendirikan sebuah langgar*. Padahal saat itu pengetahuan agama kakek-nenek saya masih sangat terbatas, justru pendirian langgar itu bertujuan agar memotivasi kakek-nenek saya untuk sholat 5 waktu.

Supaya tidak malas, sesaat setelah langgar didirikan, kakek menghimbau warga sekitar rumah kami untuk ikut sholat disitu. Berangsur-angsur, warga yang lebih muda bergantian menawarkan diri untuk menjadi muadzin, sementara warga yang lebih tua berlatih menjadi imam. Dan langgar sederhana kakek menjadi semakin semarak karena ada warga yang mengajar mengaji untuk anak-anak setiap sore.

Tapi itu dulu. Semenjak kakek dan kebanyakan warga yang ‘seangkatan’ beliau meninggal, langgar menjadi sepi. Masih ada guru ngaji untuk anak-anak tiap sore, tapi ketika waktu sholat tiba, ada 5 orang makmum saja sudah bersyukur. Awal tahun ini waktu saya berlibur disini, pernah saat shubuh, hanya ada saya, nenek, dan ibu-ibu sebelah rumah.

Nah, ceritanya, ketika liburan itu, nenek saya yang aktif pengajian di desa sebelah diberi amanah oleh ketua pengajian untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang di pengajian bulanan. Nenek saya bahkan mencarter sebuah angkot untuk tetangga-tetangga. Tapi, menjelang hari H pengajian, belum ada satupun yang mendaftar untuk ikut. Nenek pun mengelilingi desa untuk mengajak warga satu-persatu.

Saat saya sempat menemani, mulailah saya menghadapi berbagai alasan untuk tidak ikut pengajian; dari mulai harus berjualan, sampai tidak ada yang menjaga anaknya. Inikah generasi penerus ummat? :(

Matahari sudah hampir di atas kami, tapi tanpa lelah nenek saya tetap berjalan, mengetuk satu-persatu pintu rumah tetangga. “Ayo menambah ilmu agama”, kata nenek saya awalnya. Ketika ilmu agama sudah tak mempan, maka nenek mengeluarkan jurus “dapat makan siang dan jajan kok..” Dan pada akhirnya ada dua orang yang ikut. Satu orang tergugah mendapatkan “barokah dari Gusti Allah”, yang satu ingin makan siang gratis.

Perih hati saya mengingat ini. Ya, karena saya sendiri merasa tertampar.

Ketika saya ceritakan tentang ini kepada office mates saya, ada satu yang berkomentar, “Tapi kan tiap orang berbeda. Pemahaman masing-masing orang akan kegiatan ibadah itu tergantung pada proses sendiri-sendiri”

Iya, ini benar. Sangat benar. Tapi apakah kewajiban kita sebagai muslim berhenti sampai disitu? Yang penting saya, sholat dan ikut pengajian. Orang lain terserah deh, dosa ditanggung masing-masing ini.

Mungkin kita lupa, bahwa berdakwah itu adalah kewajiban dan hak. Kewajiban kita sebagai muslim, dan hak saudara kita sebagai sesama muslim.

“Sampaikanlah walau hanya satu ayat”

Kalau kata Ustadz saya, kalau kita tidak mau berdakwah, justru kita yang sombong. Surga-Nya Allah begitu luas, dan bukankah akan menyenangkan untuk masuk surga beramai-ramai?

Dan tentu saja, masjid yang penuh makmum lebih menyenangkan untuk dilihat daripada yang sepi kan?

Salam,
Prima

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...