Melanjutkan cerita tentang Syariah Fest 2016, hari Selasa kemarin saya menjadi LO untuk Bu Sally Giovany. Cantik, pengusaha sukses, insyaAllah sholehah, ramah dan baik banget, amazing muslimah deh pokoknya. Saya sempat sedikit kaget ketika latar belakang beliau agak-agak mirip dengan saya, dengan perceraian orang tua yang terjadi ketika beliau berusia 5 tahun; tapi lebih kaget lagi ketika ternyata kami seumuran! Aduh, malunya banget-banget. Beliau sudah menikah hampir sepuluh tahun dan batik Trusmi-nya sudah mendapatkan rekor MURI; sedangkan saya, udahlah jomblo, pekerjaan tetap-pun ga punya.
Hari sebelumnya, saya juga sempat dapat serangan jantung ketika tahu bahwa saya seumuran dengan Ustadzah Floweria, penulis buku Perfect Dreamy Wedding. Di usia yaitu 2x tahun (hayo tebak berapa), beliau sudah menulis beberapa buku, dan kalau tidak salah sudah menikah selama sekitar 4 tahun.
Ingin rasanya saya menggali kuburan sendiri. Selama ini, saya ngapain ajaaa? Sedih, sedih, sedih.
Tapi untunglah Bu Sally memotivasi saya dengan mengatakan, “Mbak, jalan orang beda-beda. Yang pasti rezeki Allah akan selalu ada, dalam bentuk yang lain bagi tiap-tiap orang.”
Saya bukannya tidak sadar bahwa usia semakin senja sementara belum punya kontribusi apa-apa untuk dunia yang saya tinggali ini. Kalau saya selalu bilang ingin mengubah dunia, that's bullsh*t. Menghidupi diri sendiri saja masih sulit untuk dilakukan. Tapi ada juga kalanya saya merasa dengan segala ketidakmampuan saya, ditambah dengan keadaan yang tidak memiliki apa-apa seperti saat ini, saya lebih merasakan kebesaran Allah. Datang jauh-jauh dari Surabaya ke Yogyakarta cuma dengan selembar baju di badan (lebay...) tapi bisa sekolah S2, belum lagi masih bisa jalan-jalan ke Jakarta, Bali, dan sebagainya; itu gimana ceritanya kalau bukan karena kebaikan Allah?
Makanya, betul juga kata Teh Peggy Melati Sukma pada sesi yang sama dengan Bu Sally, “segala yang bisa kita lakukan ini, kalau dipikir dengan logika, kadang ga akan nyampe. Gimana cara dengan jualan buku, khimar, dan gamis (yang dia lakukan sejak berhijrah, fyi) bisa membiayai program dakwah saya yang kemana-mana?”
Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman saya beberapa hari ini, saya akan memberikan dua bahan renungan untuk sister:
1. Jangan pernah membandingkan perjalanan hidup diri sendiri dengan orang lain
Akhir-akhir ini, saya sering bertanya-tanya, kalau saja dulu orang tua saya baik-baik saja dan saya tumbuh di keluarga yang ga perlu mikir 'bisa makan ga ya hari ini?'; apakah saya bisa lebih cepat sukses? Apakah mungkin saya sudah menikah dengan 2 orang anak, punya tempat tinggal tetap, endebre endebre?
Tentu saja saya tidak tahu jawaban pastinya, yang saya bisa asumsikan MUNGKIN fighting spirit dan survival skill saya akan lebih rendah daripada diri saya yang saat ini. MUNGKIN saya akan memandang hidup dengan lebih remeh.
Sejuta kemungkinan, tapi kalau saya boleh membandingkan diri saya, ya hanya dengan diri saya sendiri. Maksudnya, saya yang sekarang dengan saya yang masih umur 18 tahun, apakah saya menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah saya lebih dekat dengan Allah atau malah lebih jauh? Apakah saya sudah menjadi orang yang berguna? Pertanyaan-pertanyaan yang untuk menjawabnya tidak perlu melihat kepada orang lain, melainkan hanya perlu memandang ke cermin dan jujur se-jujur-jujur-nya.
Hari sebelumnya, saya juga sempat dapat serangan jantung ketika tahu bahwa saya seumuran dengan Ustadzah Floweria, penulis buku Perfect Dreamy Wedding. Di usia yaitu 2x tahun (hayo tebak berapa), beliau sudah menulis beberapa buku, dan kalau tidak salah sudah menikah selama sekitar 4 tahun.
Ingin rasanya saya menggali kuburan sendiri. Selama ini, saya ngapain ajaaa? Sedih, sedih, sedih.
Tapi untunglah Bu Sally memotivasi saya dengan mengatakan, “Mbak, jalan orang beda-beda. Yang pasti rezeki Allah akan selalu ada, dalam bentuk yang lain bagi tiap-tiap orang.”
Saya bukannya tidak sadar bahwa usia semakin senja sementara belum punya kontribusi apa-apa untuk dunia yang saya tinggali ini. Kalau saya selalu bilang ingin mengubah dunia, that's bullsh*t. Menghidupi diri sendiri saja masih sulit untuk dilakukan. Tapi ada juga kalanya saya merasa dengan segala ketidakmampuan saya, ditambah dengan keadaan yang tidak memiliki apa-apa seperti saat ini, saya lebih merasakan kebesaran Allah. Datang jauh-jauh dari Surabaya ke Yogyakarta cuma dengan selembar baju di badan (lebay...) tapi bisa sekolah S2, belum lagi masih bisa jalan-jalan ke Jakarta, Bali, dan sebagainya; itu gimana ceritanya kalau bukan karena kebaikan Allah?
Makanya, betul juga kata Teh Peggy Melati Sukma pada sesi yang sama dengan Bu Sally, “segala yang bisa kita lakukan ini, kalau dipikir dengan logika, kadang ga akan nyampe. Gimana cara dengan jualan buku, khimar, dan gamis (yang dia lakukan sejak berhijrah, fyi) bisa membiayai program dakwah saya yang kemana-mana?”
Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman saya beberapa hari ini, saya akan memberikan dua bahan renungan untuk sister:
1. Jangan pernah membandingkan perjalanan hidup diri sendiri dengan orang lain
Akhir-akhir ini, saya sering bertanya-tanya, kalau saja dulu orang tua saya baik-baik saja dan saya tumbuh di keluarga yang ga perlu mikir 'bisa makan ga ya hari ini?'; apakah saya bisa lebih cepat sukses? Apakah mungkin saya sudah menikah dengan 2 orang anak, punya tempat tinggal tetap, endebre endebre?
Tentu saja saya tidak tahu jawaban pastinya, yang saya bisa asumsikan MUNGKIN fighting spirit dan survival skill saya akan lebih rendah daripada diri saya yang saat ini. MUNGKIN saya akan memandang hidup dengan lebih remeh.
Sejuta kemungkinan, tapi kalau saya boleh membandingkan diri saya, ya hanya dengan diri saya sendiri. Maksudnya, saya yang sekarang dengan saya yang masih umur 18 tahun, apakah saya menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah saya lebih dekat dengan Allah atau malah lebih jauh? Apakah saya sudah menjadi orang yang berguna? Pertanyaan-pertanyaan yang untuk menjawabnya tidak perlu melihat kepada orang lain, melainkan hanya perlu memandang ke cermin dan jujur se-jujur-jujur-nya.
2. Selalu ingat untuk menggunakan kekuatan Allah daripada kekuatan diri sendiri
Teh Peggy menceritakan, dengan usaha dan kerja kerasnya, selama masa karirnya yang sudah hampir 21 tahun, beliau sudah pernah melancong ke 14 negara. Tapi, setelah beliau hijrah sekitar 2 tahun yang lalu, jadwal beliau jauuuuuh lebih padat, dan jumlah negara yang dikunjungi akan segera menyamai yang dikumpulkan selama 21 tahun. Keren kan?
Maka dari itu, banyak-banyak mengucap 'laa haula wala quwwata illa billah' agar kita sadar bahwa yang namanya APAPUN yang kita dapat, tidak pernah lepas dari campur tangan-Nya. Hal ini juga untuk menundukkan diri, yang seringnya kemudian lupa dan berpikir bahwa semua yang dimiliki adalah hasil dari pekerjaannya sendiri.
Terus apa jadinya ikhtiar ga boleh? Ya tetap boleh, harus malah. Tapi akan berbeda ketika semuanya dikerjakan tidak atas dasar tawakkal. Dengan keikhlasan, semuanya akan terasa lebih ringan, tak peduli gimana hasil akhirnya. Dan tentu saja, dengan ridho Allah, kita akan merasa cukup dan tidak kekurangan dalam hidup ini.
Sebenarnya masih banyak lagi bahan renungan yang saya dapatkan. Tapi supaya lebih greget, sister harus datang ke Syariah Fest 2016 di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. HARI INI, akan ada Bedah Buku Ayat-Ayat Cinta 2 bersama Habiburrahman El Shirazy jam13.00, dan Bedah Buku Sedekah Super Story bersama Muhammad Assad dan Saptuari Sugiharto pada jam15.30. Be there, so that we can learn together :)
Salam,
Prima
No comments:
Post a Comment