Awal mula saya berhijab adalah karena saya bersekolah di sekolah Islam
sejak SD hingga SMA. Ketika SD, saya bisa dibilang sangat istiqomah dengan
hijab saya, bahkan saya rela meninggalkan hobi tenis dan berenang karena malu
dengan kostum yang terbuka.
Sayangnya, menjelang SMP, banyak sekali godaan yang menyebabkan saya
mulai tidak berhijab ketika di luar sekolah. Di kelas 3, saya mewakili sekolah
sebagai peserta World Scout Jamboree
di Thailand. Saat itu adalah pertama kalinya saya keluar negri sendiri tanpa
didampingi orang tua, dan isu teroris sedang menjadi topik yang ramai
diperbincangkan. Hal ini membuat saya mengajukan permintaan kepada ibu saya
untuk menanggalkan hijab saya untuk keamanan. Dengan sabarnya ibu saya
menjelaskan bahwa hijab saya justru akan bisa menjadi pelindung dan menunjukkan
identitas saya sebagai muslim.
Meski merajuk, saya tetap berangkat dengan mengenakan hijab. Benar saja,
hampir di semua kegiatan pada hari pertama hingga hari ketiga, tidak ada
peserta dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia
yang mau mengambil saya sebagai anggota kelompok. Bahkan ada beberapa peserta
yang terang-terangan mengatakan, “So you
are from Indonesia, and you are a Muslim? I think all Muslims are terrorists.”
Dan mendengar ini, saya hanya bisa menangis.
Pada pagi hari keempat, saya menelepon dan memaksa ibu saya untuk
mengizinkan saya untuk tidak berhijab. Dengan berat hati, ibu saya mengatakan
“Baiklah. Kalau hari ini kamu tidak mendapatkan teman, kamu boleh melepas
hijabmu.”
Riang dan gembira, saya
menjalani hari itu dengan bersemangat. Saat kegiatan siang, saya sedikit
terlambat datang ke venue dan mau
tidak mau bergabung dengan satu kelompok yang beranggotakan orang Inggris dan
Italia. Peserta dari Inggris terpaksa menerima saya untuk menggenapkan anggota
kelompok, namun sepanjang kegiatan, saya dapat melihat bahwa ia menghindari
interaksi dengan saya. Menatap mata saya saja ia tidak mau, dan hati saya
merasa sakit dibuatnya.
Tapi saya tidak mau ambil pusing dan mencoba mengerjakan bagian tugas
saya dengan sebaik mungkin. Ketika tiba pengumpulan tugas, kelompok kami keluar
sebagai peraih nilai terbaik. Tiba-tiba si Inggris mencolek bahu saya dan
berkata “I’m sorry I had misperception
about you, yes it’s because your headscarf. But you did a good job, and I want
to be your friend.”
Demikianlah, pada akhirnya Allah memberikan jalan kepada saya untuk
mempertahankan hijab saya.
Meski tidak lama.
Karena ketika SMA, lebih banyak lagi godaan ya datang, dari mulai acara
pesta ulang tahun, konser musik, dan pemilihan model di majalah remaja. Entah
kenapa saya begitu ingin untuk ambil bagian dalam event tersebut dan menanggalkan hijab saya, mungkin ini yang
dibilang dampak dari pergaulan.
Namun, hijab sudah menjadi bagian dari kehidupan saya, sehingga saya
memutuskan untuk tetap berhijab saat kuliah; meski sesekali saya masih tidak
berhijab ketika ke mall.
Puncaknya, tahun 2011 saya memutuskan akan menanggalkan hijab
sepenuhnya. Saya tidak mau mempermainkan hijab dengan lepas-pasang. Apalagi,
saya berencana untuk menulis skripsi tentang klub sepak bola, dan saya pikir
tanpa hijab, saya akan bisa lebih lepas dan bebas dalam kegiatan ini.
Hari itu saya sudah membulatkan tekad, ‘start by next week, I will have a new image without hijab’. Tanpa
disangka, ketika saya sedang di kampus, saya ditelepon oleh manajemen klub dan
diundang ke makan siang bersama. Jadilah saya datang ke klub dengan mengenakan
hijab.
Saat diperkenalkan dengan pemain-pemain lokal, mereka menatap saya malu-malu
lalu menundukkan kepala. Kemudian, beberapa pemain asing menyambut saya dengan
tersenyum. Salah satu pemain berkulit hitam, yang belakangan saya tahu berasal
dari Kamerun, menyapa saya duluan, "Don't
worry, I once played for Arabic League. I'll help your research, Ukhti."
Keramahan mereka membuat saya mengurungkan niat untuk melepas hijab. Dan
ternyata, setelah melalui beberapa waktu, satu-persatu dari mereka mengaku
bahwa mereka menghormati saya karena hijab saya.
Salah satu pemain Indonesia pernah berkata pada saya, "ya sungkan,
mbak prima kan jilbab-an. Lebih anggun, lebih kalem. Kalau yang buka-bukaan
memang biasa dipakai 'mainan' sama teman-teman, mbak. Lha aurat kok
dipamer-pamerkan."
Si pemain Kamerun malah sering terang-terangan memuji muslimah
Indonesia. Suatu waktu ia berkata, "di Indonesia ini muslimah kreatif
sekali dengan hijabnya, cantik-cantik. Mereka juga aktif dan pintar-pintar. Ini
benar-benar merubah pandangan saya tentang perempuan berhijab. Ternyata banyak
juga muslimah yang berprestasi ya."
Yang lucu, ada seorang pemain Korea yang protes karena menemukan foto
saya tanpa hijab di Facebook. Komentarnya, "prima, kenapa ini tidak pakai
hijab? No good. Real Islam, with hijab.
Without hijab? Islam immitation." Dan saya tergelak mendengarnya.
Subhanallah, sejak saat itu saya belum pernah terpikir lagi untuk
melepas hijab. Bagaimana bisa orang-orang yang bahkan tidak mengimani Islam
bisa mengingatkan saya tentang keagungan hijab.. Itulah rahasia Allah. Dia
menguatkan saya untuk terus berhijab lewat perantara dan tanda-tanda yang tidak
disangka-sangka. Maka betapa bodohnya saya jika mengacuhkan rasa sayang Allah
tersebut..
Hijab really is our
identity as a muslimah. And yes, we should be proud wearing it!
Mudah-mudahan cerita saya bisa menjadi inspirasi untuk saudari-saudari
muslimah. Hijab tidak pernah membatasi kegiatan kita, tapi mindset kita terhadap hijab yang menyebabkan demikian. Kenakan
hijab dengan ikhlas, dan insyaAllah ia akan selalu membawa berkah di kehidupan
kita :)
Prima
Post ini ditulis untuk mengikuti giveaway disini.
terimakasih ikutan GA saya yang pertama...
ReplyDeletesemoga selalu istiqomah ya...
Sama-sama kak Linda, semoga selalu diberkahi Allah juga ^^
ReplyDeleteSelamaaaattt...kirim imel ke aku ya...data dirinya...
ReplyDelete