Saya lahir dan tumbuh berdampingan dengan masjid. Bahkan lahirnya saya ke dunia disambut adzan subuh yang berada tepat di sebelah rumah saya. Bagi saya, itu hal romantis pertama yang Allah takdirkan untuk hidup saya. Hehe. *ini terdengar agak mendramatisir, yeuph :D*
Nama masjid di samping rumah saya itu adalah Masjid Baitul Makmur. Masjid ini berada di desa Pancur, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Menurut saya, masjid itu adalah penjaga bagi kami masyarakat sekitarnya – terutama bagi kami pemuda-pemudinya. Penjaga dari apa? Penjaga agar kami tidak kehilangan sifat khas kami sebagai ‘orang desa’ dan tak menjelma menjadi pribadi-pribadi individualis bak masyarakat metropolitan; terutama di tengah arus modernisasi yang sudah merambah ke desa-desa kecil seperti desa kami. Kami para pemuda-pemudi sekarang cenderung lebih senang dan rajin bersosialisasi di dunia maya dengan gadget kami masing-masing. Tukar sapa dan bersosialisasi dengan teman sejawat satu RT sudah semakin berkurang frekuensinya.
Maka disitulah peran masjid yang seharusnya tak hanya sebagai tempat sholat sangat kami rasakan. Salah satunya melalui organisasi ikatan remaja masjid yang kami bentuk. Iya, saya tahu kalau mengacu refrensi formal saya sudah sama sekali nggak tergolong sebagai remaja. Tapi kami punya kriteria tersendiri untuk mengidentifikasi anggota ikatan remaja masjid ini. Ukurannya cuma satu, bukan umur melainkan: sudah menikah dan belum menikah. Sedikit diskriminatif ya rasanya, hehe. *tertawa perih*
Melalui organisasi ikatan remaja masjid ini kami kemudian mengagendakan beberapa acara rutin. Salah satunya yaitu mengaji bersama seminggu sekali, yang tempatnya di rumah para anggota secara bergantian. Kenapa enggak di masjid aja? Ya karena dengan dirancang seperti itu, kami jadi bisa sekalian silaturahim ke rumah tetangga-tetangga yang – sekali lagi – sudah sangat jarang kami sempatkan. Selain mengaji bersama seminggu sekali di hari-hari biasa, di bulan Ramadhan kita juga punya agenda tetap, yaitu tadarus bersama. Saya nggak tahu apa di masjid-masjid di kota masih ada tradisi tadarus bersama seperti ini atau tidak.
Tadarus bersama ini kita lakukan dengan cara mengaji secara bergantian. Saat salah satu sedang mendapat giliran mengaji, yang lain harus menyimak siapa tahu ada bacaannya yang salah. Setiap malam kami menghabiskan dua juz, agar dalam satu bulan kami bisa khatam bersama sebanyak dua kali. Kalau dipikir-pikir dan nurutin ego pribadi – bukannya sombong – rasanya saya lebih senang mengaji sendiri, dan bisa mengaji lebih banyak (saat tadarus paling tiap orang cuma mengaji 3-4 lembar). Tapi saya merenung lagi, saat saya mengaji sendiri, saya (mungkin) hanya mendapat pahala dari ngaji saya. Beda dengan ketika tadarus bersama. Semoga Allah juga menghitung niat kami untuk menjaga keakraban antar-tetangga. Bukankah perbuatan sebesar biji zarrah pun akan ada perhitungannya, kan?
Setelah tadarus, biasanya para orang tua – secara bergantian dan atas kesadaran dari diri sendiri – mengantarkan makanan untuk kami. Bukan makanan berat berupa nasi, melainkan jajan-jajan ringan, kue kudapan atau buah potong. Setelah tadarus kami biasanya tak langsung pulang. Terutama jika Ramadhan telah memasuki tanggal pertengahan. Kami mulai sibuk merencanakan acara takbir keliling, yang biasanya harus berkoordinasi dengan beberapa RT lain.
Sedangkan untuk para orang tua, saat Ramadhan, setiap ba’da ashar ada kajian kitab yang dipimpin oleh seorang ustadz muda asli RT kami. Kajian tersebut berlangsung hingga menjelang buka, dan dilanjut buka bersama. Makanan untuk buka disiapkan oleh ibu-ibu sekitar secara bergantian yang – sekali lagi – atas dasar kesadaran dari diri sendiri.
Ya, sudah selayaknya masjid memang tak hanya dijadikan sebagai tempat sholat berjamaah, karna kalau fungsinya hanya terbatas itu, maka sulit sekali untuk mewujudkan masjid yang makmur. Masjid bisa menjadi sarana untuk kita menumbuhkan jiwa sosial kita, penyambung tali silaturahim dan keakraban, dan pembangun perdaban Islam yang jauh lebih ‘mapan’. Karna bukankah begitu yang dulu Rasulullah ajarkan? Yuk, kita generasi muda... ramaikan masjid di sekitar kita dengan agenda-agenda sederhana namun sarat manfaat :)
***
Penulis: Rosalina Susanti (@Rosa_Alrosyid)
***
Prima Note: Alhamdulillah, I feel the same way too with the mosque near my house. Masih ada program tadarus juga, tapi buat bapak-bapak/ibu-ibu yang lumayan sepuh, jadi aku males ikut karena mereka kan kalau baca selow kayak di pulau gitu kan *toyor diri sendiri* Tapi aku tetap usahakan untuk ikut, paling engga weekend. Thank you for the reminder, Ocha :)
Sama2, Mbak :)
ReplyDelete