Selain tempat wisata, masjid juga masuk dalam salah satu destination traveling list kami (aku dan suamiku). Paling enggak meski short traveling pasti akan membutuhkan waktu sholat barang sepuluh menit. Prinsipnya kita boleh bersenang-senang tapi kita enggak boleh lupa akan kebesaran Tuhan yang memberikan kesempatan kita bisa melakukan kegiatan traveling. Seperti kegiatan traveling kami bulan lalu saat kami menjejak Kota Gudeg, Masjid Agung Yogyakarta menjadi penutup traveling yang penuh kejutan indah.
Saat itu, kami sedang bimbang. Apakah akan meneruskan perjalanan mengejar kereta pulang ke Surabaya yang waktunya mepet atau tetap lanjut ke Masjid yang lebih dikenal dengan Masjid Gedhe Kauman ini. Tapi kami tetap yakin, jika kita mendahulukan Allah maka segala duniawi dibelakang kita akan mengikuti. Maka kami memantapkan langkah untuk sholat Jumat dahulu di Masjid tersebut.
Saat itu, kami sedang bimbang. Apakah akan meneruskan perjalanan mengejar kereta pulang ke Surabaya yang waktunya mepet atau tetap lanjut ke Masjid yang lebih dikenal dengan Masjid Gedhe Kauman ini. Tapi kami tetap yakin, jika kita mendahulukan Allah maka segala duniawi dibelakang kita akan mengikuti. Maka kami memantapkan langkah untuk sholat Jumat dahulu di Masjid tersebut.
Begitu memasuki pelataran masjid, pikiran ketinggalan kereta hilang sama sekali. Tidak terbersit bagaimana nasib kami selanjutnya. Justru aku terkagum-kagum dengan rumah Allah yang memiliki keanggunannya masing-masing, tak terkecuali masjid ini.
Ya, masjid yang lebih mirip bangunan kuno, seperti halnya Yogyakarta dengan segala kearifan lokalnya juga tertuang dalam bangunan ini. Dibangun oleh Kiai Wiryokusumo pada masa Kesultanan Sri Sultan Hamengkubuwono I tahun 1773 M. Wow, pantesan vintage banget bangunannya. Kalau dihitung Masjid Agung Yogyakarta ini sudah berumur 241 tahun. Subhanallah masih berdiri kokoh sampai sekarang.
Bangunan masjid ini dibangun menjadi satu kesatuan dengan beberapa bangunan didepannya. Terdapat halaman luas serta dua banguan di sisi kiri dan kanan yang berhadapan dengan masjid. Bangunan-bangunan ini, dulunya dipakai sebagai tempat penyimpanan gamelan sang Kiai untuk ritual keagamaan di halaman masjid. Namun rupanya sudah lama tak difungsikan, teronggok berdebu sebagai tempat saya berteduh menunggu suami selesai sholat jumat.
Masjid Kesultanan ini memiliki atap berbeda bertingkat tiga dengan bentuk limas. Tak jauh berbeda dengan bentuk bangunan yang saya temui dalam keraton sebelum kami kesini. Bedanya, pada bangunan utama, kubahnya dibuat mengerucut sebagai simbol bangunan ibadah ummat Islam.
Selain atap, masjid yang juga memiliki sebutan Masjid Raya Kesultanan ini memiliki tata ruang yang unik. Gerbang menuju masjid terpasang simbol kesultanan Yogyakarta dengan ukiran warna emas disertai jam besar pada bagian tengah. Semakin kedalam memasuki masjid, justru yang nampak adalah ruang terbuka. Akan banyak orang dari sekedar istirahat usai sholat, melepas lelah dari kalangan pelancong dan juga penduduk lokal. Areal ini disebut sebagai serambi.
Dari sini saja sudah terlihat sisi artistik bangunan masjidnya. Nampak bagian atap dalam terbuat dari kayu-kayu bercat putih yang ditata meruncing ke ujung limas. Sangat kuat karakternya dengan ukiran kuno senada warna emas pada setiap bagian tiang dan peyangga.
Sementara ruang sholat utama dibuat lebih tinggi daripada serambi ini. Sayang saya tak bisa menilik lebih dalam ke ruang ikhwan karena tabir pemisahnya permanen. Kalau dilihat dari ruang akhwat sewaktu saya sholat usai sholat Jumat, seperti terbawa suasana, ruang sholat utama lebih sakral dan khidmat. Teduh banget sholatnya.
Untuk penerangan hanya mengandalkan sinar matahari melalui angin-angin. Yang bikin betah, ruangannya adem meski tanpa pendingin ruangan. Hal ini didukung oleh tata ruang atapnya yang dibuat luas dan tinggi serta penggunaan lantai marmer.
Terlalu asyik di masjid ini, saya sampai tak ingat jika sedang mengejar kereta. Saya bahkan masih sempat mengobrol dengan pengurus masjid yang sedang mengurus kotak amal masjid. Suamipun dengan santainya menunggu saya di serambi masjid tanpa mengingatkan saya. Suami malah meminta saya berpose di depan gerbang masjid.
Kami baru tersadar ketika di atas bus Trans Jogja, bahwa kami sudah terlambat 30 menit dari jadwal yang tertera di tiket. Duh, panik juga meski tetap yakin dengan ketetapan Allah. Saya mengucap doa semoga kami masih mendapat kereta pengganti meski harus bayar lagi.
Ternyata, kami malah datang lebih awal, kereta yang akan kami tumpangi terlambat satu jam dari biasanya. Subhanallah, saya terharu dan langsung menghambur ke suami yang sedari awal meyakinkan, bahwa pilihan kami untuk bertamu di rumah Allah dan sholat lebih dulu tak pernah salah. Mendahulukan Allah, Allah yang akan mendahulukan kepentingan kita juga.
***
Penulis: Nunu El Fasa (@ununtriwidana)
Shared :D
ReplyDelete